
Sinopsis:
Riana heran dan kesal! Ayahnya mempekerjakan seorang supir sekaligus pengawal pribadi untuknya. Namanya, Ren. Selain misterius, Ren juga cenderung aneh karena memiliki topeng badut di kamar tidurnya. Siapa sebenarnya pemuda yang selalu tersenyum hangat ini?
DI BALIK TOPENG REN, adalah cerita pendek orisinil karya Indira Isvandiary (instagram @indiraisva). Diikutsertakan dalam kompetisi cerpen bertajuk #RumahdalamDiri yang diselenggarakan oleh Karya Karsa dan Rakata.
Jumlah: 4.992 kata | Cover by Canva free.
“Ren, cintanya Mama.”
Ren tersenyum. “Mama juga cintanya Ren.”
Wanita berambut hitam panjang itu lalu berjinjit. Kemudian, mengusap-usap lembut puncak kepala sang putra semata wayang.
“Hehe, sekarang kamu tinggi sekali ya, Nak. Padahal, dulu mungil banget. Bandel, lagi! Mama sama Papa sampai kewalahan menghadapi kamu.”
Senyuman Ren kali ini sedikit menampakkan gigi, seakan dia ingin tertawa, tetapi sengaja ditahan. Meski begitu, dia senang mendengar kebawelan sang ibu. Lelaki itu lalu menangkap tangan ibunya, lantas menggenggamnya erat.
“Kamu ingat tidak, Ren?” Dulu waktu umur 5 tahun, kamu pernah hilang di Pasar Malam.”
Ren mengangguk sekali. “Ya, tapi Ren tidak menangis. Mama yang nangis.”
Ibunya tertawa lagi. Senyumannya selalu menghangatkan hati Ren.
Tk ... tk ... tk ....
Terdengar detak jarum jam dinding di antara perbincangan Ren dan ibunya, membuat pandangan Ren beralih dari wajah cantik sang ibu ke jam tersebut.
Sekarang, pukul 13.30 siang.
Mata Ren berpindah lagi. Kini, ke sebuah topeng badut tersenyum, yang tergeletak di atas meja kecil berwarna cokelat.
Ren terdiam memandangi topeng itu.
***
SMA Karsa.
“Ck, elah!” Riana berdecak kesal. Matanya tertuju pada seseorang yang telah menunggunya di kejauhan. “Dibilang nggak usah jemput!”
Gadis berseragam putih abu-abu dengan rambut panjang berponi yang dikuncir kuda itu berdiri di ujung lorong kelas seraya melihat ke arah halaman depan sekolah yang juga diberdayakan untuk lahan parkir kendaraan milik guru dan tamu.
Bella, sang sahabat, yang berada tepat di sebelahnya berkata sambil terbahak, “Hahaha, kasihan banget sih lo, Ri.”
“Diem, Be.”
Riana memperhatikan Ren dengan tatapan penuh kejengkelan. Lelaki itu terlihat sedang melipat kedua tangan di dada sambil bersandar pintu mobil sedan hitam milik keluarga Riana. Wajah Ren juga konsisten menunduk, seolah enggan melihat keramaian siswa dan siswi yang silih berganti melangkah keluar gerbang sekolah. Seolah telah menjadi ciri khas, Riana selalu mendapati Ren dengan posisi dan gestur seperti itu.
Bella masih cekikian. “Udahlah, Ri. Kayak baru pertama kali aja. Lo sendiri kan yang bilang, kalo cowok ganteng itu emang nggak bisa diajak kerja sama.”
“Bisa nggak, nggak usah sebut dia ‘cowok ganteng’? Aneh lo, Be!”
“Lho, emang Kak Ren ganteng, kok! Auranya tuh kayak senior-senior kece di kampus bonafide. Yang aneh tuh justru keluarga lo. Bisa-bisanya jadiin dia supir pribadi. Bingung gue,” cerocos Bella.
Riana belum bicara lagi. Sebab, dia sendiri pun tidak mengerti isi kepala ayahnya.
Bella melihat ke arah Ren lagi. “Ya udah, lo pulang, gih. Daripada Bokap lo kalang kabut lagi gegara anak kesayangannya telat balik.” Gadis berambut pendek itu menepuk pundak Riana seraya tersenyum miris. “Gue cabut duluan ya. Mau siapin camilan buat anak-anak. Gue masih setia lho, nungguin lo bisa main ke rumah gue lagi kayak dulu pas kita masih kelas sepuluh. Bye, Ri~!”
Riana tidak merespons, dia masih tertuju pada Ren. Sedangkan Bella sudah beranjak pergi ke arah lain, menuju parkiran motor siswa.
Sebenarnya, pagi tadi Riana sudah mencoba membujuk Ren agar tidak menjemputnya karena ingin berkunjung ke rumah Bella. Riana juga bilang pada Ren, supaya memberikan dalih pada ayahnya bahwa dia ada kelas tambahan. Sayangnya, sekeras apa pun dia berusaha untuk bernegosiasi dengan lelaki itu, ujung-ujungnya pasti selalu gagal total.
Di sisi lain, Ren akhirnya menyadari keberadaan Riana saat dia kebetulan mengangkat kepalanya. Mereka pun saling memandang dari jarak yang lumayan jauh. Ren lalu melambaikan satu tangan sembari tersenyum.
Riana bergumam. Matanya menyipit sinis. “Kok bisa ya, gue kesel ngelihat orang senyum?”
