Mewarnai Lomba

0
0
Deskripsi

Dalam sebuah lomba mewarnai, ada banyak tipe anak-anak dan orangtua yang berkumpul menjadi satu. Dari sana, ada banyak sekali pembelajaran yang muncul tanpa kita sadari.

Ramai, sudah begitu ramai rupanya. Mungkin aku sudah terlambat. Hm, tidak, aku tidak terlambat, bahkan aku datang lebih awal dari mereka. Aku ini peserta lomba, lomba mewarnai. Aku berdiri di sudut pintu, lengkap dengan crayon berjumlah dua puluh satu-jumlah sebetulnya sih delapan belas, tiga yang lain aku temukan di jalanan menuju ke sini, sepertinya ada yang menjatuhkan.

Menunggu....

 

Aku, si baju biru, kepang satu, nomor tujuh

Aku tak seperti yang lain, yang mewarnai langit dengan crayon biru. Bagiku, langit terlampau sempit bila hanya disandingkan dengan satu warna itu. Hal yang paling indah dari sepotong langit adalah ketika aku berjalan menyusuri jalanan sepulang dari mengaji di rumah Pak Haji. Suasana langit kala itu biasanya tak biru, lebih kemerah-merahan bercampur kuning matahari yang siap turun. Ada bisikan orang yang hinggap di telingaku, terperangah ketika kumulai menggoreskan warna merah di ujung langit.

“Lho? Kok merah?”

Entah suara siapa, aku terus saja menggores, menorehkan warna orange dan kuning sebagai bentuk gradasi. Seperti yang diajarkan Bu Guru di kelas ekstrakurikuler mewarnai di sekolahku. Sampai aku mendengar suara yang sama berbisik lagi.

“Wah, keren ya! Gambarnya jadi hidup, itu seperti suasana sore. Bagus!”

Aku tersenyum dalam hati.

Setelah itu aku tak mendengar lagi ada orang-orang berbisik, aku tak melihat kiri atau pun kanan, aku terlanjur jatuh cinta dengan gambar di hadapanku. Gambar yang ibarat pasien menanti penanganan serius dari dokternya, dibutuhkan ekslusivitas. Dan aku menggenggam seutuhnya, bahkan aku sampai tak peduli ada di mana ibuku saat itu.

Aku, si mata sipit, sepatu mayoret, nomor dua empat

Aku tahu ibu di sampingku, mengawasiku mewarnai gambar ini. Ibu bilang, jangan lupa pakai gradasi, biar gambar terlihat hidup. Aku menurut saja, aku sudah tahu itu dari Bu Guru di kelas ekstrakurikuler di sekolahku. Aku suka warna hijau, kugores rona langit dengan warna hijau. Ibu melihat, lalu berteriak.

“Hey! Kenapa warna hijau? Biru dong!”

Aku terkesiap, sensasi bersama hijau yang sedang kunikmati menguap seketika. Aku menoleh, wajah ibu geram. Buru-buru kuambil crayon biru sesuai anjuran ibu, lalu kububuhkan warna biru disekeliling warna hijau yang sudah terlanjur kutorehkan tadi, dari sudut mataku kulihat ibu merengut kecewa. Langitku berwarna biru-hijau.

Lagi-lagi aku salah memberi warna, warnaku tak sama dengan warna yang diinginkan ibu. Sampai dua puluh menit sebelum waktu berakhir, ibu sudah lima kali mencubit pahaku, aku hanya bisa meringis sebentar lalu kembali membubuhkan warna sesuai perintah ibu. Kalau tidak begitu, cubitan ibu akan semakin keras. Dicubitan keenam, aku mulai takut, aku sangat ingin menangis, aku takut pada ibu, aku takut gambarku jelek-di mata ibu. Aku sudah tidak bisa berpikir mau kuberi warna apa gambar yang masih polos itu, berkali-kali ke menoleh ke arah ibu untuk minta pendapatnya. Berkali-kali pula ibu gemas, apalagi saat panitia memergoki kami. Ibu marah, ibu sampai melempar ponselnya ke arahku saking sebalnya pada tingkahku.

Lima menit lagi, orang-orang mulai datang mengerumuni. Ibu semakin kesal karena aku lelet dalam mewarnai. Aku takut, saking takutnya ibu suruh merah kuambil biru, ibu meminta tipis kugores tebal. Ibu kembali melempar ponselnya gemas kemudian mencubit pahaku lagi, kali ini terasa sakit sekali. Sebenarnya bukan cubitannya yang sakit, tapi untuk cubitan ketujuh ini aku benar-benar tak sanggup menahan tangis. Ibu memelototiku, menggertak agar aku jangan menangis.

Aku malah menangis, air matanya menetes di gambar itu.

“Maaf, Ibu.”

 

Aku, si pemakai baju olahraga, tanpa alas meja, nomor lima.

Kulihat sekeliling, semua menggunakan meja, mereka membawa meja lipat kayu dari rumah. Aku tidak seperti mereka, aku tidak membawanya, aku tidak punya.

Kulihat sekeliling, kebanyakan memakai crayon pastel isi 48, warna-warninya banyak, mereka membawa sulak, semacam kuas yang dipakai untuk membersihkan gambar yang sudah diberi warna: agar tidak kotor. Beberapa ada yang membawa sapu tangan untuk membersihkan ujung crayon pastel yang kotor, juga untuk membersihkan tangan mereka. Ada pula yang membawa benda seperti obeng untuk memberi nuansa garis di tengah warna. Mereka membawanya dari rumah. Aku tidak membawanya, aku tidak punya.

Aku hanya punya pensil 12 warna, dibeli semalam di warung depan jalan menggunakan jatah uang jajan. Ibu datang membawakanku kardus minuman kemasan.

“Ini, jadikan ini sebagai mejamu, Nak.” begitu katanya, aku menurut. Beberapa menit awal aku sibuk memperhatikan rival-rival di sekelilingku. Aku banyak berpikir, bagaimana mereka bisa punya pikiran untuk mewarnai dengan cara seperti itu? Aku mulai memberi warna biru pada langitku, kubandingkan dengan biru langit milik teman di sampingku. Hasilnya beda jauh, aku lesu. Tak ada semangat dalam diriku. Mungkin ibu mengerti, menghampiri.

“Ayo, beri warna, sayang. Setiap anak punya cara sendiri-sendiri untuk mewarnai gambar di hadapannya. Kamu punya cara sendiri, mereka juga punya cara sendiri.” ibu menggenggam tanganku lalu mengusap rambutku dengan jemarinya yang lembut.

“Warnanya tipis, Bu.” kataku, sembari melirik hasil warna teman di samping tadi.

“Khusus kamu, jurinya ibu. Ibu tidak akan menilai gambar dari tipis tebalnya warna, tapi dari kesungguhan hatinya. Khusus kamu, jurinya ibu, berusahalah untuk menang di mata ibu.” Senyum ibu mengembang syahdu. Hati ini terasa begitu damai mendengar kata-kata ibu barusan. Aku membalas senyuman ibu dengan senyum semangat yang penuh kesungguhan. Aku mulai meraut pensil warna yang cepat putus itu, mulai mewarnai lagi.

Kali ini, dengan kesungguhan hati.

 

Aku, si gigi ompong, hobi mengeluh, nomor dua puluh.

Aku duduk manis, menunggu ibu selesai menyiapkan semuanya, membukakan meja lipat, memasangkannya di depanku, dan menyiapkan segala macam alat untuk mewarnai di samping meja lipatku. Begitu panitia memberikan gambar yang harus kuberi warna, ibulah yang paling semangat menerima.

“Terima kasih, Pak. Ini, ayo diwarnai, ayo ayo!”

Aku mulai mewarnai seadanya, dari samping ibu terus menyemangatiku. Berkali-kali memuji hasil torehan warnaku. Saat ibu menawarkan lomba mewarnai ini aku sama sekali tidak mengiyakan, tidak pula menolak. Sebagai laki-laki, sebenarnya aku tak begitu suka dengan dunia gambar dan warna, aku lebih suka matematika. Entahlah, kadang-kadang ibu suka sekali memaksaku mengikuti lomba-lomba tertentu yang tidak aku sukai, karena tak berani menolak perintah ibu, aku pun hanya bisa menurut.

Dua puluh menit lagi lomba berakhir, aku bosan. Aku memutuskan untuk berhenti mewarnai dan membuka makanan ringan yang sudah dibawakan ibu. Kuletakkan pensil warnaku di sembarang tempat lalu asik menikmati makananku sambil memandangi teman-teman lain yang masih sibuk dengan warna-warna mereka.

“Ayo dong terusin warnainya….” kata ibu.

Aku diam saja, terus memakan makanan ringan itu tanpa memperdulikan omongan ibu. Ibu terus menyuruhku melanjutkan lomba mewarnai ini, memaksa tanganku memegang pensil warna dan menggoreskannya di atas kertas yang dibagikan panitia. Aku tetap tak bergeming. Ibu menyuruh mewarnai langit, langitku masih putih bersih. Aku tidak mau, aku bosan, aku ingin segera pergi dari tempat ini, aku tidak suka. Namun, ibu terus saja memaksaku untuk lanjut, ibu mengambil makanan ringan yang sedang kunikmati dan kembali memaksa jemariku untuk memegang pensil warna. Awalnya aku menurut, kuterima pensil warna yang disosorkan ibu, tapi kemudian aku melemparnya jauh-jauh. Aku sebal, yang kuinginkan coklat itu bukan pensil warna-warni ini!

Ibu menatapku tajam, aku menangis.

 

Inilah aku, sebenar-benarnya aku, peserta tanpa kartu yang berdiri di sudut pintu, tanpa sepatu.

Pletok!

Sepotong pensil berwarna biru tua mengenai ujung kakiku yang tanpa sepatu. Seseorang melemparnya.

Crayonku masih dua puluh satu, berharap kali ini bertambah satu.

“Eh, tolong dong! Itu pensilnya bawakan sini!” ibu-ibu dengan sekotak kue coklat berbicara padaku. Aku pun menuruti perintahnya, mengambil pensil warna yang dimaksud lalu menyerahkannya pada ibu yang anaknya menangis itu.

Kemudian aku kembali ke ujung pintu, menatap aku yang seolah sedang berlomba di dalam sana. Aku, tanpa sepatu. Di tanganku tergenggam satu set crayon cap nama ibu, crayon bekas anak majikan ibu. Aku ingin mewarnai langitku dengan warna abu-abu, belum ada anak yang menggunakan warna itu. Aku tahu. Sudah kulihat satu-satu.

Abu-abu itu warna kehidupanku.

Ibu datang menjemputku,

“Ayo pulang, ibu sudah memfotokopikan gambar tadi dari panitia. Kita lomba di rumah ya!”

Aku tersenyum riang, menerima gambar dari ibu, gambar yang sama dengan aku-aku lain yang barusan kulihat di dalam sana. Aku bahagia menjadi anak ibu. Berdua kami pulang dengan hati senang, meninggalkan tempat kompetisi itu yang mendadak terlihat usang.

LOMBA MEWARNAI TINGKAT TK

BIAYA PENDAFTARAN Rp*****,00

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sang Pengibar dari Tegal
0
0
Menjadi pengibar bendera pusaka adalah impian pemuda Indonesia. Sayangnya, mewujudkannya seolah harus menjadi sempurna. Paling tidak bagi Latief, seorang anak asal Tegal yang begitu cinta pada bendera, namun tak pernah bisa mengibarkannya karena tinggi badan jadi kendala. Bagaimana kisahnya?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan