Bangkit Demi Takdir Cinta - Chapter 21

2
0
Deskripsi

Chapter 21 dari Serial Bangkit Demi Takdir Cinta

Kamis siang itu, sekitar pukul setengah sepuluh, akhirnya Tiara tiba kembali di kantornya setelah kurang lebih seminggu bekerja jarak jauh dari Bandung dan Purwakarta. Tiara yang saat itu mengenakan setelan blouse dan celana jeans melenggang ke dalam ruang kerjanya sambil membawa dua bungkusan kantong plastik besar berwarna putih.

BRUGGG!

Tiara meletakkan dua bungkusan itu di atas meja kerjanya hingga perhatian Imel dan Kurni pun teralihkan.

“Duuuh… yang baru kelar WFH nya. Bawa oleh-oleh apa nih dari kampung?” Imel pun iseng mengintip isi bungkusan itu.

“Macem-macem lah, lu semua pasti suka kan…,” Ujar Tiara sambil mengeluarkan laptop dari tas jinjingnya.

“Buka dong, gue pengen nyicip dulu!” Pinta Imel sambil merogoh bungkusan tersebut.

“Buka… buka…,” Timpal Kurni.

“Eitss… ntar dulu!” Tiara memindahkan kedua bungkusan itu ke kolong mejanya. “Dibukanya ntar aja ya, habis acara makan besar bareng direksi,”

“Banyak amat lu belinya Ti, udah kayak ngeborong aja…,” Ujar Kurni sambil melihat ke arah kolong meja Tiara.

“Kan buat orang sekantor, termasuk buat OB sama cleaning service kita. So, gue akhirnya beli banyak gitu loh…,” Seloroh Tiara sambil membuka dan menyalakan laptopnya.

“Kayaknya kalau dua bungkus gitu kebanyakan deh buat orang sekantor,” Ujar Imel.

“Ini udah gue bagi-bagi, buat kantor kita jatahnya satu bungkus,” Jawab Tiara.

“Terus yang sebungkus lagi buat siapa?” Tanya Kurni.

“Buat yang di seberang sana…,” Jawab Tiara sambil memasang charger laptopnya.

“Siapa yang di seberang? Tukang sapu jalan Ti?” Imel mengerutkan dahinya.

“Bukan. Yang di proyek…,”

“Ooo, si Danu ya?” Ujar Kurni.

“Ya iyalah, siapa lagi kalau bukan dia. Lumayan kan, bisa dihabisin sama orang-orang satu ruangannya dia…,”

“Terus buat yang di lantai lima gimana Ti?” Imel pun bertanya kembali.

“Yang di lantai lima?” Tiara menengok sejenak ke arah Imel. “Mending dia beli online aja kalau mau. Ada kok online shop nya, tinggal aku kasih link nya terus nanti dia yang order dari Jakarta. Atau… biar dia minta papanya yang beliin kalau pas dinas ke seputaran Bandung atau Purwakarta. Nanti tinggal aku share location aja tokonya, hahaha…,”

“Ah, kirain lu udah ngejatah buat dia juga,” Kurni pun menimpali.

“Budget gue udah ngepas Kur, cuma sanggup buat dua tempat doang. Kalau Axel pengen ya tinggal dia beli aja sendiri, duitnya dia banyak ini. Nah, jarang-jarang tuh si Danu ngasih beginian ke temen-temen proyeknya, makanya dia aku beliin…,”

“Iya juga sih,” Imel mengangguk. “Danu emang kudu banyak ngirit secara dia cuma staff proyek biasa. Kuatirnya dia malah tekor kalau beliin sebanyak itu buat temen-temennya di sana,”

“Bener banget Mel…,” Tiara mengacungkan telunjuknya. “Gajinya Danu masih di bawah UMR, dia harus banyak nabung buat dana darurat, apalagi situasinya masih sulit kayak gini,”

“Hmmm… nggak cuma buat dana darurat aja sih kalau menurut gue. Mungkin dia juga lagi nabung buat beli cincin,” Celetuk Kurni.

“Beli cincin buat apaan emangnya Kur?” Tiara mengerutkan dahinya.

“Buat ngelamar lu nanti! Hihihihi…!” Kurni pun tertawa kecil.

“Sembarangan lu ah Kur!” Tiara seolah ingin melempar Kurni dengan pulpen di tangannya.

“Nggak ada yang nggak mungkin Ti, dia kayaknya naksir lu juga deh,” Imel menimpali sambil memainkan jari-jarinya di atas keyboard laptopnya.

“Bener Mel, gelagatnya Danu mulai mengarah ke situ! Kita berdua tahu pas dapet traktiran ultahnya Mas Bob tempo hari. Ya nggak Mel?”

Imel pun mengangguk-angguk mengiyakan Kurni.

“Gelagatnya dia emang kaya gimana Kur? Kan waktu itu gue nggak ikutan…,” Tiara pun bertanya sambil mengamati layar laptopnya.

“Dia tanya-tanya tentang lu, bahkan sampai nanya soal relationship status lu sekarang. Ya gue sama Imel jawab jujur apa adanya aja, malah Mas Bob juga sampai ikutan ngejawab…,” Jawab Kurni dengan santainya.

“Oh, oke…, oke…,” Tiara menganggukan kepalanya.

“Seinget gue waktu itu Danu juga sempet rada emosi deh gara-gara omongannya Mas Bob,” Sambung Imel.

“Oiya! Kenapa sih dia waktu itu Mel? Gue lupa lagi ada masalah apa…,”

“Kalau nggak salah dia seperti nggak terima sama omongannya Mas Bob, terus Mas Bob nya sendiri langsung kayak ngeles gitu,” Jawab Imel sambil mengingat-ingat kembali.

“Ya, gue baru ngeh lagi Mel!” Kurni pun menjentikkan jarinya. “Kayaknya Danu ngerasa direndahin waktu Mas Bob ngejelasin tentang Tiara ke dia. So, dia jadi rada sewot sama Mas Bob. Untung aja sih Mas Bob pinter ngelesnya…,”

“Kalau Mas Bob nggak pinter ngeles pasti bakalan runyam waktu itu. Gue sebenernya paham maksudnya Mas Bob itu gimana. Nah, berhubung Danu diomongin begituan langsung tersinggung, kemungkinan besar dia memang ada affair sama Tiara,”

“Berarti dugaan kita cukup akurat!” Kurni mengacungkan telunjuknya ke arah Imel.

Nice!” Timpal Imel.

Tiara pada akhirnya tidak menggubris perkataan Imel dan Kurni, ia justru sibuk men-delete dokumen-dokumen usang yang cukup lama mengendap di foldernya.

“Ti, ini saran gue aja sih. Nggak ada salahnya kalau Danu lu jadiin next option buat lu. Apalagi kalau gue perhatiin kayaknya lu sendiri mulai lebih perhatian ke Danu daripada si Axel. Buat gue pribadi sih, Danu emang nggak ada apa-apanya kalau dibandingin sama Axel, Abid, atau David, tapi dia orangnya nggak macem-macem dan dedicated sama kerjaannya. Ya pokoknya…,” Celoteh Kurni.

“Stop Kur!” Potong Imel. “Gue sama Tiara mau fokus bikin presentasi buat meeting sama pak direktur nanti siang,”

Kurni pun terdiam dan melanjutkan pekerjaannya.

***

Waktu pun bergulir ke pukul sebelas siang. Tiara dan Imel terlihat begitu tekun menyelesaikan laporan yang harus dipresentasikan saat meeting seusai jam makan siang nanti. Sementara itu, Kurni sedang berada di meja kerja Bobby untuk menerima sebuah instruksi.

Laporan yang harus dipresentasikan itu pun akhirnya rampung tepat pukul setengah dua belas, Imel pun mencolek Tiara untuk menanyakan sesuatu.

“Ti, kalau gue boleh tahu, si Abid masih sering nge-miss call lu nggak tiap subuh?”

“Udah nggak pernah lagi dia,” Jawab Tiara sembari bersandar di kursinya.

“Dari kapan?”

“Kurang lebihnya dua mingguan ini dia udah nggak pernah miss call lagi,”

“Ooo, tapi lu masih komunikasi sama dia kan?”

“Masih, kalau bener-bener perlu aja,”

“Kayaknya dia udah capek miskol-miskolan begitu terus,”

“Sepertinya sih gitu…,” Tiara tersenyum sambil memperhatikan layar ponselnya.

Imel pun menggeser kursinya mendekati Tiara.

“Ti, jujur aja nih. Apa lu sebenernya tertarik sama Abid?”

Tiara terdiam sejenak lalu menjawab Imel.

“Gimana ya? Agak susah buat diungkapin sebenernya. Abid kalau gue lihat-lihat dia emang tipikal cowok alim yang rajin banget ikut kajian agama. Orangnya supel dan wawasannya luas. Tapi…,”

“Tapi kenapa gitu?” Imel mendadak penasaran.

“Dia rada nggak beres kalau menurut gue…,”

“Nggak beres gimana maksud lu?”

“Gue udah ngamatin jejak digitalnya!”

Tiara pun membuka akun Facebook milik Abid menggunakan peramban di laptopnya. Ia kemudian memperlihatkan postingan demi postingan di akun tersebut kepada Imel. Imel pun tertegun, seolah tak habis pikir melihat apa yang ditunjukkan Tiara saat itu.

Keyboard warrior,nih! Postingannya horor-horor bikin mual!” Ujar Imel.

“Itu masih belum seberapa Mel. Gini-gini gue sempet dikasih tahu sama temen gue yang kerja satu instansi sama dia. Temen gue itu bilang kalau gue harus hati-hati sama Abid, katanya Abid ini ngeri juga kalau udah debat di sosmed,”

“Nah loh, kayak gimana lagi tuh?”

“Nih, gue tunjukin lagi…,”

Tiara kemudian memperlihatkan kepada Imel beberapa postingan di Instagram melalui ponselnya. Imel akhirnya semakin mengerti akan sepak terjang Abid di dunia maya lalu mengomentarinya.

“Dia emang tipikal oposisi pemerintah kalau menurut gue. Dari awal pas kita ketemuan di Tulodong udah ketahuan dari omongannya. Bahkan waktu itu gue sempet ‘nyentil’ dia biar lebih hati-hati sama statement nya karena dia itu PNS,”

“Ya kalau dia mau jadi oposisi mah hak-haknya dia ini, dia juga yang paham konsekuensinya kayak gimana. Sayangnya, menurut gue dia itu udah setengah gila alias freak banget. Itu yang bikin gue nggak suka! Temen gue juga sempet ngingetin dia buat hati-hati sama jejak digitalnya, tapi dianya malah nggak peduli terus suka ngeles macem-macem,” Jelas Tiara.

“Itu dia yang bahaya! Bisa-bisanya dia ngedukung pelaku bom bunuh diri di Surabaya, terus dia pake seneng segala pas tahu ada polisi yang gugur di Depok pas ada kerusuhan di rutan…,”

“Dan dia juga bela-belain orang yang waktu itu ditangkap gara-gara ngancam mau bunuh presiden! Apa nggak ngaco itu?” Sambung Tiara.

“Otaknya bener-bener nggak dipake kalau menurut gue! Jejak digital macam gitu jelas bahaya banget buat karirnya. Anehnya sampai sekarang kok dia masih aman-aman aja…,”

“Udah nggak paham gue kalau soal itu. Tapi yang jelas gue ogah sama dia,”

Imel pun diam sejenak, sejenak ia memeriksa dokumen-dokumen yang akan dibawa untuk meeting nanti. Sejurus kemudian, ia mendekatkan kursinya kembali ke arah Tiara, lalu ia pun mengutarakan sesuatu kepada rekan sejawatnya itu.

“Hmmm… Kayaknya apa yang dibilang Kurni tadi ada benernya deh,”

“Yang mana Mel?” Tiara memalingkan wajahnya ke arah Imel.

“Yang tadi, yang gue potong pas kita mau ngerjain presentasi…,”

“Ooo… yang itu…,”

Tiara menghela nafasnya.

“Kalau soal Danu sih… jujur aja gue nggak tau kenapa kok selama ini gue enjoy banget kalau ngobrol sama dia. Gue jatuhnya jadi pengen tahu lebih banyak soal dia,”

“Pasti ada something yang bikin lu nyambung sama Danu. Kalau nggak nyambung nggak mungkin lu bisa se-enjoy itu kalau lagi ngobrol sama dia, apalagi sampai pengen tahu lebih lanjut. Iya nggak Ti?”

“Iya sih. Tapi sampai detik ini gue masih bingung apa sebenarnya yang bikin gue bisa senyaman dan senyambung itu sama Danu,”

“Barangkali lu punya semacam shared experience sama dia,”

Maybe…,” Tiara mengangguk perlahan. “Cuma gue masih belum ngeh nih, apa shared experience gue sama Danu,”

Imel menegakkan posisi duduknya, ia pun mencoba memberi penjelasan lebih lanjut kepada Tiara.

“Begini, mungkin lu sama Danu punya kemiripan pandangan dalam suatu hal. Mungkin aja lu sama dia punya interest, ide, angan-angan, atau obsesi yang sama. Atau… punya semacam pengalaman berkesan yang sama-sama pernah dijalani sebelumnya,”

Sejenak Tiara memikirkan tentang apa yang dikatakan Imel sambil memutar-mutar pulpen di tangannya.

“Sejauh ini gue ngerasa kalau gue sama dia punya kesamaan nasib. Sama-sama pernah jadi mahasiwa Bandung dan akhirnya sama-sama betah tinggal di sana. Ya… intinya gue sama dia sama-sama punya kesan dan kenangan selama tinggal di Bandung, akhirnya sama-sama punya harapan someday bisa tinggal di sana lagi,”

“Nah, berarti di situlah shared experience lu sama Danu!” Imel menjentikkan jarinya. “Shared experience itu ibarat ‘lem’ yang bikin lu jadi nyambung sama dia. Apalagi kalau lu sama Danu ternyata punya value hidup yang mirip dan sejalan, bisa makin nyambung deh ke depannya!”

Tiara pun mulai bersemangat melanjutkan ceritanya.

“Jadi begini Mel, gue itu kan tinggal di Bandung udah dari jaman SMA, sementara Danu cuma enam tahunan selama dia kuliah S-1 di ITB. Dari situlah gue sama dia jadi punya banyak bahan buat diobrolin, sekalipun selama tinggal di Bandung belum pernah ketemuan sama sekali. Macem-macem lah yang bisa diobrolin, dari kehidupan perkuliahan masing-masing, tongkrongan dan kuliner, sampai isu-isu seputar kehidupan,”

“Nah itu dia! Itu yang bikin tambah seru! Lu sama dia punya perjalanan hidup yang sama tapi melangkahnya di track yang beda, otomatis pengalaman hidup lu sama dia jadi lebih variatif,”

“Ya begitulah, karena perbedaan itu gue sama dia jadi bisa saling sharing. Sejujurnya, dari pertama ketemu sampai ke pertemuan berikutnya, gue udah punya semacam feeling kalau ada sesuatu yang beda dari dia. Menurut gue Danu itu tipikal orang idealis yang pemikirannya cenderung nggak umum. Dia seperti punya semacam mimpi besar yang pengen dia wujudin…,”

“Kalau menurut gue nih ya, sepertinya Danu itu tipe cowok yang mungkin susah buat diajakin hedon. Dia itu kebalikannya Axel, David, atau Mas Bob yang paling semangat kalau udah urusan nongkrong atau hangout. Abid sebenernya setipe sama Danu, cuma bedanya Abid itu cenderung religius orangnya,” Imel pun menimpali.

“Wajar sih kalau Danu bakalan susah diajakin hedon. Dia dulu sempet ngerasain hidupnya susah, bahkan sampai hampir kehilangan arah. Sekarang dia mau bangkit lagi buat menata hidupnya dan dia bener-bener mau fokus buat masa depannya,”

“Iya, gue paham itu Ti,” Imel mengangguk. “Dulu dia kan pernah cerita kalau sebelum dapet kerjaannya yang sekarang ini dia sempet susah nyari kerja dan terpaksa jadi kurir yang upahnya ngepas banget,”

“Danu orangnya low profile dan confident Mel, dia seakan-akan nggak begitu peduli sama masa lalunya yang kurang menyenangkan. Gue tempo hari sempet ngajakin dia hangout bareng Axel dan Mas Bob. Danu cuek dan santai aja biarpun dia berkali-kali didebat dan dicengin sama mereka berdua,” Ujar Tiara sambil meregangkan jari-jari tangannya.

“Oke, sejauh ini ada nggak sesuatu yang menurut lu berkesan banget dari Danu?”

“Hmmm… apa ya?” Tiara mencoba untuk mengingat-ingat kembali. “Belum ada yang berkesan banget menurut gue. Tapi yang gue tahu selama ini, dia itu orang Jawa tulen, tapi bahasa Sundanya lumayan lancar!”

“Hahaha… Serius?”

“Beneran Mel!”

“Wah, petanda baik tuh!”

“Petanda baik gimana maksud lu?”

“Ya… tandanya dia udah ngasih semacam effort biar bisa makin nyambung sama lu. Bukan nggak mungkin kalau ke depannya malah berlanjut ke sharing vision…,”

Tiara terdiam dan tersenyum malu-malu.

“Tapi gue tetap nggak mau berharap terlalu banyak sih,” Ujar Tiara.

Slow aja, nggak usah keburu-buru dan nggak usah terlalu dipikirin. Semua bakal nemuin jalannya kok,” Imel tersenyum sambil menggenggam pundak Tiara.

“Gue sih let it flow aja Mel, karena gue mau kecewa buat ke sekian kalinya,” Ujar Tiara sambil menatap ke arah langit-langit dan merebahkan badannya di sandaran kursi.

Tiba-tiba Bobby datang menghampiri Tiara dan Imel, mereka berdua pun setengah terkejut dengan kehadiran Bobby.

“Hoi, hoi, hoi! Buruan ke ruang meeting, udah siap tuh makan siangnya!”

“Yuk, kita ke sana Ti! Udah ditungguin tuh!” Imel pun bersiap untuk mengikuti instruksi Bobby.

Tiara bangkit dari kursinya dan ia langsung mengemasi laptop dan beberapa dokumen di atas mejanya.

“Mel, lu duluan aja, ntar gue nyusul. Gue mau dzuhur bentar sambil ngirim oleh-oleh yang buat Danu. Nih, gue nitip yang jatah kita,” Ujar Tiara sambil menyerahkan satu bungkusan oleh-oleh yang dibelinya kepada Imel.

“Oke, tapi jangan kelamaan ya, nggak enak sama bos-bos kita,” Imel pun menerima bungkusan tersebut.

“Beres bu…,” Tiara mengacungkan jempolnya.

Tiara langsung memesan kurir online melalui aplikasi di ponselnya. Sejurus kemudian, ia meninggalkan ruangan kantornya menuju lift.

***

Pukul setengah satu siang, Danu yang masih asyik melahap makan siangnya di kantor lapangannya, tiba-tiba dikejutkan oleh suara ketukan pintu. Danu pun beranjak dari mejanya dan langsung membuka pintu kantornya.

“Dengan Pak Danu?” Tanya seorang petugas kemanan proyek.

“Iya, saya sendiri,”

“Ini ada titipan dari Ibu Tiara,” Petugas keamanan itu menyerahkan sebuah bungkusan plastik.

“Terima kasih Pak!” Danu pun menerimanya.

Danu membawa bungkusan itu dan meletakkannya di atas meja kerjanya. Tak lupa ia memotret dan mengirimkan fotonya kepada Tiara sebagai bukti kalau ia sudah menerima oleh-oleh pemberiannya.

“Thank’s Ti. Udah sampai nih di kantor,” Tulis Danu melalui chat whatsapp.

Danu lantas membongkar isi dari bungkusan plastik itu. Dikeluarkannya satu per satu camilan khas Jawa Barat seperti rangginang mini khas Purwakarta, dodol susu Lembang, dan permen karamel dari Pangalengan.

“Wah, bagi-bagi dong!” Pak Armando yang baru kembali dari area merokok menghampiri Danu yang masih sibuk mengamati oleh-oleh pemberian Tiara.

“Eh, Pak. Ini barusan ada kiriman oleh-oleh dari temen, katanya buat team kita,” Jawab Danu yang agak terkejut.

Pak Armando lantas mengambil sekotak dodol susu dari meja Danu.

“Mantap kali nih! Boleh aku coba?”

“Silahkan Pak,”

“Oke, aku buka ya… Ini kayaknya enak menurutku,” Ujar Pak Armando sambil membuka cover plastik kemasan dodol susu tersebut.

Sejurus kemudian masuklah Kang Deden yang baru saja selesai menunaikan sholat Dzuhur. Kang Deden pun menghampiri meja Danu yang terlihat begitu ‘ramai’ itu. Sementara itu, Danu masih menghabiskan makan siangnya.

“Wah, ini mah asli ti lembur…,” Ujar Kang Deden sambil melihat-lihat bungkusan rangginang mini.

“Sok Kang, mangga dibuka aja. Ini semua buat team kita,”

Kang Deden pun mengambil pisau cutter dan menyobek bungkusan rangginang mini tersebut. Pak Armando kemudian menghampiri dan menawari Kang Deden dodol susu yang diperolehnya dari Danu.

“Oiya, temen kamu yang ngasih oleh-oleh kerja di mana sekarang?” Tanya Pak Armando kepada Danu.

“Dia kerja di gedung depan, jadi branding consultant. Baru aja seminggu yang lalu WFH di kampungnya,”

“Ooo, gitu,” Pak Armando mengangguk. “Emang kampungnya di mana dia?”

“Di Purwakarta,”

Pak Armando diam sejenak, sejenak ia mengamati sepotong dodol susu yang baru saja digigitnya.

“Purwakarta… oke-oke. Temenmu itu cewek atau cowok?”

“Cewek pak,”

“Temen lama atau baru kenal?”

“Baru kenal Pak, kurang lebih sebulanan,” Danu kemudian bertanya balik. “Memangnya ada apa Pak?”

“Nggak…, nggak ada apa-apa kok Nu. Enak nih oleh-olehnya, aku jadi nagih! Ntar nitip dia lah buat beliin lagi,” Jawab Pak Armando yang agak salah tingkah sambil membereskan dokumen-dokumen di meja kerjanya.

Seketika Danu pun teringat akan rencananya beberapa hari yang lalu. Ia lantas merogoh dompetnya dan mengambil secarik kartu nama di dalamnya. Tanpa pikir panjang, Danu langsung mengirimkan chat whatsapp ke sebuah nomor yang tertera di kartu nama tersebut. Lima menit kemudian, sang empunya nomor pun menjawab. Hati Danu pun girang menerima jawaban tersebut.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
21+
Selanjutnya Bangkit Demi Takdir Cinta - Chapter 22
4
0
Chapter 22 dari Serial Bangkit Demi Takdir Cinta
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan