
“Meskipun kita tidak seumuran, tetapi maukah kau seumur hidup bersamaku?”
Rumah itu terlihat megah. Namun, auranya terasa begitu sunyi. Hinata menatap rumah besar bercat tembok putih yang memiliki pilar-pilar besar itu tanpa berkedip dari posisinya berdiri saat ini, berdecak kagum pada bangunan bergaya romawi klasik tersebut. Ia baru saja sampai di kediaman dr. Uzumaki beberapa saat lalu.
"Ayo kita masuk."
Suara yang berasal dari sampingnya membuyarkan lamunan Hinata. Ia menutup pintu mobil hitam itu, lantas mengekori langkah panjang pria pirang yang lebih dahulu berjalan di depannya.
Dokter tampan itu membuka pintu rumahnya, kemudian menatap Hinata, mempersilahkan gadis itu memasuki rumahnya terlebih dahulu. "Masuklah."
Dan ... ruang tamu bernuansa putihlah yang pertama kali menyambut pandangan Hinata. Terdapat beberapa sofa yang terlihat begitu empuk yang mengitari sebuah meja kaca berbentuk oval di sana, sedangkan pada setiap dindingnya tergantung berbagai macam lukisan artistik, juga terdapat sebuah potret seorang wanita berparas jelita yang mencuri perhatian gadis itu saat pertama kali melihatnya. Benar-benar cantik.
"Duduklah. Kamu bisa menunggu di sini. Saya akan mengambilkan tasnya." Dokter itu berujar sambil menunjuk pada sebuah sofa di dekatnya melalui ekor mata.
"Baiklah," jawab Hinata dengan senyuman.
Namun, gadis itu mengurungkan niatnya untuk sekedar menduduki kursi nyaman yang ditunjuk oleh si dokter tampan kala kedua matanya menangkap sesosok gadis kecil yang sedang berlarian dari arah dalam rumah.
Sungguh, anak perempuan yang Hinata taksir berusia kurang dari tiga tahun itu bagaikan putri; sangat cantik. Bocah itu terlihat merentangkan kedua tangannya ke arah dr. Uzumaki, sedangkan di belakangnya terdapat seorang wanita berbaju seragam biru yang mengikuti langkah pendeknya; yang Hinata tebak adalah baby sitternya.
"Papa~" gadis kecil itu berteriak riang, kemudian menerjang ke dalam pelukan hangat si pria pirang. Sedangkan pria itu menjatuhkan kedua lututnya pada lantai marmer di bawahnya, membalas pelukan putri kecilnya lebih erat.
Hinata hanya bisa tersenyum melihat interaksi antara ayah dan anak di depannya. Ia tidak merasa kaget, pastilah pria matang seperti dr. Uzumaki itu sudah berkeluarga, apalagi dengan wajah dan tubuhnya yang mendekati kata sempurna. Pastilah banyak wanita yang tertarik pada pesonanya.
"Papa cudah puyang?" tanya gadis kecil itu, matanya berkilau lucu. Membuat sang ayah tak tahan lagi untuk tidak mengacak rambutnya.
"Iya, Sayang. Sedang main apa?"
"Macak lamyun, Papa. Ayo, cini ikut Kia." Tangan kecil itu lantas menarik tangan besar ayahnya menuju salah satu sudut rumah yang dipenuhi beraneka macam mainan warna warni miliknya.
"Wow, benarkah?" pria itu menunjukkan ekspresi tertarik, mengikuti langkah kecil nan ceria gadis kecilnya.
"Uhum." Tentu saja gadis kecil itu mengangguk dengan semangat, kemudian mendudukkan dirinya di antara banyaknya mainan. Ada miniatur kompor dan beberapa mainan miniatur dapur lain di hadapannya.
Tanpa sadar langkah Hinata mengikuti mereka. Entah kenapa ia begitu tertarik pada gadis cantik yang sedang mengotak-atik mainan di depannya.
"Kia berjualan ramyun?" sang ayah tersenyum, kemudian berjongkok memperhatikan kegiatan anaknya.
"Iya, Papa." Kia menjawab singkat, dengan senyuman lebar yang memperlihatkan barisan gigi susunya yang rapi.
"Papa minta satu porsi ya ...."
"Oke, Papa." Putri cantik dokter itu terlihat begitu tenggelam dalam permainannya bermain masak-masakan. Ia membuat mie dengan plastisin berwarna kuning, memelintirnya sehingga menjadi bentuk memanjang yang menyerupai lidi, lantas memasukkannya ke dalam miniatur pancinya.
Hinata mendekat, kemudian ikut berjongkok di samping dr. Uzumaki, ikut memperhatikan kegiatan si kecil.
"Dia anak Anda?" tanyanya.
Si Dokter menoleh. "Tentu saja. Kamu kira anak siapa?" ia balik bertanya.
"Kukira Anda perjaka tua loh." Hinata terkekeh dengan jawabannya sendiri. "Saya tidak menyangka jika Anda sudah memiliki seorang anak, apalagi secantik ini," lanjutnya.
Tentu saja ia hanya bercanda, ia jelas tahu jika anak perempuan imut itu adalah anak si Dokter tampan, mereka begitu mirip.
Dokter pirang itu melirik kesal. "Berhenti berbicara yang tidak penting, atau saya tidak jadi mengembalikan tasmu?!" ancamnya.
Mendapat respons seperti itu membuat Hinata mencebikkan bibirnya. Ia hanya mencoba bergurau, tetapi dokter pirang itu terlalu serius menanggapinya.
"Iya-iya, saya akan diam. Emosional sekali," gerutunya.
"Saya akan mengambil tasmu sekarang."
Setelahnya, pria itu berjalan meninggalkan mereka menaiki tangga menuju lantai atas rumah megah miliknya.
Hinata lantas kembali memperhatikan gadis kecil di hadapannya. Ia yang pada dasarnya memang tidak bisa diam akhirnya mencoba mengajak putri kecil dr. Uzumaki mengobrol ringan.
"Sedang apa, Adik kecil?" Ia bertanya dengan memberikan senyuman terbaiknya.
"Main."
Hinata sedikit tersentak mendengar jawaban singkat putri dokter itu. Namun, ia tidak patah semangat. Ia sangat menyukai anak kecil, apa lagi yang cantik, manis dan menggemaskan seperti di hadapannya ini.
"Wah, kakak boleh ikut main?" ia kembali bertanya, yang sukses membuat gadis kecil itu mengalihkan perhatiannya dari mainan pada wajah cantik Hinata.
"Kata Papa gak boyeh main cama oyang yang gak dikenal."
Oh, sekarang ia paham alasan kenapa gadis kecil di depannya ini begitu tidak acuh padanya. Ia membenarkan dalam hati.
Apa yang diajarkan Pak dokter pada anaknya memang sudah tepat, apalagi dengan begitu maraknya kasus penculikan pada anak saat ini. Maka dari itu, si anak harus diajari untuk tidak terlalu dekat dengan orang asing. Ia pun juga akan menerapkan hal yang sama ketika ia sudah memiliki anak suatu saat nanti.
Yah ... meski kapannya belum pasti.
"Kalau begitu kita kenalan dulu bagaimana?" Hinata mengulurkan tangan kanannya. "Nama kakak Hinata. Nama adik siapa?"
Mata biru yang begitu mirip dengan milik ayahnya itu menatap wajahnya beberapa saat, lalu dengan sedikit ragu tangan kanan kecil itu terulur, menyambut jabat tangan Hinata.
"Kia," jawab gadis kecil itu dengan sedikit takut. Hinata jadi berpikir, sebegitu menyeramkannyakah ia?
"Wah, namanya cantik. Sama seperti orangnya." Hinata mencoba kembali tersenyum menatap mata bulat gadis kecil di hadapannya, berharap semoga raut ketakutan di wajah cantiknya berubah menjadi senyuman.
Dan ia berhasil.
Ekspresi wajah takut itu menghilang, disusul dengan pipi tembam itu yang perlahan memerah.
"Kia memang tantik. Papa celing bilang," ungkap gadis kecil itu dengan percaya dirinya. Hinata sedikit terkekeh melihatnya. Gadis sekecil itu ternyata bisa narsis juga.
Hinata kembali mengembangkan senyuman indahnya, usahanya untuk tidak membuat anak kecil di depannya ini takut sudah berhasil.
"Iya. Kita sudah 'kan sudah berkenalan. Kakak sudah boleh ikut main, tidak?" ia kembali merayunya.
"Boyeh. Kakak mau beli lamyun juga?" tawar Kia pada akhirnya.
"Boleh deh. Jangan pedas, ya?"
Gadis kecil itu menggeleng. "Enggak, 'kan tidak pakai cabai."
"Eh, pinter ternyata." Hinata berujar dengan terkejut. Anak di hadapannya itu terlihat masih begitu kecil, tetapi sudah pandai berbicara dan juga cerdas. "Hmm ... Kakak mau tanya, cabai itu yang mana coba?" ia mencoba mengetesnya.
"Itu meyah." Dan dengan cepat Kia menunjuk mainannya yang berbentuk cabai di dekatnya.
"Duh ... pintelnya. Anak tiapa tih ini?" Hinata menirukan gaya bicara Kia yang masih cadel. Sedangkan tangannya mulai terangkat untuk menggelitiki tubuh kecil itu.
"Anak Papa. Kyahaha geyi, Kakak." Kia terkikik dengan kedua tangan kecilnya yang mencoba menghalau gelitikan jari-jemari lentik Hinata.
Dan hal itu tak luput dari perhatian sang ayah yang baru saja turun dari lantai atas. Tangan kanannya menenteng sebuah tas kecil berwarna hitam milik Hinata.
"Ramyun Papa mana, Nak?" tanya ayahnya yang saat ini sudah mendekat pada mereka.
"Aduh, Kia lupa." Sungguh, ekspresi gadis kecil itu sangat imut saat mengatakannya.
"Ya sudah, Kia buat dulu ya ... Papa pinjam Kakaknya sebentar." Usapan sayang itu ayahnya berikan sebelum ia mengajak Hinata menjauh dari Kia, menuju ruang tamu.
.
Bersambung...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
