Stepmother (Chapter 3)

28
0
Deskripsi

⚠️ WARNING 21++ πŸ”žπŸ”ž

Selamat membaca😁

"Apa yang sedang kau pikirkan? Kau terlihat tidak seperti biasanya, Ed?" Diego bertanya heran karena sedari tadi Edgar hanya melamun dan tidak fokus dengan pekerjaannya.

Tentu saja Diego bisa langsung mengetahui dengan hanya sekali lihat. Karena ia bukan hanya sekadar tangan kanan Edgar, tapi juga sahabat baik Edgar yang sudah menjalin persahabatan cukup lama. Jadi ia mengerti segalanya tentang sahabatnya itu.

Edgar membuang napas berat. "Entahlah, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku."

"Tentang istri barumu?"

Edgar mengangguk. "Leandro langsung dekat dengan wanita itu."

"Bukankah itu bagus?" Diego bertanya heran karena Edgar terlihat tidak senang akan hal itu.

Edgar menoleh ke arah Diego. "Kau tau apa yang aku pikirkan?" Edgar bertanya sembari menatap lurus ke arah Diego.

"Kau tidak perlu khawatir, Ed. Dia wanita baik-baik, aku sudah menyelidiki latar belakangnya. Dan kau juga sudah tau tentang hal itu, right?"

"Ya, aku tau. Tapi aku masih tidak mengerti kenapa dia mendekati Leandro."

"Mungkin dia memang menyayangi Leandro," sahut Diego ringan.

"Tidak mungkin," bantah Edgar tegas.

"Kenapa tidak?"

"Tidak ada orang yang benar-benar tulus menyayangi Leandro."

"Termasuk kau?" Sontak saja pertanyaan Diego membuat Edgar bungkam.

Edgar merasa tertampar dengan ucapannya sendiri. Selama ini ia juga tidak pernah bersikap baik dengan putranya sendiri, dan sekarang ia justru mencemaskan orang lain akan menyakiti Leandro. Padahal ia seringkali menyakiti Leandro dengan sikapnya yang tidak peduli dengan putranya sendiri.

Edgar mengusap wajahnya kasar. "Aku tidak pernah membencinya."

"Aku tau, kau hanya masih belum bisa menerima kehadirannya."

"Mungkin Leo tidak pernah mengatakan ini, tapi aku tau jika dia membutuhkanmu."

Edgar hanya diam membisu dan tidak berniat untuk membalas ucapan Diego.

Diego melirik ke arah jam tangannya. "Sebentar lagi rapat akan segera dimulai. Aku harus kembali ke meja kerjaku untuk mempersiapkan dokumennya."

Edgar mengangguk. "Keluarlah," tukasnya ringan.

*****

Sekitar jam lima sore, Edgar sudah tiba di mansion. Ia melangkah masuk ke dalam mansion dan menuju ke ruang bawah tanah.

Ceklek

Langkah kaki Edgar terdengar terasa berat saat menuruni tangga.

Tempat itu terlihat gelap dan sunyi. Tidak ada cahaya yang menerangi selain lampu temaram berukuran kecil yang berada di atas. Namun, cahaya lampu itu cukup untuk melihat seluruh isi ruangan, meskipun terlihat remang-remang.

Ada begitu banyak kurungan seperti di penjara dengan ukuran yang lebih kecil dan sempit untuk tubuh manusia. Karena memang tempat ini digunakan untuk menyiksa, jadi Edgar sengaja merancangnya sedemikian rupa untuk membuat ruangan ini menjadi penjara terburuk bagi para tahanannya. Ralat, bukan tahanan, tapi para binatang peliharaannya. Yap, Edgar lebih suka memperlakukan mereka seperti binatang.

Di ruangan itu hanya ada seorang pria yang sedang berdiri dengan posisi kedua tangan dan kaki terikat di tiang. Orang itu membuka matanya yang penuh dengan darah mengering secara perlahan. Tubuhnya menegang seketika saat mendapati Edgar sudah berada di depannya.

Edgar melewati orang itu dan melangkah ke arah lemari yang penuh dengan alat-alat khusus. Alat yang dipersiapkan dan digunakan untuk memberikan kenangan indah di tubuh tahanannya. Edgar mengambil sebuah pisau kecil yang tidak terlalu tajam. Memang tidak bisa membunuh manusia dengan sekali tusukan, tapi jangan lupakan rasa sakit yang dihasilkan oleh pisau tumpul ini saat digunakan untuk menyayat kulit. Seseorang akan merasakan sakit yang luar biasa saat pisau ini dipaksakan untuk menembus dagingnya. Dan itulah tujuan sebenarnya, memberikan rasa sakit yang begitu dahsyat sebelum ia benar-benar membunuhnya.

Edgar tersenyum miring, lalu membalik tubuhnya ke arah orang yang saat ini terlihat begitu ketakutan menatap pisau yang berada di genggamannya. "Sudah lama kita tidak bersenang-senang," tuturnya menyeringai sembari menyentuh ujung pisau.

Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan raut wajah memelas. Dia tidak sanggup mengingat kembali bagaimana perlakuan Edgar setiap kali menyiksanya. "Saya mohon, jangan," lirih orang itu dengan tatapan pilu.

"Kau takut, heh?" tukas Edgar tersenyum sinis sembari menyayat dada orang itu dengan gerakan perlahan dan menekannya keras.

"Aaakkkhh!!" teriaknya kesakitan.

"Seharusnya dari awal kau memikirkan tentang kemungkinan yang akan terjadi saat kau tertangkap sebagai mata-mata," desis Edgar sembari terus menyayat kulit orang itu dengan ekspresi seperti seorang psikopat. Edgar begitu menikmatinya dan tidak memperdulikan teriakan orang itu yang terus memohon agar Edgar berhenti. Ada kepuasan tersendiri yang tidak bisa dijelaskan saat mendengar suara merdu seseorang yang menjerit kesakitan.

"Tolong bunuh saya saja, Tuan. Saya mohon," pinta orang itu memohon untuk yang ke sekian kalinya. Karena sudah tidak sanggup menahan sakit dan hidup menderita seperti ini.

"Hahahaha!" Suara tawa Edgar menggelegar memenuhi seluruh ruangan sunyi itu.

"Jangan khawatir, akan aku kabulkan," katanya ramah sembari tersenyum tipis. Namun, sedetik kemudian wajahnya berubah datar bertepatan dengan pisau yang sudah menancap tepat di jantung orang itu.

Mata Vega melebar seakan bola matanya nyaris keluar dari tempatnya. Ia membungkam mulutnya tidak percaya menatap Edgar yang baru saja membunuh seseorang.

Edgar yang melihat seseorang dari sudut matanya segera menoleh ke arah orang itu dan mendapati Vega tengah berdiri di tempat yang tidak jauh darinya dengan wajah pucat pasi.

Edgar mencabut pisau itu kasar dan menjatuhkannya di lantai. Kemudian ia berjalan menghampiri Vega dengan tenang.

"Kenapa kau bisa berada di sini?" desis Edgar tajam dan mengintimidasi.

Jantung Vega berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Lututnya seketika terasa lemas. Ia mundur perlahan ke belakang sembari menatap ngeri tangan Edgar yang berlumuran darah.

"A-aku lupa jalan," ungkapnya gugup.

"Kalau begitu, aku akan pergi. Maaf sudah mengganggumu." Vega bergegas pergi dari ruangan itu dengan langkah lebar sembari mengutuk dirinya karena tetap bersikeras masuk. Padahal dari awal batinnya sudah memberinya peringatan agar melewati ruangan itu, tapi ia justru tetap masuk dan menggali kuburannya sendiri.

Selepas keluar dari ruangan itu, Vega semakin mempercepat langkahnya dengan perasaan gelisah.

Pantas saja ayahnya bersikeras melarangnya untuk menikah dengan Edgar. Ternyata pria yang akan menikah dengannya adalah seorang pembunuh.

Habislah sudah hidupnya!

Setibanya di kamar, Vega dikejutkan oleh pintu lemari yang tiba-tiba membuka sendiri. "Leandro!" Vega memekik terkejut melihat Leandro muncul dari dalam lemari itu.

"Mommy tidak bisa menemukan Leo, hehe," ujarnya riang.

Vega segera menghampiri Leandro dengan raut wajah yang tampak khawatir dan lega secara bersamaan. "Leo kenapa di sini?" Vega bertanya cemas sembari memeluk tubuh Leandro erat.

"Kata Mommy, Leo harus bersembunyi di tempat yang aman agar tidak ketahuan," sahut Leo polos.

Vega menghela napas pelan. Ia tidak pernah menduga Leandro akan bersembunyi di dalam lemari. Ia mengira Leandro akan bersembunyi di balik pintu seperti anak-anak lain saat melakukan permainan ini.

"Mommy khawatir," lirihnya dengan tatapan sayu.

Leandro memasang raut wajah sedih saat merasakan keresahan dari nada suara Vega. Tangan mungilnya terangkat untuk membalas pelukan Vega. "Maaf, Mom," lirihnya merasa bersalah sembari mencium pipi Vega.

Vega memejamkan kedua matanya dalam-dalam dan semakin mempererat pelukannya ke tubuh Leandro untuk menghilangkan rasa takut yang saat ini menghantuinya.

TBC.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi πŸ₯°

Kategori
Stepmother
Selanjutnya Stepmother (Chapter 4)
27
0
⚠️ WARNING 21++ πŸ”žπŸ”ž
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan