
Chapter 5 dari Serial Bangkit Demi Takdir Cinta
Di hari Sabtu sebagaimana yang disepakati sebelumnya, Axel mengajak Tiara untuk mengunjungi lokasi proyek apartemen yang sedang dibangun ayahnya itu. Sekitar pukul setengah 10 siang, dengan mobilnya, Axel langsung menjemput Tiara di rumah kostnya.
Di perjalanan, Axel pun mulai berbasa-basi mengenai rumah kost yang dihuni Tiara.
“Sebulan berapaan di sana kamu ngekost di sana?”
“1,8 an, komplit kamar mandi dalam sama internet WiFi,”
“Di sana campur atau cewek doang?”
“Cewek doang,”
“Hmmm… oke lah, kalau dari segi privacy. Tapi ngomong-ngomong dari perusahaan ada tunjangan khusus nggak buat karyawan yang ngekost?”
“Alhamdulillah, ada sih. Cuma kalau ngekost di sana masih kena biaya tambahan buat iuran keamanan dan uang sampah. RT nya di sana punya kebijakan kalau rumah kost per kamarnya harus bayar iuran,”
Sepuluh menit kemudian, Axel dan Tiara pun tiba lokasi proyek yang terletak di kawasan Mega Kuningan. Sebelum memasuki area proyek, keduanya mampir sejenak di pos keamanan untuk mengenakan helm pengaman, rompi proyek, dan sepatu safety.
Sebelum mengenakan helmnya, terlebih dahulu Tiara membuat cepol agar rambut panjangnya tidak menjuntai. Rupanya saat itu Tiara sedikit canggung ketika mengenakan sepatu khusus dengan lapisan pelindung di bagian jari kakinya. Setelah itu, ia pun mengikuti Axel berjalan di jalan setapak yang tersusun dari lempengan-lempengan baja.
“Wah, weekend gini masih ada yang kerja juga yah…” Ujar Tiara sambil celingukan melihat keadaan di sekitarnya.
“Ya, hitung-hitung buat ngejar progres pekerjaan. Biasanya kalau weekend gini kita seringnya masukin material, kalau nggak ya ngeluarin sampah sama puing. Enak pas weekend begini kalau mau main ke proyek, nggak terlalu bising,”
Axel kemudian menemui seorang pria yang sedang mengawasi beberapa pekerja di dekat kantor lapangan. Pria yang mengenakan helm berwarna sama dengan yang dipakai Axel itu pun membalikkan badannya.
“Selamat siang boss muda! Bagaimana kabarnya hari ini?” Sapa pria itu.
“Fine-fine aja, Pak Armando!” Balas Axel sambil memberikan salam kepada pria itu.
Axel pun memperkenalkan Pak Armando kepada Tiara.
“Oh ya, Tiara. Ini Pak Armando. Beliau ini orang developer yang jadi tangan kanan bokap gue,”
“Saya Tiara, temannya Axel. Kebetulan saya sama Axel sehari-hari ngantor satu gedung,” Ujar Tiara sambil tersenyum dan memberikan salam kepada Pak Armando.
“Oke, saya yang pegang unit usaha developer yang punya proyek apartemen ini,” Ujar Pak Armando.
Axel kemudian menanyakan perihal kemajuan proyek apartemen itu kepada Pak Armando.
“Sejauh ini progres pekerjaannya bagaimana, Pak?”
Pak Armando pun memberikan penjelasan kepada Axel.
“Area rooftop baru kelar per minggu ini. Besok senin rencananya kita mau tes genang untuk deteksi kebocoran. Di dalam sana masih banyak pekerjaan untuk pemasangan dinding bata, instalasi listrik, dan pipa air,”
“Yuk, kita ke atas dulu buat lihat-lihat rooftop nya!”
Axel dan Tiara pun mengikuti ajakan Pak Armando untuk melihat-lihat ke area rooftop. Mereka berdua kemudian berjalan menuju ke sebuah lift proyek yang terpasang di salah satu sisi gedung.
Sesampainya di rooftop, Axel dan Tiara berkeliling area itu mengikuti Pak Armando. Seketika pandangan Axel pun tertuju ke tower crane yang masih terpasang.
“Pak, kalau tower crane itu rencananya mau dibongkar kapan?” Tanya Axel.
“Wah, itu sih masih lama Xel. Material juga masih banyak yang belum naik, belum kita nanti masih mau pasang toren air di sini,”
Axel pun menganggukkan kepalanya. Ia kemudian mengajak Tiara ke satu sisi sambil melihat pemandangan Jakarta dari puncak gedung apartemen tersebut.
“Gimana menurutmu?” Tanya Axel sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana jeans nya.
“Keren! Yang jelas bokap lu masih bisa ngasih kerjaan di masa sesulit ini. Gue masih nggak bisa ngebayangin nasib pekerja-pekerja proyek itu andaikata nggak ada proyek apartemen ini,” Jawab Tiara.
Axel pun tersanjung mendengar pujian dari Tiara.
“Kalau waktu itu bokap gue nggak jeli ngelihat peluang dan nggak segera mengeksekusi ide, dijamin kuli-kuli yang kerja di bawah sana sekarang ini pada luntang-lantung nggak jelas, ngemis-ngemis bansos, atau malah marah-marah terus ke pemerintah,”
“Nah, lebaran kemarin kan ada larangan mudik. Oke, para pekerja jadi nggak bisa pulang kampung. Sebagai gantinya mereka harus tetap kerja selama musim lebaran, sementara para kontraktor tetap kita bayar tepat waktu. Biar urusan bayar membayar tetap lancar, keuangan harus tetap sehat di mana cash flow harus tetap positif,”
Tiara pun memalingkan badannya ke arah Axel sambil melipat kedua tangannya di dada.
“Yeah, because cash flow is number one!”
“Dan di situlah pula pentingnya diversifikasi usaha biar uang kita terus mengalir! Kalau duit lancar eksekusi ide apapun nggak pakai pusing,” Ujar Axel.
“Terus, bokap lu masih punya bisnis apa lagi selain yang lu omongin tempo hari?” Tanya Tiara.
“Bokap gue masih punya pabrik pakan unggas di Serang, terus usaha freight forwarder, provider internet, agen outsourcing, jasa keuangan, dan masih banyak lagi. Bahkan ada wacana beliau mau akuisisi pabrik kertas di Jawa Timur,” Jawab Axel dengan begitu angkuhnya.
“Ya, seenggaknya masih ada usaha yang tetap produktif lah biarpun yang lainnya ada yang loyo,”
“Kalau kata orang di luar sana istilahnya don’t put… don’t put apaan gue lupa lah!” Ujar Axel sambil memegang kepalanya.
“Don’t put all your eggs in one basket!”
“Ha…, itu!”
“Idih, malu-maluin! Masa lu yang lulusan luar negeri sampai lupa sama istilah begituan? Kan itu udah populer banget istilahnya!” Kelakar Tiara.
Axel pun merespon Tiara dengan sedikit menggombal.
“Hahaha…., sorry gue rada nge-blank. Soalnya beberapa hari ini kepikiran kamu terus sih!”
Tiba-tiba Pak Armando menghampiri dan menepuk bahu Axel.
“Xel, sini. Gue mau ngomong sama lu bentar,”
Axel pun mengikuti Pak Armando, sementara itu Tiara mulai asyik membuat konten untuk diunggah di Instagram Story nya. Pak Armando mengajak Axel duduk bersama di sebuah bantalan beton yang akan dijadikan tumpuan toren air.
“Gue mau tanya ama lu Xel. Tiara itu sebenernya teman atau pacar lu sih? Dari tadi gue liatin nih, lagak-lagaknya lu mesra banget ama dia,” Ujar Pak Armando.
“Sebenarnya calon pacar sih, Pak,” Jawab Axel dengan penuh percaya diri.
“Halah, bisaan lu!” Pak Armando pun tertawa kecil. “Tapi selera lu bagus juga sih,”
“Dia S-2 ITB Pak. Lulus cum laude pula,” Ujar Axel.
“Nah, cucok lah dia itu sama kau! Kalau kata orang di luar sana, Tiara itu udah memenuhi 3B, Brain, Beauty, and Behaviour. Apalagi kau ini kan putra mahkota kerajaan bisnis Pak Iskandar!” Ujar Pak Armando sambil menepuk-nepuk bahu Axel.
“Iya dong Pak, demi harga diri nggak boleh sampai salah pilih, nyarinya kudu yang selevel. Aku ke sini nggak sekedar buat inspeksi, tapi sekalian PDKT sama dia. Lumayan, biar dia tahu siapa aku!” Seloroh Axel dengan bangganya.
“Hahaha…, lu memang pintar Xel. Nggak rugi bapak kau kuliahin sampai ke luar negeri! Sudah, jangan tanggung-tanggung Xel, pepet terus sampai dapat. Aku yakin dia nggak mungkin nolak kau yang tampan dan bergelimang harta!”
Pak Armando kemudian mengajak Axel dan Tiara meninjau beberapa lantai di proyek apartemen itu. Peninjauan itu pun berakhir di kantor lapangan yang terletak di lantai dasar.
“Oke, kita ngadem sebentar di dalam sana sambil lihat gambar-gambar desain,” Ujar Pak Armando kepada Axel dan Tiara.
Axel dan Tiara pun mengikuti Pak Armando masuk ke dalam kantor lapangan yang ber-AC itu. Ternyata di dalam kantor tersebut ada seseorang yang tengah mengecek dokumen-dokumen proyek, dialah Kang Deden sang project manager yang kebetulan sedang piket.
Sejenak Kang Deden meninggalkan pekerjaannya dan menghampiri Pak Armando. Pak Armando pun memperkenalkan Kang Deden kepada Tiara.
“Nah, ini Kang Deden, project manager di sini. Dia yang saya tugaskan untuk mengawasi dan mengontrol semua pekerjaan di proyek ini. Beliau kebetulan sedang piket hari ini, biasanya kalau weekend dia suka pulang ke Purwakarta,”
“Lah, sama kaya Tiara dong…, dia anak Purwakarta juga!” Ujar Axel dengan sedikit terkejut.
“Dari Purwakarta juga ceu?” Kang Deden pun bertanya kepada Tiara.
“Iya Kang. Di sana ada orang tua,” Ujar Tiara.
“Bapaknya juragan material di sana,” Axel pun menimpali.
“Purwakarta nya emang dimana ceu?” Tanya Kang Deden lagi.
“Saya di Cimaung, Ciseureuh,” Jawab Tiara.
“Ooo, di Jalan Ipik Gandamanah ya? Kalau saya di dekat Pasar Rebo,” Ujar Kang Deden.
“Bener kang, orang tua saya tinggal di sekitaran situ. Wah, berarti nggak jauh dong dari Taman Sri Baduga,”
“Betul sekali! Istri saya kebetulan punya toko di Pasar Rebo,”
“Waduh, ternyata sempit sekali dunia ini. Orang satu kampung akhirnya ketemu juga,” Ujar Pak Armando.
“Hahaha…, namanya aja kebetulan Pak,” Kata Kang Deden sambil tertawa kecil.
Kang Deden pun kembali melanjutkan pekerjaannya. Sementara itu, Axel, Tiara, dan Pak Armando duduk mengelilingi sebuah meja sambil melihat-lihat gambar desain. Tepat pukul satu siang, Axel dan Tiara memutuskan untuk menyudahi kunjungan tersebut. Sebelum undur diri, Tiara meminta sesuatu kepada Pak Armando.
“Mohon maaf Pak Armando, kebetulan sekarang ini saya kerja di branding consultant dan sedang mencoba menjajaki peluang kerjasama bisnis dengan perusahaan Bapak. Apa Pak Armando ini punya kontak direksinya?”
“Oh, kalau itu nanti saya titip ke Axel saja,” Ujar Pak Armando. “Xel, lu kan punya nomernya Tiara. Ntar gue kasih nomernya Pak Bunyamin, terus jangan lupa lu share ke Tiara!”
“Beres Pak!” Sahut Axel.
Axel dan Tiara pun meninggalkan lokasi proyek itu. Siang itu, Axel kembali mentraktir Tiara bersantap siang di sebuah bistro di kawasan Mayestik sebelum akhirnya mengantar Tiara pulang ke rumah kostnya.
***
Senin siang itu sekitar pukul sepuluh, Bobby menghampiri Tiara yang sedang mengerjakan sesuatu di mejanya. Saat itu ia datang membawa sebuah buket bunga mawar merah yang masih segar.
“Ini dari Axel, tadi gue ketemu dia di bawah,” Ujar Bobby sambil menyodorkan buket bunga tersebut kepada Tiara.
Tiara menerima buket bunga itu sambil mencium bau wanginya yang masih terasa segar. Ia kemudian melihat label yang tertempel dan benar kalau Axel lah yang memberikan buket bunga itu.
“Bilangin makasih ya ke dia,” Ujar Tiara kepada Bobby.
“Mending lu yang langsung bilang ke dia deh. Bukannya lu ada nomer WA nya,”
“Tapi kan dianya nggak langsung ngasih ke gue. Ngasihnya kan lewat Mas Bob, jadi nggak apa-apa dong kalau bilang makasihnya lewat Mas Bob, hehehe…,” Tiara beralibi seraya menjulurkan lidahnya.
“Ah sa ae lu!”, Kata Bobby sambil tertawa-tawa kecil.
Bobby pun meninggalkan Tiara menuju ke meja kerjanya, sementara Tiara meletakkan buket bunga itu di atas mejanya. Imel yang ingin tahu itu pun iseng melihat label di buket bunga yang bertuliskan “From: Axel, To: Tiara”.
“So sweet banget pakai dikirimin bunga segala,”
“Emang itu bunga dari siapa Mel?” Kurni pun menjadi ingin tahu.
“Siapa lagi kalau bukan anak lantai 5 yang lagi ngegebet Tiara,” Jawab Imel.
“Axel?”
“Hooh…” Imel menganggukkan kepalanya.
Tiara seolah tidak menghiraukan kedua rekannya itu dan ia terus fokus dengan pekerjaannya. Imel pun mencolek Tiara.
“Eh, kemarin gimana site visit nya sama Axel?”
“Ya seru sih, diajakin naik ke rooftop proyek apartemen punya bokapnya sambil lihat pemandangan Jakarta. Terus pas main ke sana harus pakai sepatu khusus yang agak berat-berat gitu deh,” Ujar Tiara.
“Emang kalau masuk ke area proyek kudu pakai sepatu begituan sih biar kaki kita nggak mejret kalau kena apa-apa,” Timpal Kurni sambil mengetikkan sesuatu di laptopnya.
Tiara menyandarkan bahunya di kursi, ia mengambil buket bunga dari Axel dan terus membauinya sambil memejamkan matanya.
“Habis itu gue diajakin lihat-lihat gambar desain apartemennya, dan gue baru tahu kalau project manager nya sekampung sama gue,”
“Terus habis itu lu digebet juga sama project manager nya, gitu? Ujar Kurni.
“Nggak lah, dia udah punya bini ini!”
“Jangan sampai lah Kur, ntar Tiara malah dibilang pelakor…,” Ujar Imel.
“Ya kali aja itu orang pengen nambah bini. Hahaha…,” Kurni pun tertawa licik.
Tiara menarik nafasnya dalam-dalam dan mengehembuskannya perlahan sambil terus mencium buket bunga mawar di genggaman tangannya itu. Rupanya ia begitu menikmati aroma bunga segar pemberian Axel itu.
“Dicium-cium melulu, lu jatuh cinta ya?” Kurni pun sedikit heran melihat tingkah Tiara.
“Iya nih, gue bener-bener jatuh cinta sekarang. Jatuh cintaaaa… banget,” Ujar Tiara yang begitu menikmati aroma bunga segar itu.
“Wah, akhirnya…” Sambut Imel kegirangan.
“Gue jatuh cinta sama bunga ini, Mel. Gue emang paling suka sama aroma-aroma bunga yang masih segar, gitu loh…. Buat gue feel nya udah berasa kayak di tempat orang nikahan,” Ujar Tiara yang serasa dimabuk oleh aroma bunga segar itu.
“Sialan, gue kira sama orang yang ngasihnya!” Imel pun mendadak kecewa.
“Udah Ti, lu nggak usah aneh-aneh gitu deh! Realistis aja! Terima orangnya, kenalin sama ortu lu, terus buruan suruh dia lamar biar akhirnya lu bisa ngerasain feel tempat mantenan. Gue jamin ortu lu nggak bakalan nolak cowok seganteng dan setajir Axel! Yakin, pasti diterima!” Ujar Kurni.
“Jatuh cinta kok sama bunga? Udah gila lu ya?” Timpal Imel sambil meletakkan telunjuknya di dahinya.
Tiara pun kembali melontarkan alibinya.
“Yeee…, emang nggak boleh apa jatuh cinta sama bunga? Namanya aja orang demen…” Ujar Tiara sambil menepukkan buket bunga itu ke bahu Imel.
“Lu jangan alibi melulu deh Ti, bilang aja lu udah jatuh cinta sama Axel. Sesimpel itu! Masa iya sih lu nggak jatuh cinta sama dia, padahal lu nya sendiri ngerasa nyaman sama dia,” Seloroh Kurni.
“Iya, nggak apa-apa kok kalau lu emang udah jatuh cinta sama dia. Lagian udah dua kali nge-date gini lu masih ngga ada perasaan apa-apa sama dia,” Ujar Imel.
Tiara meletakkan kembali buket bunga itu di mejanya dan ia pun menegakkan posisi duduknya sambil membetulkan kunciran rambutnya.
“Yaa…, kalau soal nyaman sih ya sejauh ini gue nyaman-nyaman aja sama Axel. Anaknya ramah, supel, dan nyambung kalau diajak ngobrol. Tapi kalau soal cinta-cintaan mah gue nggak mau buru-buru, let it flow aja, jangan ngasih harapan dulu dan jangan berharap,”
“Perkara nanti akhirnya jadian sama siapa itu urusan belakangan, yang terpenting gue pengen jalin hubungan baik dulu ke semua orang tanpa terkecuali. Karena prinsip gue, hubungan baik dengan semua orang itu investasi yang nggak ternilai harganya, mahal sekali,”
Kurni pun menghela nafasnya dalam-dalam. Ia kemudian menanggapi Tiara.
“Gue nggak nyangka bisa punya temen sebijak lu. Ya udah deh, lu atur-atur aja baiknya gimana. Kita cuma bisa berharap yang terbaik buat lu,”
Tiara, Imel, dan Kurni pun kembali sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Saat jam istirahat siang tiba, ketiganya memutuskan untuk makan siang bersama di tempat yang telah mereka sepakati.
Ketika jam istirahat siang berakhir, Tiara dan Imel mampir ke toilet sejenak sebelum kembali ke meja kerja masing-masing. Di dalam toilet, Tiara menyampaikan sesuatu pada Imel yang sedang mencuci tangannya.
“Mel, besok lu ada waktu nggak?”
“Kenapa emang?”
“Mau temenin gue nggak?”
“Temenin buat apa?”
Tiara kemudian menjelaskan kepada Imel kalau baru saja ada seorang pria yang berkenalan dengannya melalui aplikasi kencan yang terinstalasi di ponselnya. Rupanya pria tersebut mengajaknya bertemu di suatu tempat esok harinya. Oleh karena itu, Tiara meminta Imel untuk menemaninya saat bertemu dengan pria tersebut.
Saat itu juga, Imel melihat identitas singkat pria tersebut di aplikasi kencan milik Tiara.
“Abidin Sasongko…, umur 28 tahun... Boleh juga nih! Dia anak mana emangnya?”
“Anak Pondok Gede, katanya dia PNS kementrian,”
“Wuih, mantab…, mantab…! Idaman para calon mertua tuh! Lumayan lah, bisa jadi second option buat lu,” Ujar Imel sambil mengganggukan kepalanya.
“Makanya, gue minta lu temenin gue besok buat ketemuan sama dia. Kali aja, tiba-tiba lu demen ama dia,” Seloroh Tiara sambil mengeringkan tangannya yang masih basah.
Imel mengernyitkan dahinya karena keheranan.
“Lah, dianya yang demen ama lu terus ngajakin lu ketemuan, gimana ceritanya gue mau demen ama ini anak?”
Tiara menghela nafasnya sejenak. Ia bersandar di dinding toilet sambil melipat kedua tangannya di dada.
“Mel, kita itu nggak pernah tahu apa yang bakal terjadi nanti. Segala kemungkinan itu bisa aja terjadi. Dari awal kan gue udah bilang, ada yang kenalan terus ngajak ketemuan, ya silahkan aja, tapi gue nggak mau ngarep ataupun ngasih harapan buat siapapun itu!”
“Nih, coba lu inget lagi apa yang gue omongin sebelum makan siang tadi. Axel sejauh ini buat gue cuma sekedar teman atau kenalan, belum lebih dari itu. Mau seperti apapun akhirnya nanti, gue harus punya hubungan yang baik sama dia. Sekedar info aja ya, bokapnya Axel itu konglomerat yang punya sekian banyak perusahaan. Ya…, siapa tahu aja karena link pertemanan gue sama Axel, kita bisa dapet job lagi. Lumayan kan?”
Imel hanya bisa tersenyum dan tertawa kecil mendengar penuturan temannya itu.
“Haaa…, cerdas lu Ti! Cuma…, ya jangan sampai lu terkesan manfaatin dia aja,”
Tiara pun memalingkan badannya menghadap Imel sambil mengernyitkan dahinya.
“Manfaatin yang kayak gimana maksud lu?”
“Ya, lu kesannya take advantage dari dia lah! Secara lu tahu sendiri kan, ortu nya Axel itu konglomerat…”
“Kalem, jangan salah sangka dulu. Ini bukan manfaatin, tapi menangkap peluang dari sebuah momen!” Jelas Tiara dengan santainya.
“Ya sama aja itu, keles…. Kalau kata orang itu oportunis namanya,” Imel pun berseloroh.
“Mel, oportunis itu nggak selamanya jelek. Oportunis yang nggak banget itu macam penimbun masker, dia borong sebanyak mungkin sampai langka di pasaran, terus dilepas lagi dengan harga yang nggak wajar. Sampai di sini lu paham?”
“Paham gue. Terus menurut lu oportunis yang baik itu kayak gimana coba?”
“Ya kayak yang gue omongin barusan. Gue punya link ke Axel yang anak konglomerat, dari sini gue berharap kita bisa dapet klien potensial yaitu perusahaan-perusahaan punya bokapnya Axel! Menurut lu, apa gue musti jadian sama Axel atau minimal ngasih dia harapan yang muluk-muluk demi semua itu?”
“Ya… nggak harus sih Ti. Ngapain juga ngasih harapan kalau ujung-ujungnya lu malah dibilang tukang PHP,”
“Nah, itu yang gue maksud! Mau gue jadian atau nggak sama dia, yang penting gue ada peluang buat akuisisi customer baru. Maka dari itu, sejak awal ini gue nggak mau ngasih harapan apa-apa ke dia,”
Sejenak Imel pun memikirkan perkataan Tiara.
“Hmmm…, menurut gue jahat banget sih kalau lu sama Axel jadian demi nge-approach perusahaan bokapnya buat jadi klien baru kita,”
Tiara pun menegaskan maksudnya kepada Imel.
“That’s the point, Mel! Perkara hati itu mah lain lagi urusannya, belakangan itu! Sama aja nanti kalau kita ketemu sama Abid, kita nggak tau bakal ada peluang apa yang bisa kita tangkap dari pertemuan kita besok. Pokoknya kita jalanin aja dulu,”
“Oke, lu atur-atur aja gimana. Tapi ngomong-ngomong besok mau ketemuannya dimana?”
“Di Tulodong, belakang SCBD. Seperti biasa sekalian kita nge-lunch di sana,”
“Ya boleh sih, tapi cabut dari sininya lebih awal, jangan dipasin jam 12. Kayak pas lu nge-lunch bareng Axel tempo hari aja,”
“Ya nggak apa-apa, malah lebih bagus. Makanya kalau ada kerjaan buruan diselesaiin. Moga-moga aja besok nggak ada kerjaan dadakan pas waktu-waktu itu,”
Tiara dan Imel pun berjalan meninggalkan toilet menuju ruang kerja mereka.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
