
Halo teman-teman yang baik,
Pasutri Jadi-jadian adalah sebuah cerita komedi romantis, yang bertema teman tapi menikah dengan segala kekonyolannya, suka-duka, serta romansa yang menggemaskan. Cerita ini sudah tamat di aplikasi Good Novel. Tersedia juga di aplikasi Bakisah. Kalian juga bisa membacanya di sana. Jangan lupa tinggalkan komentar dan bintang 5 ya.
Di sini, tinggalkan juga like dan komen jika kalian menyukai ceritanya :)
Selamat membaca!
Sinopsis
Jaka dan Nuning bersahabat sejak...
Bab 1. Biang Kerok
“Maaaak?! Nasinya mana???” protes Pak Priyo menggelegar ke seluruh isi rumah. Menggetarkan jendela. Mengguncang lantai. Dan menggoyang kasur Bu Parmi yang tengah asyik leyeh-leyeh di kamarnya. Perempuan berusia lima puluhan itu pun terbirit-birit ke dapur. Meringis saat suaminya memelintir kumis.
“Walah? Perasaan tadi masih penuh loh, Pak.” Bu Parmi kebingungan melihat isi magic com yang tinggal kerak.
“Ya udah sih, Mak. Tinggal masak lagi apa susahnya?” Tiba-tiba Nuning nongol sambil bersendawa, mengelus perutnya yang kekenyangan usai menyikat habis isi meja makan hingga licin mengkilat sampai-sampai bisa bikin kepleset lalat yang hinggap.
“Oooh, pasti ini dia biang keroknya!” Bu Parmi menuding-nuding anak gadisnya dengan centong nasi.
Nuning ambil langkah seribu sebelum centong itu sempat mendarat di kepalanya. Terbirit-birit meninggalkan si emak yang mengomel di belakangnya. Makhluk berdasater itu mengamuk, mengacung-acungan centong sambil mengejarnya. Gawat! Centong bukan sembarang centong. Itu centong sakti yang sudah puluhan kali bikin kepalanya benjol.
Nuning melompati pagar tetangga dengan lincah. Rambut panjangnya yang dibiarkan terurai pun menghamburkan jutaan ketombe di udara. Menerobos jemuran tetangga dengan rusuhnya. Bikin Tante Beti, janda semok sebelah rumah, menjerit-jerit heboh, mengira ada maling mau nyolong pakaian dalamnya.
Gadis itupun cekikikan setelah merasa aman dari jangkauan Bu Parmi yang ngos-ngosan jauh di belakangnya. Tentu saja si emak kerepotan harus berlari dengan bobot tubuhnya yang gembrot.
“Heh. Ngapain ketawa-tawa sendirian? Obat lagi habis?” tegur Jaka sambil memiringkan telunjuknya di kening, saat berpapasan dengan Nuning di pengkolan pos ronda.
Nuning meringis jijik karena Jaka menegur sambil menjitak keningnya dengan permen kojek yang baru keluar dari mulutnya. Lalu mengumpat sambil menginjak kaki Jaka, bikin cowok jangkung itu meringis sakit.
“Ngapain ngumpet-ngumpet? Kayak habis maling aja?” Jaka bertanya sambil mengusap-usap kakinya.
Nuning nyengir. “Emang!” Lalu melenggang santai menuju lapangan. Ada lomba layangan sore ini yang tak boleh dilewatkan. Meski sudah berseragam putih abu-abu, tapi layangan tetap jadi hiburan favoritnya. Apalagi layangan Jaka sering membuatnya menang taruhan lawan anak-anak kampung.
“Eh, beneran? Emangnya mangga Mbah Surip udah pada mateng?” tanya Jaka dengan mata berbinar. Mangga Mbah Surip memang sudah jadi langganan curian mereka sejak zaman SD. Sebab mangganya enak, buahnya lebat. Sekali srampang langsung berjatuhan. Posisinya yang di pinggir jalan pun bikin mereka kebiasaan nyolong sambil lewat. Salah sendiri yang punya pelit, diminta baik-baik nggak boleh. Sementara buahnya yang lebat dan ranum seringkali melambai-lambai, sengaja ‘nantangin’ buat dipetik.
“Bukan nyolong mangga, tapi nyolong ayam penyet jatahnya bapakku. Salah sendiri sama Emak pake diumpetin segala. Nggak adil namanya, masa anaknya disuruh makan tempe bapaknya makan ayam? Kan kebalik. Siapa yang sedang dalam masa pertumbuhan coba?” sahut Nuning sambil cekikikan.
“Wah, gendeng kamu Ning. Nggak kapok apa uang jajanmu ntar disunat lagi?” Jaka menakuti.
“Lah, kan ada kamu?” Nuning mengalungkan lengannya ke pundak Jaka.
Jaka mengedikkan pundaknya, menyingkirkan tangan Nuning darinya. “Memangnya aku ATM-mu? Ngomong kok kayak kentut, lega di kamu tapi bikin eneg yang denger,” cebiknya jengkel. “Seratus ribuku yang kemarin aja belum balik, ini udah mau nadah lagi? Kayaknya kamu memang cocoknya jadi tukang palak, deh!”
“Kayaknya sih gitu, Jak. Kalau malakin kamu aja bisa kaya, ngapain juga repot-repot mikirin kerjaan lain?”
“Sompret minta dikepret!” Jaka menggerutu keki.
Nuning terkikik senang, dan dengan santainya menaiki punggung Jaka yang otomatis memeganginya. “Buruan lari, lomba layangannya keburu mulai!” serunya sambil menepuk-nepuk pundak Jaka seakan-akan Jaka itu kuda tunggangannya.
Jaka menurut tanpa banyak bacot. Dia berlari dengan membawa Nuning yang tertawa merdeka di punggungnya.
“Cah gendeng!” komentar orang kampung yang berpapasan dengan mereka.
“Kalau nggak kayak gitu, bukan Nuning dan Jaka namanya,” sahut orang yang lain lagi. Kebobrokan duo remaja kampung itu memang sudah tak aneh lagi bagi sebagian besar warga kampung di sana.
Nuning, hobinya menakut-nakuti anak-anak pulang mengaji, pura-pura menyamar jadi Kunti, bergelantungan di pohon pakai mukena. Sedangkan Jaka kebagian menyamar jadi pocongnya.
Meskipun sudah jadi rahasia umum kalau mereka berdua cuma cosplay, tetap saja sukses bikin takut. Bikin duo setan jadi-jadian itu senang, sementara si setan betulan cuma bisa geleng-geleng di pojokan. Pasrah pekerjaannya lagi disabotase.
Mereka berdua pula yang suka bikin kalong-kalong di kebun minder karena kalah skill nyolong. Bikin Mbah Surip cuma bisa pasrah memandangi mangganya yang tak pernah awet di pohon.
***
Pak Priyo selama ini terkenal dengan keangkerannya. Kumisnya yang lebat dan perawakannya yang tinggi besar serta suaranya yang menggelegar, suka bikin semaput anak-anak kecil yang berpapasan dengannya. Mungkin karena kebiasaan orang tua mereka yang suka menakuti anak-anaknya pakai nama Pak Priyo. “Awas loh kalau nakal, ntar ditangkap Pak Pri!” Begitu kata emak-emak mereka. Padahal Pak Priyo bukan Polisi, bukan TNI, bukan pula satpol PP yang suka beringas saat penertiban bangunan liar. Beliau cuma kepala satpam pasar yang suka bawa pentungan.
Tapi keangkeran Pak Priyo malah tak mempan buat menakuti anaknya sendiri. Anak gadisnya yang bontot alias Nuning justru sering buat ulah yang bikin Pak Priyo sepaneng. Bikin Bu Parmi mengelus dada dan berpikir keras dulu pernah ngidam apa. Mungkin ada yang belum ‘keturutan’ tapi si anak sudah keburu lahir, makanya sudah besar jadi ugal-ugalan.
“Mak, aku malu. Nuning tuh, Mak!” keluh Bambang, si anak sulung yang satu sekolah dengan Nuning.
Bu Parmi menarik napas, menguatkan jantung, siap-siap menerima cobaan lagi. Minggu lalu dia dipanggil kepala sekolah karena Nuning tawuran dan mengunci kakak kelas yang katanya reseh di WC sekolah. Dan baru kemarin, Bu Parmi dipanggil lagi karena Nuning menggembesi ban motor guru gara-gara memberi ujian dadakan. Sekarang, apa lagi??
“Mendingan nggak punya adik sekalian daripada bikin malu aja!” Bambang membanting tas sekolahnya ke kursi. Lalu menghempaskan badan lelahnya di sebelah si emak yang mukanya ikut kusut.
“Bilangin Nuning dong, Mak. Kalau nggak niat sekolah, mending suruh kawin aja terus pergi sana ikut suaminya. Serah mau ke mana. Ke hutan kek, kebun binatang kek, ke dunia lain kek,” oceh Bambang dengan sekali tarikan napas. Bikin muka Bu Parmi tambah berlipat-lipat bingung.
Bambang emosi! Percuma rasanya jadi bintang kelas, bintang sekolah, bintang lapangan, bintang kecil di langit ..., tapi punya adik yang hobinya bikin malu. Nuning selalu jadi bahan gunjingan di sekolah karena ulahnya yang sering bikin gempar. Kerap dapat hukuman karena suka datang terlambat, tapi tak pernah kapok dapat hukuman keliling lapangan sambil berjongkok. Juga suka mengompori teman-temannya mengosongkan kelas saat pelajaran. Lalu jadi komando teman-temannya bolos melompati pagar. Kalau ada lomba panjat pagar sekolah, Nuning pasti sudah jadi juaranya. Rok panjang sepertinya tak jadi halangan bagi adiknya untuk urusan panjat memanjat dan lompat melompat. Monyet aja kalah lincah!
Pokoknya punya adik macam Nuning jadi beban mental bagi Bambang yang seorang ketua OSIS. Bagaimana mau digubris warga sekolah kalau mengurus satu adik perempuan aja nggak becus? Wibawanya bagai dikuliti tingkah adiknya sendiri yang rajin melanggar ketertiban.
“Sabar tho, Le. Kok jangankan kamu, lah bapakmu aja ikut mumet kok mikirin adikmu satu itu.”
“Ya makanya itu, kawinin aja biar tau rasa!”
“Iya kalau ada yang mau? Tau sendiri kelakuan adikmu itu sudah nyebar seantero kampung,” cebik Bu Parmi merasa ngenes sendiri memikirkan masa depan anak gadisnya yang super absurd. Sudah tampangnya pas-pasan, kelakuan dan prestasi tak bisa dibanggakan.
“Jodohin aja sama duda juragan empang. Dengar-dengar dia lagi cari bini. Biar Emak nggak usah khawatir Nuning bisa makan apa nggak, karena suaminya kaya, kan bisa ngasih makan yang banyak. Dia mau makan sepuluh bakul sehari juga udah bukan tanggung jawab Emak lagi,” cibir Bambang jengkel. Memikirkan Nuning yang kalau makan seperti kerbau bunting. Nasi sudah sepiring penuh, masih bisa tambah! Herannya badan si adiktetap mungil dan tak bisa gendut meski suka tambah nasi tiga piring berturut-turut. Jangan-jangan cacingnya lebih panjang ketimbang ususnya.
“Husss. Sembarangan. Gitu-gitu dia adikmu! Sabar-sabar aja, itung-itung nambah pahala.”
“Yang ada nambah dosa dan penyakit punya adik kek dia!”
“Kalau ngatain orang bisa lebih keras dikit nggak? Orangnya nggak denger nih,” celetuk Nuning yang tiba-tiba nongol sambil nyengir, masih memakai seragam yang warnanya tak putih abu-abu lagi. Tapi Bambang sudah tak heran melihat rok adiknya belepotan tanah seperti itu. Pasti habis dari lapangan main layangan, atau duduk-duduk di tegalan sambil menikmati mangga hasil colongan.
Memandangi seragam Nuning yang kumal, Bu Parmi geleng-geleng sambil mengelus dada. Perasaan ya ..., anak gadis zaman sekarang wangi-wangi dan rapi-rapi. Begitu duduk di bangku SMP umumnya sudah sadar kerapihan, sadar penampilan, dan peduli terhadap kecantikan. Tapi kenapa anak gadisnya yang sudah SMA begini amat?
“Kayaknya kamu perlu ke psikiater deh. Kali aja kena gangguan jiwa. Kalau nggak, bisa aku yang lama-lama gila punya adik kayak kamu!” omel Bambang.
“Beuhhh. Gaya amat! Kayak kita orang berduit aja. Emangnya ke psikiater nggak bayar? Ke dukun aja bayar. Kalau bisa dibayar pake daun sih aku mau aja. Soalnya psikiater kan adanya cuma di kota. Ntar sekalian mampir deh ke mall, jalan-jalan. Bosen tau di kampung mulu,” cebik Nuning, “kalau hujan becek, nggak ada ojek …," lanjutnya lagi dengan logat ala Cinta Laura yang kebarat-baratan.
Nah, kan! Ngomong sama adiknya emang suka bikin senewen. Nuning tak pernah peduli biar seluruh dunia menertawakan atau meledeknya. Dia memiliki dunia sendiri. Punya cara menikmati hidupnya, yang tak pernah sejalan dengan cara hidup Bambang sang kakak.
“Omong-omong soal ke kota, kapan yuk Mak kita ke Jakarta?” celetuk Nuning tiba-tiba.
“Ntar, kalau sapinya bapakmu sudah lahiran,” sahut Bu Parmi asal-asalan. Loh. Memangnya sejak kapan Pak Priyo punya sapi?
“Ck, emak mah gituuu. Masa kalah sama Mbah Paijo yang sering bolak-balik liat Monas?” protes Nuning mencatut nama tetangga.
“Mbah Paijo sopir bus Damri? Ya emang trayeknya itu Lampung-Gambir!”
Nuning malah merengek sambil menarik-narik lengan Bu Parmi. “Ke Monas yuk, Maak!”
Bambang menggulung buku lalu menggeplak kepala adiknya supaya berhenti bertingkah seperti orang kesurupan jin Monas.
Nuning manyun. Merajuk masuk kamar. Melewatkan makan malam. Bikin Pak Priyo dan Bu Parmi heran karena untuk pertama kalinya magic com mereka penuh. Tapi bukannya senang melihat si nasi masih utuh, kedua orangtua itu malah saling pandang dengan galau.
Ada apa dengan Nuning?
Bab 2. Partner in Crime
Jaka Wibawa. Daya tariknya memang sudah bawaan orok. Tak heran begitu lahir jadi rebutan mbak-mbak perawat yang ingin menggendong duluan. Pipi gembulnya jadi bahan cubitan. Tangisnya yang kesakitan justru jadi hiburan. Sampai-sampai pihak rumah sakit melarangnya pulang bukan karena telanjur sayang, tapi karena orangtuanya belum lunas membayar tagihan melahirkan. Begitulah drama kehidupan menyambutnya.
Meski kondisi finansial keluarganya pasang surut, tapi ketampanannya tidak. Justu cakepnya makin jadi dan suka nantangin mata orang yang lihat. Bikin susah kedip. Bikin ngompol anak-anak perempuan yang niatnya kebelet mau ke WC tapi nggak jadi karena masih ingin menatap anak pindahan dari SD Jakarta itu. Bikin anak-anak lelaki keki lantas menyabotasenya dalam pergaulan.
Saat semua anak perempuan dibuat gugup kala anak pindahan itu menanyakan letak alun-alun tempat festival layangan, Nuning justru langsung memalaknya. “Wani piro?” tanyanya seraya menadahkan tangan. Jaka yang lugu lekas menyerahkan uang jajannya, membuat mata Nuning seketika jadi ijo. Dipandanginya anak baru itu dari kepala sampai kaki, dari kaki balik ke kepala. Lalu menyeringai bagai serigala yang baru saja menangkap kelinci tanpa usaha.
Nuning mengipaskan selembar lima ribuan di tangan dan mengantonginya, sambil berkata, “Ikuti aku!”
Jaka diajak melewati sawah, menyeberang kali, memutari kampung. Sampai dengkul Jaka hampir copot barulah Nuning membawanya ke alun-alun. Esoknya, Nuning minta jatah jajan lagi atas jasanya membawa Jaka jalan-jalan kemarin.
Begitulah perkenalan mereka dimulai beberapa tahun lalu di kelas 4 SD. Perkenalan yang bikin Jaka sebal sekaligus terkesan. Sejak saat itu, ia ditakdirkan duduk sebangku dengan Nuning selamanya. Sampai lulus SD, SMP, dan sekarang di kelas sebelas SMA pun mereka masih sebangku.
Jangankan PR, setiap ulangan Nuning menyontek habis-habisan kepadanya. Jaka tak keberatan. Dianggapnya saja itu sebagai sedekah nilai buat Nuning. Tapi yang menyebalkan adalah setiap kali ada sidak, Nuning buru-buru mencemplungkan komiknya ke dalam tas Jaka seraya berkata, “Nitip, dong.”
Jaka pun cuma bisa pasrah terima nasib ikut digiring ke ruang BP bersama Nuning. Dan dibuat bingung saat Pak Jono melotot membuka lembar demi lembar komik titipan Nuning. Mana tahu kalau ternyata di dalam komik itu si Wonder Woman lagi telanjang!
Pak Jono mengurut jantungnya yang nyaris kendor. Lalu menyodorkan komik itu ke muka Jaka dengan geram. "Apa-apaan ini?!"
Jaka syok tanpa sanggup berdalih. Pasrah dijemur Pak Jono sampai kering. Kulit putih mulusnya jadi buluk gara-gara terlalu sering dihukum berjemur di lapangan bersama Nuning.
Jaka tak peduli lagi dengan nama baiknya yang telanjur bobrok di sekolah. Jika memang itu harga yang harus dibayarnya sebagai sahabat. Bagaimanapun Nuning membuat hidupnya berwarna dan dipenuhi tawa. Bermain dengan Nuning itu seru dan menggenjot adrenalin.
“Ngapain pake beli? Petik aja sendiri, di kebun banyak tuh!” kata Nuning dulu saat Jaka disuruh bibinya membeli mangga.
“Kebunmu?”
“Bukan. Kebun oranglah,” sahut Nuning santai banget.
“Itu mah namanya nyolong.”
“Ya emang,” sahut Nuning lagi-lagi santai dan bikin Jaka memucat. Dia belum pernah nyolong seumur hidupnya.
“Ntar kalau ketahuan gimana?”
“Ya jangan sampai ketahuan dong.”
“Kalau ketahuan?”
“Kabur.”
“Kalau ketangkap?”
“Minta maaf.”
“Kalau nggak dimaafin?”
“Itu mah urusan mereka sama Tuhan, yang penting kan kita udah minta maaf.”
Jaka menelan ludah. Memandangi Nuning yang masih belum mengganti seragam merah-putihnya, agaknya malah belum pulang ke rumah sejak pulang dari sekolah.
“Mau nggak??” desak Nuning bagai setan penguji iman, bikin Jaka bimbang.
“Sini duitnya, beli sama aku aja!” Nuning menadahkan tangan.
Jaka menyerahkan uangnya dengan sedikit gugup.
“Tunggu sini. Bentar lagi aku balik,” janji Nuning sambil mengedip.
Benar saja, tak butuh waktu lama menunggu Nuning kembali dengan membawa mangga curiannya yang besar-besar, wangi karena matang sempurna di pohon. Jaka jadi penasaran, segampang itukah nyolong di kebun?
“Ning, pernah ketangkep nggak pas nyolong mangga?”
“Jangankan ketangkep, dikejar Mbah Surip pake celurit juga pernah.”
Dikejar pakai celurit?! Jaka memucat.
“Kok kamu nggak kapok?”
“Karena aku bukan pengecut! Lagian ketangkep sama lolosnya lebih banyakan lolosnya, kok. Kalau udah biasa, nanti lama-lama kamu bakalan ahli kayak aku juga. Semua itu cuma soal jam terbang.”
“Nggak takut dosa?”
“Takut itu sama Tuhan, ngapain takut sama dosa?”
“Kalau dosa ntar masuk neraka!”
“Makanya itu habis dosa lekas tobat, biar catatan dosanya dihapus sama malaikat.”
“Terus habis itu nyolong lagi? Percuma dong tobat!”
“Percuma itu kalau ngomong sama kamu! Bilang aja kalau kamu takut? Nggak punya nyali.”
Nah! Ngomong sama Nuning memang seperti ngomong sama tembok. Makin Jaka ngegas, makin terjedot sendiri.
***
“Apa?! Komik porno?”
Bu Parmi mengelus jantungnya yang nyaris loncat keluar begitu mendengar laporan Bambang. Dia tak punya jantung cadangan. Meski jantungnya yang ini sudah beribu-ribu kali kena guncangan berita tak enak perihal anak gadisnya, dia berusaha bertahan. Demi keselamatan hidupnya. Bu Parmi belum siap diabsen malaikat pencabut nyawa dengan membawa laporan gagal mendidik anak gadis satu-satunya. Amanatnya sebagai orang tua.
Bu Parmi mengelap keringat dengan tangan gemetaran. “Sejak kapan dia punya komik porno?” keluhnya pada Bambang yang mukanya tak kalah kisut dari si emak.
“Meneketehe,” cebik Bambang dengan bahu berkedik. Masih bete. Percuma punya muka cakep kalau sering dipanggil menghadap Kepsek gara-gara tingkah adiknya yang sableng. Kalau soal kebiasaan adiknya memanjat dan melompati pagar sekolah, dia masih bisa mengusulkan agar Nuning didaftarkan saja menjadi tim atletik sekolah cabang lompat tinggi. Tapi kalau urusannya komik porno? Bambang mati kutu. Aib ini mah, aib!
Sementara yang lagi kena kasus malah tak jelas kemana juntrungannya. Bambang tak melihat batang hidung adiknya di sekolah. Padahal tadi Nuning pamit pagi-pagi berangkat duluan. Tersangkut di mana adiknya itu? Ah. Bodo amat. Palingan lagi memancing, atau menebang bambu di kebun bersama Jaka buat bikin layangan. Sebab Bambang juga tak melihat cowok jangkung itu di sekolah. Memikirkan Jaka, terbersit iba dalam hati Bambang. Kasihan, ganteng-ganteng kok ketularan koplak.
Pihak sekolah juga sepertinya sudah bosan memberi hukuman skors buat adiknya. Bukannya bikin jera, bisa-bisa malah bikin Nuning senang. Tak kena skors saja sudah rajin membolos kok. Untung raport Nuning masih bagus, sekolah masih sayang mengeluarkan dia. Tak tahu saja kalau nilainya hasil mencontek total dari Jaka.
“Pak! Nuning baca komik porno, Pak!” lapor Bu Parmi tak tahan lagi. Kali ini terserah suaminya yang angker ini mau berbuat apa. Mungkin si Nuning memang perlu dipentung bapaknya dulu, biar otaknya yang miring itu bisa lurus lagi.
Tapi. Diluar dugaan. Pak Priyo justru terkekeh. “Biarin, Mak. Kemajuan itu namanya.” Lalu membuka catatan utangnya. Sebab habis gajian, saatnya menunaikan kewajiban membayar tagihan di warung kopi langganan.
Jawaban suaminya bikin Bu Parmi ‘merem-melek’ tak percaya. “Bapak ini gimana sih?! Kemajuan apanya? Dulu aku dipanggil sekolah mulu karena anaknya sering tawuran, sekarang komik porno! Punya anak gadis baca komik porno kok dibilang kemajuan?!” cerocosnya seperti petasan tahun baru, ramai tiada habis.
Kalau rajin mengaji itu namanya kemajuan. Lah ini? Boro-boro mengajinya benar, yang ada si Nuning malah jadi biang kerok di masjid karena suka menukar-nukar pasangan sandal para jamaah. ‘Jabang bayik, punya anak gadis satu aja kok begini banget!’ pikir Bu Parmi mumet.
“Artinya dia sudah memahami fungsi kelaminnya, Mak,” sahut Pak Priyo sambil meraih cangkir kopi lalu menyesapnya dengan nikmat.
Walah! Jawaban macam apa itu? Bu Parmi ingin mencakari tembok saking gusarnya.
“Lah, kemarin siapa yang ribut mikirin takut Nuning nggak bisa kawin? Emak sendiri tho? Kalau anaknya sendiri nggak sadar dia itu laki apa perempuan, gimana mau kawin?”
“Buapaaakkk!” Bu Parmi kejang-kejang tak tahan emosi.
Padahal yang sedang bikin pusing santai saja selonjoran di gubuk tepi sawah. Leyeh-leyeh membaca komik Superman, tapi Superman betulan yang pakai sempak ketat diluar bajunya, nggak telanjang. Sedangkan Jaka di sebelahnya sedang asyik mengulur tali layangan.
“Jak, udah bayar buat study tour belom?”
“Belum, ini lagi ngumpulin duitnya.” Jaka menyahut sambil menatap layangan ular naga panjangnya yang menari-nari di langit. Pesanan khusus anak kampung sebelah buat gacoan lomba.
“Sekalian bayarin ya, Jak!”
Jaka menjawab dengan mendaratkan jitakan kecil di kepala gadis itu.
Nuning meringis jengkel lalu balas menendang bokong Jaka. Membuat cowok itu oleng dan nyungsep ke sawah. Tapi Nuning tak merasa bersalah, santai saja lanjut membaca komik.
“Emang susah ya nggak punya duit gini, Jak. Aku jadi ngiri sama Tante Beti, duitnya banyak sehabis kerja di Jakarta. Di sini bisa dapat kerjaaan apa coba? Bosen aku hidup di kampung mulu.” Nuning malah menggerutu, mengabaikan omelan Jaka yang tubuhnya belepotan lumpur.
Jaka melepas celana panjang abu-abu seragamnya, menyisakan kolor yang menempel di badan atletisnya. Tapi ketampanan dan bentuk tubuh Jaka yang gagah sama sekali tak membuat Nuning tertarik. Baginya, mangga Mbah Surip lebih menggairahkan daripada visualisasi seorang Jaka sebagai cowok.
“Emangnya nyari kerja di Jakarta gampang? Di sana juga banyak pengangguran. Saingan kerja banyak,” kata Jaka sambil turun ke kali. Mengucek celananya yang kotor. Memeras lalu menjemurnya di atap gubuk. Kemudian duduk bersila di samping Nuning.
Nuning mulai tak fokus mengikuti adegan Superman berkelahi dengan penjahat. Toh dijamin pasti menang. Nuning pun menutup komik dan duduk bersila menghadap Jaka. “Jakarta kek gimana sih?” selidiknya dengan bola mata membesar.
“Di Jakarta, mana bisa kita nyolong mangga kek gini. Karena nggak ada kebun yang bisa dijarah. Rawa-rawa udah pada diuruk jadi perumahan, nggak bisa buat mancing lagi. Di sana juga nggak ada yang gratis, kencing aja bayar. Modelmu gini, mana bisa hidup di sana.”
Nuning menghela napas panjangnya yang terasa berat. Mungkin karena pertama kalinya serius mendengarkan Jaka. Tapi pikirannya menolak percaya begitu saja, terlebih sinetron-sinetron yang suka menyuguhkan budaya hedon telanjur menyusupi khayalannya.
“Jak. Kapan kamu balik ke Jakarta?”
“Ntar kalau udah lulusan.”
“Aku ikut!” tekad Nuning bikin Jaka batuk-batuk ngeri.
Bab 3. Nikah, Yuk!
Jaka tak habis pikir Nuning habis kesambet apa. Tiba-tiba ngebet banget ingin pindah hidup ke Jakarta. Jangankan minggat mke ibukota negara, menginap melewati batas kecamatan saja dikejar Pak Priyo pakai pentungan kok. Meskipun otaknya gesrek dan kelakuannya menceng, tetap saja yang namanya orang tua peduli dan menyayanginya. Apalagi anak gadis satu-satunya. Masalahnya justru Nuning yang sepertinya tak mengerti disayang. Makin dilarang malah kebelet ingin minggat.
“Pokoknya aku mau ikut kamu ke Jakarta. Titik! Bosen aku tuuu, sejak lahir sampe segede ini hidup di kampung. Bisa mati engap aku makan buah colongan mulu. Aku juga kan pengen ngerasain makan pizza, makan steak, makan donat yang macem-macem toppingnya kayak yang sering nongol di TV. Pengen mejeng di mall, bukannya nongkrong di sawah mulu liat kebo sama bebek,” oceh Nuning merutuki nasib. Kebanyakan membayangkan wajah ibukota yang gemerlap dan menjanjikan kesenangan dalam pikiran sederhananya.
Mungkin kesenangan sebatas perut itu receh bagi orang lain, tapi penting baginya. Mumpung giginya masih utuh, mumpung indera pengecapnya masih berfungsi optimal. Bayangkan kalau sudah uzur seperti Mbah Surip lalu disodori pizza dan steik? Pasti Mbah Surip bakal bilang lebih enak singkong yang direbus sampai lembek. Biar tinggal telan karena giginya sudah pada habis.
Duh! Nuning tak mau senasib dengan mbah Surip yang hidupnya di kampung melulu sejak Indonesia masih dijajah Belanda sampai sekarang sudah merdeka. Makanannya masih saja singkong metang-mentang tinggal mencabut dari kebun. Nah. Mumpung Nuning masih muda, mesti banyak mencicip yang enak-enak. Anak muda bersenang-senang itu wajib hukumnya. Kalau sudah tua baru senang-senang, keburu kena rematik, nggak asyik!
Toh, Nuning ingin senang-senang dari hasil keringatnya sendiri. Tak minta jatah dari emak-bapaknya. Dia siap menghadapi tantangan kerja. Tak takut menghadapi ibukota yang katanya lebih kejam daripada ibu tiri. Pada ibu sendiri yang bisa bikin kualat saja Nuning tak takut kok, apalagi pada ibukota yang tak pernah melahirkan dirinya.
Jaka mencebik. Dia sudah pernah hidup di Jakarta. Pernah menjelajahi kota besar itu dengan kaki kecilnya yang telanjang. Bersama ibu yang tiga hari terseok-seok sepanjang jalan, menuntun tangan kecilnya tanpa arah tujuan.
“Minta antar aja sama bapakmu, apa masmu. Masa aku?” ujar Jaka.
“Tapi yang tahu Jakarta kan kamu. Yang bakal tinggal di Jakarta juga kamu. Bukan bapakku, apalagi Mas Bambang yang cita-citanya aja kerja di tambak udang,” sahut Nuning ngeyel tiap Jaka mengelak diikuti.
Jaka jadi jengkel. Nuning tak asyik diajak main lagi. Umpan di kailnya jadi utuh, mungkin ikan-ikan pada ngacir karena budeg mendengar suara berisik Nuning yang membahas Jakarta melulu tiap mereka lagi mancing.
“Udahlah nggak usah bahas Jakarta terus. Lulus dapat ijazah aja belum kok.”
“Janji deh, nggak akan nyolong lagi kalau kamu bawa aku ke Jakarta. Aku tobat. Mau cari kerja yang halal. Ngumpulin duit yang banyak buat nyenengin Emak sama Bapak. Biar mereka nggak nyesel udah ngijinin aku kerja di sana. Sumpah!”
Bukannya tersentuh mendengar janji Nuning yang bisa mengundang geledek di siang bolong, Jaka malah terkikik sambil memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa. ‘Habis makan apa si Nuning? Kok tiba-tiba waras gini?’ Tapi kalau anak ini waras, siap-siap saja gempa bumi. Tanda-tanda mau kiamat.
Si emak juga sama-sama tak asyik seperti Jaka. Begitu Nuning bilang ingin kerja di Jakarta, matanya seketika melotot sebesar biji duren. “Siapa yang mau ngawasin kelakuanmu di sana? Di kampung aja udah bikin jantung Emak mpot-mpotan kok. Nggak usah aneh-aneh, di kampung aja udah! Ngapain kerja ke Jakarta segala? Cari nafkah urusan bapakmu. Kamu mau makan sebakul, Emak masih sanggup masakin.”
Nuning manyun. Bohong banget. Yang suka bikin kepalanya benjol kalau dia menghabiskan isi magic com itu siapa? Lagipula, memangnya hidup cuma buat makan nasi? Nuning juga kan ingin smakan enak. Dan makanan enak yang penampakannya suka aneh-aneh seperti di TV itu adanya di kota macam Jakarta. Di sana apa saja juga ada. Asal punya duitnya! Makanya, Nuning ingin kerja di sana sambil menikmati hidup enak sebaik-baiknya dari hasil kerja kerasnya sendiri. Mandiri gitu loh. Kerja di Jakarta gajinya kan gede katanya.
“Hidup di Jakarta itu nggak seindah yang kamu lihat di TV, Nduk ...!” Bu Parmi menasihati seakan bisa mendengar isi pikiran Nuning.
“Ah, kayak Emak pernah hidup di Jakarta aja.”
“Sembarangan kalau ngomong. Gini-gini Emak pernah jadi pembantu di Jakarta sebelum nikah sama bapakmu!”
“Dih, pernah jadi pembantu bangga. Bangga tuh kalo pernah jadi artis!” cebik Nuning yang seketika mengaduh sakit saat Bu Parmi mencubit bibirnya yang dimonyong-monyongin buat meledek.
“Sampai kapan aku hidup sama Emak terus?” rengek Nuning sambil mengupas bawang. Bikin Bu Parmi menengok ke jendela. Takut tiba-tiba hujan badai karena tumben-tumbenan Nuning membantu pekerjaan dapurnya.
“Ya sampai kamu kawinlah! Sampai kamu punya suami yang jagain kamu. Yang bisa kasih kamu makan. Kalau sudah kawin, kamu mau ke mana kek ... asal sama suamimu, ya terserah.”
Nuning memutar bola mata sambil memonyongkan bibir. Mencari suami kok seperti mencari tukang gembala kambing saja, yang tugasnya menjaga dan memberi makan kambing saja! Sebel. Izin ke jakarta saja kok sulitnya seperti mau minta warisan.
“Tapi, Mak. Liat tuh tetangga-tetangga kita yang anaknya pada kerja di Jakarta. Hidupnya pada enak tho sekarang? Bisa beliin bapaknya motor yang bagus. Bisa beliin emaknya TV yang layarnya datar, nggak gembrot kayak TV kita, kayak perut Emak!”
Kurang asem! Itu mulut apa petasan cabe? Ngomong sama orangtua kok seenak jidatnya!
Bu Parmi sewot ‘kena mental’, lalu melipir masuk kamar. Melirik bayangan perutnya yang menyedihkan di cermin dengan muka masam. Kemudian mengambil stagen, melilitkannya ke perut, dan mengikatnya kencang-kencang.
***
Bambang lulus SMA dan diterima kerja di tambak udang sesuai harapannya. Tak melanjutkan kuliah karena kondisi ekonomkeluarga yang sangat susahs. Giliran Nuning yang sebentar lagi siap-siap menghadapi ujian negara. Tapi bukannya fokus memikirkan ujian, pikirannya justru dipenuhi dengan Jakarta. Ah! Nuning tak mau terjebak seumur hidupnya di kampung yang sering mati lampu. Minim hiburan. Miskin uang jajan. Tak banyak pilihan lapangan kerja. Ditambah sahabat karibnya harus kembali ke Jakarta begitu lulus SMA. Ngeri. Ditinggal Jaka lebih horor daripada film Suzana beranak dalam kubur. Menghabiskan hidup di kampung sampai tua tanpa teman bermain seasyik Jaka? Ini sih sama aja kiamat sebelum waktunya!
“Jak. Nikah, yuk!”
Ucapan Nuning yang tak masuk akal bikin Jaka terbatuk-batuk. Es teh dimulutnya menyembur membasahi baju seragamnya. Ajakan Nuning bagai geledek di siang bolong, menyambar kuping dan mengoyak ketenangannya. ‘Kesambet apa lagi bocah gendeng ini?!’ pikirnya horor.
“Emang udah telat berapa bulan?” seloroh Jaka sambil mengunyah pentol baksonya dua sekaligus hingga pipinya menggembung penuh.
Si abang bakso jadi kepo, siap-siap menangkap gosip besar yang bisa mengguncang seisi kampung kalau disebarkan. Siapa tahu bikin warung baksonya ikut viral menarik pelanggan?
Nuning manyun sambil mengaduk es tehnya. “Soalnya sama emak aku nggak boleh ninggalin kampung kalau belum kawin. Padahal aku kan pengen kerja di Jakarta. Makanya itu,” Nuning lalu terdiam dan cengar-cengir menatap Jaka.
“Apaan?” Jaka mulai mengendus keanehan. Bulu kuduknya merinding melihat cengiran Nuning. Horor. Lebih horor ketimbang mencium wangi kembang melati tengah malam.
Nuning berkedip-kedip seperti orang kelilipan. “Makanya, nikahin aku ...,” rengeknya sambil mengatupkan kedua tangannya, memohon-mohon.
“Ogah!” ketus Jaka sembari melengos. Menikahi Nuning? Yang benar aja!
Ditolak dengan kecepatan cahaya sedemikian rupa membuat ego Nuning sebagai perempuan sakit juga. Dicubitnya pinggang Jaka yang melolong minta ampun. “Pokoknya kamu kudu tanggung jawab!” bentaknya berubah garang, bikin si abang bakso memanjangkan kuping.
Jaka mengusapi pinggangnya yang panas. “Duh! Nggak kebayang aku kawin sama kamu, bisa ditindas seumur hidupku,” keluhnya menahan sakit. Cubitan cewek scorpio satu ini memang sadis.
“Siapa yang mau menindasmu? Aku kan cuma minta dinikahi biar sah aja. Ntar aku bisa nyari makan sendiri, nggak minta kamu. Yang penting sehabis nikah, kamu kudu bawa aku ke Jakarta, pokoknya bawa aku pergi dari kampung!”
Si abang bakso yang asyik menguping langsung mengkhayal, andai saja ada perempuan muda semanis Nuning yang meminta hal itu padanya, bakal langsung ‘yes!’.
‘Enak tho punya istri yang nggak minta dinafkahi?’ Tak seperti istrinya di rumah yang selalu mengeluh uang belanja kurang, tapi tiap ke pasar beli daster. Beli lingerie kek! Boro-boro membelikan sempak buat suaminya. Padahal sempaknya sudah pada bolong karena otot pantatnya harus beskerja keras etiap hari mendorong gerobak naik-turun tanjakan!
“Ogah!” Jaka mengelak mendengar kekonyolan Nuning.
Nuning mengatupkan kembali kedua tangannya lebih erat. “Plissss,” rengeknya dengan memasang tampang memelas. Melirik abang bakso yang makin kepo. Lalu melirik lagi pada Jaka yang asyik ngunyah pentol bakso. “Mau kugugurin aja nih?!” ucapnya mengada-ada sambil akting mengusapi perutnya yang buncit karena kekenyangan.
Jaka menjitak kepala gadis itu. Hilang sudah selera makannya gegara tingkah absurd Nuning yang mulai kelewatan.
“Berapa semuanya, Bang?’ tanya Jaka pada abang bakso sambil mencantelkan tas ranselnya ke bahu. Kemudian merogoh saku dan membayar sejumlah harga yang disebut si abang. Mengabaikan Nuning yang merengek di belakangnya minta ditunggu, menyikat habis dulu sisa mie dan kuah di mangkuk Jaka.
“Jakaaaaa. Nikah, yuuuuk!” panggil Nuning bikin malu.
Jaka lari tunggang langgang. Nuning mengejar sambil melemparinya dengan buah mahoni yang berserakan di tepian jalan. Tapi Jaka gesit menghindar dan Nuning jadi semakin kesetanan mengejar.
Dua remaja absurd itupun kejar-kejaran di siang bolong. Bikin iri kambing tetangga yang diikat di bawah pohon, ingin bebas lari-larian juga.
Bab 4. Jomblo Kena Tikung
Jaka tak jago main bola. Jagonya main layangan. Tapi sekarang dia sedang nggak mood main layangan. Angin pun tampaknya enggan bertiup sejak Nuning mulai ngaco mengajaknya menikah. Jadilah Jaka ikut main bola meski cuma menjaga gawang.
Dapat tugas menjaga gawang bukan karena tubuhnya yang kebetulan jangkung, tapi karena Jaka memang tak becus menendang bola. Padahal energinya luar biasa. Tapi sayang mainnya nggak bisa kalem. Jadinya dia sering nggasruk jatuh mencium lapangan karena tendangannya malah mencangkul tanah. Teman-temannya juga pilih menghindar kalau Jaka mengoper ke arah mereka. Takut mandul karena testisnya pecah kena timpuk bola. Sebab operan Jaka sangat kuat, tapi tak kira-kira.
Mungkin karena pikirannya yang sedang galau akut, tiba-tiba bola yang melayang ke gawangnya berubah menjadi kepala Nuning yang senyum-senyum horor ngajakin kawin. Jaka pun panik menguceki mata, pandangannya menjadi kabur, bolanya pun beranak banyak seperti jurus bayangan. Jadilah Jaka kebingungan, mana bola asli dan mana yang jadi-jadian? Akhirnya gawangnya kebobolan.
“Guoblokk!"
"Matamu siwer ya?”
“Kayak gitu aja nggak becus!”
Teman-temannya geregetan. Percuma punya penjaga gawang bertubuh jangkung, tapi menangkap bola yang jelas-jelas di depan mata saja failed!
Mereka tak tahu kalau Jaka sedang punya masalah gawat darurat dan jadi beban berat bagi otaknya.
Jaka pilih mundur dan menonton saja di pinggir lapangan, daripada bakal menerima lebih banyak caci maki. Terdiam merenungi nasibnya yang random.
“Ono opo sih, Jak? Kok ngelamun aja?” tegur Parman sambil menepuk pundak Jaka, lalu menyodorinya botol, “Minum?” katanya menawari.
Tanpa basa-basi Jaka menerima dan menegaknya habis.
“Yaah bocah ini yak, kagak kira-kira jadi orang. Dasar, tengik! Malah dihabisin, yang punya malah kagak kebagian,” protes Parman sambil memandangi botol kosongnya.
“Ikhlas nggak sih?” Jaka sewot.
“Ikhlas sih ya ikhlas, tapi ya nggak gini juga kaliii. Aku juga kan haus.”
“Mau aku muntahin lagi biar minumanmu balik? Nih, tampung ..., hoek!”
Ulah Jaka bikin Parman meninju lengannya sambil meringis jijik.
“Tumben kagak sama Nuning?” Parman menoleh kanan-kiri, mencari makhluk dekil yang biasanya aktif beredar di sekitar Jaka.
“Tau ah,” sahut Jaka sambil melengos malas.
“Kalian lagi marahan? Ciee, lagakmu, Jak! Kayak orang lagi pacaran aja sama si Nuning. Jangan-jangan ..., kalian diam-diam udah jadian ya?”
“Jadian gundulmu!” Jaka menoyor Parman yang cengar-cengir. “Wis gendeng opo aku? Gini-gini aku masih normal, nggak bakal macarin cewek gila kayak dia. Kalau stok perempuan di bumi ini habis, dia baru jadi pilihan terakhirku!”
“Wah, wah ...! Sadis mulutmu, Jak. Kamu temannya bukan, sih? Ngomongin sohib sendiri kok gitu banget. Bisa-bisa kualat ntar kamu, jadi suaminya beneran tahu rasa!”
“Meski sahabatan, tapi kan Nuning bukan tipeku.”
“Lah, terus tipemu kayak kepiye jal?”
“Tipeku? Jelas dong yang kulitnya putih, nggak buluk kayak Nuning!”
“Yang kulitnya putih? Sapi dong!” celetuk Parman lalu terbahak sampai terkentut-kentut.
Jaka malas meladeni temannya yang malah tertawa di atas penderitaan orang. Diapun menghela napasnya yang terasa nyeri kala membayangkan wajah cantik Erna yang sudah sejangkauan mata, tapi tak bisa diraihnya gara-gara ancaman Nuning. Duh! Cinta pertamanya kandas di tangan sahabat baiknya sendiri. Mestinya sebagai jomblo bisa bebas merdeka memilih pasangan. Tapi ancaman Nuning bikin kemerdekaan Jaka sebagai jomblo dihabisi.
“Eh, biar sableng gitu ..., tapi kalo diperhatikan baik-baik pakai lubang sedotan jarak seratus meter, Nuning lumayan manis loh, Jak. Cuma sayangnya itu, suka kayak anjing galak yang ekornya keinjek. Sekali gigit bikin rabies. Tapi kalau sama kamu, kayaknya dia lumayan manut. Timbang situ jomblonya kagak kelar-kelar, kenapa nggak pacarin aja sekalian? Atau kawinin langsung. Mayan kan buat jagain rumah? Ntar bukan cuma maling yang takut, pelakor juga takut ... ‘awas ada bini galak’. Dijamin rumah tanggamu aman sentosa.”
Jaka menoyor Parman. “Otakmu tadi jatuh di lapangan ya? Buru cariin giih keburu keinjek-injek orang. Ngomong kok nggak dipikir. Ntarr! Kalau udah ada gajah belang-belang dan ada zebra berhidung panjang, baru kukawinin dia. Yang artinya, itu semua mustahil. Nggak mungkin. Lagian berani-beraninya kamu nyamain Nuning sama guguk? Kalau sampai orangnya denger, aku nggak ikut-ikut. Biar aja kamu digigit sampe rabies dan ketularan gendeng sekalian.”
“Jangan dong. Udah cukup kalian berdua yang gendeng di kampung kita, jangan sampai ketambahan. Kasihan anak-anak pulang ngaji kalau sampai setan jadi-jadiannya ntar nambah lagi.”
“Ya baguslah biar seru. Kebetulan kita belum pernah ada yang nyoba jadi genderuwo. Mukamu kayaknya pas, cocok!”
“Semprul! Macem Ronaldo gini kok dibilang kayak genderuwo,” seloroh Parman sambil garuk-garuk pantat karena gatal ingin main bola lagi. “Dah, aku main dulu, ya. Baek-baek, jangan ngelamun ..., ntar kesambet!” pesannya, lalu berlari kecil ke tengah lapangan sambil membenahi kolor ijonya yang nyelip.
Jaka menggaruki kepalanya yang berkeringat. Bukan karena gatal. Tapi pusing. Kangen sama Erna, tapi takut sama Nuning!
***
Erna Susanti. Penampilannya jelas tak sebanding dengan Nuning. Dari lahir sudah cantik menawan. Sedikit polesan saja, pesonanya berkilau seindah berlian. Mahal dan berkelas. Sedang bete saja terlihat cantik, apalagi kalau sedang senyum. Bikin cowok normal kebelet menoleh barang sekejap buat menikmati keindahan wajahnya yang paripurna. Tak terkecuali Jaka. Bikin Nuning senewen selangit tapi bukan karena cemburu. Melainkan karena baginya Jaka itu calon suami yang bisa membawanya ke Jakarta. Sesederhana itu. Bodo amat kalau itu tak sederhana bagi Jaka.
Dan, diantara puluhan cowok yang mengantre caper padanya, lirikan Erna justru menancap kepada Jaka. Bikin cowok itu besar kepala dan ketagihan menatapnya, bagai menatap ranumnya buah mangga yang bisa dipetiknya kapan saja sembari lewat, seperti kebiasaannya nyolong mangga Mbah Surip bareng Nuning.
Cowok itupun menoleh ke sebelahnya dan terkaget-kaget kala bertemu tatap dengan sepasang mata Nuning yang memandanginya dengan lirikan judes. Bikin Jaka salah tingkah, seperti suami yang tertangkap basah sedang melirik janda sebelah rumah.
Jaka jadi serba salah lalu jengkel sendiri. Padahal kan mereka cuma berteman, bukan pacaran! Kenapa dia setakut ini? Jaka ingin bersikap masa bodoh, tapi lirikan Nuning terasa melumpuhkan keberaniannya.