Reno—atau Riana dan sang ayah biasa memanggilnya Ren. Selama hampir dua tahun terakhir ini, bekerja paruh waktu sebagai supir pribadi sekaligus ‘pengawal’ Riana. Riana dan Ren terpaut usia 5 tahun. Saat ini, Riana sedang sibuk mempersiapkan Ujian Nasional tingkat SMA. Sedangkan yang Riana tahu, Ren juga sedang berkutat dengan skripsinya. Mereka bisa dikatakan jarang berinteraksi apalagi untuk urusan pribadi. Riana tidak peduli, Ren juga profesional.
“Gue udah nanya, berkali-kali. Siapa sih, si Ren ini? Tapi Ayah selalu aja nggak mau jawab. Kesel lama-lama,” gumam Riana dongkol. Ren sudah tidak melambaikan tangan, tetapi terus membalas tatapan Riana. Senyuman lelaki ber-sweater hitam itu, juga belum pudar.
“Nggak pegel apa, senyum mulu?” tambah Riana. Dia menghela napas kasar. Kemudian, beranjak menyusul Ren.
Setibanya Riana di hadapan Ren.
“Kamu terlambat 10 menit, Riana. Seharusnya, jadwal sekolahmu hari ini berakhir tepat pukul 2. Sementara saya harus memberi laporan ke Pak Adrian pada jam 2 lebih 30 menit setiba kita di rumah nanti. Kalau seperti ini, saya harus bilang apa ke ayah kamu, Riana?” ujar Ren dengan tutur kata yang lembut dan ekspresi wajah damai.
Padahal, kalimat barusan lebih cocok dilontarkan dengan nada tinggi dan penuh emosi. Belum lagi, bahasa baku yang digunakannya itu. Selalu bikin Riana geleng-geleng kepala. Ren benar-benar cowok aneh, pikir Riana bahkan sejak pertama kali mereka bertemu.
Riana mendengus. “Cuman telat dikit doang. Jangan jujur-jujur banget, kenapa? Bilang aja ke Ayah kalo jalanan macet. Atau, kan tadi pagi aku udah pesen, hari ini nggak usah jemput karena aku mau main ke rumah Bella dulu. Aku juga udah kasih kamu cokelat, kan? Kurang? Atau kamu mau aku beliin yang lain?"
Benar, Riana mencoba menyuap Ren—lagi.
“Tidak bisa, Riana.” Ren tersenyum. “Cokelat yang kamu kasih, masih ada di kursi belakang. Belum saya sentuh, kok.”
“Sial,” batin Riana. “Ya udah, ayo! Kalo kamu ngomong terus, kita bisa makin telat sampe rumah!”
“Ah, iya. Kamu benar, Riana.” Ren bangkit dari posisi bersandarnya di pintu kursi samping kemudi, lalu segera membukakan pintu kursi belakang untuk Riana. “Silakan.”
Riana melangkah ke dalam mobil dengan wajah tertekuk.
Selama di perjalanan, mereka tidak saling bicara satu sama lain. Riana lebih banyak melihat ke luar jendela. Hanya sesekali, dia melirik Ren yang fokus mengemudi. Pandangannya juga tak luput dari cokelat batang yang tergeletak di sebelahnya, seakan makanan manis itu adalah penumpang lain di mobil ini.
***
Malamnya, Riana sedang belajar matematika untuk persiapan try out. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Dia melihat nama yang tertera di layar itu. Kemudian, menjawabnya dengan santai.
“Ya, Ayah?”
“Halo, Riana.”
“Hm, kenapa, Yah?” Riana mengaktifkan load speaker. Dia melanjutkan menghitung jawaban dari sebuah soal matriks.
“Udah makan malem?”
“Udah,” jawab Riana. “Ren yang siapin. Dia masak lagi, padahal udah Riana larang.”
“Oh ....” Hening sejenak. “Hmm, Ri. Ayah hari ini lembur lagi ya. Banyak kerjaan. Nggak apa-apa, kan?”
“Ya, nggak apa-apa. Kan, Ayah udah biasa lembur dan pergi ke luar kota. Nggak usah terlalu khawatir. Riana bisa jaga diri, kok.”
Di seberang telepon, Adrian yang duduk bersandar di kursi kerjanya diam-diam menghela napas. Dia sadar betul, bahwa sejak istrinya meninggal dunia sekitar 2 tahun lalu, dirinya berubah menjadi sosok ayah yang over protective pada anaknya. Kadang, dia merasa kasihan pada Riana. Selain terkesan mengekang, dia juga telah melibatkan anak gadisnya itu ke dalam … dosa masa lalunya.
Tadi sore, Adrian menerima laporan dari Ren. Baik itu soal keterlambatan mereka tiba di rumah, sampai dengan upaya Riana membujuk Ren agar gadis itu bisa pergi bersama teman-temannya.
“Maafin Ayah, Riana,” batin pria itu.
“Yah?” Suara Riana membuyarkan lamunan ayahnya. “Udah? Riana lagi belajar, nih.”
“Ri,” kata Adrian terdengar serius.
Suara itu membuat tangan Riana yang sedang menulis terhenti.
Adrian melanjutkan, “Nurut sama Ren, ya.”
Tatapan Riana meredup. Ayahnya, mungkin sudah seribu kali melontarkan kalimat itu.
Ren, selalu saja Ren.
“Yah, Ayah bener-bener nggak mau jawab pertanyaan Riana?” tanya Riana.
Adrian mengerti arah pembicaraan anak semata wayangnya itu.
“Riana sampe bosen, Yah. Kenapa sih, Ayah bisa percaya banget sama Ren dibanding Riana? Dia tuh, cuman kerja aja kan di sini? Atau siapa, hah?” Riana sungguh tidak mengerti. Dia sadar nada bicaranya berubah tinggi. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah, Riana marah pada ayahnya. “Ayah sadar nggak, kalau Ayah jadi berubah sejak kedatangan orang itu?”
Meski tanpa rencana dan pertimbangan, Riana memutuskan untuk mengeluarkan unek-uneknya malam ini juga selagi ada kesempatan. Gadis itu terus mencecar.
“Ayah udah nggak pernah lagi bolehin Riana kumpul sama temen-temen. Bahkan, buat kerja kelompok aja, Ren harus ikut ngawasin. Riana malu, tahu! Riana muak ngelihat muka dia setiap hari!”
“Riana—”
“Ayah selalu mencemaskan Riana, tapi nggak pernah cemas ninggalin Riana berdua doang sama Ren di rumah ini. Kepercayaan Ayah ke dia udah nggak wajar. Gimana kalo dia macem-macem sama Riana? Hm?!” lanjut Riana berapi-api.
Kesabarannya akhirnya habis juga. Gadis itu bangkit dari kursi belajarnya. Tangannya yang lain menyisir poni rambutnya ke belakang tetapi helai-helai itu balik lagi menutupi keningnya.
“Ri, kamu tahu sendiri Ayah jarang di rumah. Ren ada ya ... untuk jagain kamu. Kamu juga tolonglah, jangan keras-keras sama Ren. Dia selalu baik sama kamu, kan?”
“Hah?” Riana tidak habis pikir. “Sumpah, sikap Ayah berlebihan banget ke Ren! Ah, Riana tahu! Jangan-jangan, aku sama Ren punya hubungan darah? Kita sebenernya kakak-adik, gitu? Kayak di film-film?” ujar Riana tanpa pikir panjang. Gadis itu keseringan nonton serial drama Korea.
“Riana!” bentak Adrian di telepon. “Omongan kamu mulai ngaco! Ren bukan—”
“Satu lagi, Yah.” Riana kembali memotong. “Riana nggak butuh Ren! Riana bisa berangkat sekolah bareng Bella kayak dulu. Makan tinggal beli. Riana juga bisa kok, beres-beres rumah. Lagian, kalo emang harus ada seseorang yang jaga Riana, kenapa Ayah nggak pekerjakan asisten rumah tangga aja?”
“Ri, Ayah udah pusing sama kerjaan. Ditambah denger omelan kamu! Bisa tenang dulu sebentar?!”
“Nggak usah. Percuma juga kalo Ayah cuman bisa berkelit!”
“Ri—”
Riana langsung mengakhiri panggilan mereka secara sepihak. Bahkan, dengan cepat menonaktifkan ponselnya.
“Bikin kesel aja!” Riana melempar benda itu melayang ke tempat tidur. Matanya melihat ke meja belajarnya yang dipenuhi tumpukan kertas hitungan, serpihan kotoran penghapus, dan buku materi matematika yang terbuka. Dia sudah tidak mood belajar.
Riana menoleh ke jam dinding kamar. Waktu telah menunjukkan hampir pukul 9 malam. Pandangannya berpindah ke pintu kamarnya yang tertutup. Bertepatan dengan ....
Tok tok tok ….
Riana sedikit terperanjat kaget.
“Riana ....”
“Ren?” Riana lalu melangkah menghampiri pintu dan membukanya. Dilihatnya sosok Ren dengan ekspresi khasnya yang selalu hangat itu. “Ren, ada apa?”
Ren memperlihatkan ponselnya pada Riana. “Barusan Pak Adrian telepon. Kenapa handphone-mu tidak aktif? Aku diminta untuk memastikannya. Ayahmu menunggu.”
“Bilang aja aku udah tidur.”
Ren hanya bergeming. Mata teduhnya tetap menatap Riana. Itu membuat Riana bertanya-tanya.
“Kenapa?”
“Tidak, Riana.”
Riana terdiam sejenak, tak terpengaruh dengan tatapan mendalam netra Ren yang diakuinya memang mempesona. Kalau Bella, mungkin sudah pingsan dibuatnya. Sahabatnya itu terang-terangan menyukai lelaki ini, meski hanya sekadar gurauan.
“Riana.”
Riana hanya menyahut dengan matanya.
“Hmm, tadi saya menguping pembicaraan kamu dengan Pak Adrian saat saya ingin menanyakan kamu soal apakah kamu ingin minum susu rasa cokelat atau vanilla malam ini.”
Riana terbelalak lagi. Bisa-bisanya ada orang sejujur ini.
“Oh, soal susu. Hmm ... aku kan udah bilang kalo kamu nggak perlu sampai bikinin segala. Kamu siapin makan malam untuk aku aja, itu udah lebih dari cukup. Ayah juga nggak nyuruh, kan?”
“Kamu tidak nyaman dengan keberadaan saya ya, Riana?” tanya Ren mengabaikan ucapan Riana. Dia maju selangkah, sehingga kini lebih dekat dengan Riana. “Kamu tidak butuh saya, ya?”
Riana sebenarnya tidak panik, tetapi tubuhnya mendadak kaku. Diam-diam, gadis itu menelan ludah. Apa Ren tersinggung dengan ucapannya? Jangan-jangan, saat ini Ren ingin berbuat macam-macam padanya. Tindak asusila? Percobaan pembunuhan?
Pikiran Riana mulai aneh-aneh.
“Ayah, bener-bener!” rutuk Riana dalam hati. Orang gila mana yang membiarkan dua orang asing yang tak memiliki ikatan tinggal bersama dalam satu atap? Ayahnya doang!
Seketika, Riana lupa dengan dugaan dramatisnya bahwa mereka berdua adalah sepasang kakak beradik.
Tangan Ren bergerak pelan, sambil matanya melihat rambut panjang Riana yang kali ini tergerai tanpa kunciran ataupun aksesoris, seperti dia ingin menyentuhnya. Di sisi lain, jantung Riana berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Situasi ini menurutnya sudah tidak bisa dibiarkan.
“Iya, aku nggak nyaman,” ujar Riana buru-buru sambil melangkah mundur. “Aku juga nggak butuh kamu.”
Di saat yang sama, tangan Ren terhenti dan akhirnya kembali turun.
“Begitu ya.” Ren tersenyum tipis mendengar kejujuran Riana. “Tapi sayang sekali, Riana. Saya akan tetap bekerja di sini. Tidak peduli, kamu suka atau tidak.”
“Apa?” Ketakutan Riana seketika lenyap usai mendengar penegasan Ren.
Jadi, ternyata bukan hanya ayahnya saja yang selama ini bersikukuh. Lelaki di hadapannya ini juga menginginkan eksistensi dirinya sendiri di rumah ini.
“Cokelat, atau vanilla?” tanya Ren kembali membahas susu.
“Ren, siapa kamu sebenernya?” Akhirnya, Riana menanyakan ini secara langsung pada Ren, setelah sebelumnya selalu ke Adrian. Tatapan Riana menyelidik. “Tolong, jawab jujur.”
Ren hanya bergeming. Matanya menyusul tersenyum seperti bibirnya. “Saya akan anggap itu jawaban tidak untuk kedua rasa tadi. Selamat malam, Riana.”
Ren berbalik dan berjalan santai meninggalkan Riana yang masih memperhatikan lelaki itu dari muka pintu kamarnya. Hingga sosok Ren hilang kala menuruni tangga menuju lantai bawah.
***
“Dia tidak menyukaiku, aku bahkan tidak berharap dia menyukaiku,” kata Ren pada ibunya. “Tapi, kenapa aku merasa terganggu?”
Ibu Ren tersenyum. “Bagaimana denganmu, Ren?”
“Aku?”
Ibunya mengangguk. “Iya.”
Ren berdeham. “Ren rasa tidak, Ma. Daripada suka, bukankah seharusnya Ren membenci Riana dan keluarganya?”
Ibunya tersenyum, menggeleng pelan.
Tiba-tiba, seseorang dengan topeng badut, muncul di tengah perbincangan Ren dan ibunya. Dia diam-diam berdiri di belakang mereka berdua.
“DORRR! HAHAHA~”
“Astaga!” Ibu Ren terkejut seraya menoleh. “Papa!”
Ren juga menengok ke belakang. “Pa, tidak lucu sama sekali.”
Ayah Ren melepas topeng badut itu dari wajahnya. “Benarkah?” Dia melihat wajah Ren yang terlalu serius menanggapi candaannya. Pria itu pun memakaikan topeng badut tersebut ke wajah Ren, sehingga ekspresi datar putranya tertutupi oleh senyuman si badut.
“Ah, begini terlihat lebih baik.”
***
Riana sudah bangun sejak Subuh. Dia tidak bisa tidur lagi, padahal biasanya suka curi-curi waktu karena masih mengantuk. Seraya berbaring di ranjangnya, gadis itu kembali menyalakan ponsel. Ada banyak pesan masuk dan panggilan tak terjawab dari ayahnya.
Di salah satu pesannya, Adrian meminta maaf karena akhirnya tidak pulang. Ayah Riana tersebut kembali bermalam di unit apartemen yang sengaja disewanya di sebelah kantor. Riana, menghela napas kecil. Hari ini dia akan sarapan sendirian lagi seperti dua hari lalu.
Riana membalas pesan Adrian. Sekalian, meminta maaf pada ayahnya itu tentang obrolan mereka semalam.
“Semangat, Yah,” gumam Riana meletakkan kembali ponselnya dengan asal di tempat tidur. Dia lalu memandang langit-langit kamar. Kepalanya agak pusing. Semalam, dia insomnia karena memikirkan Ren. “Aku ini … sudah berlebihan ya?”
NIT!
Ada pesan masuk. Riana mengambil ponselnya lagi. Ternyata balasan dari Adrian. Riana membuka, lalu membacanya.
“Eh?” Riana dengan cepat bangkit ke posisi duduk.
Di dalam pesan itu, Adrian meminta Riana memesan taksi resmi untuk berangkat sekolah. Sebab, Ren izin cuti selama beberapa hari ke depan. Sayangnya, lelaki itu tidak memberikan alasan yang pasti.
Riana terdiam. Terlepas karena obrolan sengit semalam, bukankah seharusnya Ren juga berpamitan padanya alih-alih hanya pada Adrian?
“Dia pergi jam berapa?” gumamnya.
Entah apa yang salah, tiba-tiba saja seperti ada kekosongan yang dengan cepat menyelubungi hati Riana. Matanya tak berkedip, merasakan keheningan memekati seisi ruang kamarnya yang dingin.
“Seharusnya aku seneng kan, karena dia nggak ada?”
Setelah puas melamun dan mencerna apa yang baru saja terjadi, Riana akhirnya turun dari ranjangnya. Dia mematikan AC, lalu melangkah keluar kamar. Kakinya melangkah turun menuju lantai dasar. Dia terhenti di saat hanya tersisa 5 anak tangga lagi. Matanya tertuju ke arah meja makan yang kosong. Biasanya, nasi goreng buatan Ren sudah tersaji di situ bersama segelas susu vanilla.
