Sang Pengibar dari Tegal

0
0
Deskripsi

Menjadi pengibar bendera pusaka adalah impian pemuda Indonesia. Sayangnya, mewujudkannya seolah harus menjadi sempurna. Paling tidak bagi Latief, seorang anak asal Tegal yang begitu cinta pada bendera, namun tak pernah bisa mengibarkannya karena tinggi badan jadi kendala. Bagaimana kisahnya?

Tegal, 1996

Indonesia tanah airku

Tanah tumpah darahku

Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku

Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku

Marilah kita berseru 

Indonesia bersatu

Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku

Bangsaku, rakyatku semuanya

Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya merdeka merdeka

Tanahku negeriku yang kucinta

Indonesia Raya merdeka merdeka

Hiduplah Indonesia Raya

Indonesia Raya merdeka merdeka

Tanahku negeriku yang kucinta

Indonesia Raya merdeka merdeka

Hiduplah Indonesia Raya

 

Latief selesai menyanyikan lagu kebangsaan karangan W.R. Supratman itu selaras dengan sampainya sang Saka menyentuh ujung tiang. Ia menurunkan hormatnya kemudian memperhatikan embah, yang merupakan bekas tentara Heiho bentukan Jepang, dari mengikatkan tali pada tiang sampai memosisikan tubuhnya ke sikap sempurna sembari memberi hormat pada Merah Putih yang telah sukses ia kibarkan.

“Latip,”

“Dalem Mbah”

“Jangan pernah sepelekan Sang Saka Merah Putih kita, kerena untuk dapat mengibarkan dengan bebas seperti sekarang butuh perjuangan yang sangat panjang!”

“Iya Mbah, kalau besar nanti Latip mau jadi pengibar bendera!”

“Bagus! Bagus sekali cucuku! Mbah dukung cita-cita luhurmu itu, jaman sekarang jarang sekali pemuda yang peduli untuk mengibarkan Sang Merah Putih, padahal sejak 17 Agustus 1945 kita sudah berhak seberhak-berhaknya membanggakannya di atas tiang.”

“Latip mau ngibarin Merah Putih, Latip mau seperti Mbah!”

Mbah Karman lalu membungkukkan tubuhnya yang bungkuk, menatap tajam ke arah Latip, ia terharu mendengar penuturan cucu kebanggaannya itu.

“Latip, kau lahir tanggal 17 Agustus, tangisanmu melengking tepat saat Mbah selesai menurunkan bendera. Hari Sabtu! Ya, Mbah ingat betul, begitu mendengar tangisan pertamamu Mbah langsung yakin kelak kau akan menjadi pemuda Indonesia yang tangguh.”

Latief tersenyum polos.

“Kamu tahu kenapa Mbah memberimu nama Latip Hendraningrat?”

Latief menggeleng.

“Karena Latip Hendraningrat adalah orang pertama yang mengibarkan Bendera Merah Putih pada hari kemerdekaan RI, hari Jumat, jam sepuluh di kediaman Bung Karno bersama rekannya Suhud.”

Latief kecil tersenyum lagi, kali ini sepintas mirip seringai. Dalam benaknya kala itu terbesit kuat untuk dapat menjadi Latief Hendraningrat selanjutnya.

“Latip! Ayo mandi, katanya mau ikut ke Balai Desa buat bikin akte?” suara ibu dari dalam membuat Latief mengakhiri pembicaraanya dengan embah. Ia lantas bergegas menuju ibunya setelah mendapat belaian sayang embah di kepalanya.

 

“Ini anak saya mau bikin akte kelahiran Pak, namanya Latip Hendraningrat, lahir tanggal 16 Agustus 1991”

“Ibu! Latip lahir tanggal 17 Agustus!”

“Latip, kamu itu lahirnya tanggal 16 bukan 17”

“Gak mau! Kata Embah Latip lahirnya tanggal 17 Agustus, hari Sabtu! Latip gak mau lahir tanggal 16! Titik!”

“Aduuuh, maaf Pak, sebentar” ibu membawa Latip keluar ruangan.

“Sayang, Latip itu lahirnya Jumat tanggal 16 Agustus 1991 jam lima sore, ibu ingat betul kok, lha wong ibu yang mbrojolin

“Bukan Jumat ibu… Latip lahir hari Sabtu!”

Ibu mendengus, ia paham polemik yang sedang dihadapi. Menurut perhitungan masyarakat Jawa Kuno, apabila sudah melebihi pukul 16.00 maka sudah berganti hari selanjutnya. Seperti kasus Latief ini, menurut kalender nasional ia memang lahir hari Jumat pukul 17.00 namun, menurut orang tempo dulu macam Mbah Karman saat itu sudah masuk hari Sabtu.

“Pokoknya Latip gak mau sekolah kalo lairnya gak tanggal 17 Agustus! Titik!”

Ibu menyerah.

   

“Latip, ngangsu kolam!”

“Iya bu…”

Latief menuju ke sumur berkatrol di rumahnya, di Tegal biasa disebut kerekkan, istilah ini muncul lantaran setiap katrol berputar akan menimbulkan bunyi “kreek…kreek…kreek”. Cara kerjanya seperti pada katrol kebanyakan, tali yang ujungnya dikaitkan dengan ember dimasukan dalam bibir katrol sementara pada ujung yang lain diikatkan pada tiang penyangga. Ketika ember telah terisi penuh maka orang tinggal menarik sisi lain tali dan menariknya ke permukaan. Jika diperhatikan prosesnya hampir sama dengan pengibaran bendera, tiang penyangga yang disertai katrol dianggap sebagai tiang bendera yang menjulang tinggi sedangkan ember bisa dianalogikan sebagai benderanya. Maka, pepatah “Tiada rotan akar pun jadi “ pun diamini Latief, tak ada bendera, ember pun jadi.  Ia mengimajinasikan hal itu, tugas mengangsu yang melelahkan dibuatnya menarik dengan membayangkan dirinya sedang berada di tengah lapangan untuk mengibarkan bendera merah putih kebanggaan kita.

    “Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku….Bangsaku, rakyatku semuanya…Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya……..!” Latief bernyanyi dengan sikap sempurna meski dirinya hanya sedang menimba air di sumur.

    “Latip! Gagiyan, aja tembangan bae… wis sore”# lagi-lagi suara lantang ibu memecah bayangannya.

    “Iiiih…ibu!” Latief mendengus kesal, tetapi tetap melanjutkan

“Indonesia Raya merdeka merdeka…Tanahku negeriku yang kucinta…Indonesia Raya merdeka merdeka…Hiduplah Indonesia Raya!”

Di tengah lapangan Latief Hendraningrat menjadi pusat perhatian, sikap tegapnya dalam mengibarkan bendera kebangsaan mendapat decek kagum banyak orang. Lagu Kebangsaan yang mengiringinya selesai tepat ketika bendera sampai di ujung tiang, selaras. Tepuk tangan penonton bergemuruh. Tiba-tiba…..

BYUUUUURRRRRRRRRRRRR!!!!

Ember yang sudah sampai di ujung katol itu menumpahkan seluruh isinya ke tubuh Latief.


Tegal, 2007

 Di tahun ini Latief sudah berusia 16 tahun, ia diterima di SMA N 1 Tegal, sekolah terfavorit di kotanya. Setahun yang lalu Mbah Karman menghadap Sang Khaliq, sejak saat itu tugas mengibarkan dan menurunkan bendera di halaman rumahnya beralih padanya.
    Seperti jamannya kecil dulu, impiannya tak pernah surut, ia masih bercita-cita ingin mengibarkan Sang Saka Merah Putih di Istana Merdeka! Dan peristiwa ketumpahan air ember pun selalu terulang setiap ia membayangkan dirinya menjadi pengibar yang sesungguhnya.

BYUUUUURRRRRRRRRRRRR!!!!

“Amak-amak kaya kue iz kiye bocah, mugane yen nimba aja karo ngelamun!”#

Latief yang basah kuyup merengut.

“Bu, ini Latip lagi latian, besok di sekolah Latip ada pemilihan pasukan jupul.”

“Jupul? Apa kuwe?”#

“Jupul itu pasukan tuJUhPULuh bu…pasukan pengibar bendera di acara tujuhbelasan ntar, jumlah pasukannya ada tujuh puluh sesuai dengan tanggal tujuh belas, bulah delapan, tahun empat lima. Kalo dijumlah semua jadi tujuh puluh!”

“Lha?? Wong kowen pendek ka, masa pan melu kaya kuwe?”#    “Namanya juga usaha bu, lagian aku gak pendek-pendek amat ko.”

    “Tinggi badanmu 155 aja gak ada, setahu ibu kalau pasukan-pasukan itu biasanya tinggi besar.”

 “Wis lah, ora usah reka-reka… gari ngerek bendera ngarep umah seben esuk sore be…”#
    “Aah..ibu, malu dong sama nama… Latief Hendraningrat itu pengibar bendera pusaka pada hari kemerdekaan RI bu..”

“Karepmu lah,”#

    Syarat utama menjadi seorang pasukan memang tinggi badan, minimal 160 cm untuk putra dan 155 untuk putri. Untuk bisa menjadi pasukan putrid saja Latief belum bisa diterima apalagi untuk seorang putra? Tingginya hanya 153 cm. baris-berbaris yang cukup baik dan kedisiplinan tinggi yang dimiliki Latief membuat Pak Mulyo yang menilai dibuat bingung, apalagi sikapnya yang kukuh dan pantang menyerah ditambah keseriusannya dengan selalu menjadi peserta yang dating paling awal.

    “Baiklah, kamu saya terima.”

    “Bener Pak?? ALHAMDULILLAH YA ALLAH…” Latief girang tak kepalang.

    “Tapi hanya sebagai pasukan empat lima, di baris paling akhir, shaf paling kiri.”

    Latief terdiam sejenak, lalu tanpa sadar ia memeteskan air mata. Sambil terisak ia berkata “ Ja…jadi saya gak jadi pengibar?”

    Pak Mulyo mengiba melihat semangat bocah kecil itu untuk mengibarkan Sang Merah Putih.

    “Latief, apapun yang kamu dapatkan lakukanlah dengan sepenuh hati.”

    Latief mengangguk pelan.

 

    Di baris paling akhir Latief nampak harmonis sebagai penutup barisan. Ia tunjukkan profesionalitasnya, meski harapannya menjadi pengibar pupus ia tak sedikitpun menggubah kebagusan baris-berbarisnya, semanggat itu tetap terlihat jelas.

Ketika pengibar di depan sana menaikkan Merah Putih dan lagu kebangsaan menggema tangguh, bocah di baris dan deret paling akhir itu menangis. Ia membiarkan tangisnya keluar tanpa diusap sama sekali, tangan kanannya tetap hormat dan tangan kirinya tak goyah pada posisi sempurnanya.

Meskipun tubuhnya kalah dengan teman-temannya, Latief termasuk anggota Pastissa (Pasukan Inti Smansa#) yang hampir tak pernah absen. Ia begitu disegani, beberapa terkadang ada yang merasa kasihan padanya, seorang pemuda yang begitu mencintai negaranya gagal mewujudkan impiannya yang mulia. Tahun berikutnya Pak Mulyo kembali hambar, seleksi paskibra tingkat kota sudah di depan mata, dan ia harus kembali menelan pil pahit ketika harus mengatakan “Tidak.” Pada bocah yang semangatnya tak pernah luntur itu.

“Untuk tingkat sekolah sendiri bapak masih bisa bantu, tetapi ini untuk Kota Tegal, persaingan akan sangat ketat.”

Lagi, perkataan Pak Mulyo menyadarkan Latief akan kekurangan yang dimilikinya. Setiap pagi, selesai ia menaikkan Merah Putih di halamannya, setelah menurunkan hormatnya, ia akan berteriak lantang.

