
“Meskipun kita tidak seumuran, tetapi maukah kau seumur hidup bersamaku?”
Naruto menatap sebuah map di tangannya, membaca segala informasi tentang pasien yang duduk di hadapannya itu dengan teliti. Wanita cantik yang memiliki rambut lurus sebahu itu terlihat pucat.
"Nona Sakura Haruno. Anda datang sendirian?" pria itu menatap tepat pada mata pasiennya. Ia sedikit heran, pasalnya kebanyakan ibu hamil yang memeriksakan kandungannya ke sini selalu di dampingi suami mereka, apalagi dengan keadaan wanita di hadapannya yang terlihat sedang tidak baik.
“Iya, Dok. Calon suami saya sedang sibuk akhir-akhir ini,” jawab pasien yang bernama Sakura itu dengan senyuman canggung.
'Hamil di luar pernikahan rupanya.' Naruto membatin.
Ia tidak habis pikir, entah kenapa di jaman sekarang kasus seperti ini sering sekali ia temui.
Pria itu menggeleng singkat. Yah, itu memang bukan menjadi urusannya. Ia hanya merasa miris saja, apalagi ia memiliki seorang anak perempuan. Jujur saja ia merasa khawatir.
Ia segera mengenyahkan pemikiran tersebut dari kepalanya, dan kembali fokus pada pekerjaan. "Di sini tertulis Anda tengah hamil sembilan minggu, apakah Anda sudah pernah memeriksakannya sebelumnya?" tanyanya kemudian.
"Belum, Dok."
Pria itu mengangguk, kemudian menuliskan sesuatu pada kertas di mejanya.
"Apakah ada keluhan lain selain mual dan muntah?" ia kembali bertanya.
"Tidak. Hanya saja saya merasa mual-muntah yang saya alami ini sangat berlebihan, Dok. Apa pun yang saya makan, pasti akan kembali keluar. Saya jadi merasa lemas," ungkap Sakura. Ia memang terlihat lemah.
Naruto menghela napasnya sebelum kembali berucap. Kedua mata birunya menatap tepat pada kedua mata wanita di hadapannya. "Baiklah. Biar saya jelaskan ya, yang Anda alami saat ini adalah gejala yang umum dirasakan oleh kebanyakan ibu hamil. Mual dan muntah itu bagus, tandanya hormon kehamilan Anda bekerja secara baik, begitu pun janin Anda." Pria itu menjeda ucapannya sejenak, memberikan pasiennya tatapan teduh. "Tapi jika dirasa mual dan muntah yang Anda rasakan sudah sangat ekstrim, bisa jadi Anda mengalami hyperemesis gravidarum."
Mata wanita itu membola. Ada raut kekhawatiran yang muncul pada wajah cantiknya. "Apakah itu berbahaya, Dok?"
"Tidak apa-apa. Makan dan minumlah sedikit demi sedikit, namun sering. Jangan sampai tidak ada apa pun yang masuk. Jika tidak ada asupan, kasihan janin Anda. Dia bergantung hidup kepada Anda," jelas pria itu sembari memberikan sebuah senyuman menenangkan. "Tetapi ... jika memang tidak bisa masuk sama sekali, Anda bisa dirawat di rumah sakit ini. Anda tidak perlu khawatir," tambahnya.
"Baik, Dok. Terima kasih."
Naruto mengangguk singkat, sebelum kembali berucap. "Saya akan menuliskan resep. Anda bisa menebusnya di Apotek setelah ini."
Pria itu terlihat menuliskan beberapa nama dan jenis obat berikut dosisnya pada secarik kertas dengan tulisan tangan khas seorang dokter yang tidak bisa Sakura mengerti sama sekali.
"Baiklah, sekarang kita lihat kondisi janinnya." Naruto meletakkan kacamatanya di meja. Setelahnya, Ia melirik seorang suster yang berdiri di samping kursinya. "Suster, tolong bantu Nona Haruno berbaring, kita akan melakukan USG."
***
Suara getaran ponsel itu terdengar berderit di atas meja kayu berpelitur mengkilap. Ada sebuah panggilan telepon yang tertulis pada layar lcdnya yang menyala, panggilan dari seseorang yang sangat tidak ingin lagi Hinata dengar suaranya.
Hinata hanya menatap layar handphonenya yang berkelap-kelip itu tanpa ada niatan untuk menerima panggilannya, mengabaikannya seperti biasa. Sudah berkali-kali pria itu berusaha untuk menghubunginya semenjak peristiwa itu, tetapi Hinata tidak pernah sekali pun meresponsnya. Ia terlalu sakit hati pada Sasuke, dan ia tidak ingin kembali terluka ketika mendengar suaranya.
Ia tidak munafik, karena sejujurnya rasa cinta itu masih ada.
Ia lantas menghela napas saat getaran di ponselnya berakhir, kemudian melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
"Kamu tidak mengangkatnya?" Ino yang sedari tadi duduk di lantai beralasan karpet lembut itu akhirnya bertanya. Ada Kia yang sedang tertidur di sampingnya.
"Untuk apa? Sudah tidak ada hal yang perlu dibicarakan lagi dengannya." Hinata menjawabnya dengan datar, tanpa menghentikan kegiatannya merangkai bunga berwarna kuning di kedua tangan.
"Sejujurnya aku kagum padamu, Hinata," ungkap sahabatnya. "Aku memang tidak tahu bagaimana rasanya, tetapi aku yakin itu pasti sangat menyakitkan. Tapi, kau tegar. Kau bahkan masih bisa tertawa riang di tengah masalahmu ini." Ia tersenyum bangga pada sahabatnya sebelum melanjutkan. "Jika aku jadi kamu, aku bahkan tidak tahu akan sehancur apa aku jadinya."
Mendengar pujian itu membuat Hinata tersenyum masam. Ia menghentikan kegiatannya sesaat.
"Aku tidak sekuat itu, Ino. Yah, ada kalanya aku merasa sangat sedih ketika mengingatnya. Tapi, ya sudahlah." Gadis itu menghela napas panjang, mencoba membuang sesak di dadanya tatkala mengingat lelaki itu. "Seorang pengkhianat tidak sepantasnya untuk terus ditangisi dan diratapi. Buang-buang energi, ya kan?"
"Kamu benar, Ino. Menangis dan meratap tidak akan bisa merubah keadaan. Hidup akan terus berjalan, kamu harus segera move on."
Hinata kembali melengkungkan senyumnya setelah mendengar ucapan Ino. "Ya."
"By the way, kamu masih memakai cincinnya?" gadis berkuncir kuda itu bertanya saat tidak sengaja tatapan matanya menangkap sebuah cincin di jari manis tangan kiri sang sahabat; cincin yang Sasuke berikan saat lelaki itu melamar Hinata.
"Ah, iya. Tidak sepantasnya aku masih menyimpan ini ya, Ino?" Hinata mendekatkan tangan kirinya pada wajah cantiknya. Meneliti sebuah logam mulia yang melingkari jari manisnya, mengusapnya pelan. Ia sudah terbiasa memakainya, sehingga lupa jika benda itu sudah tidak ada artinya lagi bagi dirinya. "Apa aku harus mengembalikannya?"
Ino mengangguk, kemudian tersenyum. "Sepertinya lebih baik memang kamu kembalikan. Akan sangat tidak baik jika kamu masih menyimpan barang pemberian mantan."
Hinata menutup matanya. Sejujurnya ia berat untuk melepaskan cincin itu. Namun, apa yang dikatakan sang sahabat ada benarnya. Lagi pula untuk apa ia memakainya? Toh, hubungan mereka sudah berakhir.
“Yah, sepertinya aku harus menemuinya sekali lagi. Untuk yang terakhir kali,” putus Hinata, ia melepaskan cincin itu dari jemarinya, meletakkannya di atas meja.
Ia menghela napas sekali lagi, lantas meraih handphonenya, melihat notifikasi panggilan tidak terjawab sebanyak tiga belas kali di sana. Ia mendesah lelah, sebelum akhirnya jari-jemari lentik itu mengetikkan sebuah pesan untuk orang itu.
[Kita bertemu di kafe biasa, nanti malam]
***
"Kita mampir makan malam dulu?" tanya Naruto sesaat setelah mereka memasuki mobil hitamnya. Ia menengok ke kursi belakang, ada Hinata dan Kia yang sedang bermain di sana.
