
Sinopsis :
Siapa sih yang baik-baik saja melihat gebetan justru menikahi bestie? Pria yang dicintai Mei sejak SMA, kini malah bersanding di pelaminan dengan teman dekat Mei sendiri.
Dalam kepedihan Mei di tengah acara resepsi pernikahan itu, tiba-tiba saja mantan pacar si teman melamarnya.
Juna. Mapan dan cukup tampan untuk ditolak. Akan tetapi, Mei tahu pria itu sama seperti dirinya yang masih patah hati dan belum bisa move on.
"Menikah tanpa cinta, bukan berarti tak bisa bikin kita bahagia, Mei. Just...
Bab 1. Lamaran Gila
“Four ...!”
“Three ...!”
“Two ...!”
Semua bersorak. Teriak serentak. Menghitung mundur dengan penuh penantian kala si pengantin wanita berdiri membelakangi stage, bersiap melempar buket bunga pengantinnya. Terutama bridesmaids sudah mulai saling sikut, tak sabar untuk saling rebut.
Namun tidak dengan Mei. Meski bibir wanita itu tersenyum, tetapi senyum itu tak mencapai matanya yang menyorot suasana itu dengan sendu. Meski begitu dia tetap bergabung dalam barisan besties yang berseragam kebaya merah terang.
“Gooo!”
Semua tanganpun melambai-lambai ke atas, siap menangkap disertai pekikan heboh. Tetapi. Semua kemudian terdiam. Semuanya bengong. Si pengantin wanita justru berbalik badan, mengulurkan buket bunga pengantin yang ditunggu-tunggu banyak orang itu kepada seorang lelaki yang berlari-lari kecil menghampiri untuk mengambilnya. Menciptakan berbagai tanya yang menggantung dalam pikiran semua orang yang melihatnya.
Dan ... tiba-tiba saja, lelaki itu dengan gentle membungkuk di depan Mei seraya berkata, “Meilani, will you marry me?” sambil mengulurkan buket bunga itu padanya.
Mei terperangah. Tak mengira Juna bakal bertindak sampai seperti ini.
Lelaki bernama Juna itupun menyeringai kecil dengan salah satu alis terangkat. Masih membungkuk dan menyodorkan bunga. Menantinya.
Seketika ballroom hotel diriuhkan teriakan orang-orang dalam satu ketukan irama komando.
“Yes!”
“Yes!”
“Yes!”
“Yes!”
Tepukan meriah dan siulan orang-orangpun saling bersahutan ramai kala tangan Mei akhirnya terulur jua, menerima buket bunga itu. Juna pun berdiri. Mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan meraih tangan kiri Mei. Lalu memasang cincin belah rotan bermata berlian yang berkilau cantik di jari manis wanita itu.
Mei berkedip-kedip, tatapannya beralih dari cincin itu ke wajah Juna yang tiba-tiba saja bergerak mendekat secepat kilat. Dan mendelik saat bibirnya terasa hangat di bawah kecupan Juna yang sedang mencuri ciumannya.
“Fans service,” bisik Juna di tengah jeritan ramai orang-orang yang menyoraki mereka.
Mei menelan ludah dan memalingkan wajah. Tatapannya pun membentur si pengantin pria yang berdiri di atas pelaminan sana, yang tak lain adalah Kevin. Pria itu tengah menatapnya setajam elang. Mengoyak perasaan Mei dengan ketidaknyamanan. Secepat kilat Mei pun mengalihkan tatapannya kepada Juna.
Juna justru menertawakan wajah Mei yang semerah tomat. “Jangan bilang kalau ... ini first kiss elu?” bisik cowok itu terdengar begitu meledek.
“Shut up,” desis Mei seraya berjinjit dan merangkul leher Juna. Membuat pria itu mematung kala sekonyong-konyong Mei melumat bibirnya yang menganga kaget.
Sekilas Juna melirik ke arah pelaminan, menangkap ekspresi sang pengantin wanita, yang tak lain mantan kekasihnya. Di sana, Raya terbelalak tak percaya sambil mencengkeram lengan Kevin yang juga terlihat jengah memalingkan wajah. Membuat Juna bersorak menang dalam hatinya, kemudian dia berbisik disela-sela ciumannya, “Good job, Mei.”
***
Dua jam sebelumnya,
Mei berbaur dalam suasana pesta yang sudah selayaknya dipenuhi dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Namun tidak dengan perasaannya kini. Entah sudah yang keberapa kali Mei mencuri tatap ke pelaminan dengan sorot sendu. Memandangi Kevin. Pria itu tampak begitu menawan dan gagah dalam balutan jas mahalnya. Bersisian dengan Raya yang begitu cantik, secantik gaun pengantinnya saat ini.
“Mereka cocok banget ya? Serasi,” celetuk Sarah yang diamini teman-temannya. Lalu keempat bridesmaid berseragam kebaya merah terang itu mulai membicarakan tekad mereka untuk saling rebut buket bunga pengantin dari Raya nanti, biar yang mendapatkan bisa lekas menyusul kawin. ‘Siapa tahu mitos itu jadi kenyataan?’ Begitu harapan mereka.
Mei ikut tertawa palsu bersama teman-temannya yang lain meski perasaannya berantakan. Kevin adalah cinta satu-satunya, yang sampai kini bertahta di hatinya. Namun, bukan salah pria itu yang pilih melabuhkan hatinya kepada Raya, sebab tiada komitmen apa-apa antara Kevin dengan Mei. Bahkan mungkin Kevin tak peduli bagaimana jantung Mei berdebar dalam setiap momen kebersamaan mereka.
Mei masih ingat rasanya. Saat Raya melempar bom itu padanya di sebuah acara reuni 2 minggu yang lalu. “Mei, ini undangan buat elu. Gue sama Kevin mo merit, elu wajib datang. Elu mau kan jadi bridesmaid gue?” ucap Raya dengan ceria, berbanding terbalik dengan Mei yang seketika memucat.
Tak ada angin, tak ada hujan. Lalu. Dari manakah badai ini datang?
“M-memangnya ...,” Mei menelan ludah pahit, “sejak kapan elu sama Kevin jadian?”
Raya tersenyum simpul. “Actually, kami tunangan setahun lalu di Amrik. Kami mulai dekat sejak kuliah bareng di kampus yang sama di sana.”
Pengakuan Raya terasa mencekik Mei hingga sulit berkata-kata. Komunikasinya dengan Raya memang tersendat sejak Raya melanjutkan study pasca sarjananya di Amerika. Dan kesibukan membuat keduanya menjadi sulit bertemu sekembalinya Raya ke Jakarta beberapa bulan lalu.
Mei terlalu terkejut sampai lupa memberi selamat. Tatapannya menelusuri undangan cantik nan wangi di tangannya. Jantungnya dipecut nyeri mendapati foto prewed Raya dan Kevin yang begitu mesra. Mei mengabaikan sosok Raya dalam foto itu, perhatiannya tertuju lurus-lurus pada wajah Kevin yang sedang tersenyum dengan teramat manis. Rahang tegas dan belahan dagunya yang khas, menyihir Mei dengan kekaguman seperti biasa. Mei pun membaca baris demi baris kalimat dalam undangan itu. Dan tatapannya terhenti, tertancap pada nama Kevin Febrian yang terukir indah dalam tinta emas. Seindah ukiran perasaan Mei terhadap pria itu selama ini.
Tiba-tiba mata Mei terasa memanas. Sebelum air mata benar-benar menetes dan mempermalukan dirinya di depan Raya dan teman-teman, Mei lekas menyingkir menuju restroom. Lalu membasuh wajahnya dengan air kran. Mei mati-matian menahan. Tapi, air mata sialan itu meluncur juga. Bersama setiap nyeri yang menggigiti hati. Dan hari ini ..., rasa nyeri itu kian terasa menjadi.
“I know, Mei. Lu pernah ada something kan sama Kevin? So, kita senasib sekarang. Right?” tembak Juna yang tiba-tiba berdiri di sampingnya, membuat Mei terbatuk-batuk kaget.
“Sorry ...? What do you talking about?” Mei mencoba mengelak dari ucapan Juna, si cowok berisik yang kerap membuntuti dan menyogoknya dengan aneka coklat semasa SMA, demi sekulik info tentang Raya. Ya. Juna adalah penggemar berat Raya sejak dulu. Harusnya Mei iba mengingat betapa bucinnya Juna kepada Raya, tetapi pria itu tetap membesarkan hatinya untuk hadir di sini. Tetapi Mei jadi kesal karena Juna mengungkit-ungkit tentang dirinya dan Kevin.
“Mata itu jendela hati, Mei. You show it too clear. So I know, everybody know. Pernikahan ini menghancuranmu.”
Kata-kata Juna bagai panah yang menancap telak ke jantung Mei. Seketika kakinya gemetar. Sejelas itukah?
Seakan bisa mendengar isi pikiran Mei, Juna bergerak mendekatinya dan berkata. “I feel you, Mei. Posisi kita sama. Kita sama-sama dicampakkan. Kevin tahu banget elu masih suka sama dia. Raya juga tahu gue masih suka sama dia. Di mata mereka, kita ini pecundang. So, gimana kalau kita bersekutu? Come on, kita tunjukin ke mereka kalau kita udah move on and happy together. Bukankah tampak bahagia itu pembalasan dendam terbaik?”
“Ckckck. Teori dari Hongkong!” ketus Mei sambil beranjak pergi.
Juna mencekal lengan Mei. “I will pay you,” ucapnya membuat wanita itu terpaku di tempat. Lalu pria itu merundukkan kepala dan membisikkan sesuatu ke telinga Mei.
Bab 2. Demi Gengsi dan Harga Diri
Setelah lamaran gila itu, teman-teman menyerbu Mei dan memberinya selamat.
“Wah! Waah, haredaang! Sumpah. Gue masih nggak percaya dengan apa yang gue lihat barusan, which is kita semua nggak ada yang tahu kapan elu jadian sama Juna?”
“Gilaaa! Napa jadinya lu yang tau-tau dilamar sih? Gue yang udah jalan 5 tahun aja masih digantungin sama cowok gue. But. Jujurly, lu sukses bikin kita semua syok, Mei!”
“Ternyata selama ini lu jomblo palsu, sialan lu!”
“Tapi, elu sama ... Juna? OMG. Really?”
Mei terdiam seribu bahasa. Dia sendiri masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Dia yang beberapa menit lalu masih jomblo, tiba-tiba saja sekarang punya calon suami? Dan ciuman tadi? Astaga!
“Jun, kita perlu bicara,” desis Mei sambil menarik Juna keluar dari ruangan setelah berhasil menghindari rentetan pertanyaan teman-teman yang bisa membuatnya diare akut.
“Take it easy ..., kita bakal banyak bicara setelah ini, Mei. Kita sekarang kan couple.”
“Fake couple!” ketus Mei sewot. Ah. Andai saja Juna bisa melihat kepalanya yang terasa mengebul ini.
“Tapi mulai sekarang, orang-orang menganggapnya gitu. We’re couple. Don’t forget about that,” bisik Juna sambil merangkul pundak Mei dan tersenyum menang setiap kali berpapasan dengan teman-teman yang menyapa dan mengucapkan selamat.
“Jun,” panggil Mei setelah duduk berdua saja di dalam mobil Juna dan jauh dari pantauan orang-orang. Tapi Mei tak jua melanjutkan kata-katanya. Dia malah menggigiti bibir.
“Hmm?” Juna menoleh. Melihat Mei menggigiti bibirnya seperti itu, serta merta membuat jantungnya berdenyut dengan cara tak biasa. Ah. Bagaimanapun, mereka pernah berciuman tadi. Ciuman yang cukup panas dan mengejutkan. Sisi lain dari seorang Meilani yang selama ini dipikirnya dingin.
“Kok diam? Mau ngomong apa, Mei? Ngomong aja nggak usah sungkan-sungkan.”
“Menurut lu ..., apa Kevin dan Raya bakal percaya tentang hubungan palsu kita?”
Juna terbahak mendengarnya.
“Malah ketawa!” Mei mendengkus sebal.
“Emangnya lu nggak liat muka mereka pas kita kissing secara live tadi? Wadaww! A-ampun, sumpah ... a-ampun.” Juna meringis karena Mei mencubitinya.
“Awas kalau lu bahas-bahas lagi soal ciuman itu!”
Juna tergelak. “Lu belum lihat group chat angkatan kita ya? Pada ngeshare video kita kissing tuh!”
“What?” Mei terbelalak ngeri. “Aaaaah! Ini semua gara-gara lu!” omelnya sambil meninju lengan Juna.
Juna malah nyengir. “Loh. Bagus, kan? Misi kita berarti sukses!”
“Cih!” Mei melengos, tapi dalam hatinya diam-diam merasa lega. Sebelum acara lempar bunga tadi, Mei pergi ke restroom. Saat berada dalam bilik toilet, dia tak sengaja menguping obrolan Sarah dan Tania yang baru memasuki restroom sambil membicarakan dirinya.
“Eh, Tan. Kasihan ya si Mei, kayaknya dia masih belum bisa move on juga dari Kevin. Lu lihat nggak sih? Sejak acara akad nikah sampai resepsi, tatapannya ke Kevin dalem banget. Bisa-bisa dia nangis darah ntar malam.” Suara Sarah terdengar membuka obrolan.
“Ya gimana nggak nangis, Sar? Gila lu, bayangin aja, udah sejak kapan tau dia diam-diam suka sama Kevin. Eh, si Kevin malah nikahnya sama Raya, bestie sendiri. Pasti nyeseklah gila.” Tania terdengar antusias menanggapinya.
“Poor Meilani. Tapi better kita tetap pura-pura nggak tahu ajalah, kalau sebenarnya selama ini dia tuh secret admirernya Kevin,” ujar Sarah di antara suara air kran yang mengucur.
“Eh, inget nggak lu, Sar? Pas Raya kasih undangannya ke si Mei? Si Mei kan no said congrats sama sekali gila.”
“Yes. I remember. Awkward banget kan itu.”
“Heran. Betah banget si Mei ngejomblo cuma buat mengagumi Kevin doang.”
“Mending kalau Kevinnya peduli. Better cari yang lain aja ‘kan? Keburu karatan, ya nggak?”
“Ya iyalah! Ponakan gue yang SMP aja dah punya cowok serenteng. Masa dia yang udah 28 nggak bisa move on pindah gebetan? Emangnya cowok di bumi ini cuma Kevin doang?” seloroh Tania.
Lalu keduanya tertawa. Menertawakan Mei.
Seketika Mei memegangi dadanya yang meledak-ledak kaget. Kalau yang dianggapnya teman dekat saja seperti itu, bagaimana dengan yang lain? Mei menahan sesak yang kian menghimpit dadanya dengan rasa perih.
Mungkin, karena itulah yang membuat Mei tak pikir panjang menerima saja sebuket bunga yang diulurkan Juna di depan orang-orang tadi. Demi melindungi harga dirinya di depan teman-temannya sendiri. Juga melindungi gengsinya di depan Kevin yang selama ini kerap menggantungkan perasaannya.
***
“Btw. Ciuman gue tadi nggak gratis. Lu janji, kalau gue bisa bikin Raya dan Kevin tercengang, lu bakal bayar 3 kali lipat,” ucap Mei sambil mengetikkan info rekening dan mengirimkannya kepada Juna. Bagaimanapun, Mei membutuhkan uang itu.
Juna terpingkal-pingkal hingga matanya berair. “Jadi, cerita itu benar rupanya. Tentang elu yang sangat menyukai uang.”
Mei tertawa sinis. “Semua orang menyukai uang. Gue realistis, bukan matrealistis,” ketusnya.
“It’s not a big deal,” sahut Juna sambil mengetik sesuatu di layar ponsel canggihnya. “Done. Limapuluh juta,” kata Juna begitu santai, seakan yang sedang dibicarakannya itu hanyalah uang limapuluh ribu saja.
Mei tersentak. Matanya melotot sebesar jengkol saat Juna menunjukkan bukti transfernya. Hanya untuk sebuah ciuman?
“W-what? Li-limapuluh juta? Are you kidding me?”
“Napa? Kurang?” tanya Juna dengan nada menantang.
“Lu gila, Jun??”
“Why? Bukannya lu suka uang? Selama ini elu overworking demi money kan? So, I gave you.”
Mei menelan ludah dan berkedip-kedip memandangi Juna. “Tak ada makan siang gratis, apalagi uang sebanyak ini. Say what do you want?” desahnya sambil bersedekap.
“Marry me. Menikahlah denganku, Mei.”
Mei bisa merasakan keseriusan dalam nada suara Juna. “Why me?” desaknya tak mengerti.
“Because you are Meilani.” Juna tersenyum dengan sorot mata melembut kala mengucapkannya.
Untuk sejenak sanggup menghentikan detak jantung Mei karena dilamar dan dipandangi sedemikian rupa oleh pria setampan Juna. Tetapi dengan cepat Mei menguasai keadaan. “So what?” ujarnya seraya mengedikkan dagu.
Juna geleng-geleng dan berdecih. “Yaelah ... masih nanya. Kan kita dalam misi yang sama, Maemunah!” sahutnya sambil menjitak pelan kening Mei.
Mei seketika menabok lengan Juna yang seenaknya mengganti namanya jadi Maemunah. Tapi cowok sableng itu malah terkikik.
“Kebetulan kita berdualah yang lagi sama-sama patah hati, Mei. Lu patah karena Kevin, dan gue karena Raya. Kebetulan juga kita sama-sama jomblo. Dan semua orang sama-sama memandang kita seperti pecundang yang kalah perang. Tapi pertunjukan kita tadi sukses bikin mereka syok berat. See? Cara pandang mereka ke kita mulai berubah. Harga diri kita akhirnya terselamatkan, Mei!”
“Jadi, elu mau melanjutkan sandiwara tadi sampai jenjang pernikahan betulan?”
“Why not?”
“Tapi, Jun. Kita kan nggak saling cinta.”
“Mei, apa itu penting sekarang?”
Mei menghela napas panjang. Betul juga, yang terpenting sekarang menyelamatkan dulu gengsi dan harga diri mereka di mata orang-orang. Tapi, tetap saja ... bukankah pernikahan itu sesuatu yang sakral? Sanggupkah Mei mempermainkannya demi kemarahan dan balas dendam?
Juna seakan bisa merasakan kegalauan wanita itu. Maka direngkuhnya kedua tangan Mei dan digenggamnya erat-erat. “Nggak perlu overthinking, Mei. Kita jalani saja rencana ini pelan-pelan, yang penting elu nyaman. Oke?”
Bab 3. Meilani
Meilani. Cuma itu saja namanya. Singkat dan padat. Sesingkat dan sepadat jawabannya setiap kali Juna menanyakan sesuatu padanya semasa SMA dulu, “Mei ..., lihat Raya nggak?”
Gadis itu cuma menjawab, ‘ke kantin’ atau ‘nggak tahu’. Kadang malah menunjuk langsung arah keberadaan Raya tanpa menoleh sama sekali pada Juna, sedangkan tatapannya tetap terpaku pada buku yang dibacanya.
“Woi, gue ini lagi tanya ya, ... bukannya lagi mau minta sumbangan. Pelit amat sih lu kalau ngomong!” Juna mendengkus sambil berlalu pergi. Tapi Juna tak pernah kapok menanyai Mei tentang Raya, lagi dan lagi, sambil menyodorinya sebatang coklat, baru Mei menoleh dan tersenyum kepadanya.
Setidaknya Mei bakal menjawab dengan jujur dan apa adanya meski irit kata, tak seperti teman-teman Raya lainnya, yang kerap menatapnya dengan sorot mata menghakimi dan mencemooh upaya pendekatannya. Padahal Raya yang Juna kejar-kejar, bukan mereka.
Brug!
“Makanya ..., lihat-lihat dong kalau jalan,” goda Juna suatu kali, sengaja mengerjai Mei yang sedang asyik membaca sambil berjalan menuju kantin. Juna sengaja menghadang jalannya secara tiba-tiba, dan Mei betulan menabraknya. Lalu gadis itu tergagap sambil buru-buru membungkuk, mengambil novelnya yang terjatuh.
“Eh. Sorry ...,” ucap gadis itu sambil melaluinya. Bikin Juna garuk-garuk kepala, heran menerima respons datar Meilani.
Ah. Mengusili Mei ternyata nggak seru!
Lalu Juna menemukan sepucuk kertas yang terlipat di lantai koridor. Dia yakin itu punya Mei, sepertinya tadi terjatuh dari bukunya. Juna pun iseng membaca puisi yang tertulis di sana.
‘Dear, K .... Kutulis namamu di atas pasir, tapi ombak menghapusnya. Lalu kutulis namamu di atas awan, namun angin meniupnya pergi. Maka ... kutulis namamu dalam hatiku saja, dan di sanalah namamu terpatri selamanya.’
"Ciee ..., dalem banget. Fall in love lu, Mei?" Juna nyengir sambil menoleh ke arah Mei yang sudah berjalan menjauh.
Juna berniat mengembalikan kertas itu, berlari-lari kecil di belakang Mei. Rupanya Mei menuju lapangan basket, bukan ke kantin. Mei bergabung dengan Raya and the geng yang asyik menonton Kevin lagi main. Tangan Juna mengepal cemburu mendapati Raya terus-terusan memberi sorakan dukungan buat Kevin, hingga kertas di tangannya ikut teremas.
“Kev!” panggilnya seraya berlari-lari ke tengah lapangan dan memungut bola yang sedang menggelinding ke arahnya. “Lawan gue!” katanya demi merebut perhatian Raya sang gebetan.
Tentu saja Juna yang akhirnya memenangi pertandingan, sebab permainan basket sudah jadi makanannya sejak kecil. Beda dengan Kevin yang baru kenal bola basket kemarin sore. Cowok rumahan itu kan masih baru belajar gaul. Cuma ahli pegang stik PS, bukan ahlinya pegang bola basket.
Juna puas berhasil mengalahkan Kevin dengan telak, lalu nyengir pada Raya yang tersenyum cantik seraya bertepuk tangan untuknya. Saat itulah tanpa sengaja Juna menangkap ekspresi Mei yang sendu sambil menancapkan tatapannya dalam-dalam pada Kevin. Tapi saat Kevin balas menatapnya, gadis itu buru-buru membuang pandangannya ke arah lain. Dan hal itu terjadi berulang kali, membuat Juna tertawa geli.
Aha! Dari sanalah Juna menebak, jika inisial K dalam puisi tadi itu tadi adalah nama Kevin. Oh. Rupanya, Mei naksir Kevin.
***
Raya tertawa lirih. “Ck. Norak banget sih mereka berdua. Please, deh,” gumamnya, kemudian meletakkan ponselnya ke atas nakas dan merebahkan tubuhnya yang lelah di ranjang hotel yang empuk.
Kevin ikut merebahkan diri di sebelah Raya. “Kenapa, sih?”
“Kamu buka aja group chat angkatan kita. Lagi pada heboh, bahas soal Juna sama Mei tadi. Ada yang share video pas mereka kissing tadi.”
Kevin menatap dan membelai-belai pipi Raya. “Memang sejak kapan mereka jadian? Selama ini Mei dan Juna nggak kelihatan kayak orang yang lagi punya hubungan?”