Jaka pun cuma bisa curi-curi pandang sebisanya di kelas. Lalu mencari kesempatan bertemu Erna di perpustakaan, tampat yang paling dibenci Nuning. Sebab Nuning alergi melihat buku yang berbaris rapi, seakan aura buku-buku itu bisa membuat susuk ilmu kanuragannya luntur saja. Jaka pun merasa aman mendekati Erna di sana. Bebas dari radar Nuning.
Biarpun sableng, tapi Jaka rupanya tetap waras saat memilih gebetan. Seleranya berstandard tinggi, seperti Erna. Dan perhatiannya pada Erna si kembang sekolah yang berbalas, menjadi kesempatan emas buat mengakhiri status jomblonya.
Jaka pun mulai enggan diajak membolos. “Ya udah gih kalau mau cabut. Kalau ada tugas dan PR serahin aku aja, kamu terima beres!” rayunya biar Nuning lekas enyah saja. Jauh-jauh dari kelas, jauh dari sekolah. Kalau perlu jauh dari hidupnya barang sesaat sampai dia bisa jadian dulu dengan Erna.
Tapi. Nuning sadar kavlingnya terancam direbut orang. Saat pelajaran biologi berkelompok, Nuning mengajak Erna bergabung. Membuat jantung Jaka kebat-kebit senang. Mengira Nuning telah menerima keberadaan Erna di sisi Jaka. Tanpa menyadari kalau sebenarnya Nuning sedang bersiap-siap menyerempetnya di tikungan.
Saat Jaka dan Erna sedang asyik saling lirik, Nuning pun mencemplungkan kodok ke dalam tas Erna. Bikin cewek itu menjerit syok saat membuka tasnya dan kodok itu seketika melompat telak mencium wajahnya.
Semua ikut menjerit heboh. Melompat bangku. Naik meja. Ngibrit ke pintu. Nyantol jendela. Nemplok tembok. Saling tabrak, saling injak, saling sikut. Menghindari si kodok yang ugal-ugalan mencari jalan keluar. Terjebak dalam kerumunan manusia absurd yang cuma gede badan doang, tapi takut pada makhluk kecil lemah tak berdaya sepertinya.
Erna memucat dan gemetaran. Tak menyangka kalau justru kodok yang pertama kali mengecup wajah cantiknya, bukannya cowok ganteng seperti Jaka yang disukainya. Erna jadi histeris, takut seumur hidupnya kena kutuk!
Nuning terpingkal. Memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa. “Ya ampuuun, kan cuma kodok. Segitu takutnya? Takut tuh sama Tuhan, jangan sama kodok!” ledeknya puas melihat kegaduhan kelasnya yang tak kunjung usai. Bahkan Bu Suci, guru biologinya, juga ikut syok dan kabur ke kantor guru, meninggalkan suasana laboratorium yang kacau. Nuning kian terbahak dengan kegembiraan yang meluap-luap.
Melihat Erna menangis gara-gara ulah Nuning, membuat Jaka mendidih jengkel. Cowok itu mencekal lengan Nuning yang sedang asyik tertawa, lalu menariknya menuju parkiran yang sepi dengan wajah merah padam menahan geram. “Kamu tuh kebangetan, tahu nggak!” bentaknya sambil mendorong tubuh mungil Nuning ke dinding.
Nuning meringis memegangi bahunya yang membentur dinding kotor yang dipenuhi bekas coret-coretan siswa iseng. “Apaan sih? Bercanda doang. Kayak kamu nggak pernah bercanda aja?” sahutnya sengak, kemudian meringis mengusapi bahunya yang sakit.
Jaka terdiam. Benar. Hal semacam tadi memang sangat biasa bagi mereka. Bahkan mereka pernah melakukan keisengan yang lebih parah dari ini. Tapi kenapa dia begitu marah? Mungkin karena kali ini Erna yang jadi sasaran. Cewek yang disukainya.
“Tapi, Ning. Kamu kan tahu aku suka sama Erna,” ucap Jaka melembut. Merasa bersalah melihat Nuning masih memegangi bahunya yang terbentur dinding karena dorongannya tadi yang terlalu keras. “Sakit?” tanyanya iba seraya mengulurkan tangan ingin ikut mengusapi.
Tapi Nuning mengibaskan tangan Jaka dengan kasar. “Yang suka sama dia kan kamu, bukan aku,” ketusnya judes sambil bersedekap mengangkat dagu.
Jaka menghela napas. “Tapi kan aku temanmu,” jawabnya dengan nada yang direndahkan lagi. Minta pengertian Nuning yang tampaknya mulai marah betulan.
“Tapi dia bukan,” sahut Nuning datar seraya menusuk Jaka dengan tatapannya.
Jaka akan lebih senang kalau Nuning menjawabnya dengan ketus. Sebab suara Nuning yang sedatar ini terasa lebih angker ketimbang adegan Suzana makan seratus tusuk sate selidi-lidinya.
“Nggak bisa apa Erna jadi pengecualian? Please?”
“Ya nggaklah! Kamu kan calon suamiku! Enak aja dia mau ngerebut kamu dariku! Kamu ... mau main mata sama dia lagi di belakangku? Berani? Coba aja! Besok bukan kodok yang masuk ke tasnya. Tapi ular!”
Mampus nggak tuh!
Bab 5. Teman Tapi Kejam
Dulu, malam minggu bagi Jaka tiada bedanya dengan malam-malam biasa. Namun sejak mengenal Erna, Jaka jadi bisa merasakan istimewanya. Jaka pernah sekali bermalam minggu di rumah Erna. Indahnya luar biasa. Romantis tiada habis.
Tapi, malam minggu ini. Jaka lagi-lagi harus kembali terjebak bersama Nuning. Tiada lagi suap-suapan cokelat dengan Erna. Yang ada justru saling sikut dan saling rebut tempe penyet tersisa di cobek dengan Nuning. Membuat mereka kena pentung centong saktinya Bu Parmi yang pusing mendengar keributan keduanya di ruang makan.
“Jangan lupa, habis ini gentong dan bak kamar mandi dipenuhin semua. Nimba air sana!” Nuning melempar tanggung jawabnya kepada Jaka seenak jidat setelah sama-sama kekenyangan.
“Nggak mau?” Nuning melotot sambil mengacungkan centong sakti emaknya yang tergeletak di meja.
“Iya-iya, bawel!”
Jaka beranjak ke sumur dan menimba air. Anggap saja lagi workout. Membentuk otot bisepnya. Tapi buat apa punya otot dan tubuh bagus kalau tak bisa dia pamerkan pada Erna, sang gadis pujaan hati. Boro-baru mau pamer, baru mendekat jarak lima meter saja sudah bikin radar Nuning langsung dmenyala. Bikin Jaka mundur teratur daripada Nuning mengeksekusi ancamannya, yaitu memasukkan ular ke tas Erna. Dan Nuning tak main-main soal itu.
Duh. Jaka mesti kuat-kuat menahan diri di bawah kendali Nuning demi ketenangan hidup Erna. Tapi biarlah. Nuning bisa memiliki raganya sebagai teman, tapi tidak hatinya sebagai kekasih. Karena hati Jaka utuh bulat-bulat cuma buat Erna seorang!
Kian hari Nuning kian rajin saja menempeli Jaka. Nuning jadi jarang membolos. Tiba-tiba rajin minta diajari Jaka belajar tak kenal tempat, entah di kelas, di kantin, tempat parkir, sampai rela menunggu di depan WC sekolah saat Jaka pura-pura kepingin boker bukan karena mules, tapi kelewat eneg sama hidupnya yang bagai dipenjara. Karena dipepet terus, tak di sekolah atau di rumah. Di mana-mana!
Jaka bukan bocah playgroup yang perlu diantar-jemput. Tapi Nuning selalu memastikan Jaka pulang dengan selamat setap harinya. Selamat dari ‘jangkauan’ Erna maksudnya. Jaka ini kan tiket emasnya ke Jakarta, dan Erna satu-satunya rival yang bisa mengacaukan rencananya memiliki Jaka.
“Sampai kapan sih kamu mau kayak gini?” protes Jaka risih saat mereka belajar bareng di beranda rumah Nuning.
“Kayak gini gimana?” Nuning pura-pura bego.
“Nempelin aku terus.”
“Lah, kan emang udah dari dulu. Bukannya kita ke mana-mana biasa bareng? Ngapa sekarang protesnya? Mentang-mentang sekarang kamu udah jago nangkring di pohon jambu? Lupa ya, siapa yang ngajarin kamu manjat?”
Uh. Kalau sabar itu dijual, Jaka mau borong saja sebelum stok kesabarannya habis. “Bukan soal itu,” gerutunya.
“Terus?! Soal apa?”
“So-soal, ... kamu ngekorin aku sampai WC sekolah. Kan aku perlu privasi. Sampai kapan kamu akan berhenti ngekorin aku?”
“Sampai kamu nikahin aku!”
Waduh!
***
Dibalik penderitaan Jaka yang ‘diketekin’ Nuning setiap hari, Bu Parmi dan Pak Priyo justru melihat perubahan anak gadisnya yang semakin jarang membolos itu bagai berkah tak terkira.
Bu Parmi mengintip Nuning yang sedang serius belajar dengan Jaka. Dulu mah boro-boro mau belajar ngerjain soal, ngerjain anak-anak tetangga sampai menangis mah iya!
“Akhirnya, waras juga anak kita, Pak!”
“Ya begitulah, Mak. Di mana-mana selalu cinta yang bisa bikin orang berubah.”
Bu Parmi menggeser bokongnya biar duduk lebih dekat dengan Pak Priyo. Tapi suaminya itu malah ikut menggeser bokong karena kesempitan. Soalnya bokong Bu Parmi sudah tak mini lagi seperti zaman gadisnya dulu.
“Eh, maksudnya Bapak apa? Kok tiba-tiba ngomongin soal cinta-cintaan segala?”
“Loh, Emak ini rabun apa gimana sih? Masa gak bisa liat jelas perubahan sikap Nuning ke Jaka? Kan mirip sama kelakuan Emak pas lagi naksir sama Bapak dulu. Nempeeel terus kayak permen karet di sepatu. Susah diilangin. Ngikuuut aja ke manapun Bapak melangkahkan kaki.”
Tapi kemudian Pak Priyo kelojotan saat Bu Parmi mencubit tumpukan lemak di pinggangnya.
“A-a-ampun, Mak!”
“Enak aja nyamain aku sama permen karet nempel di sepatu, nggak ada istilah yang lebih bagus apa?” omel Bu Parmi memperkecil cubitannya, masa bodo suaminya melolong minta ampun.
***
Sore itu Nuning mengantar Jaka pulang ke rumah seperti biasanya, sambil bersiul-siul riang.
“Ngapain sih Ning ngebet banget pengen ke Jakarta? Di sana itu nggak enak loh,” kata Jaka membuka obrolan.
“Kalau nggak enak ngapain kamu balik ke sana, nggak tetap di sini aja?”
“Kan aku mesti balik ke rumah ibuku. Kasihan di sana sendirian. Aku dititipin sama bibiku di sini kan buat sekolah aja sampai SMA.”
“Ibumu di sana sendirian?”
“Iya.”
“Nah, makanya aku ikut, biar bisa bantu jagain ibumu.”
“Lah terus yang jagain emakmu sendiri siapa?”
“Siapa bilang emakku sendirian? Kan ada bapakku, ada Mas Bambang.”
“Tapi kan kamu anak perempuan satu-satunya, ya nggak mungkin dong dibolehin pergi sama mereka.” Lagian kasihan juga ibuku diurusin sama orang macam gini, bisa-bisa tambah tua dan pendek umurnya. Lanjut Jaka dalam hati.
“Ya boleh aja, asalkan kamu nikahin aku,” cengir Nuning.
"Tau, ah!"
Jaka bete, kenapa jadi balik ke sana lagi omongan cewek tengik satu ini? Jaka bingung memikirkan cara meluruskan perhatian Nuning yang sudah kelewat miring.
“Dah, pulang sana. Aku udah sampai rumah dengan selamat nih!” usir Jaka capek jiwa, raga, lahir, batin karena seharian dipepet Nuning.
“Nggak mau, aku mau nganterin kamu sampai kamar!”
“Dasar gemblung!” omel Jaka sambil membuka pintu rumahnya yang sepi. Sebab paman dan bibinya sibuk menjaga warung sembako mereka di pasar.
Jaka mana mengira Nuning betulan mengekorinya sampai kamar. Perjaka tingting itu jadi senewen. Tapi Nuning diusir tak mau juga, padahal Jaka ingin lekas mandi, biar otaknya yang sejak tadi dibikin ngebul oleh Nuning ini lekas adem lagi.
Nuning malah selonjoran di kasur yang kapuknya sudah tak empuk lagi karena jarang dijemur. Geleng-geleng melihat lantai yang dipenuhi kertas dan rangka bambu buat layangan, soalnya Jaka sedang menggarap pesanan layangan buat festival. Lalu terkikik geli melihat sempak Jaka bertebaran di kasur seperti sedang diobral sepuluh ribu dapat tiga. Jaka buru-buru memasukkannya ke dalam lemari dengan wajah merah terbakar jengah.
“Buru keluar gih, aku mau mandi nih!” usir Jaka untuk ke sekian kali.
“Ya udah sana mandi, emang mau ngajak-ngajak? Kita kan belum sah.”
“Dihh!” Jaka begidik dan meninggalkan Nuning ke kamar mandi.
Nuning bersin-bersin saat Jaka kembali cuma memakai handuknya. Bikin cowok itu jejeritan kaget melihat penampakan Nuning yang masih bertengger di kasurnya.
“Ngapain mandi sih, Jak? Kalau kandangmu debuan kek gini? Bikin mubazir sabun mandimu aja. Berapa tahun nggak disapu nih kamar?”
“Kayak kandangmu sendiri bersih aja," cebik Jaka.
“Sembarangan! Biar aku nggak pernah bersihin, tapi kan ada emakku yang suka nyapu dan ngepelin sampai tiga kali sehari kayak jadwal orang minum obat,” sahut Nuning yang tak tahu saja kalau emaknya rajin membersihkan kamar dia karena modus, sambil mencari di mana Nuning menyimpan harta karun komik pornonya.
Lalu Nuning bersin-bersin lagi. “Wah, sekali lagi bersin-bersin mestinya aku dapat hadiah akta nikah nih,” selorohnya bikin Jaka cenut-cenut.
‘Sompret! Bikin bunting anak gadis orang nggak, tapi kok diteror suruh ngawinin mulu!’
Jaka berpikir sejenak, lalu menyeringai. ‘Aha, dia pasti syok!’ Kemudian berdeham. “Keluar gih, aku mau pakai baju!” usirnya sambil menghitung. Pada hitungan ketiga, Jaka sengaja melepaskan handuknya, tapi sedikitpun Nuning tak perpaling. Jaka pun buru-buru menarik lagi handuknya yang melorot lalu melilitkan ke pinggang lagi dengan wajah merah padam menahan malu. Untung dia pakai sempak!
Bah! Bisa-bisanya dia lupa kalau yang dikerjainya ini perawan gila. Ada juga malah dia yang balik dikerjai dan gila sendiri.
"Buruan balik sana, ah!" omel Jaka makin kesal. Tapi Nuning malah rebahan, siul-siul sambil membaca komik Spiderman.
"Jakaa, ada temanmu nih." Mendadak terdengar suara bibinya baru pulang dari pasar!
"Mati aku ...!” Jaka tepok jidat kebingungan.
Gawat kalau sampai bibinya melihat Nuning ada di kamarnya. Bisa-bisa dia dikira mesum dengan anak gadis orang! Terus dinikahkan betulan? Hiii serem.
"Jakaaa?" Suara bibinya semakin mendekat.
Jaka ingin mengunci pintu, tapi baru ingat kalau knopnya sedang rusak. "Aiss siaal," gumamnya panik. "Banguuun, buruaan ngumpet di mana kek sono ...!" Jaka menarik-narik Nuning dari kasurnya.
"Jakaaa?" Bibinya memanggil lagi dengan suara yang terdengar semakin mendekat.
"I-iyaa, Bi. Sebentar!" jawabnya sambil menahan daun pintu agar tak terbuka lebar karena si bibi mulai mendorongnya.
"Lama amat sih dipanggilin nggak keluar-keluar? Dicari Erna, tuh!" kata bibinya bikin Jaka seketika syok. Lalu melirik-lirik ngeri kepada Nuning yang bersembunyi di belakang pintu kamarnya dengan tatapan siap mencabik-cabik.
"A-aku ..., lagi sibuk, Bi. Lagi bikin layangan buat orderan festival."
"Oh, ya sudah kalau gitu. Er ...? Erna ..., Jaka nggak sempat keluar nih, kamunya aja sini masuk!" panggil bibinya malah mempersilakan. Lalu melenggang pergi ke dapur.
Jaka meringis frustrasi. Tapi tak bisa berkutik. Dan memucat kala Erna betul-betul menghampiri sampai di depan kamarnya.
"Hai, Jak?”
Erna memberinya senyuman yang paling manis. Tapi bukannya bikin senang, justru bikin Jaka memucat. Sebab kedatangan Erna kali ini salah waktu dan tempat!
“Ehm, kamu ... lagi sibuk apa sih, Jak?”
"Mau tau aja, apa mau tau bangettt?!" Suara Nuning yang memekik dari dalam kamar Jaka sekonyong-konyong membuat Erna pucat pasi. Mata gadis itupun berkaca-kaca menatap Jaka.
Modyarrr.
Tamat sudah riwayat Jaka di depan Erna!
Bab 6. Saat Bendera Putih Berkibar
Sudah sejam Nuning nangkring di jendela kamarnya yang terbuka lebar. Menatap bintang-bintang di langit malam dalam diam. Membiarkan angin sepoi-sepoi mencipoki wajah masamnya.
Emaknya kebingungan. Kalau anak perawannya guling-guling koprol sampai kamarnya mirip kapal pecah, Bu Parmi tak akan heran. Tapi. Nuning yang hiperaktif bisa anteng mematung seperti itu, bisa dibilang peristiwa langka.
Si emak mondar-mandir di depan pintu kamar Nuning seperti setrika yang sedang meluruskan baju yang kusutnya sudah kronis. Bu Parmi tak bisa duduk manis.
Kalau anaknya kesambet setan sepertinya tak mungkin. Bah, yang ada malah setannya gumoh duluan melihat Nuning. Lagipula, hobinya yang suka menyamar jadi setan buat menakuti anak-anak pulang mengaji, bikin para setan tak bisa membedakan lagi Nuning itu temannya apa manusia. Salah-salah nanti bukannya Nuning yang kesurupan setan, tapi setannya yang kesurupan Nuning.
“Kenapa lagi tuh anak ya, Pak?” keluh Bu Parmi tak tahan lagi. Akhirnya perlu tempat untuk berbagi uneg-uneg dengan suami, kalau berbagi duit sih Bu Parmi ogah banget. Karena duitnya ya duitnya, tapi kalau duit suaminya ya duitnya juga.
“Anaknya pecicilan ... bingung, anaknya anteng ... kok tambah bingung? Maunya Emak nih macam gimana sih? Ya wajarlah namanya manusia yang punya perasaan punya hati, ya bisa berubah-ubah sesuai kondisi.”
“Bukannya gitu, Pak. Emak cuma mikir aja. Kok berubahnya drastis? Tiba-tiba nggak pernah bolos lagi. Rajin belajar. Gemar menabung. Cium tangan Emak kalau mau berangkat dan pulang sekolah. Bahkan sudah tiga bulan ini Emak nggak pernah dipanggil ngadep kepala sekolah lagi. Luar biasa tho? Nah, sekarang kok tiba-tiba dia jadi pemurung begini? Padahal biasanya nyerocos terus sampai bikin burung beo kita mati stres karena nggak kebagian jatah ngoceh. Gimana Emak nggak bingung coba? Gimana kalau ntar tiba-tiba dia bunuh diri? Emak kan takut.”
“Makanya, Mak ..., jangan kebanyakan nonton Patroli. Jadinya parno sendiri tho. Mikir yang nggak-nggak aja. Lagian nggak ada yang namanya tiba-tiba, Mak. Semua pasti ada sebabnya kenapa Nuning jadi gitu, tapi kita aja yang nggak tahu.”
“Nah, menurut Bapak sebabnya opo?”
Pak Priyo menyesap kopinya yang mulai dingin. “Jaka tadi ke sini nggak?” tanyanya tiba-tiba.
“Bapak iki pye sih? Lah wong diajak ngomongin masalah Nuning kok malah nanyain Ja_,” Bu Parmi terdiam sesaat, kemudian mengangguk-angguk paham. “Hmm. Emak tahu sekarang. Jadi gitu tho?” Bibirnya tersenyum selebar pagar.
“Wah ..., rupanya anak kita beneran udah jadi gadis normal ya, Pak! Kayaknya bener dugaan kita kalau diam-diam mereka berdua ada hati.”
“Itu namanya, witing tresno jalaran soko kulino, Mak. Cinta datang karena terbiasa. Wajarlah, sejak kecil kan mereka dah biasa jadi setan-setanan bareng.”
Bu Parmi mengangguk-angguk dan menyahut, “Jadi gitu tho. Wih, lega sekarang hatiku, Pak! Bener sampean, Pak. Mereka pasti jatuh cinta karena kebiasaan main bareng. Bukan cuma main bareng sih, tapi juga teman ngibrit bareng pas dikejar-kejar pake celurit sama Mbah Surip gegara ketahuan nyolong mangga!” Lalu tertawa sendiri.
Sekarang sih Bu Parmi bisa tertawa, coba dulu? Mules-mules iya. Sampai stres kehilangan nafsu makan, tapi tak juga bikin badannya kurus. Malah tambah gendut karena kekenyangan ‘makan hati’, kenyang mengomel, kenyang menelan kenyataan pahit karena kelakuan anak perawannya lebih mirip buto cakil ketimbang mirip Dewi Shinta yang ayu dan lemah lembut.
“Mungkin mereka lagi marah-marahan kayak umumnya orang lagi pacaran gitu ya, Pak? Tapi marahannya kok lama banget ya? Udah seminggu ini Jaka nggak kelihatan. Biasanya kan mereka kayak kodok gancet, pecicilan sana-sini bareng.”
“Biarin aja, Mak. Ntar juga baikan lagi. Kayak nggak kenal mereka aja.”
Bu Parmi menghela napas lega karena masih ada yang mau sama anak gadisnya. Meskipun itu si Jaka yang rada koplak juga. Tapi mengingat anaknya juga biang koplak, Bu Parmi merestui saja. Mana ada sih pemuda normal yang mau memacari perawan gesrek macam anaknya selain Jaka? Toh Jaka juga nggak jelek. Aslinya anak itu cakep, cuma karena terlalu sering gaul sama Nuning yang kelakukannya mirip monyet lepas kandang, jadinya ya begitulah, Jaka jadi ikut buluk-buluk dikit. Tapi kalau nanti Jaka jadi orang berduit pasti daya tarik aslinya bisa balik.
Pokoknya, Bu Parmi sangat merestui jika Nuning dan Jaka bisa sampai pelaminan!
***
Dugaan Bu Parmi tak sepenuhnya salah. Nuning memang sedang marah-marahan dengan Jaka. Kecewa karena Jaka menolaknya. Apalagi sejak kejadian Erna menangkap basah mereka berduaan di kamar Jaka. Seketika itu juga Erna berlari pulang sambil menangis. Jaka ingin mengejar Erna, tapi dengan jahat Nuning menjegal kakinya sampai Jaka tersungkur mencium lantai.
"Apa-apan sih, Ning?!" bentak Jaka marah sambil mengelusi dengkulnya yang lecet.
"Nggak apa-apa kok.” Nuning bersedekap acuh tak acuh. Tiada iba dalam hatinya melihat ekspresi Jaka yang nelangsa.
"Ngapain juga kamu ngejar-ngejar dia? Biar apa gitu? Kamu itu calon suamiku!"
Jaka melotot tajam padanya, Nuning justru membalasnya dengan kedipan sebelah mata.
“K-kamu ...,” Jaka menelan ludah.
Nuning tahu ada banyak kata yang ingin disemburkannya, tapi entah kenapa cowok itu pilih bungkam seribu bahasa.
Jaka berderap memasuki kamar. Nuning menyusul, tapi Jaka mengganjal pintu dengan tubuhnya hingga Nuning hanya bisa menggedorinya saja tanpa bisa memasukinya lagi.
Nuning bukannya tak paham kalau dirinya bukanlah tipe cewek yang diinginkan Jaka sebagai kekasih, apalagi sebagai istri! Tapi ..., Nuning terlalu sumpek dengan kehidupannya di kampung yang monoton dan membosankan. Dan ikut suami menjadi alasan kuat dan satu-satunya, agar dia bisa lekas minggat menciptakan petualangan baru di kota impiannya. Kota yang kebetulan akan ditinggali Jaka usai kelulusan nanti, Jakarta.
Tapi memaksa Jaka demi memenangkan egonya, rasanya kejam juga. Nuning jadi galau. Jaka terlalu baik untuk dimanfaatkan sedemikian rupa. Bisa saja Jaka bersikap keras lalu meninggalkannya. Tapi sahabatnya itu memilih bersabar menghadapinya. Bahkan mengalah saja saat Nuning menikungnya dari Erna dengan sengaja, dari cinta pertamanya.
Jaka pantas marah padanya. Pantas kalau sudah seminggu ini si jangkung itu tak kelihatan batang hidungnya di sekolah. Membolos ke mana dia? Nuning jadi gusar memikirkannya. Lalu dia bersitatap dengan Erna yang juga sedang mencuri lihat ke bangku Jaka yang kosong. Nuning dongkol dan memelototinya, Erna pun lekas memalingkan wajah dan pura-pura membaca buku.
Nuning tak bisa berpikir jernih sepanjang jam pelajaran. Di tengah jam belajar, dia pamit ke toilet tapi ternyata ingin membolos, langsung memanjat dan melompat pagar. Lalu berlari menuju rumah Jaka, mencari-cari keberadaannya. Nuning ingin bicara dengannya. Tapi, rumah Jaka digembok.
Masih memakai seragam sekolahnya. Nuning menyusuri tegalan. Nyemplung rawa. Masuk-keluar dari kebun ke kebun. Naik-turun dari satu pohon ke pohon. Mencari Jaka sudah seperti mencari monyet lepas saja, sampai dengkulnya hampir copot kelelahan memutari kampung.
Orang-orang yang dia tanyai tentang Jaka malah balik kebingungan. Kalau Nuning teman gancetnya saja nggak tahu, apalagi mereka?
Nuning tiba di halaman rumahnya sudah lewat azan magrib. Seragamnya kucel dan basah oleh keringat dan air rawa. Rambutnya yang panjang diikat asal-asalan. Awut-awutan sehabis nangkring di pohon rambutan. Sempat bikin kaget yang punya pohon karena dikira ada lutung masuk kampung. Untung yang punya pohon tak marah saat memergoki Nuning nangkring di pohonnya sambil menggasak buahnya, sementara kulitnya berserakan di bawah. Malah yang punya pohon bingung, “Itu perut apa gentong? Yakin ntar nggak bakal mencret makan rambutan segitu banyak?” tanyanya antara peduli atau nyumpahin.
“Ning!”
Nuning terlonjak dari lamunan. Untung tubuhnya tak sampai terpental ke kampung sebelah saking kagetnya melihat penampakan Jaka yang tiba-tiba datang menyapanya macam jelangkung linglung.
Nuning ingin memeluk Jaka saking senangnya. Tapi ia malah meninju-ninju kecil lengan sahabatnya yang seminggu ini menghilang. “Wedus gembel! Kemana aja kamu?!” pekiknya riang.
Melihat Jaka lagi bikin hati Nuning plong bukan main. Dan memaki Jaka memang cara paling nyaman untuk menunjukkan suasana hatinya yang gembira. “Capek aku tuu nyariin gundulmu, tahu?!” omelnya sembari jejingkrakan riang.
“Ning?” Jaka memanggilnya lagi saat Nuning tertawa ramai-ramainya.
Nuning mendongak menatap Jaka. Tiba-tiba ia merasa janggal saat bertemu tatap dengan bola mata gelap Jaka yang penuh rahasia. Jaka belum pernah bersikap seserius ini padanya.
“Kenapa, Jak?”
Jaka menggigiti bibirnya penuh keraguan.
Nuning mendesah. “Jak, maafin aku ya?” Akhirnya dia buka suara lebih dulu. “Ulahku kemarin-kemarin memang kelewatan. Nggak semestinya aku maksa-maksa kamu buat nikahin aku. Aku janji nggak akan gangguin kamu lagi soal itu. Asal kita jangan marah-marahan lagi kayak kemarin. Kamu nggak perlu lagi menghilang selama ini demi menghindariku lagi, Jak”
Nuning pun tertawa getir. Hangus sudah tiketnya ke Jakarta. Nuning mengibarkan bendera putih dalam hatinya, menyerah. Tapi ini lebih baik ketimbang persahabatannya dengan Jaka yang hangus.
Mendengarnya, Jaka ikut tertawa lirih. Lalu cowok itu tiba-tiba terdiam dan menatap Nuning lurus-lurus dan membuat Nuning mematung. “Ning,” ujarnya seraya meraih tangan gadis itu. Lalu Jaka menghela napasnya dalam-dalam dan berkata, “Oke, ... kita nikah!”
Duarrrr!
Nuning mencelat keluar dari orbit bumi, lalu nyungsep di planet Bekasi.
Bab 7. Sah!
“Saya terima nikah dan kawinnya Wahyuning binti Supriyo dengan mas kawin Tiket Damri ke Jakarta dibayar tunai!”
Ingin rasanya Bu Parmi menutupi mukanya pakai gentong. Mestinya ikut lega karena Jaka bisa begitu fasih mengucap akad nikahnya dengan sekali tarikan napas. Kedua saksi pun menyatakan kalau pernikahan itu sah! Sah secara hukum dan agama. Tapi, mas kawinnya itu loh! Bikin Bu Parmi minder dengar kasak-kusuk dan tawa lirih mengejek di sekitarnya.
Bu Parmi menyarankan seperangkat alat salat saja buat mas kawin kalau Jaka belum mampu beli emas meski cuma setengah gram. Maklum, pernikahan ini terlalu mendadak dan tak banyak persiapan. Begitu lulus sekolah, Jaka datang ke rumah dengan pamannya. Bikin Pak Priyo dan Bu Parmi melongo anaknya dilamar secara tiba-tiba. Meski senang akhirnya Nuning ‘sold out’, tapi diam-diam Bu Parmi sedih melepas puterinya secepat ini. Maka bagaimanapun dia tetap ingin mempersiapkan pernikahan Nuning sebaik-baiknya, meski dengan dana seadanya.
“Nggak mauuuu!” Nuning kelesotan sambil melolong mirip orang kesurupan tiket. “Mas kawin kok mukena sama sajadah, itu kan aku udah punya. Kayak bakal sering dipake aja.” Lalu menjulurkan lidah mengejek saat ditoyor emaknya. “Maunya tiket Damri. Titik!” kekeuhnya.
“Beliin tiket itu kan udah kewajiban Jaka sebagai suami kalau mau boyong kamu ke Jakarta nanti? Ngapain dijadiin mas kawin segala?”
“Beliin alat salat juga kewajiban suami, ngapain dijadiin mas kawin segala? Hayooo? Udah ah, Emak nggak usah bawel, yang mau kawin kan aku, bukan Emak! Terserah aku dong minta mas kawin apa.”
Pak Priyo menarik istrinya keluar dari kamar Nuning sebelum emak dan anak itu gebuk-gebukan bantal karena tak ada yang sudi mengalah. Sebelum atap rumah rubuh karena keduanya terus-terusan saling menggonggong. Sebelum rusuh dan mengundang gempa bumi lokal di kampungnya.
“Wis tho, Mak. Kalau maunya Nuning begitu mbok ya diturutin aja.”
“Tapi mas kawin macam apa itu, Pak? Masa tiket Damri dijadiin mas kawin siiih. Mau ditaruh mana muka Emak? Pasti bakal diketawain orang.”
“Orang-orang pasti dah nggak pada heran lagi, Mak. Dah pada paham, kalau nggak aneh-aneh ya bukan Nuning namanya.”
“Tapi kan malu, Pak!”
“Lah wong anak kita menikah bukan karena hamil duluan kok malu?”
“Ih, Bapak! Pernikahan itu kan sakral, Pak. Kudunya mas kawinnya juga jangan main-main dong.”
“Yang penting dibayar tunai kan, Mak, nggak diutang!”
Pak Priyo pun ampun-ampun dipentungi centong oleh Bu Parmi yang mulai darah tinggi.
Seangker-angkernya kumis si bapak, ternyata masih keok juga dari emak-emak berdaster yang sedang kalap.
***
Sebenarnya Jaka pun tak setuju menjadikan tiket Damri ke Jakarta sebagai mas kawin. Otaknya tak korslet seperti Nuning. Dia masih sedikit waras. “Ning, bukannya aku nggak mau beliin tiketnya, percaya deh. Nggak kamu minta juga aku pasti beliin kok. Kasihan ntar emakmu bisa syok dengernya,” katanya mengingatkan.
Nuning tetep ngeyel. “Kamu kok ngeremehin banget jantungnya emakku sih? Percaya deh, jantungnya emakku tuh kuat. Paling kuat malah daripada jantungnya emak-emak sekampung. Justru jantung emakku bisa copot kalau kita nggak jadi kawin. Makanya kamu nggak usah mikirin soal mas kawin, fokus aja sama akad nikah besok. Lagian soal mas kawin itu kan hakku. Maunya aku dong kepingin apa?” ocehnya bukan tanpa sebab.
Nuning memang sengaja minta dibelikan tiket dengan tanggal keberangkatan yang sudah ditetapkan. Biar orangtuanya tak punya alasan menahannya berlama-lama tinggal di kampung. Perasaannya ingin lekas ke Jakarta sudah seperti orang kebelet pipis ‘gitulah. Nah, memangnya ada orang yang sanggup menahan pipis lama-lama?
Sesederhana itulah pikiran Nuning. Tapi bikin Jaka garuk-garuk pantat. Andai saja membenahi otak miringnya Nuning segampang membenahi sempaknya yang nyelip!
***
Nuning memang bukan wanita idaman Jaka. Bukan wanita yang memiliki cintanya. Hatinya sudah telanjur kecantol Erna. Tapi cintanya pada Erna tak bisa menolong keluarga pamannya. Sedangkan pernikahannya dengan Nuning bisa.
Paman dan bibinya merawat Jaka sejak kelas 4 SD. Mereka orang yang pertama kali mengulurkan tangan saat ibunya bercerai dari ayahnya yang mabok janda. Saat ibunya pontang-panting di Jakarta tanpa pekerjaan, pamannya menjemput dan membawa Jaka ke kampung agar bisa melanjutkan sekolah. Sementara ibunya tetap di Jakarta bekerja sebagai pembantu, paman dan bibi mengurusnya seperti anak sendiri.
Sekali saja dalam hidupnya, Jaka ingin jadi pahlawan. Meski sekali saja, Jaka ingin menyelamatkan hidup seseorang, apalagi itu pamannya yang sudah dianggap sebagai ayah kandungnya sendiri. Dan saat ini pamannya terancam masuk penjara atas tuduhan penipuan.
“Kalau rumah dijual, nanti Paman sama Bibi tinggal dimana? Nanti Bibi bagaimana? Senyaman-nyamannya tempat istirahat kan rumah sendiri,” kata Jaka sambil mengusapi lengan bibinya yang diinfus, jantungan gara-gara kasus suaminya.
“Tapi mau gimana lagi? Pamanmu gagal panen semangka, padahal sudah keluar banyak modal. Modal nekat dan pake ngutang pula. Sekarang giliran utangnya jatuh tempo, nggak ada dana buat bayar. Terpaksa harus jual rumah satu-satunya. Tapi rumah belum laku ..., eh, malah pamanmu dituduh nggak mau bayar, terus diancam mau dipenjarain sekalian. Dimana otak mereka itu coba?! Memangnya jual rumah segampang jual sembako!”
“Sabar, Bi. Sabar ...,” kata Jaka sambil mendorong pelan bahu bibinya agar kembali rebahan santai, lalu menyelimuti tubuhnya yang kurus karena stres. Tapi bukannya selow, bibinya malah termehek-mehek tak peduli jadi tontonan pasien sebangsal. Air mata bibinya tumpah ruah menangisi nasib suaminya. Sampai habis satu box tisu untuk mengusapi air matanya, tangis bibinya tak juga kunjung usai.
Sedangkan sang paman semakin hari semakin linglung merenungi nasib. Penjara seakan melambai-lambai menantinya.
Jaka tak tega melihat paman dan bibi yang disayanginya jadi sekacau itu di hari tuanya. Apalagi mereka tak punya anak yang bakal mengurusi mereka kalau Jakarta kembali ke Jakarta nanti.
Lalu, pikiran itu datang begitu saja.
“Paman, aku punya warisan dari almarhum bapak. Pakai itu saja buat bayar utangnya.”
“Huss, ngawur kamu. Jangan. Nanti dikiranya Paman merawatmu karena ada maunya. Warisan itu hakmu, buat masa depanmu.”
“Tapi tanpa pertolongan paman dan bibi, aku nggak bakal punya masa depan kayak sekarang. Biarin aja. Nggak usah peduliin omongan orang. Aku ikhlas kok. Toh aku masih muda, masih kuat kerja cari duit. Kalau Paman, sudah saatnya pensiun. Jaka sedih liat Paman kerja keras tapi malah jadinya kayak gini.”
Pamannya mengusapi pundak Jaka dengan trenyuh. “Jak, jangan gadaikan masa depanmu untuk masalah ini. Kamu bisa pakai warisanmu buat yang lain. Percayalah, Paman bisa mengatasinya,” nasihatnya sambil batuk-batuk.
Tapi Jaka justru melihat keputusasaan di mata tuanya. Bagaimana Jaka bisa percaya?
‘Kalau paman dipenjara, terus nanti bibi gimana?’ Pikiran itu menghantuinya.
Jaka menghela napas berat. Iba memperhatikan wajah tua pamannya yang kian hari kian kuyu karena masalah finansial yang mencekik hari tuanya. Niat tanam semangka biar untung besar seperti orang-orang, kok malah buntung.
“Pakai saja uang warisan Jaka buat bayar utang, paman bisa menggantinya nanti kapan-kapan,” tekad Jaka tak ingin dibantah lagi.
Berangkatlah Jaka ke Jakarta. Menemui keluarga yang bertanggung jawab mengurusi warisannya. Dia tahu membahas soal ini tak akan mudah, tapi setidaknya dia perlu mencoba. Bagaimanapun ia harus lekas mencairkannya. Tapi, tiba-tiba saja ia teringat hukum dan syarat yang mengaturnya. Warisan itu baru bisa diterima kalau ia sudah berusia 21 tahun atau jika sudah menikah. Sayangnya, ia baru 19 sekarang.
Pikirannya kembali kusut. Terbayangi nasib paman dan bibi di kampung yang bergantung pada usahanya sekarang. Dipandanginya langit Jakarta dari halte tempatnya menunggu bis yang akan membawanya menuju rumah keluarga ayahnya di Bekasi. Langit yang mulai diselubungi mendung. Gelap. Segelap pikirannya yang mampet. Sebentar lagi turun hujan. Lalu banjir. Macet. Ruwet. Njlimet. Kondisi klasik ibukota yang cocok dengan masalahnya saat ini.
Jaka pun tersenyum sinis. “Kayak gini kok kamu ngebet banget kepingin ke Jakarta tho, Ning?” gumamnya sambil menunduk. Tapi kemudian ia tertegun mengingat nama itu.
Ide itu pun muncul seketika. Menikahi Nuning!
***
“Hmm jadi gitu tho ceritanya,” Nuning manggut-manggut saat Jaka menjelaskan alasan pernikahan mereka. “Ya okelah, nggak masalah! Toh kita sama-sama diuntungkan dengan pernikahan ini. Aku dapat tiket ke Jakarta dan kamu dapat warisan. Adil kan?” ucap gadis itu dengan mata berbinar senang. Bikin Jaka linglung beberapa saat.
Tak pernah terbayangkan Nuning bakal menanggapi masalah sebesar ini dengan santainya. Tapi itulah Nuning. Alien kampung yang frekwensinya selalu terhubung dengannya.
“Terus, gimana sama Erna? Kamu nggak nyoba tanya dia dulu, mau nggak nikah sama kamu?” ledek Nuning dengan senyum kemenangan.
Jaka tersenyum kecut. Tanpa perlu tanya Erna dulu pun ia sudah tahu jawabannya. Erna bukan anak kampung biasa seperti mereka. Orangtuanya punya toko mebel yang besar. Semua keluarganya bergelar Sarjana. Erna juga bukan gadis lugu yang mau saja diajak kawin muda seperti umumnya anak gadis di kampung ini. Apalagi dengan pemuda kampung dengan masa depan abal-abal seperti dirinya. Sebesar apapun Erna menyimpan rasa suka padanya, Jaka tahu kalau Erna akan bersikap rasional. Pilih lanjut kuliah ketimbang meladeni cinta monyetnya.
“Kalau dia mau, terus kamu gimana?” jawab Jaka sambil menyenggol Nuning dengan bahunya. Lalu menoleh, mengamati Nuning yang mendadak diam. Menebak ekspresi Nuning kadang kala sama rumitnya dengan memecahkan misteri si Kolor Ijo.
Nuning tersenyum ringan. “Ya nikah aja sama dia. Aku rapopo.” Lalu tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Jaka. “Nggak ada yang lebih penting bagiku selain perasahabatan kita, Jak.”
Jaka mencebik. “Ngapa kamu nggak kayak gini aja sejak dulu sih, Ning? Kan aku jadi bisa puas-puasin pacaran dulu sama Erna sebelum nikahin kamu.”
Seketika Nuning mencubit Jaka.
“Wadaw! A-aampun ..., Ning!”
“Menang banyak dong kamu? Enak aja!” omel Nuning sambil menendang Jaka hingga tercebur ke kali.
Jaka pun tak mau basah sendirian. Dikejarnya Nuning yang kabur ke tegalan. Tertangkap. Digendong. Lalu menceburkan diri ke kali bersama-sama sambil tergelak riang. Menikmati kebersamaan mereka sebagai teman untuk terakhir kali. Sebab esok status mereka akan segera berubah jadi suami-istri.
Bab 8. Malam Pertama Itu Hoax
“Saya terima nikah dan kawinnya Wahyuning binti Supriyo dengan mas kawin Tiket Damri ke Jakarta dibayar tunai!”
Ingin rasanya Bu Parmi menutupi mukanya pakai gentong. Mestinya ikut lega karena Jaka bisa begitu fasih mengucap akad nikahnya dengan sekali tarikan napas. Kedua saksi pun menyatakan kalau pernikahan itu sah! Sah secara hukum dan agama. Tapi, mas kawinnya itu loh! Bikin Bu Parmi minder dengar kasak-kusuk dan tawa lirih mengejek di sekitarnya.
Bu Parmi menyarankan seperangkat alat salat saja buat mas kawin kalau Jaka belum mampu beli emas meski cuma setengah gram. Maklum, pernikahan ini terlalu mendadak dan tak banyak persiapan. Begitu lulus sekolah, Jaka datang ke rumah dengan pamannya. Bikin Pak Priyo dan Bu Parmi melongo anaknya dilamar secara tiba-tiba. Meski senang akhirnya Nuning ‘sold out’, tapi diam-diam Bu Parmi sedih melepas puterinya secepat ini. Maka bagaimanapun dia tetap ingin mempersiapkan pernikahan Nuning sebaik-baiknya, meski dengan dana seadanya.
“Nggak mauuuu!” Nuning kelesotan sambil melolong mirip orang kesurupan tiket. “Mas kawin kok mukena sama sajadah, itu kan aku udah punya. Kayak bakal sering dipake aja.” Lalu menjulurkan lidah mengejek saat ditoyor emaknya. “Maunya tiket Damri. Titik!” kekeuhnya.
“Beliin tiket itu kan udah kewajiban Jaka sebagai suami kalau mau boyong kamu ke Jakarta nanti? Ngapain dijadiin mas kawin segala?”
“Beliin alat salat juga kewajiban suami, ngapain dijadiin mas kawin segala? Hayooo? Udah ah, Emak nggak usah bawel, yang mau kawin kan aku, bukan Emak! Terserah aku dong minta mas kawin apa.”
Pak Priyo menarik istrinya keluar dari kamar Nuning sebelum emak dan anak itu gebuk-gebukan bantal karena tak ada yang sudi mengalah. Sebelum atap rumah rubuh karena keduanya terus-terusan saling menggonggong. Sebelum rusuh dan mengundang gempa bumi lokal di kampungnya.
“Wis tho, Mak. Kalau maunya Nuning begitu mbok ya diturutin aja.”
“Tapi mas kawin macam apa itu, Pak? Masa tiket Damri dijadiin mas kawin siiih. Mau ditaruh mana muka Emak? Pasti bakal diketawain orang.”
“Orang-orang pasti dah nggak pada heran lagi, Mak. Dah pada paham, kalau nggak aneh-aneh ya bukan Nuning namanya.”
“Tapi kan malu, Pak!”
“Lah wong anak kita menikah bukan karena hamil duluan kok malu?”
“Ih, Bapak! Pernikahan itu kan sakral, Pak. Kudunya mas kawinnya juga jangan main-main dong.”
“Yang penting dibayar tunai kan, Mak, nggak diutang!”
Pak Priyo pun ampun-ampun dipentungi centong oleh Bu Parmi yang mulai darah tinggi.
Seangker-angkernya kumis si bapak, ternyata masih keok juga dari emak-emak berdaster yang sedang kalap.
***
Sebenarnya Jaka pun tak setuju menjadikan tiket Damri ke Jakarta sebagai mas kawin. Otaknya tak korslet seperti Nuning. Dia masih sedikit waras. “Ning, bukannya aku nggak mau beliin tiketnya, percaya deh. Nggak kamu minta juga aku pasti beliin kok. Kasihan ntar emakmu bisa syok dengernya,” katanya mengingatkan.
Nuning tetep ngeyel. “Kamu kok ngeremehin banget jantungnya emakku sih? Percaya deh, jantungnya emakku tuh kuat. Paling kuat malah daripada jantungnya emak-emak sekampung. Justru jantung emakku bisa copot kalau kita nggak jadi kawin. Makanya kamu nggak usah mikirin soal mas kawin, fokus aja sama akad nikah besok. Lagian soal mas kawin itu kan hakku. Maunya aku dong kepingin apa?” ocehnya bukan tanpa sebab.
Nuning memang sengaja minta dibelikan tiket dengan tanggal keberangkatan yang sudah ditetapkan. Biar orangtuanya tak punya alasan menahannya berlama-lama tinggal di kampung. Perasaannya ingin lekas ke Jakarta sudah seperti orang kebelet pipis ‘gitulah. Nah, memangnya ada orang yang sanggup menahan pipis lama-lama?
Sesederhana itulah pikiran Nuning. Tapi bikin Jaka garuk-garuk pantat. Andai saja membenahi otak miringnya Nuning segampang membenahi sempaknya yang nyelip!
***
Nuning memang bukan wanita idaman Jaka. Bukan wanita yang memiliki cintanya. Hatinya sudah telanjur kecantol Erna. Tapi cintanya pada Erna tak bisa menolong keluarga pamannya. Sedangkan pernikahannya dengan Nuning bisa.
Paman dan bibinya merawat Jaka sejak kelas 4 SD. Mereka orang yang pertama kali mengulurkan tangan saat ibunya bercerai dari ayahnya yang mabok janda. Saat ibunya pontang-panting di Jakarta tanpa pekerjaan, pamannya menjemput dan membawa Jaka ke kampung agar bisa melanjutkan sekolah. Sementara ibunya tetap di Jakarta bekerja sebagai pembantu, paman dan bibi mengurusnya seperti anak sendiri.
Sekali saja dalam hidupnya, Jaka ingin jadi pahlawan. Meski sekali saja, Jaka ingin menyelamatkan hidup seseorang, apalagi itu pamannya yang sudah dianggap sebagai ayah kandungnya sendiri. Dan saat ini pamannya terancam masuk penjara atas tuduhan penipuan.
“Kalau rumah dijual, nanti Paman sama Bibi tinggal dimana? Nanti Bibi bagaimana? Senyaman-nyamannya tempat istirahat kan rumah sendiri,” kata Jaka sambil mengusapi lengan bibinya yang diinfus, jantungan gara-gara kasus suaminya.
“Tapi mau gimana lagi? Pamanmu gagal panen semangka, padahal sudah keluar banyak modal. Modal nekat dan pake ngutang pula. Sekarang giliran utangnya jatuh tempo, nggak ada dana buat bayar. Terpaksa harus jual rumah satu-satunya. Tapi rumah belum laku ..., eh, malah pamanmu dituduh nggak mau bayar, terus diancam mau dipenjarain sekalian. Dimana otak mereka itu coba?! Memangnya jual rumah segampang jual sembako!”
“Sabar, Bi. Sabar ...,” kata Jaka sambil mendorong pelan bahu bibinya agar kembali rebahan santai, lalu menyelimuti tubuhnya yang kurus karena stres. Tapi bukannya selow, bibinya malah termehek-mehek tak peduli jadi tontonan pasien sebangsal. Air mata bibinya tumpah ruah menangisi nasib suaminya. Sampai habis satu box tisu untuk mengusapi air matanya, tangis bibinya tak juga kunjung usai.
Sedangkan sang paman semakin hari semakin linglung merenungi nasib. Penjara seakan melambai-lambai menantinya.
Jaka tak tega melihat paman dan bibi yang disayanginya jadi sekacau itu di hari tuanya. Apalagi mereka tak punya anak yang bakal mengurusi mereka kalau Jakarta kembali ke Jakarta nanti.
Lalu, pikiran itu datang begitu saja.
“Paman, aku punya warisan dari almarhum bapak. Pakai itu saja buat bayar utangnya.”
“Huss, ngawur kamu. Jangan. Nanti dikiranya Paman merawatmu karena ada maunya. Warisan itu hakmu, buat masa depanmu.”
“Tapi tanpa pertolongan paman dan bibi, aku nggak bakal punya masa depan kayak sekarang. Biarin aja. Nggak usah peduliin omongan orang. Aku ikhlas kok. Toh aku masih muda, masih kuat kerja cari duit. Kalau Paman, sudah saatnya pensiun. Jaka sedih liat Paman kerja keras tapi malah jadinya kayak gini.”
Pamannya mengusapi pundak Jaka dengan trenyuh. “Jak, jangan gadaikan masa depanmu untuk masalah ini. Kamu bisa pakai warisanmu buat yang lain. Percayalah, Paman bisa mengatasinya,” nasihatnya sambil batuk-batuk.
Tapi Jaka justru melihat keputusasaan di mata tuanya. Bagaimana Jaka bisa percaya?
‘Kalau paman dipenjara, terus nanti bibi gimana?’ Pikiran itu menghantuinya.
Jaka menghela napas berat. Iba memperhatikan wajah tua pamannya yang kian hari kian kuyu karena masalah finansial yang mencekik hari tuanya. Niat tanam semangka biar untung besar seperti orang-orang, kok malah buntung.
“Pakai saja uang warisan Jaka buat bayar utang, paman bisa menggantinya nanti kapan-kapan,” tekad Jaka tak ingin dibantah lagi.
Berangkatlah Jaka ke Jakarta. Menemui keluarga yang bertanggung jawab mengurusi warisannya. Dia tahu membahas soal ini tak akan mudah, tapi setidaknya dia perlu mencoba. Bagaimanapun ia harus lekas mencairkannya. Tapi, tiba-tiba saja ia teringat hukum dan syarat yang mengaturnya. Warisan itu baru bisa diterima kalau ia sudah berusia 21 tahun atau jika sudah menikah. Sayangnya, ia baru 19 sekarang.
Pikirannya kembali kusut. Terbayangi nasib paman dan bibi di kampung yang bergantung pada usahanya sekarang. Dipandanginya langit Jakarta dari halte tempatnya menunggu bis yang akan membawanya menuju rumah keluarga ayahnya di Bekasi. Langit yang mulai diselubungi mendung. Gelap. Segelap pikirannya yang mampet. Sebentar lagi turun hujan. Lalu banjir. Macet. Ruwet. Njlimet. Kondisi klasik ibukota yang cocok dengan masalahnya saat ini.
Jaka pun tersenyum sinis. “Kayak gini kok kamu ngebet banget kepingin ke Jakarta tho, Ning?” gumamnya sambil menunduk. Tapi kemudian ia tertegun mengingat nama itu.
Ide itu pun muncul seketika. Menikahi Nuning!
***
“Hmm jadi gitu tho ceritanya,” Nuning manggut-manggut saat Jaka menjelaskan alasan pernikahan mereka. “Ya okelah, nggak masalah! Toh kita sama-sama diuntungkan dengan pernikahan ini. Aku dapat tiket ke Jakarta dan kamu dapat warisan. Adil kan?” ucap gadis itu dengan mata berbinar senang. Bikin Jaka linglung beberapa saat.
Tak pernah terbayangkan Nuning bakal menanggapi masalah sebesar ini dengan santainya. Tapi itulah Nuning. Alien kampung yang frekwensinya selalu terhubung dengannya.
“Terus, gimana sama Erna? Kamu nggak nyoba tanya dia dulu, mau nggak nikah sama kamu?” ledek Nuning dengan senyum kemenangan.
Jaka tersenyum kecut. Tanpa perlu tanya Erna dulu pun ia sudah tahu jawabannya. Erna bukan anak kampung biasa seperti mereka. Orangtuanya punya toko mebel yang besar. Semua keluarganya bergelar Sarjana. Erna juga bukan gadis lugu yang mau saja diajak kawin muda seperti umumnya anak gadis di kampung ini. Apalagi dengan pemuda kampung dengan masa depan abal-abal seperti dirinya. Sebesar apapun Erna menyimpan rasa suka padanya, Jaka tahu kalau Erna akan bersikap rasional. Pilih lanjut kuliah ketimbang meladeni cinta monyetnya.
“Kalau dia mau, terus kamu gimana?” jawab Jaka sambil menyenggol Nuning dengan bahunya. Lalu menoleh, mengamati Nuning yang mendadak diam. Menebak ekspresi Nuning kadang kala sama rumitnya dengan memecahkan misteri si Kolor Ijo.
Nuning tersenyum ringan. “Ya nikah aja sama dia. Aku rapopo.” Lalu tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Jaka. “Nggak ada yang lebih penting bagiku selain perasahabatan kita, Jak.”
Jaka mencebik. “Ngapa kamu nggak kayak gini aja sejak dulu sih, Ning? Kan aku jadi bisa puas-puasin pacaran dulu sama Erna sebelum nikahin kamu.”
Seketika Nuning mencubit Jaka.
“Wadaw! A-aampun ..., Ning!”
“Menang banyak dong kamu? Enak aja!” omel Nuning sambil menendang Jaka hingga tercebur ke kali.
Jaka pun tak mau basah sendirian. Dikejarnya Nuning yang kabur ke tegalan. Tertangkap. Digendong. Lalu menceburkan diri ke kali bersama-sama sambil tergelak riang. Menikmati kebersamaan mereka sebagai teman untuk terakhir kali. Sebab esok status mereka akan segera berubah jadi suami-istri.
Bab 9. Berangkat Ke Jakarta
“Pokoknya, kamu jangan ngeloyor sendiri tanpa Jaka. Ingat ya, Nduk, Jakarta itu kota besar, jangan kamu samain kayak kampung kita yang biasa kamu jajah seenaknya. Hati-hati sama orang berduit. Katanya mereka bisa melakukan apa saja, salah jadi benar dan benar bisa jadi salah, orang kecil macam kita pasti kalah. Jauh-jauhin orang-orang macam gitu ya, Nduk.” cerocos Bu Parmi memberi nasihat saat mengantar Nuning di terminal.
Nuning malah mencebik. “Makanya aku juga mau cari duit yang banyak, biar nggak kalah sama mereka. Emak nyantai aja. Aku kan bukan anak kecil lagi. Selagi bisa baca tulis dan punya mulut buat nanya, nggak bakalan nyasar di sana. Udah ah, jangan mewek. Nganterin orang mau pergi ke Jakarta kok kayak nangisin mayat mau dikubur aja.”
Bu Parmi geregetan dan menjitak Nuning. “Dibilangin orang tua kok nyautin aja kamu tuh! Kualat baru tau rasa!”
“Husss, Mak! Anaknya mau pergi nyebrang kok malah nyumpahin."
“Bukannya nyumpahin, Pak. Tap—”
Belum selesai Bu Parmi bicara, Pak Priyo menyahuti, “Lah, terus apa itu barusan bilang soal kualat segala? Tiati sampean. Omongan emak-emak itu kan keramat.” Lalu pria itu memelintir kumis.
Bu Parmi menunduk takluk dibawah aura orang nomor satu dalam tahta keluarganya itu.
“Maafin Nuning ya, Mak. Dia emang gitu orangnya, masa Emak masih kaget aja?” ujar Jaka sambil meraih tangan mertuanya untuk disalimi dengan sopan, lalu meminta doa restunya. Kemudian mencolek Nuning yang sibuk mengatur kopor di bagasi. “Ning, salim dulu sama Emak. Minta maaf, gih.”
Nuning menurut meski sambil manyun, menjabat tangan si emak sambil minta maaf.
Perubahan sikap Nuning yang sesepele itu terlihat begitu besar di mata orang tuanya. Nuning? Bisa menurut?
Bu Parmi dan Pak Priyo diam-diam bangga pada si menantu. Harapan mereka pun melambung tinggi. Mensyukuri pernikahan dini putrinya sebagai berkat. Keyakinan mereka yang semula cuma serpihan debu, perlahan mulai terasa menggumpal dalam genggaman. Yakin bahwa Jaka bisa mengubah puteri mereka menjadi sesuatu.
Bambang menepuki pundak Jaka. “Tolong jagain dia baek-baek dari Satpol PP di Jakarta ya, Jak. Takut ntar kena razia, dikira topeng monyet mau ngamen,” ledeknya sembari terkikik, tapi dengan cepat dibungkam tatapan tajam Pak Priyo. Buluk-buluk begitu Nuning tetap permata terindah di mata sang bapak.
Saat kondektur mulai mengabsen penumpang, Jaka dan Nuning pamit naik. Pak Priyo tak mampu berkata-kata, tapi pelukan dan napas beratnya kala melepas Nuning mengatakan segalanya, betapa ia sangat mencintai sang puteri dan dengan perpisahan itu. Sementara Bu Parmi sudah termehek-mehek lebih dulu.
Nuning menempelkan tangannya di kaca jendela, lalu melambaikan tangan pada keluarganya ketika bus perlahan-lahan meninggalkan terminal dan semakin menjauhi kampungnya. Menjauhi emak, bapak, Mas Bambang, serta paman dan bibinya Jaka yang turut serta mengantar. Menjadikan mereka titik kecil lalu menghilang saat bus mulai melaju kencang.
***
“Dingin?” tanya Jaka saat Nuning menarik resleting jaketnya sampai ke leher.
Nuning bergeming, memegang pagar besi di atas dek. Menatap lautan gelap saat kapal feri yang menggangkut bus mereka berlayar di Selat Sunda, dari Bakauheni menuju Merak.
Nuning menengadah, memandangi langit malam yang tak menampakkan bintang-gemintang. Jaka ikut tengadah dalam diam. Lalu menoleh lagi pada Nuning yang tampak khidmat memandangi angkasa raya yang berselimut gelap.
“Mikirin apa sih?” tanya Jaka kepo.
“Nggak. Aku cuma deg-degan.”
“Kamu? Degdegan?” Jaka terkikik.
Deg-degan itu kata yang tak pernah ada dalam kamus petualangan Nuning selama ini. Dikejar-kejar Mbah Surip pakai celurit saja cewek ini lari sambil tertawa riang kok. Tapi ini, nggak ada apa-apa kok malah deg-degan? Ternyata Nuning masih manusia juga punya rasa deg-degan, dikiranya sudah murni jadi alien.
“Katanya, Jakarta itu lebih indah kalau dilihat malam-malam ya?” tanya Nuning.
Jaka berdecak. “Kata siapa?”
“Kata bulek Sumini. Dia kan udah lima tahun kerja di Jakarta. Katanya pohon-pohonnya aja dihiasin lampu. Nggak kayak kampung kita, lampu bisa nerangin isi rumah tiap malam tanpa ada pemadaman listrik aja udah bagus.”
“Tapi bukannya di situ asyiknya? Kan nakut-nakutin anak pulang ngaji jadi makin seru pas mati lampu. Aku kangen sama masa-masa itu, Ning.”
Tapi Nuning tak menggubris kata-kata Jaka. Dia lebih suka membahas rencananya nanti di Jakarta. Jaka pun membiarkan Nuning mengoceh sepuasnya. Tak menyelanya barang sekecap demi menjaga harapan Nuning yang terlewat besar terhadap Jakarta. Biarlah nanti gadis itu merasakan sendiri bagaimana realitanya.
“Ning, udah mau sampai nih bentar lagi. Tuh, lampu-lampu Merak udah mulai kelihatan.”
Jaka menepuki pipi Nuning yang pulas tidur di sisinya sambil ngiler. Mungkin karena capek mengoceh ditambah kekenyangan makan pop mie sampai 3 cup. Terpaksa Jaka memapah istrinya yang setengah teler menuruni tangga besi yang curam, ke area parkir kendaraan berat. Lalu menggendong Nuning di punggungnya menuju bus seperti kuli menggendong karung beras. Sudah biasa!
***
Nuning mengucek mata. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Lalu mengucek lebih banyak, lebih cepat, dan lebih heboh. “Aku di mana!” pekiknya sambil koprol dari kasur macam jawara silat yang siap tarung.
Tatapannya menyapu seisi kamar sempit yang mengurungnya. Dindingnya berwarna kuning pucat, sepucat wajahnya saat ini. Lalu dia beranjak mendekati jendela, menyibak gorden, membukanya lebar-lebar dan melongok ke luar. Berakhir melongo karena yang dilihatnya hanyalah hamparan kebun yang luas.
Sepanjang mata memandang, terhampar tanah kering ditumbuhi ilalang dengan pepohonan yang tampaknya ditanam asal-asalan. Nuning mengabsen satu per satu pohon yang dikenalnya, “Kedondong, rambutan, sawo, asem, melinjo, belimbing, jambu bol …?” Lalu dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan mata terpejam rapat.
‘Ini pasti mimpi, cuma mimpi!’
Ia sadar betul semalam sudah berangkat naik bus Damri bersama Jaka yang sudah jadi suaminya. Melihat waktu kini sudah beranjak siang, mestinya mereka sudah sampai di Jakarta sekarang. TAPI. Kenapa dia malah melihat kebun seluas ini? Bukannya pemandangan ibukota. Mana dia gedung-gedung bertingkat, lampu-lampu indah yang bekerlip-kerlip di jalanan, mal-mal mewah, jalan tol, jembatan layang?
Terdampar di mana dirinya sekarang?
Nuning terduduk dengan kedua kakinya yang lemas. Apa ia diculik? Dia pernah mendengar berita di televisi tentang penyekapan gadis muda untk dijual ke luar negeri. ‘Terus, Jaka? Apa diculik juga untuk dijual organ tubuhnya?’ Nuning geleng-geleng kepala. Ngeri. Takut.
“Sudah bangun?” Suara seseorang tiba-tiba mengejutkannya.
“Siapa kamu?” bentak Nuning seraya menyambar guling di kasur dan melempar perempuan yang menyapanya.
Perempuan itu kaget dan mundur takut-takut.
“Panggil bosmu! Kenapa menculikku?! Kalian salah orang! Lepasin aku sekarang!” pekiknya sambil mendelik galak.
Seketika perempuan tadi kabur ke luar kamar dan Nuning mengejarnya.
“Tolooong!” jerit perempuan itu ketakutan.
Nuning hampir saja berhasil menerkamnya, tetapi lengan seorang lelaki dengan gesit menangkap dan mengunci tubuhnya dari belakang.
“Lepasinnnn! Dasar penculik goblok! Kalau mau nyulik liat-liat dulu dong! Emangnya tampangku kayak anak orang berduit apa? Emak-bapakku orang kampung, nggak punya duit buat tebusan. Boro-boro! Ternak ayam aja modalnya masih utang! Lepasinnn,” ocehnya sambil membabibuta menjambaki orang yang mendekapnya dengan erat.
Nuning memekik saat tubuhnya terasa berayun karena orang itu tiba-tiba memanggulnya di pundak seperti karung beras. Lalu tubuh Nuning dilempar ke atas springbed yang memantul-mantulkan dirinya.
“Aduh! Dasar, penculik brengsek!” maki Nuning sambil memegangi kepalanya yang pusing.
“Berisiiiik!” omel lelaki yang memanggulnya tadi.
Mata Nuning melotot seperti mau copot begitu bertatapan dengan pria yang memanggulnya tadi. “Jaka?” gumamnya sambil berkedip-kedip bingung.
Jaka memutar bola mata sambil berkacak pinggang, lalu geleng-geleng kepala dan menjitak kepala Nuning.
“Syukurlah, Jak ..., kupikir tadi kita diculik. Kupikir kamu sedang dicincang sekarang, buat dijual jantung, hati, ginjal, dan semua organ-organ tubuhmu!”
Jaka berdecik kesal. “Memangnya aku kambing? Dicincang dan diambil jeroannya buat dijual kayak di pasar? Haduuh, Ning. Otakmu itu korsletnya kok kebangetan amat sih? Tahu nggak, aku kerepotan bangunin kamu yang molor kayak kebo pas mau turun dari bus tadi! Giliran bangun sekarang, malah kayak orang kesurupan,” omelnya sambil menoyor Nuning.
Nuning malah nyengir, lalu melambaikan tangannya kepada perempuan yang tengah mengintipnya takut-takut di belakang punggung Jaka.
“Eh, iya. Kenalin, ini ibuku.”
“I-ibumu?” Nuning terperangah. “Wah, kupikir tadi penculik,” gumamnya lirih.
“Siapa juga orang yang mau menculikmu? Menculikmu itu bukannya bawa untung, tapi musibah!” ledek Jaka sambil menjulurkan lidah. Lalu dia menoleh ke belakang, “Sini, Bu. Nggak apa-apa. Orangnya udah waras, kok,” ujarnya seraya menggandeng lengan perempuan yang ternyata ibunya.
Nuning segera meraih tangan ibu mertuanya dan menciumnya sambil berkata, “Maafin saya ya, Bu. Tadi sa—”
“Sudahlah.” Sang mertua mengangguk seraya buru-buru menarik tangannya sebelum Nuning selesai berbicara.
Setelah mertuanya keluar kamar, Nuning buru-buru mengunci pintu dan mencubit Jaka. “Mana kutahu dia ibumu, heh! Siapa suruh nggak datang pas kawinan kita?” omelnya galak.
“Kan udah kubilang, waktu itu Ibu lagi sakit!” sahut Jaka sambil mengusapi lengannya yang habis dicubit dengan sedikit gugup, jangan sampai Nuning tahu ibunya enggan datang karena tak menyetujui anak semata wayangnya menikah muda.
"Oke. Sekarang, monasnya mana? Kita ini sebenarnya ada di Jakarta apa bukan sih? Katamu kan di Jakarta udah nggak ada kebonan lagi? Kamu menipuku ya? Kita di mana ini?”
“Ci-citayem!” sahut Jaka sambil menghindari cubitan Nuning.
“Jadi? Bukan … Jakarta?” Nuning berkedip-kedip kecewa.
“Nanti kujelasin. Kita makan dulu, yuk? Ibu masak banyak tuh buat kita,” jawab Jaka mengalihkan perhatian Nuning.
Benar saja. Nuning pun melesat cepat mencari dapur, membuat ibu mertuanya melipir ke tembok saat berpapasan dengannya, takut kena seruduk.
Bab 10. Omelan Mertua
Nuning menghabiskan lotion nyamuk sampai sebungkus menjelang tidur. Melihatnya, Jaka geleng-geleng kepala dan berkomentar, “Kulitmu nggak keracunan tuh?”
“Salah sendiri punya rumah di tengah kebon. Kuburan aja masih lebih padat daripada rumahmu. Ini sih nggak ada bedanya sama suasana di kampung kita. Nyamuk di kampung kita masih sopan, kalau gigit satu-satu gantian. Nggak keroyokan ugal-ugalan kayak gini.”
“Terus, mau balik lagi ke kampungmu? Kuanterin sini.”
Nuning buru-buru memepet Jaka. “Ih, kamu mah gitu. Sensi amat? Aku kan cuma bercanda,” bisiknya sambil mencolek dagu suaminya yang pura-pura cemberut.
“Sana, geseran! Huss ... huss.” Jaka malah mendorong Nuning menjauh, seperti mengusir ayam tetangga yang mau pup di pekarangan rumahnya.
Nuning meninju lengan Jaka, lalu membalik tubuh memunggunginya.
Jaka menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut sampai kepala. Melindungi hidungnya dari kentut Nuning yang bisa mengebomnya sewaktu-waktu. Tetapi Jaka membuka lagi selimutnya kala mendengar isak tangis lirih di sebelahnya.
Jaka nyaris terpingkal, tetapi ditahannya. Kalau dia videokan lalu dikirimkan ke Parman, pasti anak-anak di kampungnya bakal gempar. Nuning gitu loh, menangis? Kalau Nuning sering bikin menangis anak orang mah sudah tak mengherankan lagi.
Jaka berdeham. “Ning, kok nangis?”
Tetapi justru suara jangkrik dan kodok yang menyahutinya di luar kamar. Sedangkan Nuning membisu.
“Ning? Kok diem?” Jaka melembutkan suaranya.
Seketika Nuning membalik badannya menghadap Jaka, lalu mengomel panjang, “Aku nggak nyangka kamu tega bohongin aku. Katanya kamu mau pindah ke Jakarta, makanya aku pengen ikut. Tapi mana? Ini bukan Jakarta! Mana ada ibukota yang suara kodoknya nggak kalah rame dari kodok sawah di kampung? Mestinya tuh ramenya sama suara klakson mobil atau motor, atau sama suara bajay yang katamu berisik kayak suara kentutku itu, tapi mana?! Percuma aku kawin sama kamu!”
Jaka buru-buru membekap mulut Nuning erat-erat. “Ssttt ... jangan keras-keras,” bisik Jaka di telinga Nuning, “Kalau sampai ibu dan keluargaku tahu alasan pernikahan kita yang sebenarnya, bisa gawat. Kelar kita. Kamu mau didepak balik ke kampung? Terus selamanya kamu bakal dilarang ke Jakarta lagi sama bapak-emakmu. Mau?”
Nuning menggeleng dengan jantung berdebar kencang. Dia kebal ancaman selama ini, tetapi apa yang Jaka katakan barusan sungguh menakutkan baginya.
Jaka pun melepaskan tangannya dari mulut Nuning. Lalu menatap lurus-lurus wajah Nuning yang memucat panik, diam-diam Jaka menertawakannya dalam hati.
”Dengar, Ning, apapun yang terjadi kita harus bersikap kayak suami-istri betulan. Soalnya aku bilang sama ibuku kalau kita saling cinta dan aku gak bisa balik ke sini kalau nggak sama kamu sebagai istriku yang sah. Ibuku terpaksa menyetujui pernikahan kita. Tetapi kalau sampai dia mendengar alasan pernikahan kita yang sebenarnya, bisa-bisa malam ini juga dia memanggil bapakmu agar ke sini menjemputmu. Paham?”
Nuning tersenyum kecut seraya mengangguk. “Terus, kapan aku bisa ke Jakarta? Besok?” desaknya.
“Sabar kenapa sih? Apa Jakarta sepenting itu bagimu?”
“Ya iyalah! Kalau nggak, ngapain aku bela-belain nikahin kamu segala?”
Jaka mencebik. “Sabar, Jakarta nggak kemana-mana kok. Aku pasti akan membawamu ke sana. Tapi, tolong ... meskipun kita pasutri jadi-jadian, tapi kamu harus tetap menghormati dan memperlakukan ibuku sebagai mertua sungguhan.”
“Iya, bawel! Pura-pura jadi kuntilanak aja aku bisa, masa pura-pura jadi istrimu aku nggak bisa?”
“Pura-pura jadi istri? Tapi, kita punya akta nikah yang sah, tuh?” Jaka memajukan wajah mendekati Nuning yang serta merta memundurkan wajahnya.
“Wadaw! pekik Jaka sambil meringis memegangi jidatnya yang kena jitak. “Ih, emang kamu pikir aku mau ngapain? Mau cium kamu? Ih. Jangan mimpi!” omel Jaka.
Nuning mencebik. “Nggak, aku malas aja dekat-dekatan sama mukamu! Siapa juga yang mikir kamu mau menciumku?” sahutnya sambil menarik selimut. “Pokoknya, buruan antar aku ke Jakarta. Awas aja kalau kamu bohongin aku,” ucapnya lagi.
“Iya-iya. Besok deh kita ke Jakarta naik KRL. Orang sini tuh banyak yang kerja ke Jakarta tiap hari bolak-balik naik kereta. Kalau udah biasa, Citayem-Jakarta itu terasa dekat.”
“Dekat?” Bola mata Nuning membesar, terpana mendengar ucapan Jaka.
Detik itulah Jaka baru menyadari, ternyata Nuning memiliki sepasang bola mata yang tak kalah indah dengan Erna.
“I-iya, dekat ...,” jawab Jaka disela degup jantungnya yang berdetak cepat tanpa alasan. Entah karena senyum manis Nuning, atau karena tiba-tiba kangen Erna.
***
Kalau mau dicari siapa yang salah, sudah pasti Nuning. Wong ndeso itulah yang sudah menggoda anak lelaki satu-satunya. Bu Lilis kan ingin melihat Jaka sukses dulu dan hidup senang. Makanya dia menitipkan Jaka kepada si Somad, adiknya di kampung agar Jaka fokus dan tuntas bersekolah sampai SMA. Baru menyusulnya ke Jakarta untuk lanjut kuliah.
Tetapi, kenapa malah Somad membiarkan Jaka kecantol cewek kampung? Bahkan Jaka sampai minta restu menikah selulus SMA. Padahal besar harapan Bu Lilis ingin melihat Jaka jadi Sarjana. Biar Jaka jadi sesuatu yang bisa mengangkat kembali harga dirinya, yang telah luluh lantak diinjak-injak matan suaminya.
Bu Lilis menyimpan dendam pada bapaknya Jaka yang kawin lagi dengan wanita yang katanya lebih pintar dari dirinya. Wanita yang sama-sama Sarjana seperti suaminya, tak seperti Bu Lilis yang cuma lulusan SD.
Tak tahan diduakan, Bu Lilis minta cerai dan membawa Jaka bersamanya. Tak rela Jaka diasuh oleh wanita yang sudah merebut suaminya. Drama perebutan hak asuh Jaka pun tak kalah seru dari sinetron.
“Aku nggak yakin kamu bisa bikin Jaka jadi orang!” ejek Pak Ujang, mantan suaminya saat ingin mengambil Jaka.
“Loh, Jaka kan memang orang. Emangnya monyet kayak kamu?!” semprot Bu Lilis emosi.
“Kamu baca huruf aja terbata-bata, gimana mau ngajarin Jaka biar pinter?”
“Lihat saja, aku bakal bikin Jaka jauh lebih pintar dan lebih sukses dari kamu!”
“Halah ... sudahlah! Jangan mimpi. Sari lebih pintar ketimbang kamu. Biar dia aja yang ngurusin Jaka!”
Bu Lilis tak tahan dibanding-bandingkan, apalagi dengan Sari, perempuan perusak rumah tangganya. Bu Lilis pun melempar piring, gelas, toples, meja, kursi, apa aja yang bisa dilempar untuk memukul mundur Pak Ujang sambil memakinya, “Enak aja, aku yang melahirkan Jaka. Pergi kamu! Bikin aja anak sendiri. Berani kamu ke sini dan merusuhi hidupku lagi, tak potong-potong sekalian tititmu!” Lalu Bu Lilis mengacungi gergaji, bikin Pak Ujang ngacir terbirit-birit dan tak pernah kembali lagi.
Karma pun menghampiri Pak Ujang dengan cepat. Belum genap dua tahun menikah, istri barunya kepergok selingkuh dengan teman dekatnya sendiri yang tak kalah klimis dan mapan. Bukannya minta maaf, istri barunya itu justru bilang kalau Pak Ujang tak seperti temannya yang lebih perhatian kepada Sari. Pak Ujang kini merasakan sakitnya dibanding-bandingkan dengan lelaki lain. Perceraian keduanya pun tak bisa dihindari karena Pak Ujang nggak tahan diselingkuhi. Harga dirinya sebagai lelaki runtuh total.
Pak Ujang nelangsa dan dirajam sesal pernah menceraikan Lilis yang membawa pergi anak kandung satu-satunya yang keberadaannya entah di mana. Pak Ujang kapok mau kawin lagi, yang bisa ia lakukan cuma cari duit sebanyak-banyaknya untuk membunuh sepi. Setidaknya kalau mati, bisa meninggalkan banyak warisan untuk menebus rasa bersalah pada anak satu-satunya nanti.
***
“Mau ke mana?” tegur Bu Lilis melihat Jaka dan Nuning sudah necis pagi-pagi.
“Ke Jakarta, Bu. Mau ngajak Nuning jalan-jalan liat Monas. Sambil sekalian cari kerja,” sahut Jaka sambil menata piring dan lauk, membantu ibunya menyiapkan sarapan.
“Memangnya kerja bisa dipungut di jalan? Kalau cari kerja tuh yang niat beneran, jangan sambil-sambilan. Yang niat beneran aja masih banyak yang nganggur kok! Apalagi sambil main-main,” kata Bu Lilis seraya melirik Nuning dengan tatapan judes.
Jaka melihat gelagat Nuning yang memasuki mode ‘siap tawuran’, buru-buru direngkuhnya tangan Nuning dari bawah meja, menenangkannya.
Jadilah pagi itu Nuning sarapan pakai lauk sindiran yang sangat pedas dari mertuanya tanpa tahu apa salahnya. Bikin perutnya melilit mulas kala bertatapan dengan Bu Lilis yang memandang dirinya seperti singkong di kebun yang kudu dicabut, dikupas, lalu dibakar sampai gosong.
“Mau kubuatin teh, Ning?” ucap Jaka dengan kemesraan yang dibuat-buat, demi mencairkan suasana yang mulai masuk siaga satu.
“Dimana-mana itu, istri yang melayani suami. Kok malah kebalik?” tegur Bu Lilis yang tak terima anaknya mendadak jadi kacung.
Nuning menarik napas ingin menyahut, tapi Jaka menginjak kakinya sehingga Nuning menutup mulutnya rapat-rapat.
“Justru itu, Bu. Istriku sudah banyak melayani aku semalam. Jadi apa salahnya kalau sekarang aku gantian melayaninya dengan segelas teh?”
Jawaban Jaka tadi pun membuat Nuning dan Bu Lilis terbatuk-batuk bersamaan.
“Monas kan nggak bakal pindah. Kapan-kapan aja ke sananya, nggak mesti sekarang kan?” kata Bu Lilis sambil menyodori Jaka secarik kertas. “Ini alamat kantornya mantan majikan Ibu. Kamu disuruh datang secepatnya, sudah ada kerjaan buatmu. Kalau bisa hari ini juga kamu ke sana.” Lalu dia melirik Nuning bagai sampah yang mesti dibersihkan. “Tapi, sebaiknya kamu jangan bilang kalau sudah menikah,” lanjutnya mengejutkan.
Ucapan Bu Lilis membakar telinga Nuning. Meski ia sendiri tak pernah menganggap ini pernikahan betulan, tapi berbeda saat sang mertua sendiri yang menyinggungnya. Pertama kalinya, Nuning merasa terancam disingkirkan. Pertama kali seumur hidupnya tak bisa bebas melawan. Tangan kanannya mengepal di atas lutut. Menahan geram yang membakar tenggorokan.
Namun, tiba-tiba ia merasakan kepalan hangat membungkus tangannya yang gemetar menahan kesal. Lagi-lagi Jaka menggenggamnya dari bawah meja, mengalirkan ketenangan yang ia butuhkan. Seketika suasana hatinya berubah jadi lebih baik.
Tiba-tiba saja di mata Nuning wajah Bu Lilis mengingatkannya pada wajah Bu Parmi. Ia pun menatapnya dengan penuh senyum kerinduan. Bikin Bu Lilis speechless dan kebingungan sendiri ditatap sedemikian rupa oleh menantunya yang aneh bin ajaib. Diomeli mertua kok malah cengar-cengir bahagia!
Bab 11. Drama Ibu Mertua
Sesuai janji, Jaka mengajak Nuning naik KRL dari stasiun Citayem ke Jakarta. “Tapi janji, jangan norak ya. Jangan banyak komen, ojo ndeso,” katanya mewanti-wanti untuk kesekian kali.
“IYAAA!”
Orang-orang yang berbaris di loket menoleh kaget mendengar jawaban Nuning yang keras sambil mendelik galak pada Jaka.
‘Buset, guguk aja nggak segalak itu kalo dibilangin baek-baek,’ pikir Jaka tengsin.
Jaka khawatir Nuning hilang di tengah keramaian. Dia berniat menggandengnya saat mereka menunggu kereta di peron, tetapi Nuning malah menggigit tangannya. “Wadaw!” pekik Jaka kaget. “Yang bener aja kamu? Main gigit orang seenaknya, memangnya kamu guguk?” omel Jaka, tapi gadis itu malah melengos buang muka.
Jaka mendesah, mengumpulkan sabar sebanyak-banyaknya. Sadar jika Nuning masih marah gara-gara sikap ibunya tadi pagi. Karena tak bisa melampiaskan kemarahan secara langsung pada sang mertua, jadilah sang suami yang jadi korban.
Saat kereta datang, Jaka menarik Nuning agar berjalan di depannya, melindungi Nuning dari dorongan dan himpitan orang-orang di sekitarnya yang ugal-ugalan masuk dan berebut tempat duduk.
Sepagi ini, tentu saja semua gerbong dipenuhi anak sekolah, anak kampus, orang kantoran, orang-orang dengan berbagai macam profesi, juga dipenuhi pengangguran seperti mereka. Jaka melirik cowok yang sedang menyumpal kupingnya dengan sepasang headset, lalu cowok itu menyanyi seenak jidatnya, tak sadar suaranya itu mirip jangkring tersedak kecoa. Tak sadar juga jika suaranya bisa membuat gumoh orang-orang di sekitarnya.
Sampai pada akhirnya semua orang dibikin kaget kala cowok itu berteriak sekencang-kencangnya menyanyikan lirik lagu rock, “Rocker juga manusiaaaa, punya rasa punya hati. Jangan samakan dengaan pisau belatiiii.”
Jantung Jaka nyaris mencelat menembus gerbong saking kagetnya. Lebih kaget lagi saat melihat Nuning dengan santai menarik kabel headset si cowok hingga terlepas dari kupingnya, membuat cowok itu kaget sendiri mendengar suaranya yang mirip ringkikan kuda lagi disunat.
“Apa lu?” omel cowok itu sambil memelototi Nuning.
“Apa?” tantang Nuning pantang gentar.
Cowok itupun mengacungkan jari tengahnya. Lalu menjerit-jerit karena detik itu juga Nuning menggigit jari tengah yang diacungkannya.
“Ampuuun! Tolongin eyke, duuuung!” Suara cowok itu melengking kesakitan. Tetapi bukannya dilerai dan ditolong, seisi gerbong justru tertawa terpingkal-pingkal. Termasuk Jaka yang sejak tadi diam-diam sudah bersiap pasang badan, namun ternyata Nuning bisa mengatasinya sendiri.
Dengan cepat Nuning pun melupakan kemarahannya kepada Jaka setelah melampiaskan kekesalannya dengan menggigit musuhnya tadi.
“Jak, itu!” Nuning merangkul lengan Jaka dengan begitu erat, menahan euforia dalam dirinya kala menatap Monas yang sedang dilewati oleh kereta mereka.
Jaka tersenyum memandangi Nuning. Kegembiraan Nuning tampak lebih menarik perhatiannya. Tawanya yang riang, tatapannya yang berbinar ceria, sangat enak dipandang mata.
“Siap-siap, bentar lagi kita turun di stasiun Gondangdia,” kata Jaka seraya menggandeng Nuning.
Nuning sama sekali tak mengeluh kala Jaka mengajaknya berjalan kaki menuju Monas. Apalagi Nuning sudah terbiasa berjalan kaki di jalanan kampung yang medannya lebih berat daripada ini.
Sayangnya rencana masuk Monas gagal total. Jaka tak tahu kalau hari itu Monas ditutup. Jadilah mereka jalan-jalan tanpa arah. Tapi Nuning tetap semangat, matanya menyapu setiap sudut jalanan yang mereka lalui dengan tatapan penasaran.
“Pak itu betulan gratis?” tanya Nuning saat mereka melewati bus tingkat. Begitu si bapak yang ditanyai mengangguk, Nuning menyeret Jaka agar lekas menaikinya. Lalu gadis itu bersorak senang sambil menaiki tangga bus, dan duduk di kursi paling depan yang masih kosong. “Waah, keren ...,” ujarnya sambil menoleh heboh kemana-mana.
Jaka tersenyum mengamati bagaimana bola mata Nuning membesar kala menatap ke luar jendela yang menyuguhkan kehidupan sibuk ibukota secara langsung. Nuning tampak terpukau melihat kereta api melintasi stasiun Gambir dengan deru suaranya yang khas. Jalanan yang padat dengan lalu lintas kendaraan yang tak henti bergerak malah membuatnya senang. Air mancur di Bundaran HI yang megah menari-nari indah, membuat gadis itu tersenyum cerah.
Nuning menatap gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, mencerminkan kemegahan kota ini dan menawarkan peluang tak terbatas. Dia mengimajinasikan dirinya berada di salah satu dari gedung-gedung itu, meraih impian-impian hebat yang bersemayam dalam pikirannya. Kegelisahan dan semangat membara bergelayut di benaknya, karena Jakarta adalah tanah di mana segala hal terasa mungkin baginya.
Nuning melanjutkan pandangannya ke taman-taman kota yang menawan. Baginya, kota ini adalah panggung besar di mana cerita hidupnya akan bergulir, penuh dengan tantangan dan petualangan yang menunggu di balik setiap sudutnya.
Puas jalan-jalan, Jaka mengajak Nuning makan siang di sebuah warung tenda di kawasan tanah Abang. Tadinya ingin mengajaknya masuk mal, tetapi karena duitnya pas-pasan, Jaka jadi khawatir. Takut Nuning kalap dan ingin mencicipi semua makanan yang ada di dalam sana. Padahal uang jajannya cuma cukup buat jajan gorengan di pinggir jalan.
“Semua di Jakarta memang serba mahal, Ning. Kalau nurutin maunya perut alias jajan mulu, bisa-bisa kita ntar pulang ngesot karena nggak ada ongkos,” kata Jaka minta pengertian.
“Salah sendiri rumahmu jauh banget dari kota. Kalau deket kan tinggal ngesot nggak masalah. Lagian bokongmu kan dah biasa ngesotin tanah. Coba dites kalau ngesotin aspal kuat nggak?”
“Sialan!” omel Jaka tak terima pantatnya dijadikan bahan percobaan ngesot.
“Makanya kita kudu lekas kerja, Jak. Cari duit yang banyak. Biar makan aja nggak pake mikir dulu kayak gini,” kata Nuning sok memberi nasihat. Lalu meneguk habis sisa es teh di gelasnya, lalu mengambil gelas Jaka dan menghabiskan seluruh isinya.
Jaka geleng-geleng kepala memandangi gelasnya yang sudah kosong, lalu memesan es teh lagi.
“Ngomong-ngomong, kerja apaan sih yang ditawarin sama ibumu tadi?” tanya Nuning sambil mengambil es teh Jaka yang baru saja dipesan dan meneguknya tanpa permisi.
“OB,” jawab Jaka seraya mengasihani isi gelasnya yang tinggal setengah.
“Apaan itu?”
“Office Boy. Orang yang kerjanya buat disuruh-suruh di kantor.”
“Pas banget dong sama mukamu,” sahut Nuning seenaknya.
“Sompret.” Jaka mendengkus karena Nuning jadi punya bahan meledeknya.
“Ya udah, ambil aja kerjaannya. Ketimbang nganggur? Kalau nggak buatku aja sini.”
“Jangan. Kamu kerja yang lain aja. Modelmu kalo disuruh-suruh ntar malah ngajak gelut kan repot.”
Jaka bersiap membayar makanan setelah mereka kenyang. Tapi wajahnya memucat saat merogoh saku celananya yang kosong. Jantungnya serasa mencelat kaget sampai Monas. “Dompetku?” desahnya lemas.
Inilah yang dibilang nasib sedang sial. Belum dapat kerjaan, tapi malah hilang pula seluruh uang di tangan. Sepertinya sumpah Nuning manjur, yang ingin mengetes bokongnya ngesot di atas aspal.
Jadilah mereka membayar makanan dan minuman pakai tenaga. Menjadi tukang cuci piring dan pelayan dadakan di warung itu. Masih bagus si pemilik warung mau memberi mereka ongkos buat pulang naik kereta sampai Citayem.
“Anggap aja gaji pertama,” kata Nuning dengan senyum ceria.
Jaka heran. Meski harus mencumbu cucian piring kotor yang tak kunjung habis, Nuning tak jua kehilangan semangatnya sejak tadi. Padahal semasa di kampung, dia jarang menyentuh pekerjaan dapur, cuci piring menjadi urusan emaknya. Tapi hari ini Nuning justru menatap setumpuk piring-piring kotor itu dengan gembira, menyabuni dan membilas semuanya dengan suka cita. “Ini kan pengalaman kerja pertamaku di Jakarta!” katanya riang.
Jaka tak mengira kecintaan Nuning pada Jakarta sampai sebesar itu. Padahal Jakarta menyambutnya dengan pengalaman yang sama sekali tak lucu. Tega-teganya ngeprank mereka hari ini lewat pencopet.
***
Mereka pulang ke rumah hampir jam sebelas malam. Dengan ketus Bu Lilis menatap keduanya secara bergantian. Sebenarnya dia cuma ingin ketus kepada Nuning saja yang sudah mengajak anaknya yang tampan ini main seharian sampai jadi kumal.
Jaka mulai was-was bakal pecah perang. Panik berdiri terjepit di antara ibu dan istri. Jaka baru tahu jika drama rumah tangga ‘ibu mertua vs menantu perempuan’ itu benar adanya.
“Tadi Mr.Joony nelpon Ibu nanyain kamu. Kan Ibu udah bilang jangan main-main dulu. Main kan bisa nunggu libur kapan-kapan. Ibu kan jadi malu, udah mohon-mohon kerjaan tapi yang dikasih kerja malah kelayapan!” omel Bu Lilis. “Nggak tahu diri!” tambahnya lagi, tapi sambil melirik kepada Nuning, sebab kata-kata itu memang sengaja ditujukan untuk menantunya, bukan untuk anak kesayangannya.
Jaka melirik Nuning, khawatir tanduknya bakal mencuat keluar.
Namun yang terjadi, Nuning malah menguap panjang. “Wah, capeknya. Bobok, yuk!” katanya sambil tersenyum manis kepada Bu Lilis, kemudian melenggang santai menuju kamar.
Seketika mBu Lilis memegangi dadanya. Menjaga jantungnya agar tak longsor ke tanah. Tak menyangka punya menantu yang berani terang-terangan melawan.
Jaka buru-buru menyusul Nuning ke kamar, dibuntutui tatapan ibunya yang seangker Nyai Blorong minta tumbal.
Esok paginya Jaka bangun dan panik karena tak menemukan Nuning di sebelahnya. Jaka loncat dari kasur dan tergopoh-gopoh ke luar kamar. “Nuning mana, Bu?” tanyanya sembari memakai kaus oblongnya asal-asalan.
“Nggak tau!” Bu Lilis buang muka. “Istri macam apa itu coba? Mestinya kan ngurusin suami dulu, boro-boro bantuin mertua bebenah!” Perempuan itu malah mengoceh.
“Terus, Ibu biarain aja dia pergi sendiri? Dia kan baru sehari di sini, Bu. Kalau ntar nyasar hilang gimana?”
“Loh, kok malah Ibu disalahin? Salah sendiri punya istri nggak dijagain.”
“Kan aku masih tidur. Memangnya aku mesti iket kakinya di ranjang gitu, biar dia nggak pergi ke mana-mana?”
“Risiko punya istri kayak Tarzan ya gitu. Siapa suruh kamu buru-buru kawin pas baru lulusan? Memangnya enak jagain anak orang? Cantik nggak, pinter nggak, tapi pinterrrr bener ngelunjak sama mertua! Mestinya kamu tuh bisa bedain cinta monyet sama cinta beneran. Biar kamu nggak kejebak nikah sama monyet kayak gini!” ketus Bu Lilis sekalian menumpahkan isi hatinya yang terpendam lama.
Jaka menunduk sedih. Dia juga tak berniat menikah muda. Tapi ..., sudahlah!
“Aku cari Nuning dulu, Bu!” pamit Jaka seraya bergegas pergi.
Bu Lilis mengepalkan tangan, lalu membanting sebuah tutup panci sampai tergeletak penyok di pojokan dapur.
Bab 12. Probabilitas Kehidupan
Kalau Jaka mengira Nuning bakal kesasar dan hilang di Jakarta, salah besar! Nuning memang wong ndeso. Gadis kampung. Gadis lugu yang baru pertama sungkeman dengan ibukota. Tapi Jaka lupa kalau Nuning tak selugu itu. Otaknya memang cekak buat menjangkau pelajaran semasa sekolah, apalagi kalau ketemu logaritma dan aneka teori matematika lainnya. Jelas Nuning pilih kabur lompat pagar. Mending menghitung kerbau di sawah.
Tapi ada satu yang paling Nuning ingat tentang matematika, yaitu probabilitas. Cabang matematika yang paling tricky. Terlihat sederhana, tapi sebenarnya sulit dipecahkan dan butuh pola pikir strategis memecahkan persoalan. Karena sebenarnya tak ada pattern matematis yang langsung untuk menyelesaikan tebak-tebakan yang diberikan. Dalam hal ini mirip tebak-tebakan tentang kehidupannya di ibukota dengan berbagai kemungkinannya.
Nuning telanjur melempar dadu permainan kehidupannya di ibukota, ia tak berharap mendapat dadu bermata enam dalam sekali lempar. Apalagi di lemparan pertamanya. Satu per satu titik dadu yang didapat pun tak masalah selama dia tetap bisa melangkah.
Singkat cerita, Nuning mendapatkan peruntungannya gara-gara iseng lari pagi memutari kampung. Melewati kebun mangga yang sedang berbuah lebat, tangannya seketika gatal. Nuning ingin membidiknya dengan batu dalam sekali lempar. Tetapi dia mengurungkan niatnya kala menyadari ada orang lain di kebun itu.
Nuning pun mendekat, sok kenal sok dekat. “Wah mangganya sudah bisa dipanen nih, Bu,” ujarnya sambil tersenyum.
“Iya nih, Neng. Ibu lagi mau nyari orang buat metik.”
“Saya bisa, Bu.”
“Yang bener aja, Neng? Masa cantik-cantik gini mau manjat pohon?”
Nuning tersenyum malu. Pertama kalinya ada yang bilang kalau dia cantik.
“Saya biasa kok, Bu, manjat dan memetik pohon mangga. Kalau boleh, saya petikin sekarang. Ibu siapin saja karungnya.”
Si ibu itupun mengangguk dan menyiapkan karung-karungnya.
“Hati-hati, Neng!” pekik si ibu kala Nuning mulai memanjat dan berpindah dari cabang ke cabang yang semakin tinggi.
Dua jam kemudian, Nuning selesai memetik mangga dan membantu si ibu merapikan karung-karungnya yang sudah penuh. Si ibu yang ternyata bernama Murni terus-terusan memujinya karena takjub, baru tumben melihat orang memetik mangga selincah itu. Lebih kaget lagi karena Nuning enggan dibayar.
“Saya cuma bantuin kok, Bu. Kebetulan lagi nggak ada kerjaan.” Nuning mendorong tangan Bu Murni agar menyimpan kembali uangnya.
“Aduh, saya jadi nggak enak, Neng.”
“Nggak apa-apa kok, Bu,” sahut Nuning tulus. Padahal niatnya tadi kepingin nyolong. Namun melihat kebaikan dalam wajah Bu Murni, Nuning jadi ingat nasihat emaknya di kampung. Seketika hatinya melumer insaf.
Saat keduanya asyik mengobrol, seseorang datang menyela, “Bik, mana pohon yang mau dipanen?”
“Eh, Jimin? Ngagetin aja datang-datang nggak pake salam. Ah, telat kamu! Tuh, udah beres, dapat tiga karung.”
“Loh, kok? Siapa yang petik semuanya, Bik?”
“Nih kenalin, Nuning,” kata Bu Murni sambil menoleh pada Nuning yang tersenyum ramah.
Jimin garuk-garuk kepala, heran mengetahui kalau ternyata seorang cewek yang melakukannya. “Beneran kamu sendirian yang memetik semuanya?” tanyanya tak percaya, apalagi pohon mangga Bu Murni tinggi-tinggi.
“Iyalah, emangnya dibantuin jin? Aku kan bukan Roro Jongrang.”
“Wah, hebat. Mau nggak kamu bantuin aku petikin buah mangga lagi? Aku lagi kewalahan nih nggak ada yang bantuin, padahal ada beberapa pohon yang mesti dipanen dan diantar ke pasar ntar malam,” kata Jimin, kemudian menyebut jumlah bayarannya.
Mata Nuning pun menjadi ijo mendengar keahlian manjatnya ternyata bisa juga jadi duit. “Mau, mau!” katanya antusias. Lalu diapun membantu Jimin mengangkut tiga karung mangga ke sebuah mobil bak.
Ternyata Jimin keponakannya Bu Murni, kerjanya tiap hari keliling kampung mengumpulkan buah-buahan yang dibeli dan dipetiknya sendiri, lalu dijual ke pasar induk di Jakarta. “Aku kerja kayak gini sejak lulus SMA tiga tahun lalu, bantuin Bapak. Tapi tetap dapat bagian bayaran. Yaah, ketimbang buat bayar orang lain? Hitung-hitung sekalian ngajarin aku usaha,” oceh Jimin sambil menyusun karung-karung buah di mobilnya, dibantu Nuning yang bercucuran keringat. Lalu keduanya duduk di mobil bak bersama karung-karung buah.
“Kok kamu nggak duduk di depan aja menemani Bang Agus nyetir?”
“Nggak, ntar kamu sendirian.”
“Nggak masalah.”
“Nggak ah, bosen duduk sebelahan sama Bang Agus mulu. Orangnya kelewat diem, enakan ngobrol aja sama kamu,” sahut Jimin sambil nyengir. “Eh. Lain kali, bawa handuk kecil buat lap keringatmu,” katanya lagi saat melihat Nuning sibuk menyeka keringat di kening dengan lengan kausnya.
“Eh, lain kali? Artinya ..., aku boleh kerja lagi sama kamu?”
Jimin mengangguk. “Kalau kamu mau ya boleh ajalah, kebetulan aku lagi butuh tenaga tetap.”
“Mau!” sahut Nuning cepat.
Jimin tertawa melihat semangat Nuning yang tak menyurut sejak tadi pagi. Padahal kaos oblongnya basah kuyup dengan keringat.
Keduanya mengobrol banyak hal dan cepat sekali menjadi akrab.
“Pantesan kamu gesit banget manjat pohon!” Jimin tergelak mendengar kisah hidup Nuning di kampung yang hobi nyolong mangga sejak kecil.
“Jadi, buah-buahan ini akan langsung dikirim ke pasar induk di Jakarta? Aku boleh ikut?” tanya Nuning menawarkan diri setelah bak mobil Jimin penuh.
“Boleh aja, tapi kamu nggak capek?”
“Nggaklah! Aku udah lama banget pengen jalan-jalan lihat Jakarta.”
Jimin tertawa. “Ini sudah sore, kalau kamu ikut pulangnya bakal malam. Ntar kamu dicariin orang rumah loh.”
Nuning tertawa kecut. “Nggak bakal ada yang nyariin aku,” sahutnya. ‘Justru ibunya Jaka bakal senang kalau nggak melihatku lama-lama di rumahnya,’ lanjutnya dalam hati.
Nuning tak tahu saja bagaimana Jaka kelimpungan mencarinya. Sampai dengkulnya gemetaran dan serasa mau copot. “Ya ampun, ... kamu tuh di mana sih, Ning?” desahnya cemas. Jaka belum pernah selelah ini berjalan kaki mengitari seluruh penjuru kampung.
Sementara itu, Nuning malah asyik tertawa bersama Jimin di atas bak mobil. Nuning bahagia sekali bisa melihat-lihat suasana Jakarta, meski mobil itu berakhir di sebuah pasar induk yang becek, bukannya di sebuah mal yang megah seperti yang dia inginkan.
***
Sebetulnya, bukannya Nuning tak hormat pada mertua. Meski menantu jadi-jadian, tapi Nuning masih punya hati. Apalagi Bu Lilis ibunya Jaka, sahabat sekaligus suaminya. Tapi seringkali ia merasa kalau mertuanya itu sengaja banget ngajakin gelut. Senang banget cari-cari masalah, seperti kucing yang suka mengorek tong sampah. Bikin Nuning ingin belajar ‘voodoo’ sekalian. Biar bisa bikin tangan Bu Lilis joged-joged saja ketimbang buat melempar tutup pancinya yang masih kreditan.
Kalau habis jadi bulan-bulanan mertua, siapa lagi yang jadi sasaran empuk omelan Nuning kalau bukan Jaka? Ya iyalah! Siapa lagi?
“Kamu kan tahu ibuku emang gitu!” erang Jaka sambil menutupi kupingnya pakai bantal karena malas mendengar Nunng mengceh tentang ibunya.
Sementara itu di luar, samar-samar suara ibunya juga tak kalah heboh mengoceh sambil membantingi perkakas dapurnya yang tak berdosa.
“Sebenernya mau ibumu tuh apa sih? Kalau ditanya baik-baik bukannya jawab, tapi malah macem orang kesurupan lempar-lempar tutup panci. Kasihan pancinya tau. Kalau tutupnya penyok terus nggak bisa dipake lagi, ntar pancinya gimana? Kasihan melompong sendirian.”
“Sempet-sempetnya kamu mikirin nasib panci. Nasib kita sendiri aja masih nggak jelas kok,” sahut Jaka sambil menggeliat di balik selimutnya.
“Nggak jelas? Sorry ya. Aku sih jelas udah dapat kerja, kamu tuh yang belum. Jangan-jangan ibumu stres karena ngiri aku duluan yang dapat kerja ketimbang kamu.”
“Dih! Jadi kuli buah doang sombong.” Jaka jadi senewen mengingat kejadian kemarin. Capek-capek seharian mencari Nuning, eh ... yang dicari malah pulang larut malam bareng cowok lain. Untung saja ibunya sudah tidur dan tak melihatnya. Bisa geger dunia perpancian.
“Biarin, yang penting bisa dapet duit!” Nuning malah mencebik.
“Sampai kapan mau kerja jadi kulinya si Jimin itu?”
“Sampai aku dapat duit banyak,” sahut Nuning seenaknya.
“Mana bisa jadi kuli doang bisa dapat duit banyak?”
“Terus? Mau nyariin kerja buatku? Nah, kamu sendiri aja masih nganggur?”
Skakmat! Jaka mati kutu.
“Bisa nggak sih, Ning, kamu hargai perasaanku dikit aja?”
“Mau harga berapa? Lima ribu? Sepuluh ribu?”
Jaka menghela napas, menyabarkan diri. “Kamu itu istriku, tapi tetap kerja sama Jimin kayak gitu, apa nanti kata orang?”
“Sejak kapan kamu sibuk sama pikiran orang? Sejak kapan kamu malu karena aku?”
“Sejak sekarang! Apalagi ini bukan kampung kita. Semuanya berbeda, Ning. Ini semua nggak sesederhana seperti yang kita pikirin sebelumnya. Apalagi kita tinggal sama ibuku sekarang.”
“Ya udah, kita pindah aja dari rumah ibumu. Kita pindah ke Jakarta! Yuk?”
Lalu terdengar suara panci dilempar lagi, bikin keduanya menoleh kaget dan saling tatap.
“Yakin ..., jantungmu bakalan kuat dengerin suara bom panci meledak kayak gini tiap hari?” Nuning memanfaatkan momen itu untuk memprovokasi.
“Tapi, dia ibuku. Aku nggak bisa ninggalin ibuku sendirian. Tujuanku balik ke sini kan buat menemani ibuku sampai hari tuanya."
“Kalau gitu, aku yang akan pergi sendiri.”
“Ning! Kamu nggak bisa seenaknya minggat dari rumahku. Atau kupanggil bapak sama emakmu ke sini buat jemput kamu!”
Nuning kesal sekali mendengar ancaman itu. Diapun melempar handuk setengah basahnya ke wajah Jaka. Lalu menabok dan mencubit bokong cowok itu sampai Jaka melolong kesakitan.
Sejak kembali ke pangkuan ibunya, jadi jadi tak asyik lagi. Enakan juga berteman dengan Jimin!
Bab 13. Tetap Selow
“Memang nasibku apes. Punya suami, direbut orang. Punya anak satu-satunya juga disikut orang! Jauh-jauh dititip ke kampung biar sekolah dan belajar yang bener, biar bisa ngelanjutin kuliah sampai Sarjana ..., kok baru lulusan aja malah kawin sama gadis nggak jelas! Anakku nggak mungkin jatuh cinta sama gadis kayak gitu. Ndeso, kampungan, nggak ada cocok-cocoknya sama anakku. Jangan-jangan anakku dipelet? Mestinya anakku sekarang kuliah, terus jadi Sarjana, terus jadi pengusaha yang lebih sukses dari bapaknya. Biar aku bisa buktiiin ke bapaknya, kalau aku lebih pinter ngurus anak ketimbang Sari si pelakor itu!” Bu Lilis nyerocos sendiri sambil mengoseng isi wajan sampai bunyinya berisik banget sampai mana-mana.
Beberapa bulan pertama dulu suara musik orkestra ala perkakas dapur Bu Lilis bisa bikin jantung Nuning mencolot keluar saking kagetnya, tapi lama-lama ia terlatih juga. Jantung Nuning sekarang sudah lentur seperti karet, fleksibel. Ditarik-ulur somelan mertuanya udah tak gampang copot lagi. Jadi dia santai saja keramas di kamar mandi sambil menyanyi, “Karena kuselow ... sungguh selow ... tetap selow ... santai ... santai ….”
Bu Lilis yang mendengarnya jadi ingin gantung wajan saja saking kekinya. Capek-capek mengamuk cari perhatian kok malah dicueki. Padahal panci-pancinya sudah banyak yang penyok karena terlalu sering dibanting. Tak mungkinlah Bu Lilis mau membanting harga dirinya yang paling berharga dan tinggal satu-satunya yang dia punya. Frustrasi, Bu Lilis pun kelesotan di lantai dapur sambil termehek-mehek.
***
“Jakaaaa!” panggil ibunya bagai bom di siang bolong yang memekakkan kuping. “Tahu nggak, istrimu kerja jadi kuli! Apa-apaan ini, Jak? Malu-maluin aja!” protes ibunya tak bisa dibendung lagi.
Inilah yang Jaka cemaskan. Kejadian juga. Tapi, bukan Nuning namanya kalau bisa dilarang-larang.
“Ya bukan apa-apalah, Bu. Yang penting kan halal,” sahut Jaka pura-pura tenang.
“Halal-hala gundulmu peyang! Ini bukan soal halal! Pokoknya suruh istrimu berhenti, mending kerja jadi babu sekalian, tapi jangan jadi kuli. Apa kamu nggak tahu sekampung geger pada ngetawain dan ngomongin yang jelek-jelek tentang istrimu? Haduh, padahal nggak diomongin aja orangnya udah jelek, kok. Pokoknya panas kuping ini dengernya. Mau ditaruh mana muka ibumu ini, punya mantu kok begitu amat?” cerocos ibunya seperti petasan Betawi yang ramai dan tak habis-habis.
"Niat Nuning baik kok, Bu. Dia kepingin cari uang sendiri buat jajan karena nggak mau tergantung sama Jaka. Karena Nuning tahu kondisi keuangan suaminya gimana.”
"Kalau kamu nggak kebelet kawin, nggak bakalan kayak gini ceritanya. Makanya, kuliah dulu terus kerja yang bener, baru mikirin kawin. Bikin Ibu pusing aja!”
Sedangkan Nuning santai saja. Bukannya dia tak dengar omongan orang yang merendahkannya, tapi dia pilih mengabaikan. Tujuannya ke Jakarta buat senang-senang, bukan buat dengar omongan orang. Bodo amat, yang penting tak bersinggungan dengan hak orang lain. Maka dia tetap melakoni pekerjaannya setiap hari dengan gembira. Toh lama kelamaan komentar yang mengejek pekerjaannya itu surut juga.
Namun, ketidaksukaan Bu Lilis kepadanya tak ikut menyurut. Mertuanya itu masih saja judes. Dan seperti biasa, Nuning cuek saja. Mengubah hati seseorang yang telanjur tak menyukainya kan tak segampang ngupil.
“Masak apa, Bu?” sapa Nuning riang di ambang pintu dapur. Tapi mertuanya malah menjawab dengan melempar tutup panci.
Nuning gesit menangkapnya. “Kalau panci ini punya nyawa pasti nangis dilempar-lempar kayak gini tiap hari,” katanya sambil meletakkannya ke rak. Lalu menyodorkan bungkusan ke mertuanya. “Buat Ibu, nih. Jaka bilang, Ibu doyan banget ikan bandeng,” katanya sambil tersenyum, lalu melenggang pergi.
Bu Lilis bengong menatap bungkusan di tangannya. Menantunya selalu pulang dengan membawakan buah tangan untuknya, entah sekadar es cendol, rujak serut, es krim, atau bakso. Dan sekarang membawa ikan bandeng yang besar dan masih segar, pasti harganya mahal. Tapi yang paling penting, entah kebetulan atau bukan, Bu Lilis menyukai semua hal-hal yang diberikannya. Diam-diam hatinya tersentuh. Sudah sangat lama tak ada yang memperhatikan dirinya seperti ini. Dia terlalu lama hidup dalam kesendirian dan kesepian.
***
“Jak, tutup mata! Jangan lihat ke sini.”
Jaka justru menoleh karena tak jelas mendengar Nuning tadi bilang apa. Tapi dia lekas memalingkan wajah begitu melihat Nuning sedang meloloskan kaos oblongnya lewat atas kepala, sehingga Jaka bisa melihat jelas gundukan dadanya yang hanya tertutup bra.
Jaka memegangi dadanya yang berdegup kencang. Untung Nuning tak tahu kalau Jaka sempat melihatnya, kalau sampai tahu bisa benjol dia.
“Udah belum? Ganti di kamar mandi aja kenapa sih?” oceh Jaka menutupi deru napasnya yang belum teratur.
“Aduh! Galak banget sih jadi orang?” Jaka memegangi kepalanya yang habis kena jitak Nuning.
“Berisik! Galakan juga ibumu,” sahut Nuning sambil mengurai rambutnya yang basah.
“Iya-iya ... ibuku galak. Punya istri juga sama galaknya.” Jaka tersenyum melihat Nuning meliriknya sewot. “Eh, tapi ... menikahimu itu pilihanku juga, Ning,” cengirnya mengajak damai.
“Karena kamu nggak punya pilihan lain. Kalau Erna mau kamu nikahin, pasti kamu milih dia kan?” sahut Nuning sambil mencubit Jaka.
“A-ampun,” keluh Jaka kesakitan, lalu tertawa geli saat cubitan Nuning berubah jadi gelitikan. Semakin Jaka minta ampun, Nuning justru tertawa dan menggelitikinya dengan liar.
Setelah capek tertawa, keduanya rebah tidur bersisian.
“Jak, kayaknya ibumu kepingin banget kamu kuliah,” kata Nuning membuka obrolan.
“Iya, aku juga udah bikin rencana soal itu kok. Tapi nggak bisa sekarang karena mesti ngumpulin duit dulu.” Lalu Jaka mengubah posisi tidurnya menghadap Nuning, “Ning ...,” panggilnya lirih, “sampai kapan kamu mau kerja jadi kuli angkut? Apa kata bapak sama emakmu kalau sampai tahu?” tegurnya.
“Ya jangan sampai tahulah, kalau sampai mereka tahu berarti mulutmu yang ember.”
“Tapi, Ning—”
“Memangnya kenapa sih dengan kerjaanku? Aku senang banget sama kerjaanku ini, Jak. Hobiku manjat pohon jadi nggak sia-sia, bahkan aku dapat duit dari sini. Terus, aku bisa sekalian nebeng jalan-jalan melihat Jakarta setiap hari. Apalagi Jimin suka mentraktirku jajanan yang nggak ada di kampung. Asyik, tahu. Duitku jadi utuh.”
“Jadi kamu menganggap semua itu cuma buat main-main?”
“Ya iyalah! Ngapain serius-serius amat? Hidup itu kudu dinikmati. Udah ah, jangan bersikap kayak kamu itu suamiku betulan aja. Seperti yang pernah kubilang dulu, aku bisa cari duit sendiri. Aku nggak menuntut nafkah darimu setelah kita menikah, yang penting kamu udah bawa aku ke Jakarta.”
“Kan kita suami-istri beneran, Ning? Bagaimanapun kita sah di mata hukum dan agama. Nggak peduli kita nggak niat nikah betulan, tapi kita kadung terikat. Mestinya aku jagain kamu dunia-akhirat dan ngasih nafkah. Tapi ... malah bikin kamu tampak menyedihkan kayak gini. Aku merasa berdosa, Ning.”
”Cih, sedih apanya. Justru kamu yang menyedihkan kalau kayak gini terus-terusan. Kamu kan punya otak yang pinter, dipake dong buat mengubah nasib. Kuliah sana!”
“Ning—”
“Ssst ..., aku belum selesai ngomong. Dengerin ..., kamu kudu sukses, Jak. Bikin ibumu bangga. Kamu harapan ibumu satu-satunya. Kalau udah sukses, suatu saat kamu pasti pede ngadepin si botak.”
Jaka menyingkirkan tangan Nuning dari mulutnya lalu terbahak saat Nuning menyebut-nyebut bapaknya Erna yang kepalanya botak.
“Terus kamu lamar Erna dengan lantang. Bawain seserahan yang banyak, siapin emas kawin batangan 24 karat segede bata. Kalau ditolak, tinggal timpuk aja orangnya sampe lamaranmu diterima.”
“Itu mau melamar apa mau ngajak gelut sih? Pake adegan nimpuk orang segala?” Jaka semakin terpingkal.
“Yakin deh, Jak. Erna pasti masih menyimpan perasaannya ke kamu. Dia akan sulit menolak lamaranmu kelak, kalau kamu sukses. Makanya cepat, jadilah orang sukses. Biar kamu bisa lekas melamar Erna.”
“Dih. Kamu kok malah nyuruh aku nikah lagi sih? Seneng ya kalau dimadu?” Jaka mencubit hidung Nuning dengan gemas.
Nuning balas mencubit pinggang Jaka hingga cowok itu mengaduh sakit. “Enak aja! Siapa yang sudi dimadu? Ceraikan aku dululah, baru kamu boleh meni—”
Nuning belum sempat menyelesaikan kata-katanya, tetapi Jaka keburu menyumpal ocehannya dengan ciuman. Entah kenapa, Jaka tiba-tiba merasa gemas sekali melihat Nuning.
Sekonyong-konyong Nuning menegang kala lidah Jaka membelai-belai bibir perawannya dengan begitu nakal. Perutnya bagai dicambuk desiran aneh yang melumpuhkan sel-sel sarafnya, membuatnya lunglai tak berdaya dalam dekapan Jaka yang telah menguasai dirinya utuh-utuh.
“Jaka! Tolong beliin—”
Pelukan Jaka terurai secepat cahaya saat Bu Lilis tiba-tiba menyergap masuk tanpa permisi. Dan secepat kilat pula Bu Lilis memalingkan mukanya yang merah padam karena jengah.
“Eh, a-a-anu.” Mendadak emak-emak yang biasanya fasih mengomel itu menjadi gagu. “Kunci pintunya!”
Bu Lilis buru-buru menutup pintu dengan gugup. Segugup Jaka yang tiba-tiba kehilangan keberaniannya yang entah dari mana datangnya tadi. Refleks, didorongnya Nuning hingga terjengkang dan terguling ke lantai.
Jaka terkesiap dan mulai melipir panik menyadari kesalahannya. Sedangkan tanduk Nuning sudah telanjur mencuat.
Jaka pun ngibrit memutari kamar, menabrak tembok dan terjedot pintu. Menghindari kejaran Nuning yang tak kenal ampun. Kemarahan gadis gila itu menyerupai banteng yang melihat kain merah. Habislah Jaka diseruduknya meski sudah menyerah kalah.
Bab 14. Ulat Bulu Jadi Kupu-Kupu
"Jangan lupa makan ya, nduk?"
"Iya, Mak. Emak juga jangan lupa masak yang banyak. Biar Bapak sama Mas Bambang kenyang, nggak kelaparan."
Bu Parmi malah menangis heboh. Nuning sampai menjauhkan speaker ponselnya. "Mak, lupa umur, ya? Nggak pantes nangis macam bayi kayak gitu. Mau es krim? Beli gih yang banyak, nanti duitnya Nuning transfer lagi lewat rekeningnya Mas Bambang."
Bambang yang ikut menyimak percakapan itu menyembunyikan air matanya. Diam-diam dalam hatinya Menyesal telah memandang sebelah mata pada adiknya. Dulu, adiknya memang seperti ulat bulu yang suka menggerogoti habis daun tanaman, tapi setelah berubah menjadi kupu-kupu, barulah ia terlihat manfaat dan keindahannya.
"Ya Allah, anakku udah bisa nyari duit tho?" isak Bu Parmi terharu. Meski cuma ditransfer tiga ratus ribu, tapi kebahagiannya sebagai orangtua bagai menerima tiga juta. Tapi bakal beda lagi ceritanya kalau dia sampai tahu anak perempuan satu-satunya itu mencari duit sebagai kuli dan tukang petik buah. Bukannya senang terima duit, tapi malah kejang-kejang sedih.
"Ya bisalah, Mak! Orang yang kakinya buntung aja bisa nyari duit, masa tubuhku yang sehat nggak bisa?"
"Yungalah, nduk, Emak nggak nyangka kamu jadi dewasa gini."
"Aku kan udah nikah, Mak. Bukan anak-anak lagi."
"Iya ya, kamu bukan anak-anak lagi. Tapi calon ibu yang akan punya anak, dan Emak calon Mbah. Aduhhh jebul wis tuo yo aku, nduk."
Nuning jadi gugup saat ibunya menyinggung soal anak. Pikirannya tiba-tiba mendarat pada adegan ciuman pertamanya dengan Jaka kemarin. Untung Bu Lilis tiba-tiba menginterupsi masuk, kalau tidak? Apa kabar nasib persahabatan mereka selanjutnya?
Nuning menggelengkan kepala. Tak ingin berpikir aneh-aneh. Pernikahan ini suatu saat boleh berakhir, tapi persahabatan mereka tidak. Nuning tak mau menciderai keutuhan persahabatan mereka dengan hal-hal yang bakal mereka sesali di kemudian hari.
Nuning mengakhiri telepon lalu siap-siap ke rumah Bu Murni, tempatnya menunggu jemputan Jimin setiap hari.
"Sarapan dulu, Ning," sapa Bu Lilis mengejutkan. Setelah hampir setahun jadi menantu, baru kali ini sang ibu mertua menyapa selembut itu.
"Eh, i-iya." Nuning menjadi gugup.
"Ibu masak pindang bandeng yang kamu beliin kemarin, beneran enak ternyata. Ikannya masih segar dan nggak bau tanah. Pinter banget kamu milihnya," puji Bu Lilis bikin Nuning bertambah heran. Lalu dia memegagi pinggiran meja erat-erat, khawatir tiba-tiba gempa dan bumi berguling karena perubahan sikap mertuanya sebesar 180 derajat.
Bu Lilis memanggil Jaka dan mereka harus sarapan bertiga. Nuning memalingkan wajah saat Jaka tersenyum kepadanya. Tapi diam-diam dia melirik Jaka saat cowok itu asyik menyesap kuah pindang bandeng buatan Bu Lilis. Seketika jantungnya berdenyut aneh saat menatap bibir Jaka, teringat ciuman mereka kemarin. Sekonyong-konyong Nuning cegukan.
"Makanya kalau makan pelan-pelan," kata Jaka sambil menuangkan segelas air untuk Nuning, kemudian menepuki pundak gadis itu seperti biasa, seakan tak pernah terjadi hal besar antara mereka.
Nuning mendesah. Bagaimana bisa cowok itu bersikap sesantai itu setelah yang semalam? ‘Dasar laknatt,’ pikirnya sebal.
Bu Lilis tersenyum kecil melihat kecanggungan yang terjadi antara anak dan menantunya yang tampak malu-malu meong. Ingatannya melayang kembali pada masa-masa indahnya dahulu kala. Dia juga pernah sebahagia itu saat bapaknya Jaka masih waras, sebelum ketemu janda gatal yang merusak rumah tangganya.
Sebenarnya Bu Lilis berparas cantik, hidungnya mancung, dan berkulit putih. Tipikal wanita idaman lelaki pada umumnya. Tapi bapaknya Jaka justru lebih memilih Sari yang manisnya tak membosankan seperti Nuning.
‘Huh. Bapak dan anak kok kompak sama-sama suka dengan yang manis. Diabet tahu rasa!’
Kebencian pun merayapi hatinya sejak pertama kali melihat Nuning. Ditambah kelakuan Nuning yang absurd di awal pertemuan. Bikin Bu Lilis syok di hari pertamanya menyambut menantu.
Sejak saat itu, pikiran piciknya yang berupa kecewa, marah, benci, dendam, sedih, lama-lama menggumpal jadi satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan lagi dalam keseharian. Keadaan psikologis semacam itu pada awalnya merusak organ otaknya sendiri yang bikin dia suka uring-uringan tanpa sebab. Kemudian, otak yang rusak meneruskan kerusakan itu ke organ-organ yang lain. Efek berantai itu terlebih dahulu merusak organnya yang paling lemah sebelum melemahkan organ tubuhnya yang lain.
Tak heran kalau Bu Lilis mulai penyakitan, entah itu sakit maag, sakit gigi, sakit pinggang, nyeri otot, atau gampang kram. Badannya sakit semua, tidak kalah sakit dari hatinya. Seakan jiwa raganya balap-balapan sakit, tapi tak ada yang balapan sembuh. Sampai kemudian perhatian Nuning yang kecil-kecil itu melunakkan hati dan menyembuhkannya secara diam-diam.
Nuning berbeda dengan Sari. Bu Lilis bisa merasakan ketulusan Nuning saat memberikan berbagai buah tangan untuknya. Lagipula, istri mana yang rela kerja keras sampai jadi kuli demi tak ingin merepotkan suaminya yang tak lain adalah Jaka, anak semata wayangnya. Ternyata Nuning bukanlah istri parasit seperti yang semula ia pikir. Dan kebahagiannya seakan bertambah karena Jaka bilang berniat kuliah dengan uang hasil keringatnya sendiri.
***
"Kenapa sih, Jak? Kok dari tadi manyun melulu?" tegur Nuning menjelang tidur.
Jaka mendesah sambil merebahkan tubuhnya yang lelah di kasur. Memandangi plafon dengan tatapan sedih. "Aku habis ditipu, Ning."
"Ditipu gimana?" Nuning memandangi Jaka dengan tatapan tak sabar ingin mendengar ceritanya.
"Aku dapat orderan fiktif. Ceritanya, tadi dapat orderan yang minta dibeliin makanan senilai 200 ribu. Tapi giliran udah kubeliin, malah dicancel. Pas kuanterin ke alamatnya biar duitnya diganti, malah disambut lagu dangdutnya Ayu Ting Ting, alamat palsu, alias zonk!"
“Minta ganti aja ke kantormu?"
"Nggak bisa kalau udah dicancel, Ning. Kan ada prosedurnya, kebetulan kasus kayak gini nggak bisa dapet ganti. Niatku ambil orderan kuliner kan karena poinnya lebih gede ketimbang angkut penumpang. Eh, bukannya untung malah buntung."
"Ya udah, yang penting kamu kan udah usaha. Santai. Rezeki nggak bakal tertukar. Kupikir ada apaan, nggak taunya cuma masalah kayak gitu tho.”
"Cuma? Kayak gini kamu bilang cuma?" Jaka tak terima.
"Selow, gaes. Jangan ngegas. Ntar nabrak, benjut tau rasa." Nuning tertawa, berusaha menghibur Jaka. Tapi wajah temannya itu justru bertambah masam.
"Terus, makanannya mana?” tanya Nuning kemudian.
"Tuh, di kulkas."
"Sini, aku beli aja.”
Jaka menoleh dengan cepat. "Kamu? Mau beli?" tanyanya sangsi.
“Tapi ngutang ya?” Nuning nyengir kuda.
Seketika Jaka mengangguk ‘no debat’.
“Makanan apa sih, Jak, sampai segitu mahalnya?”
"Kue kekinian gitulah, yang jual artis jadinya mahal, pakai mengantre pula.”
“Wah, artis jualan kue? Kamu ketemu langsung? Cakep? Cakepan mana sama pas lagi di tivi?” desak Nuning sambil mengguncang lengan Jaka.
“Ya nggak gitu juga kaliii. Tuh artis emang yang punya toko kuenya, tapi yang bikin dan yang jagain tokonya ya bukan dialah.”
“Oooh. Yuk, kita makan kuenya!”
Antusiasme Nuning menjadi energi positif yang menyetrum Jaka. Memompa kembali semangatnya yang sempat loyo. Jaka pun tersaruk-saruk ke dapur, diikuti Nuning yang tak sabar ingin menyantap kuenya artis.
Nuning terbelalak senang melihat kue artis itu sudah terhidang di meja dapur. "Panggil ibumu," katanya seraya memotong-motong kue si artis dengan hati-hati.
"Ibu lagi pusing, memangnya nggak eneg makan ginian?"
"Udahlah, bawain aja ke kamarnya, kali aja mau nyicip."
Jaka menurut. Mengambil sepiring yang sudah disediakan Nuning untuk ibunya dan mengantar ke kamar. Lama Jaka tak kembali ke luar. Mungkin sedang menyuapi ibunya yang sedang sakit. Galak-galak begitu, Bu Lilis berubah manja bukan main kalau sedang sakit.
Sementara itu, Nuning tenggelam dalam kenikmatan, menjilat dan mengunyah kue artisnya. Lidahnya bergoyang dombret selama mencecapi paduan rasa keju, susu, vanila, dan stroberi. “Lembutnya,” desahnya puas. Ah, dia jadi makin bersemangat ingin mencari uang banyak biar bisa membeli makanan yang enak-enak seperti ini lagi.
“Segitu enaknya ya, Ning?”
Nuning menoleh dengan mulut yang dipenuhi kue. Dia mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.
Usai menelan, Nuning buru-buru menyahut, “Enak banget, sumpah! Buruan gih, makan punyamu.” Lalu menyodorkan bagian Jaka yang sudah disiapkannya dalam piring. Tapi Jaka mendorong piring itu kembali ke hadapan Nuning.
“Buat kamu aja,” sahut Jaka bikin Nuning mendelik senang. Jaka mengangguk saat Nuning masih menatapnya ragu. "Sebagai suami, aku ikut senang melihat istriku senang kayak gini," ujarnya sambil mengedip.
Nuning terbahak. "Suami apaan, kita kan cuma—," ucapannya terhenti karena Jaka mendekatkan wajahnya secara tiba-tiba. Nuning seketika memejamkan mata dengan panik. Bisa ia rasakan napas hangat Jaka yang menyapu salah satu sisi pipinya, membuat jantungnya mencelat sampai langit. Tapi setelah cukup lama, tak terjadi apa-apa.
"Woi, Ning? Ngapain kamu tutup mata segala?"
Nuning membuka kembali matanya lebar-lebar. Terkaget-kaget saat bertemu tatap dengan Jaka yang melotot padanya selebar piring.
"Soalnya kamu tiba-tiba kayak mau ...," Nuning menelan ludah, malu sendiri.
"Mau apa?" desak Jaka menyebalkan.
"Kamu kayak mau menciumku!" omel Nuning jengkel.
Jaka terpingkal-pingkal. "Bah! Aku tadi cuma mau bisikin aja, kalau makan jangan sampai lupa napas. Tapi kamu malah memejamkan matamu rapat-rapat kayak gitu, bikin aku bingung aja," sahut Jaka diakhiri cengiran jahat, "Atau jangan-jangan ..., diam-diam kamu mengharap kucium lagi, ya?"
Nuning menjawab dengan menginjak kaki Jaka keras-keras. Jaka kelojotan menahan sakit.
"Awas ya, berani-beraninya kayak gitu lagi, bukan kuinjak lagi kakimu, tapi kupatahin!" ancam Nuning dengan tatapan membara, kemudian bergegas memasuki kamar.
Jaka buru-buru mengejar, tapi Nuning buru-buru menutup pintu dan menguncinya.
"Ning, keluar dong? Kan kuenya belum habis?” bujuk Jaka ingin berdamai. Bermusuhan dengan Nuning itu ngeri, Jaka pilih menyerah saja mulai sekarang.
“Simpan sana di kulkas!” jawab Nuning galak.
“Memangnya kamu nggak mau lagi?”
“Mau! Buat besok lagi! Awas kalau kamu makan, kusumpahin mencret!”
Jaka meringis sambil garuk-garuk kepala. “Ning, buka dong? Aku ngantuk, masa tega sih biarin aku bobok di luar? Kan banyak nyamuk?" bujuknya sekali lagi.
"Bodo amat!" sahut Nuning super tega.
Jaka pun melangkah gontai menuju sofa yang sudah tak empuk lagi. Merenungi kesalahan apa yang sudah dilakukannya, sampai bikin Nuning semarah ini
Bab 15. Mbah Sum
Nuning bersiul-siul menuju rumah Bu Murni, mau bertemu Jimin. Mereka akan memanen rambutan hari ini. Tiba-tiba siulannya terhenti kala berpapasan dengan seorang nenek yang berjalan tergopoh-gopoh dengan tongkatnya.
“Mau ke mana, Mbah?” sapanya seraya mengangguk ramah.
“Memangnya aku mbahmu?” Nenek tua itu malah sewot.
Nuning meringis keki, lalu geleng-geleng kepala melaluinya.
“Eh, gadis muda!” panggil nenek itu tiba-tiba.
Nuning menoleh malas-malasan karena sikap si nenek yang judes tadi. “Ya, ada apa nenek tua?” sahut Nuning sekenanya.
“Hei, aku punya nama! Jangan sebut aku nenek tua, ya!” bentak si nenek sambil menuding dengan tongkatnya.
Meski jengkel, Nuning berbaik hati meladeninya dan menjawab, “Iya, saya juga punya nama. Jadi jangan juga sebut saya Hei.”
“Ya sudah, mari kita bertukar nama,” ajak si nenek.
“Marilah kalau begitu,” angguk Nuning mempersilakan.
“Aku, Sum.”
“Saya, Nuning.”
“Hmm namamu kayak orang Jawa, ya? Tapi aku juga, jadi panggil aja aku Mbah Sum. Jangan nenek tua.”
Nuning mengangguk dengan setengah geli. ‘Yaelah, padahal kan tadi dia sendiri yang ogah dipanggil Mbah.’
“Eh, kamu kan masih muda, punggungmu pasti kuat. Ayo, gendong aku ke rumah Pak RT, aku capek.” Dan tanpa menunggu jawaban Nuning, dengan seenaknya Mbah Sum menaiki punggung Nuning seperti anak monyet.
Nuning kewalahan menerima tubuh si mbah yang mungil, tapi ternyata berat juga. ‘Jangan-jangan nih nenek-nenek keberatan dosa karena kebanyakan ngomelin orang,’ pikir Nuning sambil menyeimbangkan dirinya yang nyaris tercebur got.
“Woy, yang benar dong! Awas kalau sampai jatuh, kemarin kakiku habis diurut karena keseleo, jangan sampai kau bikin keseleo kedua kali,” protes Mbah Sum sambil menjitak Nuning.
Nuning memutar bola mata sambil berusaha menyabarkan diri. Kalau bukan orang tua, ingin rasanya dia melempar si nenek ke dalam got yang menganga di sisinya. Berhubung orang tua, Nuning takut kualat.
Selanjutnya Nuning menurut saja, mengikuti instruksi Mbah Sum yang mengarahkan jalan. Mbah Sum tak segan-segan menabok bokong Nuning kalau berjalan lelet.
“Wadaw, memangnya saya sapi?” protes Nuning.
“Sapi aja masih lebih gesit darimu kalau jalan? Kayak gini kok nggak mau disamain sama sapi?” omel Mbah Sum seenaknya.
Nuning ingin balas mengomel, tetapi dia kudu hemat energi, percuma meladeni omelan Mbah Sum. Lebih baik bergegas mengantarnya ke tempat tujuan biar lekas beres urusan, maka dia mempercepat langkahnya.
“Nah, gitu kek sejak tadi,” puji Mbah Sum sembari terkekeh riang. “Ayo, dikit lagi kita sampai rumah Pak RT, tuh yang rumahnya paling ujung.” Mbah Sum menunjuk dengan tongkatnya. Lalu mengelus-elus kepala Nuning.
Bah! Nuning seperti anak kucing saja. Tapi lebih baik begitu daripada pantatnya yang ditaboki macam sapi di sawah.
“Nah, sudah sampai kita. Turunin aku di sini,” perintah Mbah Sum.
Nuning mendesah lega saat menurunkan Mbah Sum, lalu buru-buru pamit.
“Eh, siapa suruh kamu pergi? Tunggu di situ!”
Mbah Sum menyingsingkan lengan bajunya. Uh! Sejak kos-kosan khusus putra di sebelah rumahnya penuh terisi, Mbah Sum merasa ketentramannya terusik. Tergopoh-gopoh ia menghampiri rumah Pak RT sambil menahan gondok yang hampir mengerak di tenggorokan. Sebab sudah terlalu lama menahan kejengkelan.
“Kamu tunggu di situ pokoknya!” katanya menoleh sesaat pada Nuning yang terbagong-bagong di tempat.
“Pak RT!” Mbah Sum menggedori pintu pagar rumah Pak RT dengan tongkatnya, bagai rentenir yang tak sabar menagih utang.
“Ada apa tho, Mbah?” Bu RT tersaruk-saruk menghampiri, membuka pagar, lalu menuntunnya masuk disertai tatapan kepo ibu-ibu yang kebetulan sedang bertamu di rumahnya untuk merumpi, beberapa sedang asyik mencari kutu.
Melihat kedatangan Mbah Sum, merekapun bubar, melipir seraya menggelung rambut.
“Mana Pak RT?” desak Mbah Sum.
Bu RT ngacir memanggil suaminya. Siapa juga yang tahan lama-lama dipelototi Mbah Sum yang sejak muda memang sudah terkenal galak bak preman kampung. Meski sekarang sudah jadi nenek-nenek, Mbah Sum tak segan mengajak gelut anak-anak kampung yang ketahuan nyolong buah di kebunnya. Anak-anak itu lari tunggang langgang ketakutan melihat golok yang diacung-acungkannya.
Slang beberapa menit, Pak RT muncul dengan peci miringnya. Mbah Sum seketika menyeringai memandanginya. “Pak RT! Benerin dulu tuh peci,” ketusnya.
Pak RT nyengir sambil membenahi pecinya. “Ada apa, Mbah? Mari duduk dulu,” ajaknya, namun Mbah Sum menolaknya mentah-mentah.
“Nggak usah! Saya mau langsung ngomong sekarang aja, nanti keburu lupa!”
Pak RT mengangguk-angguk. “Ada apa tho, Mbah?” tanyanya dengan nada yang disabar-sabarkan.
“Pokoknya, Pak RT kudu bertindak tegas. Usir itu semua penghuni kosan putra di sebelah rumah saya!”
“Loh-loh, nggak ada angin nggak ada hujan, kok main usir aja? Memangnya kenapa, Mbah?”
Mbah Sum menggebrak meja dengan tongkatnya, membuat semua orang kompak mengelus dada. Nuning yang memandangi semua itu dari luar pagar tak sadar terkikik sendiri melihat ulah Mbah Sum yang ternyata suka bikin geger itu.
“Pak RT nggak tahu ya?” tuding si Mbah sambil melotot. “Nih! Saya kasih tahu, anak-anak kosan itu mesum semua isinya! Sukanya main pingpong sambil telanjang dada, terus kalau setiap hujan suka main bola cuma pakai sempak aja! Mereka juga suka mandi keramas pakai selang sambil sarungan doang. Aduuh gimana nggak pecah kepala saya setiap hari melihat pemandangan seperti itu? Di mana coba akhlaknya? Saya ini udah nenek-nenek loh. Masa mereka nggak risih mondar-mandir nggak pakai baju di depan mata kepala saya?” omelnya nyaris hanya dengan satu tarikan napas saja.
Sesaat ibu-ibu yang mendengar menelan ludah. Penghuni kosan di sebelah rumah Mbah Sum kan isinya cogan (cowok ganteng) semua, kinyis-kinyis pula macam oppa Korea. Mereka jadi ingin tukar rumah saja dengan Mbah Sum.
Sementara Nuning yang turut mendengar cuma ber-oh saja dalam hati, berusaha memaklumi kejengkelan nenek tua itu.
“Tapi, masa iya sih, Mbah? Kayaknya anak-anak kost di sana baik-baik dan sopan, masa iya mereka mengumbar aurat seperti itu?” tanya Bu RT terdengar sangsi.
Mbah Sum menjawab dengan memukul tongkatnya ke meja dan lagi-lagi membuat semua orang mengurut jantung.
“Nggak percaya? Kalau gitu, ayo semuanya sekarang ikut ke rumah saya dan lihat saja sendiri. Mumpung mereka lagi pada asyik main bola cuma pakai sempak!” tantang si mbah berapi-api.
“Wah, asyiiik. Beneran, Mbah? Tapi kan lagi nggak hujan?” celetuk seseorang yang seketika menciut ditusuk tatapan Mbah Sum.
Tak menunggu lama, di bawah komando Mbah Sum, mereka semua berbondong-bondong ke rumahnya, untuk membuktikan sendiri ceritanya.
Nuning bersiap kabur melihat rombongan itu hampir sampai pagar, tapi siulan Mbah Sum padanya seketika sanggup menghentikan langkahnya secara ajaib. ‘Memangnya aku kudanya Zorro yang bisa disiulin gitu?’
Duh, demi emaknya di kampung yang gembrot, bagaimana coba caranya kabur dari jeratan gila si nenek satu ini?
“Ayo, cepat jalan!” Mbah Sum menabok pantat Nuning seperti pantat sapi.
Sesampainya di lokasi, semua orang dibikin bengong.
“Loh. Mana Mbah?” tanya ibu-ibu nyaris berbarengan, antara penasaran sekaligus kecewa karena tak mendapati pemandangan para cogan sedang main bola cuma pakai sempak saja, seperti yang dikeluhkan Mbah Sum tadi.
“Kalian memangnya nggak dengar suara mereka yang ribut-ribut lagi main bola itu?” kata Mbah Sum bikin semua orang saling lirik kebingungan, gagal paham.
“Lah iya, tapi kan cuma suaranya doang, tapi penampakannya mana, Mbah?” desak Bu RT terdengar tak sabar, tapi sekonyong-konyong mengerut ketika Pak RT mendelik padanya.
“Dasar ganjen,” desis Pak RT menahan cembokur, alias cemburu.
Mbah Sum menghela napas sambil geleng-geleng, lalu menjawab, “Ya makanya, kalian naik dulu ke atas bangku itu, baru deh bisa melihat jelas semuanya! Kalau cuma berdiri di sini aja, ya ketutupan temboklah!” ocehnya sambil menaiki bangku. “Tuh, kan. Ckckck. Mereka cuma pakai sempak doang! Ayo, kalian ambil kursi masing-masing. Buruan, lihat sini. Ntar keburu bubar!” ocehnya tanpa menoleh lagi, karena sibuk mengamati pemandangan di seberang tembok rumahnya.
“Ealaahhh, Mbah Suuuuum!” omel semua orang sambil tepok jidat berjamaah.
Nuning terpingkal sampai terkentut-kentut. Lalu kaget sendiri karena orang-orang yang menghirup bau busuknya pingsan seketika sambil kejang-kejang.
***
“Iya, betul begitu, tekan lebih keras lagi,” perintah Mbah Sum kepada Nuning yang sedang memijati kakinya.
Perempuan tua itu ‘merem-melek keenakan’ menikmati pijatan Nuning di sepanjang kakinya yang pegal-pegal.
“Pijatanmu enak juga, aku betulan cocok nih sama pijatanmu. Kamu keturunan tukang pijat ya? Berbakat kamu tuh.”
Nuning menggeleng. Neneknya bukan dukun pijat, apalagi si emak yang bakatnya cuma mementung kepalanya pakai centong.
“Tapi pijatanmu betulan enak, kalau kamu jadi tukang pijat pasti banyak orang yang cocok. Soalnya aku bisa ngerasain pijatan yang enak atau nggak. Gimana kalau kamu jadi tukang pijatku aja mulai sekarang? Nanti kubayar.”
Tentu saja Nuning lekas menolak. Bukannya menolak rezeki, tapi perasaannya mengatakan lebih baik jauh-jauh saja dengan nenek satu ini. Mungkin karena nenek satu ini berjiwa alien juga seperti dirinya. Tak heran tingkahnya random. Maka, sesama alien baiknya jangan saling terhubung di bumi.
Nuning buru-buru pamit setelah Mbah Sum puas menikmati pijatannya. Dan Nuning mendelik senang kala si mbah memberinya uang dua ratus ribu. Ternyata galak-galak begitu, murah hati juga dia. Nuning menerimanya dan berterima kasih. Lalu buru-buru pamit karena harus memanen rambutan bersama Jimin.
Nuning berlari secepat kilat, khawatir membuat Jimin lama menunggunya, mengabaikan panggilan Mbah Sum yang tergopoh-gopoh mengejarnya, tapi tentu saja tak terkejar karena kalah gesit dengan langkah Nuning yang energik.
“Duh, aku salah kasih uang ke dia. Kupikir itu tadi dua lembar sepuluh ribuan. Hmmm. Di mana ya rumah gadis muda itu? Sayang sekali tadi aku lupa nggak tanyain alamatnya. Eh, terus namanya tadi siapa, ya? Nunik? Ninuk? Nunuk?” gerutunya sembari berpikir keras karena sudah mulai pikun.
Mbah Sum kembali memasuki rumahnya dengan gontai, manyun memandangi isi dompetnya yang baru saja terkuras banyak.
BERSAMBUNG ….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