Hari memang sudah malam. dan seperti kemarin, ia kembali telat menjemput putrinya sehingga membuat Hinata lebih lama lagi untuk menunggu kedatangannya.
"Tidak perlu, Pak." Hinata mencoba menolaknya, tapi—
"Yeay~ makan mayam ... cama kakak, ya?" gadis kecil di sebelahnya justru bersorak riang.
"Bagaimana? Masih mau menolak ajakan Kia?" Ayah yang masih terlihat muda itu menaik turunkan kedua alisnya saat bertanya pada Hinata.
Dan, yah ... pada akhirnya Hinata menyerah.
"Ya sudah ... kita makan malam bersama."
"Horee~" sorakan gembira kembali memenuhi mobil tersebut. Pria itu tersenyum di tempatnya, kemudian menghidupkan mesin mobilnya, melajukannya dengan kecepatan standar membelah jalanan malam kota sibuk itu.
"Lumayanlah, kapan lagi bisa makan gratisan. Ya kan, Pak dokter?" celetuk Hinata dari kursi belakang.
"Makanlah sepuasmu. Sampai kamu gendut pun tidak masalah," jawab Naruto dengan sedikit kekehan.
"Baiklah. Saya harap Anda tidak menyesal. Meskipun tubuh saya kecil, saya ini makannya banyak loh, Pak ...."
"Tidak akan, kamu tenang saja. Saya tidak akan bangkrut hanya karena kamu menghabiskan seluruh menu di restoran." Pria itu kembali terkekeh, lantas mata birunya menatap wajah sang gadis manis melalui spion tengah mobilnya. "Ah, Hinata ..." panggilnya, membuat kerutan halus terukir di kening gadis itu.
"Ya?"
"Saya belum menemukan baby sitter," jawab Naruto. Pandangannya tetap lurus ke depan.
"Lalu?" Hinata kembali bertanya tidak mengerti.
"Bagaimana kalau sementara waktu Kia saya titipkan padamu? Hanya pada saat saya bekerja saja," ungkap pria itu. "Tentu saja ini tidak gratis. Saya akan membayarmu setiap minggunya. Anggap saja jika kamu memiliki pekerjaan sampingan, bagaimana?" ia menambahkan.
Hinata menaikkan sebelah alisnya mendengarkan tawaran menggiurkan tersebut. "Apakah bayarannya mahal?"
"Katakan saja, berapa yang kamu minta?" pria itu kembali menatap wajah Hinata dari kaca spion dalam mobilnya, mencoba membaca mimik wajah gadis manis itu.
"Saya bercanda, Pak dokter." Hinata sedikit terkekeh di dalam katanya. Ia tidak menyangka dokter tampan itu menganggap serius gurauannya. "Tanpa dibayar pun saya akan dengan sangat senang hati menjaga Kia. Tapi jika itu dibayar, saya akan menganggap bahwa itu hanyalah sebagai bonus untuk saya. Saya ini sudah menyukai Kia semenjak pertama kali bertemu dengannya!" jelasnya kemudian.
"Sama Papanya juga suka?"
Dan pertanyaan tiba-tiba yang keluar dari bibir merah kecokelatan itu sukses membuatnya terkejut.
"E-eh??" wajah Hinata memerah tanpa bisa ia cegah.
Melihat ekspresi Hinata dari spionnya, Naruto hanya terkekeh ringan. "Saya bercanda."
"B-bercanda Bapak tidak lucu." Hinata mencebikkan bibirnya. Dan hal itu terlihat begitu lucu di mata biru si pria, apalagi dengan semburat merah yang menjalar dengan manisnya di pipi si gadis jelita.
"Lihat, wajahmu merah."
"Cepelti apel?" Kia yang sedari tadi asyik bermain ikut menimpali.
Tentu saja pria itu kembali terkekeh mendengar ucapan putrinya. “Bukan, Sayang. Seperti bakpao rasa stroberi,” ralat sang ayah kemudian. Namun, tatapan mata elang itu tertuju pada wajah Hinata pada spion mobilnya.
Sontak saja gadis itu menutupi kedua wajahnya dengan telapak tangan, ia malu.
"Yeay~ Kia mau bakpao, Papa."
"As you wish, Honey."
.
Bersambung...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