Riana termangu. Matanya meredup.
Riana melanjutkan langkahnya menuju ruang tamu. Tangannya menyibak tirai jendela, melihat apa-apa yang ada di luar rumah. Mobil sedan hitam yang biasa Ren gunakan untuk mengantar-jemput Riana ke sekolah, terparkir di halaman. Seorang pria lalu melintas dengan sepeda motornya. Itu adalah tetangga Riana yang hendak berangkat kerja. Sekaligus menjadi sinyal informasi bagi Riana bahwa sekarang sudah pukul 6.
Riana memegang sebelah kepalanya yang sejak dia bangun tadi terasa pusing. Dia benar-benar kurang tidur.
“Bolos ajalah.”
***
Satu hari berlalu tanpa Adrian dan Ren di rumah, Riana merasa dirinya terbebas dari segala bentuk aturan. Dia bahkan meminta Bella dan teman-temannya yang lain untuk mampir. Mereka pesan makanan secara online, menonton film, dan juga bersenda gurau sambil mengobrol. Sesuatu yang sudah lama tidak Riana lakukan.
Ren, tentu saja menjadi salah satu topik obrolan mereka. Sebab, mengundang Bella dan yang lainnya main ke rumah secara tiba-tiba, seperti salah satu tanda-tanda akhir zaman bagi teman-teman dekat Riana.
“Lo parah sih, Ri.” Bella mengompori setelah mendengar semuanya. “Gue tau lo kesel sama Kak Ren, tapi lo nggak boleh kayak gitu. Jahat, tau!”
Riana menghela napas lesu. “Iya, gue ngaku salah. Gue nyesel, kok.”
Tantri tiba-tiba menimpal. “Gue mau tanya sesuatu, deh.” Tangannya mencomot sepotong pizza.
“Apa, Tan?”
“Lo pernah nggak, Ri, sedikit aja anggep Kak Ren keluarga? Soalnya, di rumah gue juga ada Mbak. Ibu gue ke dia kayak keluarga banget. Kita semua jadi kebawa, karena Mbak ini orangnya emang baik,” papar Tantri sambil mengunyah.
“Keluarga ya …?” ucap Riana terdengar menggantung. Tidak seperti pertanyaan maupun pernyataan. Matanya lagi-lagi menyayu.
***
Pukul 10 malam.
Riana berdiri tepat di depan pintu kamar Ren yang tertutup. Tidak seperti pekerja pada umumnya, Ren diminta Adrian untuk langsung menempati kamar tamu di hari kedatangannya. Meski awalnya Riana kaget, lama-lama dia terbiasa juga. Lagi dan lagi, dia tidak bisa memahami jalan pikiran ayahnya itu.
“Dikunci nggak ya?”
Riana berniat masuk ke kamar Ren. Memang terkesan lancang, tetapi ucapan Tantri sore tadi begitu membekas di kepalanya. Selama ‘mengenal’ Ren, disadarinya dia tidak pernah benar-benar mengenal lelaki itu. Ayahnya juga tidak bisa diajak kompromi.
Riana menarik turun gagang pintu, lalu mendorongnya.
Cltek!
Mata gadis itu membulat. “Bi-Bisa.” Dia menelan ludah. “Sorry, Ren.”
Riana pun melangkah masuk. Pandangannya mengedar. Kamar Ren terlihat rapi dan bersih. Terkesan seperti ruangan khusus tamu itu tidak pernah ditempati sedari awal.
Riana mengecek seisi kamar tersebut. Gadis itu membuka lemari pakaian. Terlihat beberapa baju Ren tersusun dan tergantung rapi di sana. Dia berlanjut membuka laci kecil di dalamnya, kosong. Di bagian bawah, ada sebuah koper hitam berukuran sedang. Saat digeledah, sama, tidak ada apa-apa.
“Ck, seenggaknya ada Akta Kelahiran atau Kartu Keluarga, gitu! Masa iya, dibawa-bawa pergi kayak KTP?”
Riana tidak menemukan dokumen apa pun yang bisa menjelaskan asal-usul Ren. Dia menghela napas kasar seraya menutup pintu lemari, lalu menjatuhkan dirinya duduk di tepi ranjang Ren. Perhatiannya dengan cepat teralihkan pada sesuatu ketika menoleh ke bufet samping tempat tidur.
“Eh? Apaan, tuh?” Kening Riana mengerut, lalu mengangkat benda tersebut. “Topeng badut?” katanya seraya menatap ekspresi badut itu lekat-lekat. Tersenyum, tetapi seram jika dipandang terlalu lama.
Topeng itu terbuat dari bahan plastik. Didominasi warna khas badut seperti putih, merah, hitam, dan biru tua. Ada tali karet tipis yang terikat disekitarnya, agar bisa menempel di wajah orang yang memakainya. Setelah diperhatikan lebih dalam, Riana menyadari topeng badut tersebut seperti barang lama. Pewarnaannya sudah pudar. Bahkan ada beberapa bagian dari sisi topeng yang sudah mengelupas.
“Serius, ini punya Ren?”
Riana membaringkan tubuhnya asal. Kedua kakinya tetap menjuntai ke lantai. Ren betul-betul misterius, pikirnya. Lelaki itu sangat tertutup dan penuh dengan rahasia. Tangan Riana mengangkat topeng itu ke udara, memandanginya lagi sejenak.
“Cuman cuti kan, Ren? Kamu bakalan balik lagi ke rumah ini?” Riana bermonolog.
Sayup-sayup, matanya terasa mengantuk.
***
Kelabu.
Segalanya terlihat abu-abu.
Seorang wanita tampak begitu murka. Seraya menangis, dia memukuli dada Adrian dengan kekuatannya yang tidak seberapa.
“Riana masih kecil, Yah!” katanya. “Dan kamu terancam dipenjara gara-gara kebodohan kamu itu!”
“Maaf, Bu. Ayah … Ayah bener-bener nggak sengaja! Aku—”
“Iya, kamu minum lagi kan sepulang kerja?! Mau sampe kapan kamu kayak gini, Yah?!”
Ibu Riana terduduk di sofa. Tangannya memegang dada. Dia ada penyakit jantung, dan memiliki suami seperti Adrian adalah cobaan berat untuk kesehatan jiwa dan raganya.
Kala itu, Riana masih berusia 2 tahun. Gadis kecil itu sedang tidur nyenyak di kamarnya ketika kedua orang tuanya bertengkar hebat.
“Bu, tenanglah. Kamu bisa kumat nanti!”
“Tenang gimana?!” seru ibu Riana. “Kecewa, Ibu kecewa sama Ayah!”
Keesokan harinya, Adrian mendapat laporan bahwa sepasang suami-istri yang ditabraknya tanpa sengaja dengan mobil, berakhir meninggal dunia karena mengalami pendarahan hebat di titik vital. Mereka adalah orang tua Ren. Adrian, bukan hanya terancam, tetapi sudah dipastikan akan dipenjara.
“Nggak, aku nggak boleh dipenjara! Bagaimana nasib anak dan istriku?” Adrian menjambak-jambak rambutnya sendiri seraya duduk di salah satu kursi deret depan kamar mayat. Dia frustrasi.
Namun, Adrian berpikir dia harus segera mencari cara agar tidak berakhir di balik jeruji besi. Pria itu berniat meminta bantuan. Tangannya sampai gemetar ketika hendak menelepon rekannya yang seorang pengacara sekaligus orang berpengaruh.
Di hari pertemuan ketika mereka telah resmi bekerja sama.
“Gua udah pelajarin latar belakang keluarga korban, Dri,” kata pengacara itu. “Mereka punya satu anak laki-laki, usia 7 tahun. Mereka dari keluarga menengah ke bawah. Kerabatnya nggak ada yang mau ikut campur, lepas tangan.”
Adrian menelan ludahnya. “Apa yang harus aku lakukan?”
Rekan pengacarannya mengatakan lagi bahwa ada harga yang harus dibayar untuk membeli hukum di Negara ini. Pria berjas itu menjelaskan semuanya secara rinci. Adrian mengangguk paham.
“Sisanya serahin aja ke gua,” kata pengacara itu lagi. “Lu cuman harus bersikap baik, Dri. Bilang ke Polisi kalo lu bakalan biayain kehidupan anak korban sampe dia lulus kuliah.”
“Ya.” Adrian mengangguk mantap. “Aku akan bayar semuanya, asal aku terbebas dari hukuman.”
***
Ren kecil tinggal di panti asuhan setelah kepergian kedua orang tuanya. Usia tujuh tahun adalah usia yang terbilang cukup untuk bisa memahami apa yang terjadi; bahwa dia seorang yatim piatu.
Adrian yang mengirim Ren ke sana melalui seorang perwakilan, menjadi donatur tetap di panti asuhan itu tanpa sepengetahuan istrinya. Adrian selalu memperhatikan tumbuh kembang Ren, meski tidak pernah terang-terangan menampakkan wajahnya ketika berkunjung ke sana. Dia memantau dari kantor pengurus panti.
“Reno nggak banyak bergaul, Pak,” jelas salah satu ibu panti. “Senengnya ya gitu, sendirian sambil bawa-bawa mainan topengnya.”
Adrian mengintip dari balik kaca jendela, melihat Ren sedang duduk di salah satu ayunan sambil mengenakan topeng badut di wajahnya.
“Tapi, dia tetep komunikasi, kan?” tanya Adrian.
“Komunikasi kok, Pak. Cuman ya … jarang main. Beda sama anak-anak yang lain. Dia lebih nyaman sendiri daripada terlibat ke dalam suatu kelompok. Kata guru di sekolahnya juga gitu, sama.”
Adrian mengangguk pelan. “Nggak ada bully-bully, kan?”
Kali ini, ibu panti terdiam sejenak. “Kalo masalah ini, kita kadang susah mengendalikan anak-anak, Pak. Candaan mereka. Tapi, saya nggak menampik kalo kebiasaan Ren yang suka pake topeng badutnya, bikin anak-anak yang lain jadi sering mentertawakan dia. Sekali waktu saya dengar ada yang bilang ‘aneh’. Tapi langsung saya tegur, kok.”
Adrian diam-diam menghela napas. Sebenarnya, dia bisa saja mengadopsi Ren dan membawanya pulang ke rumah. Namun, dia tidak mau istrinya mengetahui fakta yang disembunyikannya sejauh ini untuk lari dari jerat hukum.
“Sekali lagi, saya titip anak itu ya, Bu,” pesan Adrian untuk kesekian kalinya. “Kalo ada yang mau adopsi Ren, tolong ditolak saja.”
Ibu panti mengangguk. “Baik, Pak Adrian.”
Adrian pun berpamitan untuk pulang. Selagi dia hendak berjalan menuju mobilnya yang terparkir, dia agak melirik Ren yang masih duduk di ayunan.
Bocah bertopeng itu memandang balik ke arahnya. Adrian langsung menunduk.
Waktu semakin berlalu. Ren kecil tumbuh menjadi Ren remaja. Dia masih tetap tinggal di panti asuhan itu di saat saudara seangkatannya silih berganti diadopsi oleh orang tua baru.
Ren sama sekali tidak terganggu. Dia tidak sedih karena dirinya tidak pernah dipilih. Toh, dia masih punya keluarga. Hampir setiap hari, dia bertemu dan berbincang dengan Papa dan Mama-nya di ‘rumah’.
“Ren dapat nilai 90, Ma,” kata Ren remaja pada ibunya. Dia masih mengenakan seragam SMP.
“Hebat.” Wanita berambut panjang hitam itu tersenyum. “Mama selalu bangga sama Ren.” Dia membelai lembut puncak kepala Ren. “Nanti kita ke Pasar Malam lagi ya sama Ayah. Kita cari topeng baru untuk kamu!”
Ren tertidur di kasurnya seraya memakai topeng badut itu. Terlihat air matanya menetes membasahi sarung bantalnya.
“Iya, Ma ….” Ren mengigau dengan suara serak.
Ren telah menjadi pemuda yang tampan. Dia masih tetap tinggal di panti asuhan, tetapi kini bukan sebagai anak asuh, melainkan membantu pekerjaan di sana; seperti membenarkan lampu yang mati, genteng yang bocor, pompa air yang rusak, dan pekerjaan apa pun yang hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.
Lambat laun Ren mulai menyadari, ada seseorang yang selama ini memperhatikannya. Sebab, sejauh ini hanya pendidikannya saja yang benar-benar diurus oleh pihak panti asuhan. Bahkan, hingga kuliah seperti sekarang.
“Benar kan, Bu?” ujar Ren pada ibu panti.
“Pendidikan semua anak, akan kita tanggung selagi panti asuhan mampu, Ren. Kenapa tiba-tiba kamu jadi pengen tahu?”
Ren terdiam sejenak. “Bapak-bapak yang sering datang ke sini ya?”
Ibu panti tidak menjawab. “Ren, saya ada pertemuan sama calon orang tua. Kamu keluar dulu ya. Kita lanjut ngobrol lagi nanti.”
“Tapi—”
“Eh, bantu-bantu di dapur ya, Ren! Masak buat adik-adik kamu.”
Beberapa bulan kemudian.
Cukup lama sejak kali terakhir Adrian bertandang ke panti asuhan itu.
Ren terlihat sedang memotong rumput liar yang tumbuh di dekat gerbang. Tak lama berselang, mobil Adrian datang memecah konsentrasi Ren. Adrian juga terkejut ketika melihat Ren dari kaca jendela. Namun, dia tetap melajukan mobilnya masuk.
Ren berdiri sambil tangannya memegang gunting rumput. Dia melihat nomor plat pada mobil sedan hitam itu. Wajahnya terlihat menahan amarah. Lelaki itu berjalan menghampiri Adrian.
Adrian keluar dari mobil. Dia langsung disambut oleh Ren.
“Selamat siang, Pak Adrian.”
“Eh?” Adrian tak bisa menyembunyikan ketegangan di wajahnya. “Si-Siang.”
Ini adalah kali pertama mereka berinteraksi secara langsung.
“Ada apa ya?” tanya Adrian.
“Pak Adrian, terima kasih atas bantuan Anda.”
“Oh, hehe ….” Adrian tertawa canggung. “Itu, sudah kewajiban seorang Donatur.”
“Pak Adrian, apa saya boleh bekerja untuk Anda?” tanya Ren.
“Bekerja?”
“Ya. Mungkin … sebagai supir pribadi?”
“Anu, begini. Saya belum butuh supir pribadi. Istri saya baru saja meninggal dunia. Jantung.” Adrian memegang dadanya. “Saya tinggal cuman berdua sama putri saya.”
Usai perbincangan singkat itu, Adrian berakhir menyetujui Ren bekerja di rumahnya. Pria itu berpikir, ini mungkin jalan yang telah Tuhan atur untuk Ren masuk ke keluarganya. Bukan sebagai anak adopsi, melainkan sebagai supir pribadi Riana. Setidaknya, dengan begini dia bisa memantau Ren dari dekat.
Namun, satu hal yang tidak Adrian tahu, Ren telah mengetahui semuanya bahwa pria itu adalah orang yang ‘membunuh’ orang tuanya di masa lalu. Topeng badut itu yang mengatakannya. Ren ingin balas dendam, melalui Riana. Satu-satunya harta berharga yang Adrian miliki.
Setiba di kediamannya, Adrian memperkenalkan Ren pada Riana. Mata Ren sesekali menyisir pandangannya terhadap rumah besar itu. Tentu saja, berbeda jauh dengan tempat tinggalnya dulu yang sederhana.
Sungguh, Ren merindukan mendiang ayah dan ibunya. Kerinduan yang teramat panjang, tak peduli dirinya kini telah beranjak dewasa. Ren ingin pulang. Pulang ke rumahnya. Kembali ke masa kecilnya yang penuh kehangatan, canda, dan juga tawa.
Ren adalah satu-satunya yang dimiliki orang tuanya, begitu pun sebaliknya. Namun, semuanya telah sirna, dan yang tersisa hanyalah topeng badut pemberian sang ayah, yang akan selalu mengantar Ren pada kenangan-kenangan indah itu.
***
“Riana ….”
Riana terlihat kesulitan bernapas. Wajahnya tertutupi topeng badut milik Ren. Air matanya mengalir dari ujung matanya yang terpejam.
“Uhuk … uhuk!” Riana terbatuk, sambil menangis. Napasnya terasa berat.
“Riana!” Ren buru-buru melepas topeng itu dan duduk di sisi Riana yang masih berbaring. “Riana, kamu tidak apa-apa?”
Suara Ren membuat mata Riana akhirnya terbuka. Sesak di dadanya seketika lenyap. Pandangan kelabu itu juga telah sirna. Kini, hanya ada wajah Ren yang tampak mencemaskannya.
“R-Ren?”
Wajah Riana merah dan sembab. Napasnya terengah-engah memandangi Ren yang membawa ransel di bahu kanannya. Perlahan gadis itu bangkit ke posisi duduk.
“Ren … kamu … kembali ….”
Ren sebenarnya balik lagi karena topengnya ketinggalan. Dia tidak bisa tidur tanpa benda itu. Dia cuti karena ingin fokus bimbingan skripsi dan tinggal sementara di panti asuhan. Jaraknya lebih dekat ke kampus dibanding jika berangkat dari rumah Riana.
“Riana, apa yang kamu lakukan di kamar saya? Kenapa kamu memakai ….” Ren terhenti sambil membalas tatapan Riana dengan ekspresi campur aduk.
Riana tanpa diduga langsung memeluk Ren. Tangannya erat sekali melingkar di sekitar tubuh Ren.
Mata Ren membulat. “Riana ….”
“Maaf!” seru Riana sambil terisak.
Ren melirik rambut panjang Riana yang tergerai indah. Rambut yang selalu mengingatkannya dengan rambut mendiang sang ibu. Perlahan, tangannya bergerak menyentuh rambut itu. Dia membalas pelukan Riana.
Perlakuan hangat Ren membuat Riana semakin mewek.
Beberapa saat kemudian setelah tangis Riana mereda, keduanya berbincang di sofa ruang tengah. Riana menceritakan tentang apa yang dia lihat ketika dirinya ketiduran di tempat tidur Ren. Gadis itu juga tidak mengerti, kenapa topeng badut Ren bisa menempel di wajahnya?
“Jadi, semua itu bener, Ren? Ayahku?” tanya Riana berkaca-kaca. Hatinya sakit sekali mengetahui fakta pahit ini.
Ren berdeham mengiyakan.
“Dan kamu dateng ke rumah ini untuk … membunuhku? Kenapa kamu belom ngelakuin itu?”
Ren tidak menyangka, topeng badut itu juga memberikan gambaran pada Riana tentang niat balas dendamnya.
Ren tidak melihat Riana lagi. Dia menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap langit-langit ruangan. Sementara Riana yang duduk di sebelah Ren, menantikan jawaban lelaki itu.
Ren berkata jujur pada Riana, bahwa motivasinya mulai runtuh ketika dia sering melihat Riana menangis karena merindukan ibunya di tahun pertama kepergian wanita itu. Itu mengingatkan Ren dengan dirinya sendiri. Apalagi, dia dan Riana sama-sama anak tunggal.
Riana tertegun. Dia terus mendengarkan Ren.
Ren melanjutkan, bahwa kedewasaan telah melunturkan egonya. Dia bahkan sudah tidak menuntut kejujuran maupun kata maaf dari Adrian yang mungkin telah benar-benar melupakan kejadian nahas itu.
Ren mungkin selamanya akan menjadi korban yang tak dianggap karena kematian orang tuanya telah dibeli oleh uang. Diri Ren juga demikian. Rasanya aneh, ketika dia harus balas dendam pada anak dari seseorang yang telah membiayai kehidupannya selama ini.
“Maaf … Ren.”
Riana menangis lagi. Tangannya terus menyeka matanya yang tak kunjung berhenti mengeluarkan air. Dia akhirnya bisa memahami Ren. Di balik senyuman yang selalu Ren tampakkan, ada luka yang begitu dalam di relung hati lelaki itu. Di balik topeng Ren, ada rumah bagi dirinya sendiri; kenangan indah bersama mendiang kedua orang tuanya.
“Maafin aku, maafin ayahku, Ren! Maaf, maaf!”
Riana memohon agar Ren memaafkannya. Tangisnya pecah lagi. Dia tahu, kata maaf saja tidak akan pernah cukup. Ren sangat menderita bahkan sepanjang hidupnya.
“Kamu boleh benci aku, tapi tolong jangan pergi, Ren.”
Ren tersenyum memandang Riana. Ibu jarinya menyeka air mata Riana.
“Kenapa saya harus pergi, Riana? Ini rumah saya juga, kan?”
Mendengar ucapan Ren, Riana menyunggingkan senyuman tipis di antara air matanya. Kemudian, gadis itu memeluk Ren lagi.
***
Di sisi lain, dini hari.
Adrian terbangun dari tidur-duduknya di kursi kerja apartemen. Sebenarnya, Adrian jarang pulang bukan serta merta karena dia sibuk bekerja seperti yang dia katakan pada Riana. Namun, karena rasa bersalahnya pada Ren yang terus menghantui setiap waktu. Bahkan, dalam mimpinya.
“Hngg ….” Adrian mengusap kasar wajahnya. Pria itu terlihat kacau. Dalam waktu dekat, dia mungkin akan menjujurkan semuanya pada Riana, meminta pengampunan Ren, dan akan menyerahkan diri ke polisi.
Adrian, ingin tenang di sisa hidupnya.
—TAMAT
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