“Entahlah.” Raya mendesah. Ada gelenyar tak enak yang merambati perasaannya. Dia merasa dikhianati. Bukankah selama ini Juna cuma bucin padanya? Juna selalu mengemis cintanya. Bahkan pria itu masih gigih memintanya kembali saat Raya sudah bertunangan dengan Kevin.
"Ray, I love you so much ...,” ratap Juna malam itu, membuat bibir Raya terkatup rapat. Sebenarnya Juna pria yang baik. Kesalahan Juna hanyalah terlalu lengket padanya. Kelewat bucin. Sampai Raya risih. Tapi bucin pada Raya seperti sudah menjadi panggilan jiwanya. Sulit dicegah. Tak bisa diperbaiki karena itu bukan suatu kerusakan. Sayangnya, cowok bucin dan imut bukan tipe Raya. Dia suka cowok yang tampak dingin di luar, tapi sebenarnya hangat di dalam. Seperti Kevin.
Lalu. Sejak kapan tiba-tiba Mei memasuki hidup Juna? Dan kenapa harus Mei? Lagi-lagi Mei. Kenapa Mei selalu terlibat dengan lelaki yang menyukai Raya sih? Raya pikir cuma Kevin, tapi ternyata diam-diam temannya itu juga menyukai Juna? Wah, ... luar biasa!
“Loh. Gimana sih, tadi kan kamu ngasih buket bungamu itu ke Juna? Kupikir kamu memang sudah tahu tentang mereka.”Kevin terpancing penasaran.
Raya mendesah pelan. “Pas Juna foto bareng kita tadi, suddenly dia bilang mau melamar seseorang. And than, dia minta agar buket bungaku itu buat dia aja pada saat acara lempar bunga. Aku oke-oke ajalah. But, I didn’t know who that girl is. Ternyata ..., Mei.”
“Berarti selama ini mereka sengaja backstreet.” Kevin menyimpulkan.
Raya membuang napas. “But ..., why?” desahnya tak habis pikir Meilani sanggup menyembunyikan rahasia sepenting itu. ‘Tapi. Aku juga telah menyembunyikan hubunganku dengan Kevin darinya selama ini,’ pikir Raya sedikit merasa bersalah dan tak enak hati kepada teman dekatnya sendiri. Dia merasa seperti tukang tikung pacar orang saja.
“They have a reason,” sahut Kevin dengan seulas senyum, menutupi kecut dalam hatinya. Bukankah selama ini tatapan Meilani hanya untuknya? Perhatian yang diam-diam wanita itu sematkan, bisa Kevin rasakan dengan jelas. Rasanya tak mungkin jika semua perhatian Meilani padanya itu cuma halusinasi Kevin semata.
Tidak. Kevin bisa melihat jelas sorot kagum dan pantulan cinta yang memenuhi tatapan Meilani setiap kali mata mereka bertemu. Tatapan seperti itu tak pernah Mei tunjukkan pada pria lain selain dirinya. Kevin yakin itu. Tapi sejak ciuman Mei dengan Juna tadi, serta merta membuat Kevin kehilangan keyakinannya selama ini.
Kevin tertawa lirih, menertawakan masa lalu yang tertinggal di belakangnya. Sudahlah. Sekarang dia sudah punya Raya, wanita yang sah menjadi istrinya. Sedangkan Meilani bukan siapa-siapa lagi baginya. Meskipun dalam hati Kevin yang terdalam mengakui, masih ada jejak kisahnya bersama Meilani yang belum sanggup dia hapus sampai detik ini.
Raya memalingkan wajah saat Kevin mulai mencium dan menyurukkan hidung ke ceruk lehernya, sambil menelusupkan tangan ke dalam branya yang berenda. Ah. Raya bukannya tak ingin, hanya saja sangat letih dan mengantuk. Dia kurang tidur karena sibuk dan juga cemas menjelang pernikahannya.
“Aku ngantuk, Kev.”
“Are you sure?” Kevin ganti berbisik tanpa menghentikan belaiannya ke sekujur tubuh Raya. Ini adalah malam pertama pernikahan mereka. Kevin tak akan menyerah hanya karena Raya bilang tidak. Kevin yakin, Raya pasti akan memberikannya.
“Kev ...,” desahan Raya beberapa menit kemudian membuat Kevin tersenyum puas. Reaksi Raya tepat seperti yang dia pikirkan. Lalu Kevin merunduk, mencium, dan melumat bibir Raya. Dan tiba-tiba kilasan ciuman pertamanya melintas begitu saja.
Ciumannya dengan ... Meilani.
Bab 4. Sapi Perah
Mei berkedip-kedip takjub memandangi cincin bermata berlian dengan rangka platinum yang melingkari jari manisnya. Indah. Seindah perasaan yang melingkupi dirinya saat ini. Padahal Mei sadar jika pernikahan yang akan dijalaninya dengan Juna nanti didasari kepalsuan. Tapi setidaknya Juna tak memberikan cincin yang palsu padanya.
Secara mengejutkan, esoknya Juna membawanya ke gerai Tiffany & Co setelah Mei mengangguk, menerima lamarannya dalam mobil. Dan Juna membelikan cincin indah ini untuknya. Padahal Mei tak keberatan dengan cincin sederhana yang sudah diberikan Juna sebelumnya.
“Jangan, sebenarnya itu cincin pengasuh gue yang sudah lama meninggal. Gue menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Cincin itu biasanya gue pakai di kelingking setiap kali gue lagi cemas. Ide lamaran kemarin itu dadakan, gue nggak ada persiapan cincin buat elu. Jadi gue pakai cincin itu buat sementara.”
“Jadi, kemarin itu elu lagi cemas? Makanya datang ke resepsi Raya memakai cincin itu?”
“Begitulah,” aku Juna seraya tertawa lirih.
“Tapi Jun, apa cincin ini nggak too much?” Mei memutar-mutar cincin Tiffany & Co yang ikonik di tangannya.
“Ck, jangan kayak orang susah ‘napa, Mei? Duit segitu doang mah nggak ada apa-apanya dibanding harga diri kita. Duit bisa dicari, harga diri nggak bisa dibeli.”
“Duit segitu doang lu kata? Serius ‘napa, Jun?”
Yang benar saja. Harga cincin ini bahkan jauh lebih mahal daripada gaji bulanan Mei!
“Ya seriuslah gila. Duit gue banyak. Apalah artinya beli cincin doang?”
Mei jadi keki. Juna santai sekali. Seakan dia cuma membicarakan uang sejuta-dua juta saja. Mei terdiam dan menoleh lebih lama kepada Juna yang begitu kasual saat menyetir.
“Napa liat-liat? Baru sadar ya kalau gue ternyata lebih ganteng dari si Kevin, gebetan lu itu?”
“Cih! Dasar narsis ...,” Mei membuang tatapannya sambil tertawa lirih. “Tetap aja lu kalah dari Kevin karena Raya lebih pilih dia. Berarti di mata Raya, Kevinlah yang lebih ganteng.”
Juna mendengkus. “Ck. Sialan!” lalu tertawa dan melirik Meilani. “No no no. Jangan dilepas! Never,” cegahnya begitu melihat Mei sedang memutar-mutar cincin mahal itu dan akan mengeluarkan dari jari manisnya.
“Tapi, Jun. Gue jadi takut pakainya,” kata Mei sambil menggigit bibirnya.
Juna membuang tatapannya menyingkir dari bibir Mei yang tiba-tiba saja mengubah irama jantungnya jadi tak biasa. ‘Jangan gigitin bibir kayak gitu bisa nggak sih, Mei ...,’ desahnya dalam hati, sambil tertawa lirih, menertawakan pikirannya yang mulai absurd tentang bibir itu.
Juna terkekeh. “Ngapain takut sih, memangnya cincinnya bakal gigit elu?” selorohnya.
“Soalnya__.” Mei urung menyelesaikan ucapannya dan menelan ludah. Lalu menggeleng pelan sambil tersenyum pahit. Lalu gadis itu tersentak kala menyadari sesuatu. “Eh, Jun ..., kan tadi gue bilang mau nebeng sampai perempatan Slipi aja? Kok malah bablas? Udah, stop ..., gue turun sini aja.” Mei menyesal keasyikan mengobrol.
“Apaan sih kok turun sini, gue anterin ajalah. Nanggung. Rumah lu di Puri, ‘kan?”
“Tahu dari mana?”
“Tahulah. Pas SMA gue kan sering main ke rumah Rio, tetangga elu. Dia teman basket gue. Tapi sejak dia pindah ke Jepang gue nggak pernah main ke sana lagi. Gue dulu sering lihat kok, lu suka jogging di sekitar komplek. Gue juga ngeliat lu kecebur parit gara-gara dikejar anjing ..., inget kan lu?” Juna terkikik teringat kejadian menggelikan itu, yang masih begitu membekas dalam memorinya.
Mei tersenyum kecut. Ya. Rumah Mei di sana, dalam sebuah komplek perumahan yang cukup elit. Tapi itu 10 tahun lalu. Sebelum dijual karena orangtuanya bangkrut dan meninggal. Meninggalkan utang begitu besar, yang membuat Mei harus membayarnya dengan kelelahan dan air mata sampai sekarang.
“Gue udah lama pindah, Jun.”
Juna terkejut dan merasa bodoh karena tak memastikan dulu lokasi rumah Mei, apa masih di sana atau tidak. “Eh, ... sorry ... sorry. Kalau gitu rumah lu sekarang di mana? Gue anterin.”
“Gue sekarang tinggal di Depok, Jun. Parah kalau ke sana pakai mobil jam-jam segini. Macetnya sinting, bisa bikin lu gila. Mending lu langsung balik aja. Biar bisa lekas istirahat.”
“Tapi, Mei__”
“Gue dah biasa naik kereta kok.”
***
Sebenarnya beban bagi Mei memiliki cincin semewah ini. Perhiasan yang Mei simpan di kamar sering hilang. Karena itulah Mei enggan membeli perhiasan atau barang berharga lainnya, kecuali sepasang anting yang selama ini melekat di telinganya. Mei tahu, pelakunya tak lain tante Dilla. Namun Mei memilih diam karena menghindari keributan dan pilih mengikhlaskannya saja. Tetapi dia harus menjaga cincin yang satu ini, bukan hanya karena harganya yang sangat mahal, tapi karena ini cincin pertunangannya. Mei bertekad tak akan pernah melepaskannya agar tak hilang.
Sejak orangtuanya bangkrut dan meninggal, Mei tinggal bersama tante Dilla, adik kandung ibunya. Tante Dilla sangat kasar, berbanding terbalik dengan ibu Mei yang lemah lembut dan penyayang. Membuat Mei banyak menangis saat awal-awal tinggal di rumah ini, karena sikap si tante yang tak ubahnya seperti ibu tiri. Bahkan si tante tak segan mengguyur wajahnya dengan segayung air kalau Mei telat bangun setiap pagi.
“Ma, jangan begitu kepada Mei. Kasihan. Dia kan keponakanmu sendiri. Dia bahkan yatim-piatu,” tegur Danu, suami Dilla.
Tapi Dilla berdalih, “Biar saja, Pa. Soalnya Mei itu biasa dimanja sama kak Dita mentang-mentang anak semata wayang. Aku hanya mendisiplinkannya, biar dia nggak manja tinggal di sini. Mulai sekarang dia harus terbiasa bangun pagi dan mengerjakan pekerjaan dapur dan rumah tangga. Biar dia sadar kalau bukan princess lagi sekarang.”
Dilla sebenarnya menyimpan iri, sebab dulu tak bisa memanjakan anak-anak mereka seperti Dita memanjakan Mei dengan kemewahan karena keterbatasan ekonomi. Meski Dita sangat baik dan kerap berbagi, namun Dilla telanjur iri terhadap kakaknya sendiri. Bahkan Dilla justru diam-diam senang saat Dita jatuh bangkrut, sedangkan perekonomian keluarganya gantian meroket.
‘Hmm ..., meskipun galak dan cerewet, ternyata jiwa sosialnya tinggi juga,’ pikir Danu saat Dilla bilang kepadanya ingin membiayai kuliah Mei sampai lulus, dan benar-benar membuktikannya.
Tanpa Danu ketahui ternyata Dilla mempunyai maksud tersembunyi. Begitu lulus kuliah dan mendapat pekerjaan, Dilla lekas memanggil Mei dan mengajaknya bicara empat mata. “Baguslah kau sudah bekerja sekarang. Nah, ini dia biaya yang harus kau ganti,” ujarnya seraya menyodorkan beberapa lembar catatan keuangan.
“Tan, ini ... a-apa maksudnya?” Mei gemetar melihat tabel rincian angka dalam jumlah sangat besar.
Tante Dilla bersedekap sambil mengedikkan dagunya. “Jangan pura-pura lupa. Kau bahkan sampai bersujud di kakiku dan berjanji akan membayarnya sampai lunas setelah punya penghasilan sendiri.”
“Ta-tapi ..., 1 milliar?”
Mei berkedip-kedip menelusuri angka demi angka yang tertera di kertas itu. Tantenya ini memang seorang renternir, orang-orang banyak yang meminjam uang darinya dengan bunga yang sangat tinggi. Tapi Mei tak menyangka jika si tante bakal bersikap sebagai seorang renternir juga kepadanya, keponakannya sendiri. Terlebih tante Dilla tahu buat apa Mei menggunakan uang itu dulu, yaitu untuk biaya pengobatan sang ibu yang tak lain kakak kandungnya sendiri!
“Tapi, Mei tak punya uang sebesar itu, Tan.”
“Tante nggak memintamu untuk mengembalikannya secara kontan. Tapi saat Tante butuh uangmu, kau harus menyediakannya.”
Mei menghela napas panjang. Merasa keberatan, tapi kepalanya dengan bodoh malah mengangguk.
“Bagus. Sekarang Tante butuh 30 juta. Tante beri waktu paling lama 2 minggu,” ucap Dilla sambil memeriksa catatan keuangannya. Dia butuh tambahan modal untuk memberi pinjaman orang-orang yang sedang mengantre utang padanya.
Mei memucat. “Dari mana Mei dapat uang sebanyak itu, Tan?”
“Cari pinjaman dong! Sekarang mengajukan pinjaman ke bank itu gampang prosesnya. Kau kan punya gaji buat bayar cicilan.”
“Ta-tapi, Tan ....”
“Nggak ada tapi-tapian!”
Karena itulah, Mei harus bekerja keras seperti orang gila. Mengumpulkan uang demi melunasi utang 1 miliar pada si tante.
Bab 5. Tawaran Mengejutkan
Mei baru saja memasuki kamar saat ponselnya berdering.
“Halo, Jun?”
“Udah sampai rumah, Mei?”
Ada rasa hangat yang merambati perasaan Mei demi mendengar pertanyaan Juna. Sudah sangat lama tiada orang yang menanyakan hal sarat perhatian semacam itu padanya.
“Baru aja sampai nih.”
“Hah? Gila, baru aja sampai? Yang bener aja, Mei?”
Mei tertawa renyah mendengar suara Juna yang ramai.
“Apa gue bilang? Lu bisa sinting kalau nganterin gue pulang tadi. Nih buktinya, cuma dengar gue baru nyampe rumah jam segini aja lu udah gila, kan?”
“Masa? Tapi kok lu nggak gila, Mei? Padahal tiap hari lu bolak-balik Jakarta-Depok?”
“Belum aja.”
Juna terbahak-bahak hingga Mei harus menjauhkan ponselnya dari telinga karena suara tawa Juna yang keras.
“Pindah sini aja ke apartemen gue sebelum lu beneran gila, Mei!”
“Kumpul kebo dong?”
“Gue kan ganteng, dan lu cakep. Masa visual kayak kita dibilang kumpulan kebo sih?”
Mei terkikik. Terhibur celotehan Juna.
“Mei, video call, yuk?”
“Nggak, ah.”
“Napa? Insecure lu, Mei? Kamar lu jorok berantakan ya?”
“Sembarangan!”
“Terus kenapa dong nggak mau video call?”
“Gue lagi di kamar dan ini area privasi gue.”
“Gue kan calon suami lu, Mei?”
“Baru calon, belum sah jadi suami.”
“Yaelah, Mei ....”
“Eh. Btw, Jun. Soal penawaran elu kemarin tentang rencana pernikahan kita. Better kita bikin kontrak pernikahan, hitam di atas putih. The point is, biar aturan dalam hubungan kita nanti jelas. Jangan sampai ada toxic relationship."
“Whatever you want, Mei. Selama elu merasa nyaman dengan hubungan kita."
Mei tersenyum mendengarnya. Ucapan Juna terasa menyenangkan hati. Jawaban lelaki itu tepat seperti yang diinginkannya. “Thank’s, Jun.” Mei berbisik dengan wajah tersipu, untung saja Juna tak melihatnya. Mei pun menjitak kepalanya sendiri. Kenapa sikapnya seperti orang sedang pacaran sungguhan saja? Jelas-jelas dia sadar dasar hubungan ini seperti apa. Sama sekali tak ada kaitannya dengan romantisme.
“MEILANI ...!” bentak tante Dilla sambil mendobrak pintu kamarnya.
“Eh, i-iya ..., Tan?”
“Budeg ya kamu? Dipanggilin dari tadi nggak nyahutin. Punya kuping tuh dipakai ...,” omel si tante sambil menjewer kuping Mei seperti anak kecil.
Mei meringis menahan sakit. “A-aduh ..., aww..., i-iya. Maaf ..., Tan.”
“Buruan bikin kopi sana, dua cangkir buat Om Danu dan tamunya! Ngapain aja kamu? Enak aja ..., malah ketawa-ketawa teleponan. Ingat ya ..., kamu tuh di sini numpang! Jangan sok-sokan capek mau istirahat segala kayak nyonya rumah aja. Kerja keras itu emang sudah kewajibanmu buat bayar utang pengobatan ibumu yang penyakitan itu. Jangan manja! Sisa utang kamu masih jauh dari lunas. Dah. Buruan sana bikin kopi.”
Mei mengangguk dan menunduk, menghindari pelototan tantenya yang mengerikan. Lalu mengelusi dadanya saat si tante menutup pintu kamarnya dengan membantingnya hingga menimbulkan suara berdebum keras yang tak enak.
Mei terduduk di tepi kasur dan memegangi telinganya yang sakit akibat jeweran tadi. Tapi hati dan perasaannya yang terasa lebih sakit. “I miss you, Mam ..., I miss you so much,” desahnya sambil terisak pelan. Ia merindukan ibu yang melahirkannya, yang tak pernah mengasarinya seperti ini, baik dengan kata-kata apalagi tindakan.
Mei buru-buru menghapus air mata dan bergegas ke dapur. Melupakan ponsel yang tadi ia geletakkan begitu saja saat si tante menyerbu masuk kamarnya. Ponsel itu masih aktif menyala tanpa Mei sadari. Sehingga Juna tanpa sengaja bisa ikut mendengar apa yang baru saja terjadi.
***
Mei menuju ruang tamu dan menghidangkan dua cangkir kopi yang mengepulkan aroma segar dan khas. “Silakan diminum, Om.” Mei mempersilakan usai meletakkannya di meja.
“Wah. Siapa ini, Danu?” ujar si tamu seraya memandangi wanita cantik di depannya.
“Ini Meilani keponakanku. Mei, kenalin ini teman Om, namanya Hans,” kata Om Danu memperkenalkan tamunya.
“Hans ini pengusaha sukses loh, Mei,” celetuk tante Dilla.
Mei mengulurkan tangan kepada Hans dan pria berkumis itu menyambut uluran tangannya sambil tersenyum, menatap Mei lurus-lurus. Mei buru-buru menarik tangannya, jengah mendapati kilatan mata Hans yang memandanginya seperti sedang melihat sepotong kue yang lezat.
“Oh, jadi ini yang namanya Meilani? Dilla memang pernah cerita soal kamu. Katanya dia punya keponakan yang cantik dan juga pintar. Kupikir tantemu cuma membual, karena cantik dan pintar itu jarang sekali kutemui dalam satu paket. Sekarang aku percaya,” kata Hans sambil terkekeh hingga sekumpulan lemak di perutnya ikut bergoyang.
Mei risih dipuji sedemikian oleh pria yang sudah menjadi om-om. Apalagi sepanjang bicara, tatapan Hans yang berkilat nakal tak henti-hentinya memindai Mei dari ujung kepala hingga ujung kaki, dan berhenti cukup lama di sepasang tungkai Mei yang indah.
“Nah. Sekarang baru percaya kau, Hans? Aku tak omong kosong 'kan?” cecar Dilla dengan mata berkilat puas.
“Iya, Dilla. Percaya. Kan sudah kubilang tadi.”
“Eh. Bisakah kau pekerjakan Mei di kantormu, Hans? Dia sudah 5 tahun bekerja di perusahaan kecil, dan posisinya masih saja mentok sebagai staf purchasing,"desak Dilla lekas mengambil kesempatan. Mumpung dia bertemu langsung dengan Hans sekarang. Kalau titip omongan ini lewat Danu, suaminya, Dilla tak yakin bakal disampaikan.
"Oya? Wah, tahu begitu aku pasti akan menempatkan Mei di kantorku sejak dulu. Kenapa kamu baru bilang sekkarang?"
Dilla tersenyum seraya melirik dongkol pada suaminya karena tak pernah meminta langsung kepada Hans untuk mempekerjaan Mei di perusahaannya sejak dulu.
"Kenapa tak kau jadikan Mei sekretarismu saja, Hans? Kau sendiri yang bilang kalau Mei cantik dan juga pintar. Cocok banget kan buat posisi sekretaris presiden direktur?"
Mei menelan ludah gugup mendengar ucapan tantenya, 'Apa dipikir jadi sekretaris itu hanya perlu modal cantik dan pintar saja?' pikirnya sebal. Mei tentu tahu seperti apa beban kerja sekretaris seorang presiden direktur. Sedangkan Mei sama sekali tak berpengalaman sebagai sekretaris.
“Sayangnya aku sudah punya sekretaris,” sahut Hans seraya tersenyum sejenak pada Dilla. Lalu pria bertubuh tambun itu menjentikkkan jarinya, “Ah kebetulan ..., aku sedang butuh personal assistant. Nah, kau bisa mengisi posisi itu, Mei," lanjut Hans seraya menoleh dan menganguk kepada Mei yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Nah!” Dilla ikut-ikut menjentikkan jarinya dengan mata berbinar senang.
Mei justru lekas menggeleng. “Terima kasih, Om. Ta-tapi maaf, saya sudah telanjur nyaman dengan lingkungan kerja saya,” jawabnya terasa naif.
Dilla mengatupkan bibir rapat-rapat dan rahangnya tampak mengeras menahan kesal.
Hans tergelak. “Jangan terjebak dalam zona nyaman terus, Mei. Itu tak akan membuatmu cepat sukses dan banyak uang. Sesekali kau perlu move on, cari peluang gaji yang lebih tinggi, lalu ciptakan lagi suasana kerja yang nyaman di tempat barumu.” Pria itu malah menasihati Mei.
Mei tak menampik kebenaran dalam kata-kata Hans, dia hanya enggan bekerja bersama pria yang terkesan mesum itu.
“Ah, sebut saja berapa gaji yang kau minta,” desak Hans sambil tak henti-hentinya menatap Mei. Meski berpakaian rumahan sederhana dan tanpa riasan, tapi kecantikan alami Mei memenuhi seleranya.
Melihat Mei terdiam, Hans terkekeh. “Baiklah. Bagaimana kalau kau jadi istriku saja, Cantik?”
Mei tercekat. Sedangkan tantenya menyahut dengan cepat, “Wah. Kenapa tidak, Hans? Kau sudah lama menduda dan Mei lama sekali menjomblo. Pas!” Lalu Dilla tersenyum penuh arti kepada Mei.
Seketika Mei memucat.
Bab 6. “Mei, are You Okay?”
“Sudahlah. Terima saja lamaran Hans!” cecar Dilla setelah Hans pulang.
“Tapi, Tan. Dia itu duda dan lebih pantas jadi ayah Mei. Lagipula Mei bukan jomlo. Ada pria yang sudah melamar Mei.”
“Halah! Putusin aja. Pria itu nggak bakal sebanding dengan Hans yang jelas-jelas tajir melintir. Lagipula, apa gunanya menikahi pria itu kalau hanya akan menyeretnya jadi miskin?”
“Maksud Tante?”
“Ingat, Mei. Kau masih punya cicilan utang 1 milliar padaku. Kalau kau mau menikahinya, lunasi dulu semua sisa utangmu secara kontan! Baru kau boleh keluar dari rumah ini dengan calon suamimu itu!"
“Tan. Tolong jangan seperti itu. Cukup Mei yang menanggung utang ini, jangan bawa-bawa calon suami Mei.”
“Makanya! Justru Tante sedang memberimu solusi sekarang. Uang 1 miliar itu kecil saja bagi Hans. Jika kau menikah dengannya, dia pasti bakal memberimu lebih dari itu.”
“Nggak mau, Tan!”
Plak!
Dilla membalas penolakan Mei itu dengan sebuah tamparan keras.
Mei mengusapi pipinya yang terasa panas sambil menangis. Wajahnya yang putih cerah membuat jejak tamparan itu terlihat jelas. Meninggalkan semburat kemerahan.
“Berani-beraninya membentakku? Kau seperti anak durhaka saja. Kalau Tante tak menampungmu saat keluargamu bangkrut, kau pasti sudah jadi gembel sekarang. Coba ingat-ingat, Mei. Saat mamimu yang penyakitan itu bolak-balik dirawat di rumah sakit, siapa yang repot ngurusin kalau bukan Tante? Sedangkan kau? Bisanya cuma nangis, manja tak berguna! Dan siapa yang menolong papimu saat dikejar-kejar debt collector? Om Danu! Om Danulah yang selalu pasang badan untuk papimu itu. Dan juga, kau kuliah pakai uang Tante!”
Kuping Mei terasa panas saat segala masa lalu pahitnya kembali diungkit. Dia juga tak ingin berada di posisi itu. Dan kebangkrutan itu bukan pula salahnya. Mei tak tahu apa-apa. Tapi kenapa harus Mei yang menanggungnya?
“Jadilah orang yang tahu balas budi, Mei. Menikahlah dengan Hans, agar utang budimu bisa Tante anggap lunas,” ketus Dilla.
“Mei janji akan balas budi dengan cara lain, Tan. Selain menikahi Om Hans,” sahut Mei yang tetap nekat melawan. Tantenya boleh mengeruk uangnya, mengeruk tenaganya. Tapi tidak boleh masa depannya!
Tapi si tante malah berkacak pinggang. “Mei, pakai otakmu! Mikirrrr. Kalau kau menikah dengan Hans, bukan cuma utang budimu saja yang lunas, tapi juga cicilan utang 1 milliarmu itu. Iya kan? Memangnya ada pria yang sanggup menikahimu sekaligus membebaskanmu dari utang sebesar itu selain Hans? Nah, sudahlah. Jangan membantah lagi. Aku muak melihat wajah memelas dan air matamu yang tak berguna itu.”
Mei memegangi dadanya. Hatinya diperas sakit mendengar ucapan si tante yang terang-terangan bilang muak kepadanya.
“Dilla, cukup!” bentak Danu yang baru saja memasuki ruangan dan mengetahui pertengkaran itu.
“Jangan ikut campur, Mas!”
“Jangan ikut campur bagaimana? Tega sekali kau menjodohkan keponakanmu sendiri dengan bandot tua itu. Kau tahu sendiri Hans itu lelaki seperti apa. Lagipula ..., apa-apaan tentang utang yang kau tagih ke Mei sebanyak 1 milliar itu? Bersikaplah selayaknya seorang tante, bukan renternir!”
“Kenapa Mas selalu membela Mei?!”
Dilla ganti mengamuk kepada Danu. Keduanyapun mulai cekcok.
Mei berlari ke kamar dan menguncinya rapat-rapat. Menumpahkan tangis sebanyak-banyaknya.
Kriiing! Kriiing! Kriiing!
Ponselnya memanggil-manggil. Mei menatap layar yang berkedip-kedip. Tangisnya kian deras begitu membaca nama Kevin yang terpampang di layar ponselnya.
Ah. Entah kebetulan atau bagaimana, sejak dulu Kevin selalu saja hadir tiap kali Mei sedang dalam kondisi menyedihkan. Seakan Kevin tahu kapan dirinya harus ada untuk Mei, meski hanya lewat telepon.
Mei memandangi ponselnya dengan gamang. “It’s over, Kev. Kita sudah berakhir. Kau milik Raya sekarang,” gumamnya sambil menyentuh tombol merah di layar benda pipih itu.
Kemudian Kevin mengiriminya pesan setelah berkali-kali Mei menolak panggilannya.
‘Mei, are you oke?’
Mei tertawa kecut membacanya. Memangnya ada yang oke sejak papi dan mami meninggalkan dirinya sendirian di dunia ini? Apalagi yang sedang dialaminya belakangan ini. Belum selesai dengan luka patah hatinya usai ditinggal Kevin menikah, tante Dilla justru menjodohkan dirinya dengan om-om!
Sementara itu di tempat lain, Kevin memandangi ponselnya. Mei sudah membaca pesannya. Namun tiada respons. Pria itupun menyugar rambutnya dengan gelisah.
Entah kenapa, tiba-tiba saja Kevin memikirkan Mei. Mungkin karena sejak tadi Raya terus saja membahasnya. Tentang lamaran Juna kepada Mei yang menghebohkan.
‘Kau dengan Juna? Sejak kapan, Mei?’ pikir Kevin bertanya-tanya. Lalu dia menelepon Mei, ingin bertanya secara langsung. Tetapi Mei justru menolak panggilannya. Dan Kevin tercekat begitu sadar Mei telah memblokir nomornya.
Seketika perasaannya menggelegak oleh sesuatu bernama ketidakrelaan. Jantungnya berdenyut tidak enak, tidak nyaman. Kenapa Mei harus menghindarinya sampai seperti ini? Tak bisakah mereka tetap melanjutkan pertemanan yang telah terjalin manis seperti biasanya?
***
Suatu siang di lounge kantor, Mei terkejut melihat kemunculan Juna di sana tepat pada saat jam istirahat makan siang.
“Eh. Ngapain lu di sini, Jun?”
“Wah. Baru aja mau gue telepon. Panjang umur lu, Mei ...,” cengir lelaki itu sambil mengedipkan sebelah mata.
Mei baru menyadari ada danau kecil di sudut bibir Juna setiap kali lelaki itu tersenyum. Membuat senyumnya makin lama semakin menggemaskan, terkesan ramah dan menyenangkan.
“Lu sibuk banget ya, Mei? Sampai nggak pernah punya waktu buat ngedate sama gue.”
Tawa Mei pun pecah mendengar nada merajuk dalam ucapan Juna. Seakan mereka betulan sepasang kekasih saja.
“Chat gue jarang elu bales, telepon dari gue juga nggak elu angkat. Elu mau ghostingin gue, Mei? Enak aja lu, seminggu ngilang gitu aja.”
Lagi-lagi Mei tertawa mendengar ucapan Juna yang asal ceplos.
“Btw ngapain, Jun? Kebetulan pas ada urusan di sini, atau?”
“Ada urusan penting, makanya gue ke sini.”
Mei mengangguk-angguk. “Oh. Oke. Lu udah bikin janji? Mau ketemu siapa?”
“Nggak. Soalnya janjian sama nih orang susah bener. Mending langsung gue culik aja!” sahut Juna seraya menggandeng lengan Meilani dan membawanya keluar kantor.
“Eh. Maksudnya? Gue?”
“Yup. Gue ke sini buat ketemu elu. Habisan, kita kayak orang lagi LDR-an aja, Mei. Susah banget ketemu. Padahal jarak kantor kita cuma selemparan sandal,” oceh Juna sambil menggiring Mei memasuki lift.
“Dih. Sandalnya siapa yang bisa mencelat dari Mega Kuningan sampai Thamrin, Jun?” Mei terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Lalu tercekat saat tubuhnya terdesak ke sudut oleh orang-orang yang juga memasuki lift. Membuatnya harus berhimpitan sedekat ini dengan Juna yang serta merta merangkulnya, melindungi Mei dari desakan yang lebih brutal lagi dari orang-orang yang tak sabar ingin turun mencari makan siang.
Bab 7. Cubitan Bestie
Juna rupanya sudah melakukan reservasi untuk makan siang mereka di sebuah restoran di sekitar Thamrin, tak begitu jauh dari gedung perkantoran tempat Mei bekerja. Mei jadi mengerutkan kening memikirkan ongkos makan siang yang mahal ini. Menu-menu di restoran ini tentu saja tak terjangkau kantongnya. Mei pernah sekali ke sini dulu, pada saat Raya merayakan ulang tahun dan mentraktirnya, sebelum teman dekatnya itu berangkat kuliah ke Amerika.
“Jun, split bill? Atau elu yang traktir?” bisik Mei sebelum benar-benar mencapai tempat duduk mereka.
“Pertanyaan lu nyinggung harga diri gue amat sih, Mei. Gue yang bayarlah gila. Masa bayar sendiri-sendiri, yang bener aja!”
Mendengar pernyataan Juna membuat Mei akhirnya bisa bernapas lega.
“Pesan gih yang paling mahal. Awas kalau pesan yang murah-murah, ntar dompet gue terhina.”
Mei terkekeh. “Anjay ... sultan,” selorohnya sambil membolak-balik buku menu.
“Dih. Beneran? Cuma segini doang yang lu pesen, Mei? Tambah lagi, gih!” Juna malah mengomel begitu pesanan Mei sudah terhidang di meja.
“Lu kata perut gue gentong apa ..., bisa muat makanan sebanyak perut elu?”
“Biar lu sehat, Mei. Makan yang banyak gih, udahlah … lupain soal diet kalau lagi sama gue. Jangan jaim.”
“Dih. Siapa yang diet? Lagian, lu tadi kan nyuruh gue pesan yang paling mahal, bukannya pesan yang banyak.”
“Ettdahh. Pesan yang paling mahal dan juga banyak dong, Mei. Biar ngurangin beban dompet gue yang suka bawa duit kebanyakan ini.”
Mei tertawa dan mengangguk-angguk saja saat lelaki itu membaca buku menu sambil menyebutkan beberapa makanan untuk tambahan pesanan mereka.
Keduanya menikmati makan siang mewah itu dalam keheningan. Lidah Mei menggelinjang nikmat karena kelezatannya memang semantap itu. Sudah lama Mei tak memanjakan lidahnya dengan makanan mahal yang juga lezat karena dia harus menghemat setiap rupiah uangnya. Demi melunasi tagihan cicilan bank setiap bulan, pinjaman untuk membayar utang ke tantenya yang serakah.
“Enak ya, Mei? Sampai lu speechless gitu?”
Juna tersenyum menatap Mei. Dia tahu, Mei memang pendiam sejak dulu. Namun matanya selalu dipenuhi kegembiraan. Sekarang Mei lebih banyak bicara, tetapi Juna mulai menyadari perbedaan sorot matanya yang jarang berbinar ceria seperti dulu. Entah kenapa, Juna ingin sekali mengembalikan kegembiraan Mei seperti dulu. Mei yang dikenalnya semasa SMA. Mei yang lugu, yang manja. Dan yang tulus meladeni kebawelan Juna.
Saat pesanan berikutnya datang, Juna buru-buru mengambil alih steak pesanannya dari tangan si pramusaji, kemudian mengirisnya menjadi potongan-potongan kecil. "Selamat menikmati, my princess ...,” ucapnya seraya menyodorkan ke hadapan Mei.
Mei tercekat mendengar Juna mengatakan kalimat yang sering diucapkan mendiang maminya dulu untuknya.
“Eh. Malah bengong, dimakanlah woi. Mau gue suapin sekalian?” tegur Juna. Kemudian pria itu terkekeh melihat Mei jadi salah tingkah.
Iseng, Juna pun menusuk sepotong daging dan benar-benar menyuapi Mei. “Haa, buka mulut yang lebar, haaa gitu.”
“Dih. Apaan sih lu?” omel Mei sambil menggelengkan kepala.
Tapi Juna tetap memaksa sampai Mei terpaksa membuka mulut. Dan Juna langsung memasukkan potongan daging itu ke dalam mulut Mei yang baru terbuka sedikit, membuat bibir Mei belepotan saus. Juna pun segera mengusapi saus di sekitar bibir Mei dengan ibu jarinya.
Dan pemandangan itupun tertangkap Kevin yang baru melangkahkan kakinya ke dalam restoran bersama Raya. Pengantin baru itupun tertegun melihat keberadaan Mei dan Juna di sana.
Mei terbatuk-batuk kecil kala tatapannya tiba-tiba saja bertabrakan dengan sepasang mata elang Kevin, yang tengah berjalan ke arah mejanya sambil menggandeng Raya.
“Halo, Mei? Jun? Kalian juga lunch di sini?” Raya menyapa lebih dulu.
Mei berdiri, menyambut pelukan hangat si bestie. Sedangkan Juna dan Kevin berjabat tangan sambil berbasa-basi ramah, meski dalam hati mereka diam-diam saling menyimpan cemburu.
“Ciyee. Pengantin baru apa kabar?” bisik Mei memaksakan segaris senyum cerahnya, menyembunyikan desir cemburu dalam hatinya seraya cipika-cipiki dengan Raya.
Raya tertawa sambil mencubit kecil lengan Mei.
“Rasain, makanya jangan usil!” Raya terkekeh dan menjulurkan lidah saat Mei mengaduh kesakitan.
“What’s going on, Mei?” Juna yang tengah bercakap-cakap dengan Kevin lekas menoleh cepat mendengar Mei mengaduh tadi.
“Eh, nothing kok,” sahut Mei sambil tersenyum canggung. Cubitan si bestie memang sakit, tapi tak ada apa-apanya dibandingkan sakitnya melihat Raya yang bergelayut manja kepada Kevin, lelaki yang sangat berarti di hatinya. Kemesraan mereka jauh lebih mencubit perasaan Mei yang terasa diremas habis.
Rasa sakit di hati Mei terasa mencabik ketika melihat bagaimana Raya dan Kevin begitu lengket dan mesra. Setiap sentuhan, setiap senyuman, dan setiap tatapan mereka terasa seperti pisau yang menusuk ke dalam hati Mei. Ia berusaha menghadapi kenyataan ini dengan tegar, tetapi tak bisa mengabaikan betapa ia mencintai Kevin.
Mei berjuang menyembunyikan perasaannya. Ia berpura-pura bahagia bersama Juna yang di mata mereka adalah kekasih Mei. Dia berusaha untuk bersikap normal, meskipun hatinya hancur berkeping-keping di dalam. Terkadang, ia merasa seperti diambang kegilaan, terjebak dalam perasaan yang tak bisa ia ungkapkan kepada siapapun. Mencintai seseorang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksa atau diredakan begitu saja.
Sementara itu, Juna telanjur melihat Mei mengusapi lengannya yang tadi dicubit Raya. Kulitnya yang putih cerah membuat bekas cubitan Raya meninggalkan jejak kemerahan di lengannya.
Juna pernah pacaran dengan Raya, dia tahu wanita itu punya kebiasaan buruk kalau sedang gemas, apalagi kalau bukan mencubit orang seenak jidatnya. ‘Pasti dia kesakitan, gue aja kelojotan pas dicubit Raya,’ pikirnya merasa kasihan kepada Mei.
Ekspresi kekhawatiran tergambar jelas di wajah Juna. Dia tahu betul cubitan Raya tidaklah main-main, dan ia merasa kasihan melihat Mei harus merasakannya. Iapun mengulurkan tangan, ikut mengusap bekas cubitan Raya di lengan Mei.
Sentuhan Juna terasa begitu lembut dan menenangkan bagi Mei yang tengah diremas habis oleh perasaannya yang rumit. Tiba-tiba hati Mei berdesir melihat bagaimana Juna begitu perhatian padanya, membuatnya merasa diistimewakan.
“Is it hurt, Mei? Pasti sakit, kan?” Juna berbisik seraya mengamati wajah Mei lekat-lekat.
Wajah Mei merona merah, malu dipandangi Juna sedemikian rupa, seakan-akan Juna adalah kekasih yang begitu peduli pada Mei sebagai wanitanya. Mei tersenyum canggung kepada Juna yang masih memandanginya.
Tatapan Mei dan Juna terkunci untuk beberapa saat. Sorot mata Juna penuh dengan kehangatan dan kelembutan, namun juga terdapat sedikit keseriusan yang mengundang pertanyaan di dalam hati Mei.
Saat Mei membuang tatapannya dari Juna, matanya justru bertabrakan dengan sepasang manik gelap Kevin yang juga tengah memandanginya. Dan jenis tatapan pria itu, masih persis sama seperti tatapannya yang dulu. Tatapan yang pernah memantik ciuman panas mereka yang tak terlupakan di masa lalu.
Bab 8. Simpati Berbuah Benci
Pada mulanya dulu semasa SMA Mei justru sangat tidak menyukai Kevin. Cowok itu benar-benar dingin padanya. Padahal Mei sering berbaik-baik menyapa dan bersikap ramah.
“Kev, ini buku elu jatuh,” kata Mei saat melihat sebuah komik meluncur dari meja Kevin lalu tergeletak di kaki kursi cowok itu. Mei memungut dan mengulurkannya pada si pemilik. Dan Kevin menyambarnya dengan cepat tanpa berterima kasih. Bahkan menoleh padanya saja tidak.
“Lu punya utang yang belum dibayar ya ke dia?” seloroh Raya yang menjadi teman sebangkunya saat itu. Mei pun menggeleng lugu.
Raya terkekeh pelan. “Perasaan tuh cowok sengak mulu deh sama lu, ada masalah apa sih kalian?” celetuk Raya membuat Mei kebingungan.
Memangnya apa salah Mei?
Lalu Mei teringat pada momen pertemuan tak sengaja antara dirinya dengan Kevin di TPU Tanah Kusir. Saat itu Mei ikut maminya berziarah ke sana. Di tengah rapalan doanya untuk mendiang sang nenek, Mei mendengar isak tangis yang mengganggu kekhusyukannya berdoa. Diapun menoleh ke sumber suara. Tak jauh dari tempatnya, terlihat cowok sebaya dirinya tengah bersimpuh di depan pusara dengan bahu terkulai lemah, “Mama ...,” isaknya terdengar menyedihkan.
Tangis cowok itu meremas perasaan Mei, ratapan itu menggugah rasa simpatinya.
“Ayo, Sayang. Kita pulang,” ajak maminya sambil merangkul pundak Mei.
Mei menurut dan mengikuti maminya. Tapi ada sesuatu yang terasa memberati langkah gadis remaja itu. “Mami duluan aja, ntar Mei nyusul. Sebentar kok,” katanya sambil merogoh isi tas sembari berbalik badan, ingin menemui cowok tadi.
Cowok yang menutupi kepalanya dengan tudung hoodie itu masih tergugu di tempatnya. Mei membaca tulisan yang terpatri di batu nisan. Tanggal kematian sudah setahun berlalu, tapi tangisan cowok itu seperti orang yang baru saja ditinggal pergi.
“Aku turut berduka. Semoga mamamu baik-baik di sana. Kamu juga harus baik-baik di sini ya, supaya mamamu tenang,” ucap Mei seraya meletakkan sebungkus tisu untuknya.
Seketika bahu cowok tadi menegang, serta merta isak tangisnya terhenti. Lalu cowok itu mendongak cepat padanya dengan mata sembab karena kebanyakan menangis.
“Kevin?” Mei terkejut begitu mengenali cowok yang ternyata teman sekelasnya.
Dan sejak saat itu, sikap Kevin yang semula biasa-biasa saja mulai berubah dingin kepadanya. Namun Mei tak tega membalas ketidakramahan cowok itu dengan sikap yang sama, karena Mei pernah mendengar suara tangisnya yang menyedihkan. Mei justru merasa kasihan, tapi sepertinya Kevin jenis orang yang gengsi dikasihani.
Mei menerima saja sikap jutek Kevin padanya. Sampai suatu ketika di tengah masa datang bulannya, Mei tak mampu lagi mengontrol emosi karena pengaruh hormon.
“Kev, cuma elu yang belum ngumpulin tugas kelompok kita, padahal hari ini jadwal kita presentasi,” tegur Mei saat menjadi ketua kelompok. Dia harus menegur jika ada yang lalai melaksanakan tugas.
“Gue lupa,” sahut cowok itu seenaknya.
“What? Say it again,” ucap Mei menahan dongkol. Lalu mendengkus sebal saat Kevin tak jua merespons. “Paling nggak, minta maaf kek!” ketusnya kesal. Mei pun membuang napas jengkel karena dicueki. “Oke, lu lihat aja ntar,” ancamnya sambil berlalu pergi.
Saat guru mulai memanggil Mei untuk mewakili kelompoknya presentasi, Mei mengabsen seluruh anggota kelompoknya kecuali Kevin. “Loh. Bukannya Kevin masuk kelompok kalian?” tegur gurunya.
“Maaf, Bu. Saya lupa. Saya cuma mencatat nama-nama orang yang mengumpulkan tugas. Dan dia tak pernah bekerja sama mengumpulkan tugas. Jadi saya pikir ..., Kevin memang bukan kelompok kami.”
Jawaban Mei sontak menggegerkan seisi kelas. “Waaah, savage juga lu, Mei!” celetuk seseorang. Tak mengira seorang Mei yang pendiam bisa juga bersikap seperti itu.
Mei menyeringai puas kala tatapannya berbenturan dengan sepasang manik gelap Kevin yang menyorotkan kekesalan teramat sangat padanya. ‘Rasain lu!’ dalam hati Mei bersorak penuh kemenangan.
“Heran. Ada masalah apa sih sebenarnya lu berdua?” bisik Raya saat Mei menduduki kembali bangkunya usai presentasi.
“Well, lu tadi kan dengar sendiri. Dia nggak kerjain bagian tugasnya. So, bukan salah gue dong kalau mencoret nama dia dari kelompok. Nggak adil buat yang lain kalau dia cuma numpang nama buat dapat nilai, padahal yang lainnya sudah kerja keras.” Mei menyahut dengan santai. Pura-pura tak menangkap maksud pertanyaan Raya.
Raya geleng-geleng. “Ckckck. Poor Kevin,” gumam gadis berambut panjang itu sambil menoleh ke meja di sebelah mereka, mengasihani Kevin yang terus-terusan menekuk wajah gantengnya sejak Mei mempermalukan dirinya secara telak di depan kelas.
Kevin pun semakin dingin terhadap Mei, tapi Mei tak ambil pusing. Keduanya saling tak mengacuhkan sampai kenaikan kelas. Mei bernapas lega karena di kelas 12 tak lagi menjadi teman sekelas Kevin. Hatinya betul-betul plong. Perasaannya senang bukan main. Kevin tak ubahnya bisul yang selama ini tumbuh dan membesar di pikirannya, mengganggu kenyamanan. Dan pada kenaikan kelas itu akhirnya si bisul pecah dan menyingkir juga darinya.
“Mei, lu kok kayaknya seneng banget pisah kelas sama gue?” Raya cemberut kehilangan teman sebangku seperti Mei, yang loyal berbagi contekan.
“Gue seneng bukan karena pisah kelas sama lu kok, tapi sama ... ah, you knowlah!”
Raya terkekeh pelan. “Awas loh, Mei. Antara benci dan cinta itu kadang suka beda tipis.”
Bahu Mei berkedik. “Amit-amit, deh!”
“Kenapa sih, Mei? Kok bisa-bisanya lu sebel sama good boy secakep Kevin?” tegur Sarah.
“Yup, dilihat dari segi manapun Kevin nggak kelihatan ada jelek-jeleknya. Sayangnya dia anak rumahan. Coba kalau anak basket atau anak futsal, udah gue samber!” Tania ikut menyahut.
Raya menyikut Mei yang cuek-cuek saja. “Daripada dimusuhin, pacarin aja kenapa sih, Mei? Mau gue bantuin? Jiwa mak comblang gue terpanggil nih,” ocehnya.
Mei mencebik. “Dih! Lu semua pada kenapa sih? Nyebelin, tahu nggak?” sahutnya sewot.
“Justru elu yang nyebelin, Mei. Sikap lu ke Kevin itu bikin kita semua penasaran tahu nggak? Nggak ada asap kalau nggak ada api. Lu berdua nggak mungkin mendadak perang dingin kalau nggak ada sebabnya. Ye, kan? Ngaku? Kenapa? Apa jangan-jangan … lu berdua pernah pacaran diam-diam di belakang kita, terus putusnya nggak baik-baik ya?” desak Sarah terasa menginterogasi.
"Pernah pacaran apanya!" semprot Mei sambil geleng-geleng kepala.
“Terus, apa dong masalah yang jadi gara-gara perang dingin kalian?” desak Tania.
Ah. Mei memang jengkel dengan sikap Kevin, tapi Mei masih punya hati. Mei pikir Kevin kesal padanya karena kepergok sedang menangis dan Mei malah memberinya tisu segala. ‘Mungkin gengsinya sedang merasa terhina,’ pikir Mei mencoba maklum. Maka Mei tak pernah membocorkan pertemuan mereka di TPU Tanah Kusir itu pada siapapun, yang menjadi asal muasal kebencian Kevin padanya dan memicu perang dingin mereka. Demi gengsi dan harga diri Kevin, Mei berbaik hati tutup mulut.
“Awas loh, Mei. Naksir Kevin tahu rasa lu!”
Mei tak habis pikir, tega sekali teman-temannya itu malah menyumpahinya. Dan secepat itu pula sumpah mereka jadi kenyataan.
Bab 9. Awas Naksir!
“Awas, Mei. Naksir Kevin tahu rasa lu!”
Mei naksir Kevin? Hoho. Tak mungkin. Mei tak sudi naksir cowok sedingin kulkas itu. Pokoknya, no way! Hingga pada akhirnya, takdir mempertemukan keduanya dengan situasi dan kondisi yang tak pernah Mei bayangkan sebelumnya.
Sore itu, Mei bolak-balik melirik Baby-G di pergelangan tangan, tapi jarum jam di sana tak bergerak jauh dari angka terakhir yang dilihatnya tadi. “Pak Pur lama amat sih,” keluhnya mulai lelah. Sudah hampir sejam dia menunggu, tapi mobil pribadi yang biasa mengantar-jemputnya tak kunjung tiba.
Mei mendongak ke langit senja. Lalu duduk di teras ruko tempat lesnya. Semua teman-temannya sudah pulang. Dia gelisah sendirian. Kemudian menelepon maminya, “Mam? Kok Pak Pur tumben telat menjemput Mei?”
“Duh. Memangnya papi belum bilangin Mei ya?”
“Bilangin apa, Mam?”
“Pak Pur sudah nggak bekerja lagi sama kita mulai hari ini, Sayang. Makanya, tadi papi yang anterin Mei sekolah dan ke tempat les.”
“Loh. Kenapa, Mam?”
Terdengar napas berat maminya. “Mobil Mei harus dijual, Sayang. Maaf.”
“Jual mobil? Again? Kan yang 2 kemarin udah dijual, masa tinggal 1 dijual juga sih, Mam? Terus Mei gimana dong sekolah dan lesnya?”
“Mei belajar naik angkutan umum mulai sekarang. Tapi hati-hati ya, awas copet. Tasnya ditaruh depan, jangan di belakang. Nah, buruan pulang sekarang. Sudah sore ini, ntar keburu malam.”
Mei terbelalak saat maminya menutup telepon. Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba Mami tega melepaskannya di jalanan ibukota?
Mei lalu mengadu kepada papinya, tapi jawabannya di luar harapan.
“Mami betul, Mei. Mulai sekarang belajar naik angkutan umum ya, tapi jangan taksi karena kamu harus hemat ongkos. Cobalah. Nanti lama-lama terbiasa.”
Mei menutup telepon dan berjalan kaki dengan gontai. Lalu termenung di kursi halte. Apa yang terjadi? Kenapa semua mobil mereka harus dijual? Guci-guci antik dan pernak-pernik mahal yang mengisi rumahnya juga sudah banyak yang berpindah tangan. Padahal Mei tahu, bagaimana dulu mami mendatangkan barang-barang itu dari luar negeri untuk dikoleksi.
Apa orangtuanya bangkrut? Tiba-tiba Mei merasa takut. Mei terbiasa hidup mudah dan serba enak sejak lahir. Terbiasa naik-turun mobil pribadi atau taksi ke mana-mana. Dan hari ini, tiba-tiba saja dia harus naik kopaja? Mei tak pernah membayangkan hal semacam ini bakal terjadi padanya.
Mei menelan ludah. Membiarkan setiap kopaja melewatinya. Menggeleng setiap kali ada yang menawarinya naik. Mei bingung. Takut. Ngeri. Mau naik bagaimana kalau sudah penuh semua? Penumpang sudah penuh sesak, tapi dengan tega si kondektur mendesaknya lagi dengan penumpang-penumpang baru.
Sudah sejam Mei berdiri di sana. Mematung bingung. Tak tahu harus bagaimana.
“Nungguin siapa sih dari tadi, Mbak?” Seorang pemuda yang lengannya dipenuhi tato menyapanya.
Mei mundur takut-takut seraya mendekap tasnya kala preman itu mendekat.
“Permisi,” kata Mei seraya bergegas menyingkir dari sana.
“Mau dianterin aja, Mbak?” Seorang pemuda lain menyejajari langkahnya. Sedangkan suasana sekitar sedang sepi.
Mei memucat. Bukankah seharusnya jalanan Jakarta tak sesepi ini? Kemana orang-orang dan kendaraan yang seharusnya ramai?
Sial!
Mei mempercepat langkah hingga setengah berlari, tapi kedua preman tadi tetap membuntutinya. Pada saat menegangkan itulah Mei melihat mobil yang berjalan sedikit melambat di seberang jalan. Dan tiba-tiba Mei mengenali sosok Kevin dibalik kaca jendela mobil yang terbuka setengah. Dilihatnya Kevin sedang membuang sesuatu di jalan.
Tanpa pikir panjang, Mei memanggilnya kencang-kencang, “Keviiin!” serunya sambil berlari menyeberangi jalan tanpa menoleh lagi. Untunglah tak ada kendaraan yang tengah melintas.
“Keviiin!” panggil Mei sambil berlari-lari mengejar si mobil yang mulai menambah kecepatannya. Namun Mei tetap mengejar sambil memanggil-manggil meski mobil itu kian menjauh dan akhirnya hilang di sebuah belokan jalan. Tapi Mei tetap berlari mengejarnya, takut kedua preman itu masih mengikutinya.
Akhirnya dia menyerah dan menghentikan pengejarannya dengan napas tersengal-sengal. Mei mengelap keringat yang membanjiri keningnya dengan perasaan lelah, sedih, takut. Haruskah Mei berjalan pulang ke rumahnya? Dia takut naik angkutan umum yang penuh sesak itu. Bahkan kopaja itu tak benar-benar berhenti saat penumpangnya sedang naik atau turun. Bagaimana kalau Mei terseret dan celaka?
Mei pun menelepon papinya, minta dijemput. Tetapi ponselnya mati karena lowbat.
“Aaaagh!” pekik Mei teramat kesal dan berjongkok di trotoar yang sedang sepi. Lalu menangis kebingungan.
Di tengah tangisnya, seseorang tiba-tiba saja menyentuh pundaknya. Mei menjerit dan meringkuk takut, mengira preman itu benar-benar menangkapnya.
“Mei? Mei! Lu kenapa? Ini gue.”
Mei berjingkat kaget dan mendongak ke atas.
“Kevin ...,” rengek Mei sambil menutupi wajahnya yang dibanjiri air mata, lega sekaligus malu.
Kevin membungkuk dan membantunya berdiri. “Sorry, gue tadi nggak tahu kalau elu ngejar-ngejar mobil gue. Pak Bono juga baru sadar pas udah telanjur belok di sana. Terus kami buru-buru mencari putaran biar bisa balik ke sini buat nyariin elu,” ucap Kevin dengan nada bersahabat. “Lu nggak kenapa-napa ‘kan, Mei?” tanyanya terdengar cemas.
Kevin? Mencemaskannya?
Mei menunduk saat tatapan mereka bertemu. Tak sanggup menampakkan wajah jeleknya di depan orang yang selama ini dimusuhinya, tetapi justru menjadi dewa penolongnya saat ini.
“Ayo. Gue anter sampai rumah,” ajak Kevin sambil menggandeng Mei menuju mobilnya yang menunggu.
Kevin mengambil sebotol air minum dalam kemasan yang masih tersegel di sisi pintu mobil. Membuka tutupnya, lalu mengulurkan untuk Mei. “Minum dulu, terus ceritain apa yang terjadi?”
Mei menerima dan buru-buru meneguknya. Lalu menutup kembali botol yang sisa airnya tinggal setengah. “Gue dikejar-kejar preman yang mau nodong gue. Terus …, kebetulan gue ngeliat elu tadi, pas banget elu lagi buka jendela. Makanya gue panggil-panggil. Tapi mobil lu malah ngebut, bukannya berhenti. Gue … takut.” Lalu Mei terisak, meski dia sudah berusaha menahan, tapi air matanya tetap meluncur jatuh.
“Waduh, ma-maaf ..., Non. Pak Bono minta maaf ya?” sahut sopir Kevin sambil menatap Mei lewat kaca spion, ”Bapak tadi nggak tahu, kalau tahu nggak mungkin bapak ngebut ninggalin Non yang lagi dikejar-kejar preman.”
“Gue juga minta maaf, Mei.” Kevin berkata seraya mengulurkan sekotak tisu.
“Kalian kan nggak salah, nggak perlu minta maaf,” sahut Mei seraya mengusap air matanya dengan tisu yang diulurkan Kevin.
“Ya udah. Yang penting lu nggak apa-apa dan udah aman sekarang,” ucap Kevin menenangkan. “Tapi, ngapain juga elu di sana sendirian, Mei? Nyari taksi? Karena sopir lu telat jemput?” tanyanya kemudian.
Mei bungkam. Lalu menggeleng dengan canggung. Belum ada yang tahu kalau tak ada lagi jemputan mobil pribadi untuknya, dan tak cukup ongkos baginya untuk naik taksi lagi.
Mei bingung mau bilang apa, sehingga dia mengalihkan topik pembicaraan. “Eh, gue tadi lihat elu buang sampah di jalan. Ckckck. Nggak peduli banget sih lu sama kebersihan lingkungan?"
Kevin mengerutkan kening mendengar topik pembicaraan Mei yang berbelok jauh. “Ck! Sok tahu,” sahutnya sambil bersedekap dan bersandar di jok.
“Dih. Gue tadi lihat kok, elu lagi buang sesuatu di jalan. Iya kan? Hayo, ngaku!”
“Kecoa! Gue tadi buang kecoa yang nyasar ke mobil gue. Bukan buang sampah. Tanya aja Pak Bono kalau nggak percaya.”
Pak Bono mengangguk-angguk. “Bener, Non. Tadi ada kecoa nyasar masuk mobil. Untung Mas Kevin nggak geli sama kecoa, berani menangkap sendiri dan langsung dibuang.”
Mei seketika mendelik. “Ke-kecoa? Dih, tangan lu habis kontak sama kecoa? Te-terus ..., elu bukain tutup minum buat gue tadi pakai tangan elu yang habis pegang kecoa?!”
Kevin tadinya ingin membantah. Tentu saja dia lekas membersihkan tangannya dengan hand sanitizer. Tapi dia justru mengangguk. Dan tawanya seketika pecah melihat wajah Mei merah padam. Lalu cowok itu justru terpingkal-pingkal saat Mei meninju-ninju lengannya dengan kesal.
Saat tatapan mereka bertabrakan, Mei baru menyadari jika Kevin teryata tak sedingin kelihatannya. Bahkan senyumnya begitu hangat dan juga indah.
Bab 10. “Do You Have a Boyfriend?”
“Wah! Parah lu, Ray. Bikin kulit mulus cewek gue jadi merah kayak gini. Cubitan lu tuh sakit, tahu nggak?” tegur Juna sambil merengkuh pinggang Mei dan menarik wanita itu lebih rapat dengannya.
Mei tercekat kaget, seketika lamunan tentang masa lalunya bersama Kevin buyar.
“Kulitmu nggak sampai lecet kan, sweetheart?” Juna mengecek sekali lagi bekas cubitan Raya di lengan Mei.
‘Lebay!’ pikir Mei. Dia belum terbiasa menerima kemesraan seperti itu. Terlebih Juna melakukanya di depan orang lain dan orang itu adalah Kevin, mantan gebetannnya. Dan juga di depan Raya, mantan pacar Juna.
Sedangkan Raya pun terperangah tak percaya. Seorang Juna yang pernah begitu bucin padanya, mendadak bisa sengak mengomelinya demi wanita lain? Meski wanita lain itu sekarang adalah pacar barunya, tapi tetap saja Raya merasa tersingkirkan setelah beberapa tahun dirinya sempat menjadi satu-satunya ratu yang bertahta di hati pria itu.
“Eh. Elu ngomelin gue, Jun?” ketus Raya.
“Ya iyalah, emang siapa lagi? Kan yang nyubit calon bini gue tadi elu.”
Raya memutar bola mata. “Yaelah ..., elu dulu gue cubit-cubitin mulu tapi nggak pernah protes.”
“Itu kan dulu. Pas kita masih sayang-sayangan. Sekarang kan elu-gue udah end.”
Tawa Mei dan Kevin pecah secara bersamaan mendengar kedua orang itu bertengkar seperti bocah. Lalu mata keduanya bertabrakan. Mei seketika terdiam kala gelenyar hangat yang terasa khas itu masih saja merambati perasaannya, bedanya kali ini disertai pedih.
Keempat orang itu kemudian bergabung dalam satu meja dan makan siang bersama dalam suasana yang lebih hangat. Raya memanfaatkan kesempatan itu untuk mencecar Mei dan Juna soal kapan dimulainya hubungan mereka yang menggemparkan banyak orang.
Mei lebih banyak diam dan menyerahkan sepenuhnya jawaban itu pada Juna, yang tampaknya sudah mempersiapkan skenario tentang hubungan palsu mereka.
“Wait. Jadi pas reuni SMA kemarin itu, sebenarnya lu udah jadian sama Mei? Dan lu nggak ada niat-niatnya cerita ke gue, Mei? Raja tega lu, pakai rahasia-rahasiaan sama gue!” omel Raya sambil menendang kaki Mei.
Mei tertawa lirih. “Elu sendiri, Ray? Nggak cerita-cerita kapan lu jadian sama Kevin? Tahu-tahu nyebar undangan kawinan aja. Kaget gue,” sindirnya.
Seketika Raya terbatuk-batuk kecil. Kevin lekas mengulurkan segelas air minum untuk istrinya, sambil melirik Mei.
Mei tercekat kala sepasang mata elang Kevin menyorot tajam kepadanya. “Well. Jadi, kalian udah jadian ya saat reuni itu,” ujar lelaki itu tanpa mengalihkan tatapannya dari Mei.
Mei menelan ludah. Ucapan Kevin terasa menusuk telinganya. Seketika pikiran Mei terlempar ke masa lalu dan mendarat pada sebuah momen setahun lalu.
“Mei, ngapain masih di sini?” tegur Kevin siang itu, melihat Mei sedang sendirian menyusuri lantai teras sebuah villa di puncak Bogor, tempat diadakannya acara reuni itu.
“Teman-teman lu udah pada nungguin di parkiran, nyariin elu.”
“Tolong bilangin mereka, pulang aja duluan. Gue masih nyariin anting gue.”
“Terus ntar lu pulang sama siapa? Mobil lainnya udah pada jalan turun.”
“Anting gue hilang sebelah, Kev. Anting dari mami gue,” rengek Mei tanpa menjawab pertanyaan Kevin tadi. Wajahnya tampak pias. Sebab anting-anting itu kado terakhir dari maminya saat Mei berulang tahun ke-18.
Kevin tahu betapa berartinya benda itu bagi Mei. Diapun membantu mencari. Menyusuri lantai villa yang begitu luas. Dan anting-anting itu begitu kecil. Mereka bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami.
“Mei?” Raya datang mencarinya. “Lu ngapain masih di sini? Yuk, buruan turun, biar kita nggak kena buka-tutup jalan,” ajaknya terdengar tak sabar.
“Lu duluan aja, Ray. Kalau lu nggak turun sekarang, bakal kena buka-tutup jalan. Biar Mei bareng gue aja. Antingnya hilang, anting dari maminya,” sahut Kevin sambil mengedip-ngedip pada Raya, memberi kode agar membiarkan Mei melanjutkan pencariannya.
Raya mengangguk-angguk. “O-oke, lu ... yang ... tanggung jawab bawa pulang dia ya?” katanya yang lekas diangguki Kevin.
Mei begitu gigih memindai setiap marmer lantai ruangan, meskipun Kevin sudah bilang jika mereka sudah menyusuri tempat itu berkali-kali. “Mei, please ...? Setidaknya elu udah berusaha nyariin. Kalau nggak ketemu, mau gimana lagi? Ikhlasin aja.”
“Nggak bisa, Kev!” Mei menangis.
Kevin mendekat dan memeluknya. “I know it’s hard for you. Ini bukan cuma tentang anting itu kan, Mei? Tapi tentang elu yang belum bisa ikhlasin kepergian mami elu. Gue juga tahu gimana rasanya kehilangan sosok ibu. I feel you, Mei,” bisik Kevin sambil menepuk-nepuk lembut punggung Mei yang terguncang tangis.
“Anting itu bikin gue merasa nggak sendirian, Kev. Gue merasa ada mami yang menemani, makanya gue pakai terus. Tapi sekarang hilang, gue jadi merasa sendirian.”
Kevin mengurai pelukannya dan tersenyum dengan sorot matanya yang hangat dan menenangkan. “You’re not alone. Lu punya gue, Mei. Gue akan selalu jadi teman yang baik buat lu.”
Detik itu juga Mei terdiam. Teman? Cuma teman? Akankah selamanya begitu? Mei pun memutar tubuhnya dengan perasaan marah. Tapi dia tak ingin Kevin melihat kemarahannya.
“Mei ..., what’s wrong?” cegah Kevin yang sepertinya telanjur melihat perubahan ekspresi Mei.
Kevin menarik lengan Mei dengan begitu kuat hingga tubuh gadis itu membentur dadanya yang bidang.
Mei bisa mendengar degup jantung Kevin yang berirama sama cepat dengan degup jantungnya. Mei juga bisa merasakan napas hangat Kevin yang menyapu puncak kepalanya.
Kevin mengurung Mei dengan kedua lengannya. “M-mei ...,” desah pria itu dengan suara gemetar. Segemetar tubuh Mei.
Mei mendongak dan keduanya saling tatap untuk sejenak.
“Do you have a boyfriend?” bisik Kevin seraya membelai wajah cantik Mei. Lalu tersenyum saat Mei menggeleng pelan. Pria itupun merundukkan wajahnya, mendaratkan ciuman yang telah begitu lama disimpannya untuk gadis itu.
Mei berjinjit, mengimbangi gerakan Kevin yang begitu cepat menguasai dirinya. Dan melenguh pelan kala pria itu mendesaknya ke sudut ruang yang tertutup dari ruangan lainnya agar tersembunyi dari luar. Mei mendesah kala bibir hangat Kevin mulai menuruni leher dan kembali lagi ke dagu dan membelah lagi bibirnya, mendesakkan lidah hangatnya sekali lagi
Kevin menarik wajahnya sejenak, memandangi Mei seraya berkata lirih, “You such a beautiful creature, Mei.”
Mei bisa melihat ungkapan kagum lewat tatapan Kevin yang mendalam. Membiusnya dengan kebahagiaan yang meluap-luap.
Keduanya saling melempar senyum dan berciuman lagi. Kevin mendesak Mei ke dinding, menciuminya dengan agresif, seakan tiada lagi hari esok.
“Gimana perasaanmu sekarang? Better?” bisik Kevin dengan tatapan takjub.
Mei mengangguk, dan dengan bodohnya berkata, “Thank you.”
Kevin tertawa. “What for? The kiss?” bisiknya, kemudian mengecup kening Mei.
Mei mengetatkan pelukan mereka, mengabaikan gengsi yang dijaganya rapat-rapat selama ini. Persetan dengan rumor yang beredar tentang Kevin yang katanya sedang menjalin kedekatan khusus dengan Raya. Mei tahu bukan seperti itu yang terjadi sebenarnya. Kevin dan Raya hanya berteman baik, karena orangtua mereka juga berteman baik. Mereka jadi akrab karena berkuliah di kampus yang sama di Amerika. Apalagi semua juga tahu kalau Raya hanyalah milik Juna. Meski hubungan mereka sering putus-nyambung, tapi Mei tahu bagaimana seriusnya perasaan Juna kepada Raya sejak SMA.
Dan merasakan sikap Kevin yang kerap memperlakukan dirinya secara spesial dan bahkan intim, membuat Mei yakin jika perasaannya pada pria ini tak bertepuk sebelah tangan. Dia hanya perlu bersabar, menunggu kesiapan Kevin mengungkap cinta. Mungkin Kevin butuh waktu untuk mengubah zona pertemanan mereka menjadi percintaan.
Tapi. Ternyata. Kesabaran dan penantian Mei selama ini justru berbuah undangan pernikahan Kevin dengan Raya.
BERSAMBUNG
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
