
Danu, pemuda berusia 29 tahun, lulusan MBA ITB, memiliki bayangan akan kehidupan yang lebih sejahtera setelah menuntaskan studi S-2 nya. Sayangnya kenyataan berkata lain, ia sudah berusaha melamar pekerjaan ke berbagai perusahaan, namun penolakan demi penolakan harus ia terima. Karena keadaan itu, Danu terpaksa menjalani pekerjaan yang sebenarnya kurang layak dari sisi penghasilan. Tapi apa mau dikata, semua dilakukan demi bertahan hidup karena saldo di rekeningnya makin menipis dan ia tidak ingin...
#66
Malam harinya sekitar pukul 9, seperti biasanya Danu duduk-duduk di teras belakang rumahnya. Ia membuka kembali grup Whatsapp Naterman 37 yang sempat diabaikannya selama beberapa jam. Terlihat sudah sangat banyak pesan yang masuk di dalam grup tersebut, sepertinya ada suatu hal yang sedang dibicarakan oleh Rohim cs. Danu mengamati pesan-pesan yang dikirimkan teman-teman sekomunitasnya itu sejak ia mulai mengabaikan grup tersebut.
“Lusa kita bukber gimana?”, ujar Erwin.
“Boleh tuh, tapi mau dimana tempatnya?”, ujar Otang yang bertanya kembali.
“Di tempat biasa lah.”, timpal Dayat.
“Ooo, berarti di basecamp kalau begitu!”, ujar Otang.
“Gimana Him, bisa nggak lusa?”, tanya Dayat sambil me-mention Rohim.
“Gue sih ayo-ayo aja. Kalau mau ngadain bukber, yuk sekarang juga kita patungan.”, ujar Rohim.
“Sippp lah kalau begitu! Kagak usah peduliin ada PSBB, kita tancap gas aja!”, ujar Erwin.
“Yoi, mari kita membangkang pemerintah! Hahaha!”, ujar Otang.
“Ngapain juga nurut sama pemerintah, udah bikin kita susah ini, lain ceritanya kalau mereka mau ngasih kita makan tiap hari. Wkwkwk!”, kata Erwin.
“Bener Win! Kemarin nih gue ke Bojong Gede mau mabar ke tempat saudara aja kena razia, untung aja bisa lolos! Gue sepik-sepik aja ama aparat bilangnya mau nganter obat ada saudara lagi sakit.”, ujar Otang.
“Emang, musti jago sepik-sepik sama aparat biar bisa lolos penyekatan. Disuruh di rumah doang gabut ya lama-lama bosen, butuh main lah sekali-kali!”, ujar Erwin.
“Orang kaya mah enak bisa betah di rumah terus, duitnya masih banyak ini! Apa-apa bisa serba online, sekolah online lah, belanja online lah, nonton online, sampai kerja pun bisa online dari rumah. Terus kita? Mau beli kuota internet aja masih kepikiran besok mau makan apa. Yang masih bisa kerja aja bingung, apalagi yang jadi pengangguran!”, kata Otang.
“Sekali-kali nantangin pemerintah ngga apa-apa lah, biar mereka tahu rasa dan perhatiin orang-orang kayak kita ini. Mau nyari makan udah dibikin susah, terus mau ibadah juga dibikin susah!”, ujar Dayat.
“Apa gue bilang, kacau emang pemerintah jaman sekarang, pada ngga takut sama Tuhan! Sekolah dipersulit, ibadah berjamaah kagak dibolehin, sekarang mau silaturahmi dan ngerayain lebaran bareng saudara aja kagak dibolehin. Mau kena azab apa ini negara? Nih, abang gue yang gawe di Kalimantan bingung nggak bisa pulang tahun ini!”, ujar Otang.
“Makin jelas buktinya Tang, liat aja tuh pasar sama mall masih ada yang buka tapi masjid pada dikonci rapet-rapet!”, kata Dayat.
“Udah-udah, sekarang yang mau bukber patungan ke gue 20.000 per orang!”, ujar Rohim.
“Oiya, gue mau ingetin. Buat yang ntar ikut bukber, tolong jangan posting-posting ke sosmed! Itu aja gue minta tolong!”, timpal Dayat.
Danu hanya bisa terdiam sambil menggelengkan kepala saat menyimak ocehan-ocehan teman sekomunitasnya di grup whatsapp. Maksud hati ingin berkata sesuatu, namun percuma saja menghadapi orang-orang yang pada dasarnya bebal.
Tiba-tiba Bagas datang ke teras belakang dan duduk di kursi sebelah Danu.
“Parah, parah, makin edan lah ini orang-orang!”, ujar Bagas sambil menggelengkan kepalanya.
“Kenapa Gas?”, tanya Danu kepada adiknya itu.
“Ini kan ada restoran fast food yang mau tutup. Orang-orang pada ngapain dah berbondong-bondong ke sana? Bukannya udah ada pemberlakuan PSBB? Ini malah ada selebgram yang bikin konten di situ, terus ngajakin temen-temennya ke sana!”, ujar Bagas sambil memperlihatkan sebuah postingan di Instagram kepada kakaknya itu.
“TOLOL SEMUA!! Pada nggak ngehargain kita-kita yang berusaha di rumah aja biar pemerintah dan aparat terbantu! Gue jamin nakes yang udah bela-belain kerja nonstop di Wisma Atlet bisa pada nangis darah ngeliat yang begituan!”, ujar Danu yang mulai naik darah melihat kenyataan itu.
“Gue ngga ngerti dah, apa yang ada di dalam pikiran mereka. Nggak heran kalau ada yang bilang orang-orang kita ini krisis akhlak!”, timpal Bagas.
“Kalau wartawan media pada ke sana mah masih mending, karena itu hitungannya kerjaan. Tapi selebihnya, elu siapa? Wartawan juga bukan kan? Berani taruhan dah kebanyakan yang ikut-ikutan ke sana itu bukan wartawan!”, ujar Danu.
“Nah Mas, coba liat nih, ada yang nggak kalah parahnya. Bocah-bocah ABG ini kayaknya satu komunitas, mereka nekat ngumpulin sekitar 20 orangan buat bukber, Ini tempat buat ngadain bukbernya semacam gudang yang cenderung tertutup dan sempit. Terus liat juga, pada dempet-dempetan dan ngga ada yang pakai masker!”, ujar Bagas yang memperlihatkan satu postingan Instagram lagi kepada Danu.
“Bocil sok rebel plus orang tuanya yang nggak beres! Kompak!”, ujar Danu merespon apa yang dilihatnya itu.
Danu yang begitu emosional berusaha menenangkan dirinya sejenak sambil bernafas dalam-dalam.
“Ada yang ngelihat kejadian-kejadian seperti itu langsung nyalah-nyalahin pemerintah, katanya yang nggak jelas lah, yang nggak konsisten lah, dan apalah-apalah itu. Seperti biasa, pakai kata-kata mutiara ‘nggak ada asap kalau nggak ada api’. Oke, pemerintah bisa aja salah, tapi bukan berarti kita layak berbuat semau kita. Mau memberontak dan membangkang pemerintah pun silahkan, tapi elu-elu pada kudu mastiin kalau apa yang kita lakuin nggak berdampak buat orang lain!”, ujar Danu sambil menatap ke arah lantai di hadapannya.
“Salah satu kelakuan minus kita adalah selalu berlindung di balik kelemahan dan kesalahan pihak lain untuk mencari pembenaran atas perbuatan sendiri. Ibaratnya kita merasa layak mencuri kendaraan yang lupa dikunci oleh pemiliknya!”, kata Bagas.
“Buat contoh aja ya. Aku termasuk pihak yang nggak setuju dan menentang kebijakan rekayasa lalu lintas satu arah di Jalan Nusantara dan Jalan Dewi Sartika. Bahkan, selama ini juga aku memposisikan diri sebagai oposisi Pemkot Depok. Tapi biarpun begitu, mana pernah aku nekat ngelawan arus di kedua jalan itu mentang-mentang aku nggak setuju sama kebijakan mereka?”, jelas Danu.
“Kalau ngelawan arus begitu mah sama aja cari mati dan bisa bikin celaka orang lain.”, ujar Bagas.
“Itu dia, malah ujung-ujungnya bikin keadaan makin kacau!”, kata Danu.
“Aku sekarang makin nggak yakin mereka-mereka yang nekat ngelanggar PSBB alasannya karena masalah ekonomi, kerja cari duit dan sebagainya. Buktinya di luar masih banyak orang lalu lalang buat hal-hal yang nggak esensial, nggak jauh beda sama keadaan sebelum PSBB! Apakah sekarang mereka yang masih keluar-keluar itu kebanyakan golongan yang rentan secara ekonomi? Nggak yakin aku! Buktinya udah ada. Coba lihat mereka yang waktu itu berdatangan ke restoran fast food yang mau tutup kemarin malam, apakah mereka itu kebanyakan kaum menengah ke bawah atau ekonomi lemah?”, ujar Bagas.
“Sama sekali nggak meyakinkan kalau mereka itu orang-orang ekonomi menengah ke bawah! Biasa lah, orang mentang-mentang berduit jadi bebas mau ngapa-ngapain! Kalau mereka yang notabene kelompok rentan keluar rumah buat kerja atau keperluan yang esensial masih bisa dimaklumi lah. Masalahnya yang sekarang ini masih keluar-keluar rumah dan bikin kumpul-kumpul kebanyakan keperluannya ngga esensial!”, jawab Danu.
“Susah dibayanginnya kalau golongan rentan kaya gitu malah ikut terpapar resiko.”, ujar Bagas.
“Kesimpulannya sekarang, yang namanya bebal itu nggak kenal yang namanya status sosial ekonomi! Kelas menengah ke atas jadi bebal karena mereka merasa punya banyak uang dan bebas mau berbuat sesuka hati mereka, sedangkan yang menengah ke bawah jadi bebal karena terus merasa jadi korban dan merasa paling harus dikasihani!”, jelas Danu.
***
#67
Hari Rabu siang itu sekitar pukul setengah sebelas, sebuah ambulans memasuki halaman rumah sakit milik Pemerintah Kabupaten Kebumen dan langsung menuju ke arah pintu lobby UGD rumah sakit tersebut. Dari ambulans itu keluarlah tiga orang tenaga medis berpakaian APD hazmat lengkap dengan sepatu boot dan pelindung muka. Mereka bertiga membawa seorang pria tua yang tergolek lemah dengan masker oksigennya dan infus di tangan kirinya ke dalam ruangan UGD menggunakan kereta dorong.
Sementara itu di ruang tunggu, seorang pria berusia kurang lebih 53 tahun sedang duduk ditemani istrinya dengan perasaan harap-harap cemas. Pria dan istrinya itu adalah Lik Suyat dan Lik Jum, orang tua dari Sugeng dan Wawan. Kurang lebih lima belas menit kemudian, seorang dokter datang menghampiri mereka.
“Mohon maaf, bapak ini keluarga dari pasien atas nama Bapak Misran bukan? Kalau boleh tahu dengan bapak siapa?”, ujar dokter itu.
“Betul dok. Saya atas nama Suyatno anak dari Pak Misran. Bagaimana keadaan bapak saya?”, tanya Lik Suyat dengan ekspresi penuh kecemasan.
“Begini Pak Suyatno, berdasarkan hasil pemeriksaan kami, Pak Misran ini mengalami gejala mirip Covid-19 yaitu batuk-batuk dan kesulitan bernafas, bahkan kadar oksigen di dalam darahnya di bawah normal. Sebelumnya mohon maaf, apakah Pak Misran ini punya riwayat penyakit tertentu?”, kata dokter itu.
“Beliau punya penyakit jantung dok, cuma jarang sekali kambuh karena yang saya tahu beliau ini hidupnya teratur, rajin olahraga, dan makannya juga nggak sembarangan”, kata Lik Suyat menjelaskan kepada dokter itu.
“Baik, berarti beliau ini memang punya penyakit jantung, tapi secara umun gaya hidupnya masih sehat. Jadi begini Pak Suyatno, untuk saat ini kami menyatakan Pak Misran ini adalah suspect alias diduga kena Covid-19. Untuk memastikan apakah beliau ini benar-benar kena Covid atau tidak, kami harus melakukan tes dan hasilnya baru bisa diketahui tiga hari lagi.”, jelas dokter itu.
Mendengarkan penjelasan dokter itu, Lik Suyat dan istrinya mendadak lemas, keringatnya mulai bercucuran dan wajahnya langsung pucat. Mereka pun saling pandang kebingungan.
“Mohon maaf yang pak, apakah ada anggota keluarga yang tinggal serumah dengan beliau?”, tanya dokter itu.
“Beliau tinggal satu rumah dengan istrinya. Di rumah ada seorang pembantu dan seorang sopir, ditambah lima orang karyawan usaha beliau. Saya dan istri sehari-hari di tempat beliau bergantian mengurus usaha beliau, sambil berdagang di pasar.”, ujar Lik Suyat.
“Nah, untuk lebih amannya kami mohon agar Pak Suyatno dan istri, juga orang-orang yang memiliki kontak erat dengan Pak Misran untuk ditest juga demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.”, kata dokter itu.
“Ditest nya hari ini juga dok? Kami dan orang-orang di rumah beliau kan nggak ada yang mengalami gejala.”, ujar Lik Jum sambil bertanya.
“Benar Bu. Semua orang yang tadi disebutkan oleh Bapak, harus segera ditest hari ini juga sekalipun mereka nggak mengalami gejala, karena bisa saja mereka tidak mengalami gejala tapi sudah terpapar virus. Nanti setelah test kami mohon untuk tidak beraktifitas keluar rumah terlebih dahulu sambil menunggu hasil test nya keluar. Kalau ada yang hasil test nya positif, maka yang bersangkutan adalah orang tanpa gejala dan harus menjalani isolasi.”, jelas dokter itu.
“Waduh, kepriwe iki Pak? Berarti tokone Bapak karo daganganne dewek nang pasar kudu tutup siki.”, ujar Lik Jum yang mulai panik itu kepada suaminya.
“Ya kepriwe maning Mak, timbang dewek nulari uwong sak kutho Kebumen mengko malah didendo pemda, mending ditutup dhisit.”, jawab Lik Suyat.
“Mohon maaf Pak, Bu, kami mohon kesediaannya untuk memberikan alamat tempat tinggal Pak Misran saat ini, karena setelah ini tim kami akan segera berkoordinasi dengan satgas Covid kabupaten. Nanti mereka akan kami datangkan ke lokasi untuk melakukan pengetesan dan penyemprotan disinfektan.”, ujar dokter itu.
“Baik dok, alamat Pak Misran di Jalan Kolopaking belakang Pasar Tumenggungan, kalau saya dan ibu ini di Jalan Pierre Tendean. Ini nomor HP saya.”, ujar Lik Suyat sambil memberikan nomor ponselnya kepada dokter itu.
“Terima kasih atas kerjasamanya Pak Suyatno, Insya Allah secepatnya kami akan segera tindak lanjuti, jadi mohon agar segera dikondisikan di lokasi. Kami juga berharap kondisi Pak Misran segera membaik!”, ujar dokter itu.
“Kesewun dok, semoga Bapak kami bisa segera ditangani dengan baik.”, ujar Lik Suyat.
“Nggih sami-sami Pak!”, balas dokter itu yang kemudian meninggalkan Lik Suyat dan Lik Jum di ruang tunggu.
Lik Suyat dan istrinya itu segera beranjak dari ruang tunggu rumah menuju ke tempat parkir mobil. Mereka berdua segera mengatur sebuah rencana.
“Begini Mak, sekarang kan masih jam setengah 12. Nanti setelah jam makan siang, kita langsung tutup toko kita di pasar sama tokonya Bapak. Aku habis ini langsung ke Kolopaking buat koordinasi sama orang-orang di sana sekalian nemenin Ibu. Mamake nanti langsung ke pasar buat koordinasi sama anak buah kita di pasar. Kalau urusan di pasar udah beres, nanti semuanya tolong kumpul di Kolopaking buat test.”, ujar Lik Suyat menjelaskan rencananya sambil memberi arahan kepada istrinya itu.
“Yowis Pak, intinya kalau udah beres semua kita pada kumpul di Kolopaking. Mbak Darsini, Sugeng, sama Wawan perlu dikabarin juga nggak nih?”, ujar Lik Jum.
“Aja dhisit Mamake, mending siki dewek ngabari Parmin karo Zahra bae! Sing padha-padha meng Kebumen dhisit intine. Mbak Darsini karo anak lanange dewek gampang, mengko sore bae dikabarine.”, kata Lik Suyat.
“Yowis, lek ngono berarti Parmin karo Zahra dhisit ya sing dikabari.”, jawab Lik Jum.
Lik Suyat bersama istrinya itu langsung bertolak menuju Pasar Tumenggungan dengan mengendarai mobilnya. Sesampainya di pasar yang terletak di pusat Kota Kebumen itu, Lik Suyat menurunkan istrinya untuk segera mengurus penutupan lapaknya di pasar tersebut. Sejurus kemudian, Lik Suyat langsung menuju toko milik ayahnya itu untuk mengkondisikan anak buahnya di sana dan para asisten rumah tangga Mbah Misran.
Setelah urusan penutupan kedua tempat usaha itu selesai, Lik Suyat dan Lik Jum beserta seluruh anak buahnya berkumpul untuk sementara waktu di rumah Mbah Misran. Lik Jum dengan dibantu asisten rumah tangga di sana membuatkan makan siang untuk anak buahnya itu dan Mbah Retno yang tetap tinggal di rumah sejak pagi tadi. Sekitar pukul 2 siang, satgas Covid-19 Kabupaten Kebumen pun mendatangi kediaman Mbah Misran, akan tetapi Lik Suyat meminta mereka untuk masuk melalui pintu belakang yang mengarah ke Jalan Mayjend Soetoyo. Hal ini dilakukannya agar tidak memicu kehebohan masyarakat yang kebetulan sedang beraktifitas di sepanjang Jalan Kolopaking.
Sambil melakukan penyemprotan disinfektan di kediaman Mbah Misran termasuk di tokonya, beberapa anggota satgas Covid melakukan tes swab terhadap seluruh orang yang berada di tempat tersebut. Sampel tes yang diambil dari masing-masing orang kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisa yang hasilnya entah itu positif atau negatif akan diberitahukan tiga hari kemudian. Setelah menjalani tes, Lik Parmin dan Lik Jum segera kembali ke kediaman mereka yang terletak tidak jauh dari alun-alun Kebuman. Sama halnya dengan para karyawan di toko milik Mbah Misran dan lapak milik Lik Parmin, mereka semuanya diliburkan dan diminta untuk tetap berada di rumahnya masing-masing sampai hasil tes dirilis.
***
#68
Tiga hari pun berlalu dan hasil tes swab pun telah dirilis. Mbah Misran, seorang karyawannya, dan seorang asisten rumah tangganya dinyatakan positif Covid, selebihnya termasuk Mbah Retno, Lik Suyat, dan Lik Jum dinyatakan negatif. Sekalipun sudah dinyatakan negatif, hari itu Lik Suyat dan Lik Jum masih belum membuka kembali toko mereka di pasar dan toko milik Mbah Misran. Mereka memilih untuk berbenah sejenak sebelum membuka kembali kedua tempat usaha tersebut.
“Aku sama sekali nggak habis pikir, lha kok bisa-bisanya bapak kena virus? Padahal selama ini bapak itu di rumah terus sama ibu, nggak pernah keluar-keluar sama sekali.”, ujar Lik Suyat sambil merapihkan berkas-berkas administrasi di ruangan depan yang biasa dipakainya untuk melayani pelanggan.
“Kita juga selama ini selalu hati-hati kalau mau kontak fisik sama bapak dan ibu, apalagi kalau habis ngurusin dagangan, kita selalu cuci tangan bahkan kalau perlu mandi dulu. Nggak cuma kita yang harus sedisiplin itu, para karyawan juga harus selalu patuh protokol kesehatan! Kalau dibilang ketularan dari para karyawan pun rasanya juga hampir nggak mungkin karena mereka selama ini nggak pernah interaksi sedikitpun sama bapak dan ibu.”, ujar Lik Jum.
“Tapi mau sehati-hati apapun, yang namanya virus bisa pindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya, bisa nempel di benda-benda yang ada di rumah ini. Kita nggak tau dia bisa nempel dan pindah kemana aja. Makanya itu, kemarin kan sekalian rumah dan toko ini disemprot disinfektan.”, kata Lik Suyat sambil memindahkan sebuah map berisi dokumen ke dalam lemari arsip.
“Sebentar, aku kok malah kepikiran satu hal. Selama ini tempat ini kan selalu jalan tembus buat mereka yang bolak-balik dari pasar depan ke terminal angkot yang di belakang. Aku curiga bapak kemungkinan besar tertular dari mereka yang suka bolak-balik dari depan ke belakang.”, ujar Lik Jum.
“Nah itu, kita sepertinya udah kecolongan dari situ! Kalau dilihat-lihat banyak orang yang lewat sini nggak pakai masker, terus batuk, bersin, dan meludah sembarangan. Kita nggak tau siapa yang sehat terus siapa yang bawa virus, bahkan nggak tahu juga mereka yang lewat sini habis ketemu siapa dan dari mana. Intinya selama ini kita biarkan saja dan nggak mikir sampai ke sana!”, ujar Lik Suyat.
“Kalau begitu, mulai besok, orang-orang dari pasar udah nggak boleh lagi lewat tempat ini buat nembus ke belakang, begitu juga sebaliknya.”, kata Lik Jum.
“Bener, mulai besok kita larang orang-orang dari depan atau belakang lewat tempat ini buat jalan pintas! Yang boleh lewat tempat ini cuma karyawan dan orang-orang yang berkepentingan.”, ujar Lik Suyat sambil membereskan dokumen yang berserakan di atas meja kerjanya.
Berita tentang keadaan Mbah Misran yang sedang terbaring di rumah sakit akibat terpapar virus corona telah tersiar ke semua anak dan cucu beliau, tak terkecuali mereka yang sedang berada ratusan bahkan ribuan kilometer dari Kebumen seperti trio Danu, Sugeng, dan Wawan.
“Fix, si Mbah positif corona!”, ujar Sugeng di grup whatsapp Tri Mas Getir.
“Kata bapak kemungkinan besar ketularan dari orang-orang yang suka bolak-balik lewat rumah Mbah buat cari jalan tembus.”, ujar Wawan.
“Kita bener-bener kecolongan intinya. Biarpun si Mbah di rumah aja dan nggak kemana-mana, tapi kita ngga tau orang-orang yang lewat situ habis dari mana dan ketemu sama siapa.”, timpal Danu.
“Bener-bener ngeri, kita nggak tahu yang pada lewat itu bawa virus atau nggak, tahu-tahu aja itu virus udah nongkrong entah dimana lalu pindah kemana. Ada istilah OTG alias Orang Tanpa Gejala, dia sebenarnya udah terinfeksi tapi masih sehat-sehat aja.”, ujar Wawan.
“Sing medeni lek para OTG kuwe mampir meng ngendi-ngendi, terus ketemu akeh uwong, ora bisa dibayangke uwis pirang uwong sing ditulari?”, ujar Sugeng.
“Yang bikin kuatir itu, Mbah punya penyakit jantung! Dampaknya bisa parah kalau udah terinfeksi virus!”, ujar Danu.
“Nah, itu. Penyakit jantung itu adalah salah satu penyakit bawaan atau komorbid yang bisa memperparah keadaan pasien covid. Resiko fatalitasnya cukup tinggi, apalagi kalau penderitanya berusia lanjut.”, sambung Wawan.
“Wis lah, dewek ora usah mikir sing werna-werna! Mending dewek ndonga bae, mugia ana keajaiban sekang Gusti Allah!”, ujar Sugeng.
“Sing nggarai heran kuwe uwong-uwong sing padha ora percoyo anane virus, padahal korbane ya uwis akeh. Dikandani apik-apik ya angel temen, arep dijarno bae ya ora bisa!”, ujar Wawan.
“Aku nggak tau apa yang ada di otak mereka. Maklum, banyak mereka-mereka yang terdampak merasa dirinya paling menderita dan paling harus dikasihani.”, kata Danu.
“Mereka masih belum sadar kalau masalah ini adalah masalah bersama yang juga harus diatasi bersama. Di masa seperti ini, nggak yang kaya nggak yang miskin semuanya sama saja, pusing. Mau si boss atau karyawannya, sama-sama kebingungan. Kalau mental kita masih pada egois, cuma mikirin perut sendiri, ya nggak bakalan bisa teratasi.”, ujar Sugeng.
“Apalagi yang kerjaannya nyalah-nyalahin pemerintah melulu. Bukannya ingin membela pemerintah, pemerintah memang harus dikritik terkait penanganan pandemi. Tapi sekarang coba mikir logis aja, apa nyalah-nyalahin pemerintah terus bisa mengatasi keadaan? Belum lagi banyak yang nekat membangkang himbauan pemerintah, apa nggak bikin pemerintah tambah pusing?”, kata Danu.
“Sing kaya kuwe ancenne gemblung kok!”, timpal Wawan.
“Negorone dewek uwis kisruh kaya ngene, ditambahi polahe uwong-uwong kaya kuwe. Suwe-suwe iso ajur iki negoro.”, ujar Sugeng.
“Lha iya, ora mandhan waras, tapi mandhan gemblung!”, ujar Wawan.
“Orang-orang kita itu paling pinter kalau udah urusan cari pembenaran. Kesalahan orang selalu saja dijadikan tameng pembenaran kesalahan diri. Nggak suka disalahin, tapi giliran nyalahin orang lain paling banter, bukannya kita selama ini kayak gitu? Kalau ngeritik pemerintah kenceng banget, tapi giliran kita sebagai rakyat yang dikritik mau ngga?”, ujar Danu.
“Oiya Nu, kamu itu masih jadi anak skate kan?”, tanya Sugeng.
“Masih, tapi sejak Maret udah nggak pernah main lagi, sekarang juga udah ngga pernah kumpul sama anak-anak komunitas. Mereka udah tahu keadaannya seperti ini malah ngajakin kumpul-kumpul yang bukber lah, yang ngelayat orang lah.”, jawab Danu.
“Oalah, ya mending nggak usah ikutan-ikutan ngumpul dulu lah.”, ujar Wawan.
“Mereka itu kebanyakan pada nggak peduli sama keadaan, dibilangin baik-baik juga susah. Udah tahu beresiko, masih nekat juga ngadain kumpul-kumpul. Kesannya mereka bangga banget bisa membangkang pemerintah.”, ujar Danu.
“Waduh, ya mendingan nggak usah diladenin aja lah mereka.”, pungkas Sugeng.
***
#69
Sabtu malam itu sekitar pukul 9, seperti biasanya Danu duduk-duduk di teras belakang sambil menikmati segelas kopi susu yang baru dibuatnya. Ia membuka aplikasi marketplace untuk penjual di ponselnya dan ia mendapati sepuluh menit yang lalu masuklah sebuah chat yang menanyakan ketersediaan produk yang dijualnya.
“Gan, panel box yang ini ready ngga?”, tanya seorang calon pembeli di halaman sebuah produk panel kosong berukuran tinggi 60 cm, lebar 40 cm, dan kedalaman 20 cm.
“Butuhnya berapa?”, balas Danu di chat itu.
“Dua unit.”, jawab si calon pembeli itu.
Pada hari sebelumnya, Danu sudah mendapat informasi dari Pak Budiman kalau produk yang dimaksud oleh calon pembelinya itu stoknya masih tersisa 5 unit di gudang.
“Barang ready stock 2 unit. Harganya sudah pas ya.”, ujar Danu di kolom chat.
“Oke, ini saya mau info ke atasan saya dulu. Nanti saya kabari lagi.”, ujar calon pembeli itu.
“Baik.”, jawab Danu.
Sesaat kemudian, Bagas datang membawa sekotak pisang goreng yang baru dibelinya. Danu membuka kotak tersebut dan mengambil sepotong pisang goreng.
“Gimana Gas, dagangan lancar?”, tanya Danu.
“Alhamdulillah, kemarin udah ada satu orang yang beli. Ini ada lagi yang mau beli, tapi orangnya minta COD lagi.”, jawab Bagas.
“Ajak aja COD an di Margonda biar deket.”, ujar Danu sambil mengunyah pisang goreng yang baru saja diambilnya.
“Ini lagi aku usahain sih. Orangnya malah minta COD di Cilandak!”, kata Bagas sambil membuka-buka aplikasi whatsapp nya.
“Buset, jauh amat! Tarik suruh ke Depok, enak banget dia nyuruh kamu jauh-jauh ke Cilandak!”, kata Danu yang setengah terkejut.
“Makanya itu lagi aku usahain. Tuh, kan, orangnya malah minta di Cinere COD nya!”, ujar Bagas.
“Susah dah customer kayak gitu. Orang mana sih dia?”, tanya Danu.
“Dia bilangnya sih orang Pondok Labu.”, jawab Bagas.
“Tuh, kan, mending di Margonda aja, dimana gitu. Ini malah mintanya yang jauh-jauh. Diturutin maunya nanti malah kena marah orang rumah lagi kayak tempo hari!”, timpal Danu.
“Susah dah pokoknya kalau udah main COD-COD begini, customer maunya enak sendiri.”, keluh Bagas.
Bagas terus bernegosiasi dengan calon pembelinya itu melalui whatsapp. Ia mengirimkan sebuah pesan kepada calon pembelinya itu, kemudian meninggalkan chat untuk mengobrol bersama kakaknya itu.
“Mas, seandainya nggak ada pandemi, kira-kira hari ini kita lagi ngapain?”, ujar Bagas yang iseng bertanya.
“Ya paling hari ini kita lagi di jalan. Udah itu aja! Kalau berangkatnya tadi pagi ya palingan jam segini kita udah sampai di Kolopaking!”, jawab Danu.
“Hahaha, kita sampai di Kolopaking malam ini juga dan kalau nggak capek kita jalan-jalan ke alun-alun sambil jajan sate ambal!”, ujar Bagas.
“Ooo, tentu! Kita juga selalu main ke lapaknya Lik Suyat di pasar sambil merasakan suasana prepegan di sana.”, timpal Danu sambil meletakkan ponselnya di meja kecil di samping kursinya.
“Memang pengalaman yang nggak terlupakan, suasana lebaran di kota kecil kayak Kebumen memang jauh lebih semarak daripada di kota-kota besar.”, ujar Bagas sambil mencomot sepotong pisang goreng yang dibelinya.
“Sayangnya, tahun ini semuanya harus kandas dan kali ini untuk pertama kalinya kita lebaran di Depok.”, ujar Danu sambil menatap ke arah langit.
“Yah, mau gimana lagi. Semoga aja masih bisa lagi tahun depan, mungkin cuma tahun ini aja keadaannya seperti ini.”, ujar Bagas sambil mengunyah pisang goreng.
Danu menyeruput kopi susunya sekali lagi dan mengambil sepotong pisang goreng lagi.
“Sebaiknya nggak usah terlalu banyak berharap, lagipula virus sialan ini nggak bakalan hilang dalam hitungan setahun ke depan. Belum lagi kalau ngelihat kelakuan orang-orang kita ini, dari level pemangku kebijakan yang tertinggi sampai ke level akar rumput semuanya sama saja! Sama saja nggak kompaknya! Bahkan sesama level akar rumput sendiri ribut melulu!”, ujar Danu sambil membelah pisang goreng dengan tangannya.
“Udahlah, intinya nggak ada satupun yang bisa diharapkan kecuali kitanya sendiri. Ngomong-ngomong Mas masih inget nggak sama temen-temen Mas di Kebumen yang dulu suka nongkrong bareng tiap kali lebaran di sana?”, ujar Bagas sedikit mengalihkan topik pembicaraannya.
“Masih inget sih, cuma sayangnya komunitasnya udah dibubarin sama Mas Sugeng sekitar tahun 2014-an. Dibubarin karena waktu itu orang-orangnya sedikit demi sedikit udah pada ngilang dan sibuk sama urusannya masing-masing, mana waktu itu Mas Sugeng juga udah kerja di Malaysia. Ya udah, semua tinggal kenangan sejak itu.”, kenang Danu.
“Tapi masa sih, sama sekali ngga ada satupun mantan anggota komunitas yang masih keep in touch biarpun cuma lewat WA aja?”, tanya Bagas yang penasaran.
“Kalau soal keep in touch masih ada satu orang sih, namanya Harun, dia yang bapaknya punya restoran di Jalan Sarbini. Harun sekarang satu perantauan sama Mas Sugeng, udah nikah sama orang Pekanbaru dan punya anak satu, tapi anak sama istrinya stay di Pekanbaru. Sejak merantau, dia setiap lebaran nggak pernah pulang ke Kebumen karena selalu ngerayain lebaran sama keluarga mertuanya di Pekanbaru. Harun itu baru pulang ke Kebumen pas libur akhir tahun, jadinya aku nggak pernah ketemu sama dia lagi.”, ujar Danu.
“Iya sih, mana sekarang kita ke Kebumen paling setahun sekali pas lebaran aja.”, ujar Bagas.
Danu menghabiskan kopi susu yang masih tersisa di cangkirnya, lalu ia kembali melanjutkan pembicaraannya.
“Jadi inget, tahun 2014 dulu aku bener-bener ngerasain yang namanya kesepian. Pertengahan 2013 Wawan pindah ke Semarang buat kerja sambil kuliah di sana, terus awal 2014 giliran Mas Sugeng yang mulai merantau ke Malaysia. Suasana di rumah kost Alpina jadi bener-bener berubah dan akhirnya aku lebih sering nginep di rumah temen di Batununggal sambil ngerjain tugas akhir bareng-bareng.”, kata Danu.
“Oiya, boleh aku tanya satu hal?”, tanya Bagas sambil mengubah posisi duduknya itu.
“Tanya soal apa?”, kata Danu sambil menoleh ke arah adiknya itu.
“Soal mama yang katanya dulu nyaris nggak bisa lanjut kuliah. Kira-kira Mas Danu tahu ngga sebabnya kenapa?”, ujar Bagas.
“Ooo, itu. Kalau menurut ceritanya sih, dulu waktu mama baru lulus SMA, bisnisnya Mbah lagi paceklik, merugi terus. Beberapa aset punya Mbah seperti sawah warisan dari keluarganya dulu akhirnya dijual buat kompensasi kerugian usahanya. Mbah terpaksa ngirit, penghasilan dari bisnis banyak dialokasikan buat kebutuhan sehari-hari sampai nggak cukup dana buat masukin mama ke perguruan tinggi. Mana jaman segitu, anak-anak Kebumen kalau mau lanjut kuliah harus ke Jogja dan kuliah di sana itu jelas nggak murah. Karena keadaan seperti itu, mama sempet mau dijodohin sama anaknya juragan kain relasinya Mbah. Untungnya semua itu batal karena tiba-tiba Mbah Darmo bersedia biayain mama kuliah di Jogja.”, jelas Danu.
“Terus kalau Mas Wawan dan Mas Sugeng kenapa juga mereka ngga langsung lanjut kuliah abis lulus SMA? Apa memang bener-bener Lik Suyat nggak bisa biayain mereka juga atau bagaimana?”, tanya Bagas yang makin penasaran.
“Itu lain lagi ceritanya. Intinya yang satu ini bermula dari kesalahan Lik Suyat sendiri. Jadi, sekitar awal tahun 2005 an, bisnis nya Lik Suyat mulai membaik sejak dia sempat kena tipu orang. Nggak cuma itu, di awal tahun yang sama, Lik Suyat juga mulai diserahi tanggung jawab buat mengelola bisnisnya Mbah. Lik Suyat lantas jadi lupa diri dan berasa jadi orang kaya baru. Dia jadi suka boros demi ngejar gengsi, mulai dari beli mobil baru sampai hampir seminggu sekali dia selalu traktir temen-temennya jalan-jalan ke Jogja. Pokoknya Lik Suyat udah lupa kalau tahun depannya Mas Sugeng itu lulus SMK dan harus persiapkan dana buat biaya kuliahnya Mas Sugeng. Akhirnya benar-benar kejadian, pas Mas Sugeng lulus SMK, Lik Suyat kebingungan karena cadangan dananya nggak cukup buat kuliahin Mas Sugeng. Untung aja Mas Sugeng itu lulusan SMK jadinya bisa langsung kerja dan dapet kerjaan di Bandung. Dua tahun kemudian, nasibnya Wawan pun ternyata sama, kondisi keuangannya Lik Suyat masih belum pulih, tapi untungnya juga Wawan keterima kerja di Cikarang.”, ujar Danu.
“Kesimpulannya jadi pebisnis itu musti hati-hati ngelola keuangannya. Godaannya juga berat kalau udah untung besar.”, ujar Bagas menanggapi cerita Danu.
“Makanya kalau emang udah diniatin jadi pebisnis, semua itu harus bisa disiasati dan diatasi dengan baik. Cuma sayangnya aja, mama selama ini selalu aja nggak percaya sama kita dan nganggapnya kita kayak anak kecil yang nggak bisa ngatasin masalah.”, pungkas Danu sambil membereskan cangkir kopinya.
“Udahlah, intinya sekarang ngga usah kelihatan aneh-aneh dulu. Sekarang mama stress lagi gara-gara denger kabar kalau si Mbah kena covid!”, ujar Bagas sambil merapikan kursi yang didudukinya.
***
#70
Suasana kota Kebumen di malam itu tidak seperti biasanya jika sudah memasuki hari-hari terakhir bulan Ramadhan. Jalanan begitu sepi dari keriuhan bocah-bocah yang bermain sehabis shalat tarawih di masjid-masjid. Tidak terlihat pula kesibukan para jamaah yang yang bersiap untuk melakukan itikaf di Masjid Agung Kauman. Suasana di alun-alun yang biasanya begitu semarak menjelang lebaran, kali ini berubah menjadi senyap bagaikan kota mati. Kalau tahun-tahun sebelumnya suasana di kota kecil itu begitu ramai dengan para perantau yang baru saja kembali dari tempat perantauannya, kali ini tentunya tidak. Keadaan ini tidak lain tidak bukan akibat dari dikeluarkannya larangan mudik lebaran tahun 2020.
Minggu malam itu, genap sudah lima hari Mbah Misran menjalani perawatan di rumah sakit karena penyakit yang dideritanya. Sementara itu, Lik Suyat duduk-duduk di teras depan rumahnya sambil mengecek pembukuan usahanya dengan ditemani segelas kopi hitam. Tak lama kemudian, Lik Jum keluar dari dalam rumahnya dan duduk di kursi teras yang kosong di samping Lik Suyat.
“Pak, kabarnya Bapak sore tadi bagaimana?”, tanya Lik Jum.
“Alhamdulillah, tadi sore dokter bilang keadaan Bapak sudah mulai membaik. Seharian ini Bapak udah nggak sesak nafas lagi biarpun masih batuk-batuk.”, ujar Lik Suyat.
“Syukurlah kalau begitu.”, kata Lik Jum.
“Dokter juga sempat ngobrol-ngobrol sama Bapak tadi sore, dia bilang kalau Bapak ingin segera pulang, katanya udah kangen sama cucu-cucunya. Bapak juga sempat cerita soal cucu-cucunya ke dokter, terutama yang jauh-jauh kayak Sugeng, Wawan, Danu, dan Bagas.”, jelas Lik Suyat.
Lik Jum menghela nafasnya sejenak, ia baru teringat kalau tahun ini tidak mungkin untuk bertemu dengan dua putranya yang sedang berada di perantauan dan juga dua keponakannya yang tinggal di Depok.
“Duh Gusti, aku uwis kangen karo bocah-bocah kae, ndilalah tahun iki ora bisa padha meng Kebumen. Eeeh, kok ndilalah jebule malah Bapak mlebu meng rumah sakit.”, ujar Lik Jum dengan tatapan yang begitu murung ke arah halaman depan rumahnya.
“Yo padha Mak, apa maning tahun iki dewek uwis duwe mantu maning. Rencanane arep ketekanan mantu anyar jebule ora bisa.”, ujar Lik Suyat sambil menutup buku kas di genggaman tangannya.
“Mbak Darsini karo Mas Pongki ana kabar?”, tanya Lik Jum lagi.
“Urung ana kabar maning sih. Sak ngertiku Mas Pongki siki uwis pensiun, nembe bae kawit awal tahun wingi. Arep bisnis ternak sapi nang Bandung, ndilalah ora bisa gara-gara ana corona.”, jelas Lik Suyat.
“Oalah, jebule Mas Pongki siki uwis pensiun tho. Deneng jabatan terakhire dadi direktur kan?”, ujar Lik Jum.
“Iya Mak.”, jawab Lik Suyat.
Lik Suyat meneguk kopinya dan ia ke dalam rumah sejenak untuk meletakkan buku kasnya. Kemudian ia kembali lagi ke teras depan untuk melanjutkan obrolan dengan istrinya itu.
“Andai saja nggak ada wabah, mungkin malam ini kita lagi di Kolopaking bareng anak sama keponakan kita. Biasanya kalau udah menjelang lebaran begini mereka suka main ke pasar malam yang ada di alun-alun, kalau nggak ya plesir-plesir ke Petanahan.”, ujar Lik Suyat sambil duduk menatap ke arah langit.
“Aku masih inget, yang namanya Danu, Bagas, Sugeng, sama Wawan setiap kali ke Kebumen suka banget bantu-bantu kita di pasar sama di tempatnya Bapak. Mereka semangat banget pokoknya kalau disuruh ini-itu bantuin karyawan kita di sana.”, kenang Lik Jum sambil menyunggingkan senyumnya.
“Bocah-bocah itu ibaratnya selalu bawa aura positif! Kalau musim lebaran begini biasanya penjualan di tempatnya Bapak cenderung meningkat, karyawan kita sendiri kadang suka kewalahan handle order dari pelanggan kita yang kebanyakan rumah makan dan pedagang eceran di pasar. Tambah repot lagi kalau ada karyawan yang minta izin pulang ke desanya menjelang lebaran. Kalau ada mereka yang ikut bantuin, orderan jadi makin lancar jaya, pelanggan kita jadi makin puas!”, ujar Lik Suyat.
“Anak-anak itu sama sekali nggak gengsian biarpun sekolah mereka udah tinggi-tinggi, apalagi Danu yang udah S-2, tahun kemarin masih tetap ikut bantuin jualan di pasar.”, timpal Lik Jum.
“Lha kuwe sing tak senengi sekang bocah-bocahe dewek. Punya mimpi yang sangat tinggi, tapi juga nggak lupa dengan kaki mereka yang masih menapak di bumi.”, ujar Lik Suyat sambil menenggak kopinya sekali lagi.
“Aku yo kangen jaman gemiyen pas cilikane bocah-bocah, anggere badhan padha kumpul srawung karo bocah-bocah tanggane dewek nang umahe Bapak. Padha madang geden nang gudang mburi, mari ngono pada plesir-plesir meng Pentulu.”, kenang Lik Jum.
“Gemiyen Bapake dewek sing ngumpulna bocah-bocah kuwe ben padha srawung tur dolan bareng. Pokoke ana bocah tanggane dewek karo putu-putune kancane Bapak sing ana nang kutho kiye. Nah, terus dewek karo si Parmin sing ditunjuk dadi pembinane. Pas bocah-bocah kuwe uwis dadi ABG, langsung nggawe komunitas sing dijenengi Peterkeman Crew, si Sugeng sing ditunjuk dadi ketuane. Mung sayange, mari ngono komunitase bubar, soale bocah-bocahe akeh sing ngode merantau terus siji-siji padha mbojo.”, ujar Lik Suyat.
“Lha iya lah, uwis padha duwe tanggungan kabeh. Tapi seenggaknya biarpun sudah pada kemana-mana, anak-anak itu masih bisa reunian di Kebumen tiap kali lebaran.”, kata Lik Jum sambil tersenyum.
“Lek jarene si Sugeng siki uwis angel ngelumpukna bocah-bocahe maning. Ana sing merantau meng luar negeri, ana sing sing sibuk karo keluargane bojone, ana maning sing nomer HP ne ora duwe.”, ujar Lik Suyat.
“Memang, dari orang sebanyak itu kepentingannya pasti udah beda-beda. Tapi aku masih mbayangin andai saja mereka kumpul-kumpul lagi sebanyak yang dulu. Pasti tambah rame lah, apalagi kalau keluarga masing-masing ikut dibawa.”, kata Lik Jum.
“Udahlah, Mamake ndak usah berandai-andai dulu. Sekarang kita harus mikirin Bapak dulu sambil jalanin usaha kita sama usahanya Bapak dulu.”, ujar Lik Suyat.
Lik Jum masuk ke dalam rumah sambil membawa cangkir kopi yang sudah kosong untuk dicuci di dapur. Dua puluh menit kemudian, Lik Jum kembali ke teras depan dan mendapati suaminya masih merenungi keadaan yang sudah memupuskan harapannya di hari raya tahun ini. Bagi Lik Suyat, lebaran tahun ini adalah lebaran yang paling nelangsa dalam sejarah hidupnya.
“Pak, denger-denger lebaran nanti kita nggak bisa sholat ied di alun-alun ya? Ini Mamake dapat info dari grup WA pedagang pasar.”, ujar Lik Jum.
“Bener Mamake, kita nanti sholat ied sekeluarga aja di Kolopaking. Mudah-mudahan kondisi Bapak bisa cepat membaik dan bisa pulang sebelum lebaran.”, jawab Lik Suyat.
“Kenapa ya Pak, Mas Pongki hampir tiap bulan selalu transfer buat Bapak sama Ibu? Padahal kan buat biaya hidupnya mereka hasil dari tokonya Bapak kan udah cukup, lebih malahan.”, ujar Lik Jum sambil duduk kembali di kursinya.
“Biarin aja tho Mamake, namanya aja orang udah sukses di ibukota apalagi punya jabatan mentereng, ya bangga lah kalau bisa rutin transfer tiap bulan ke orang tuanya! Apalagi Mas Pongki ini kan udah nggak punya orang tua lagi, ya satu-satunya orang tua buat dia cuma mertuanya aja.”, ujar Lik Suyat.
“Ya ngga ada salahnya sih seperti itu. Cuma menurutku, karena dia udah pensiun, seyogianya dia lebih perhatikan hari tuanya sendiri. Dia kan swasta, jadinya nggak rutin dapet pensiunan. Belum lagi tadi bilangnya kan dia mau ternak sapi tahun ini tapi gagal. Menurutku, duit yang biasa ditransfer rutin ke Bapak sama Ibu lebih baik dialokasikan buat modal usahanya dia biar ke depannya bisa punya penghasilan. Lumayan kan, ntar usahanya bisa diurus sama anak-anaknya, terus dia sama Mbak Darsini tinggal dapet hasilnya kayak Bapak sama Ibu.”, ujar Lik Jum.
“Udahlah Mak, duit-duitnya dia sendiri ini. Dari dulu dia udah aku bilangin buat mulai usaha buat dapetin penghasilan tambahan. Tapi dianya ogah-ogahan mau mulai usaha, bilangnya ntar aja lah mulainya kalau udah pensiun. Keenakan dia sama gajinya yang gede!”, kata Lik Suyat.
“Maklum, rumangsa uwis dadi wong kutho gede sing kabeh-kabehe serba aman lan terjamin.”, timpal Lik Jum.
“Siki bingung kan arep mulai bisnis kondisine dadi kaya ngene? Jajal, lek dimimiti kawit gemiyen, siki pasti uwis ana hasilne sing lumayan!”, kata Lik Suyat yang mengomentari kakak iparnya itu.
“Mbak Darsini yo padha bae, angger anak-anake duwe cita-cita dadi pebisnis mesti diremehke! Aku kelingan gemiyen jaman Sugeng karo Wawan isih merantau nang Jawa Barat, deneng tau cerito lek Danu iku sering curhat seputar masalah karo rama lan biyunge.”, ujar Lik Jum.
“Kalau menurutku, pola pikirnya dia sudah banyak berubah sejak kuliah di Jogja dulu yang dibiayain sama Lik Darmo. Maklum lah, selama kuliah gaulnya sama anak-anak kota besar. Belum lagi pas dia merantau ke barat ngikut Mas Pongki.”, ujar Lik Suyat.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Petugas hansip sudah mulai memukuli tiang listrik yang menandakan dimulainya ronda dan jam malam. Lik Suyat dan Lik Jum masuk ke dalam rumah untuk beristirahat malam itu.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