“Hey!! Sang Merah Putih yang Perkasa! Aku memang bukanlah manusiua sempurna yang layak mengibarkanmu di hadapan dunia. Tapi, asal kau tahu Wahai Berndera Bangsaku! Kau! Akan selalu berkibar di dadaku!”

 

Di tengah terik matahari pasukan pengibar bendera tak jengah dari tempatnya. Semangatnya semakin menyala-nyala mengingat semakin dekatnya tanggal 17 Agustus, tidak kurang dari tiga hari baju pasukan siap dikenakan, tanggung jawab dan kemampuan tak gentar di ujikan. Dibalik persiapan yang begitu mantap bocah kecil di sudut lapangan terisak penuh harap.

“Saya selalu melihat kamu termenung di situ, siapa kamu ini?” diam-diam pelatih Paskibra Kota Tegal telah memperhatikan bocah yang selalu menatapnya melatih di sudut lapangan.

“Sa…saya Latief pak, Latief Hendraningrat!”

Pelatih itu terlihat berpikir sejenak,

“Sedang apa kau?”

“Saya ingin mengibarkan Sang Merah Putih pak, seperti yang dilakukan anak di depan sana.” Ungkap Latief polos.

Pelatih tinggi besar itu terkesigap mendengar pengakuan bocah tuying#itu. Ia memandang tubuh Latief dari ujung kaki sampai kepala lalu sedikit terkikik.

Latief menghela napas, kesal.

“Maaf, saya tidak bermaksud…”

“Tidak apa-apa pak, saya memang tak pantas.”

“Sebentar, jangan kemana-mana, tunggu di sini.”

Lelaki berkumis tebal itu meninggalkan Latief yang dipenuhi tanda Tanya. Beberapa saat kemudian ia kembali membawa bendera merah putih.

“Ini.”

Wajah Latief sontak berbinar-binar menerima bendera itu.

“Bendera ini untuk saya kibarkan?”

“Cucilah.”

Kebinaran itu lenyap seketika, air mata Latief terjatuh lagi.

 

Tegal, 17 Agustus 2008

Lagu kebangsaan Indonesia Raya nana gung menggema di seluruh bumi nusantara. Di alun-alun Kota Tegal Sang Merah Putih berkibar kokoh seakan tersenyum pada bocah yang juga menjadi pusat perhatian lantaran ia menangis sejadi-jadinya tanpa meninggalkan sikap sempurnanya. Sang Merah Putih cemburu karena masyarakat yang tiap tahun rela berjejal di tepian alun-alun hanya untuk menghormatinya sampai ke ujung tiang kini harus membagi perhatiannya pada bocah itu. Bocah yang telah mencuci bersih dirinya sebelum dikibarkan. Bocah yang merana memandang lekat-lekat manusia paling beruntung yang sedang mengibarkan dirinya ke ujung penghormatan, Latief Hendraningrat. Detik itu juga disaksikan tangisnya Latief menyerah, impiannya tak kan mampu lagi ia penuhi, ia harus cukup bangga dengan mengibarkan bendera yang selalu berkobar di hatinya di halaman rumahnya.

 

 

 

 

17 Agustus 2034, Alun-alun Kota Tegal

Setelah bertahun-tahun menjadi perhatian tunggal, di tahun ini Sang Merah Putih kembali dilanda cemburu. Latief dewasa menyita perhatian masyarakat lagi dengan tangisnya.

    Latief menangis lagi, kali ini adalah tangisan bangga seorang pemimpi yang menyaksikan manusia paling berharga di depan sana sedang mengibarkan Bendera Agung Merah Putih, adalah putra kebanggaannya yang ia beri nama Suhud, rekan sejati Latief Hendraningrat dalam mengibarkan Merah Putih setelah pembacaan proklamasi.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Mewarnai Lomba
0
0
Dalam sebuah lomba mewarnai, ada banyak tipe anak-anak dan orangtua yang berkumpul menjadi satu. Dari sana, ada banyak sekali pembelajaran yang muncul tanpa kita sadari.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan