Chasing My Sweetheart 01

3
0
Deskripsi

Blurb Bab 01

Clara terpaku dan menyaksikan ciuman itu. Adegan yang biasa dibayangkan dalam imajinasi atau film kini terpampang nyata di hadapan. Perempuan berbikini hitam menggelayut manja.

Meski hanya mendapat pemandangan punggung sang lelaki yang bahu lebar. Clara seolah sedang menikmati adegan film romantis secara nyata.***

Bab 01

Bali, 2013

Pangeran mengusap bibirnya dengan ujung ibu jari yang terkena anggur sedikit. Sepasang mata tajam mengulitinya arah mulutnya habis-habisan, ia tidak punya jalan keluar. Terperangkap.

Lidah Pangeran menyapa bibirnya lebih dulu dengan sapuan ringan. Lengan lelaki itu merangkul erat pinggangnya. Bibir mereka merekah pasrah dan rela, keduanya akhirnya berciuman panjang dan lama.

Jari lentik seorang perempuan sembilan belas tahun terus mengulir layar ponsel seraya menunduk dibalik mejanya pada toko tas handmade yang sedang sepi pengunjung. Tank-top putih setali yang dipadukan dengan overall jeans selutut hari ini masih membuatnya kegerahan meski di ruangan ber-AC. Ada rasa geli menjalar di selangkangan setiap ia menikmati adegan mesra kedua tokoh utama.

Sambil menggenggam tangannya, Pangeran menuntunnya menuju kamar. Ia tidak bisa memperhatikan apapun selain nafas hangat Pangeran dan lidahnya yang membelit…

“Clara!” panggil Bu Darma dari balik meja konter kasir.

Tepukan agak keras dari ibu angkat sekaligus itu atasannya membuat Clara terkesiap dan membuyarkan imajinasi. Bu Darma menyelidik di balik kacamata, penasaran dengan isi ponsel Clara.

“Siang, Ibu.” sapa Clara dengan sumringah sambil menyelipkan ponsel pada saku celana.

Clara paham aturan toko melarang pegawai memegang handphone pada jam kerja. Namun, tugasnya sebagai kasir merangkap pegawai sosmed membuatnya leluasa memegang ponsel.

“Lagi lihat apa sih? Ibu sampai penasaran,” celetuk Bu Darma.

“Biasa, Bu. Balesin customer yang hit and run, sudah order tapi begitu ditagih bukti transfer sepatunya nggak jadi ditebus,” kilah Clara secepat kilat.

Meski baru lulus sekolah menengah atas dan belum pernah pacaran, Clara memang punya hobi baca novel dewasa. Ia juga berharap agar kisah cintanya semanis pasangan di novel favoritnya.

“Clara, sudah makan?”

Clara menggeleng. “Ida dan Kadek baru izin istirahat, saya giliran jaga toko.”

Bu Darma mengernyit, “Ibu kan sudah bilang kalau istirahat satu-satu, kenapa mereka bisa berduaan begitu?”

“Supaya cepat, Bu. Lagipula jam segini biasanya pengunjung masih belum ramai lagi,” jawabnya. “Saya masih bisa melayani dua-tiga pengunjung sendiri.”

Clara memperlihatkan gigi rapihnya sambil mengedar pandang pada isi toko toko sepatu handmade milik Bu Darma. Darmaz.

“Nggak begitu konsepnya, Clara.” Bu Darma gemas dengan ngeyelan Clara, “Tugas kamu kan di belakang kasir.”

“Siap, Bu.” Clara memberi sepasang jempol agar percakapannya dengan atasannya segera beres.

“Ya sudah, tolong antarkan ini ke Hotel Nusa Dua. Ibu soalnya harus siap-siap menemani Bapak, biasalah kader karbitan jadinya ya begini ini.” Bu Darma meletakkan kotak sepatu, “Nanti titip salam pada Celia, ibu mohon maaf tidak bisa mengantar langsung karena …”

“Celia,” ujar Clara mengulang nama pemesan.

“Ibu harus ke IGD mengantar bapak.”

“Tapi, tadi Ibu bilang mau ke acara partai,” potong Clara.

“Sudah jangan banyak bantah,” getir Bu Darma. “Ingat ya, customer kita yang satu ini agak ajaib. Jangan ngeyelan, pokoknya iya-iya saja.”

Clara melipat bibir untuk menahan serbuan kalimat yang sudah tidak sabar keluar dari mulut. “Toko bagaimana, Bu?”

“Pasang tanda istirahat, kunci saja dulu. Kamu cepat antar sepatu, pakai motor kamu saja nanti bensin diganti toko!” seru Bu Darma panik sambil melihat arloji.

Clara memperhatikan gerak-gerik atasannya yang tidak biasa. Celia yang disebut Bu Darma tidak pernah datang toko, tapi selalu memborong edisi terbatas. Bahkan secara berkala atasannya sendiri terbang ke Surabaya hanya untuk mengantar sepatu-sepatu itu.

“Iya, Bu. Clara berangkat sekarang,” ujar Clara. Ia mengambil kunci motor dan menyilangkan tas kecil anyam hasil reject toko. Mana mampu ia beli produk toko yang price tag-nya saja tercantum Dollar.

***

Dengan helm Doraemon kesayangan, Clara memperhatikan maps di layar ponselnya yang tertancap di stang motor. Ia lebih terlihat seperti turis mancanegara dibanding kurir dadakan sepatu handmade.

Saat di perempatan lampu merah, Clara sempat melirik bungkusan tas anyam berisi sepatu kualitas ekspor Darmaz yang tergantung pada cantelan motor di antara dua pahanya.  Pikirannya kini tertuju pada menu makan malamnya nanti, pesan nasi bebek betutu yang ditagihkan ke kantor bagus juga idenya!

Dengan terampil Clara menyusuri kemacetan Denpasar di musim libur. Saat pertama kali menginjak tanah dewata pada usia tujuh tahun, ia selalu takjub dengan patung-patung dan ornamen masyarakat Bali.

Ia memang berdarah blasteran, ayah Clara pegawai negeri di Filipina sedangkan ibunya seorang pengrajin sepatu asli orang Bali. Ayahnya meninggal karena sakit ketika ia masih TK, hal itu juga yang membuat ibunya membawanya kembali pulang ke tanah air.

Terik matahari menyengat kulit, sepanjang masih pakai sunscreen kulitnya putih susunya aman. Rambut hitam bergelombang sebahunya berkibar disapa angin sejuk, Clara memang mewarisi kulit putih dari ayahnya yang hanya memerah tapi tidak akan menghitam di bawah langit pesisir.

Cittt! Clara mendadak menarik rem kanan karena melihat anak kucing lewat. Otomatis motornya oleng dan ia terjatuh menahan motor. Hampir dua senti lagi kepalanya akan pecah terlindas mobil box dari arah berlawanan.

Clara berusaha bangun tapi posisi kakinya tertindih motor. Supir box yang hampir menabraknya mengeluarkan sumpah serapah sambil membuka pintu mobil, “Dasar bule gila!”

Beberapa detik kemudian, posisi Clara terjatuh dikerubungi beberapa orang termasuk supir mobil box. Seorang tukang parkir membantu menarik motornya sehingga ia bisa bangun.

“Bisa berdiri, Miss? Can walk? Can Walk?” Tukang parkir lain memapahnya menuju trotoar.

Clara hanya mengangguk. Ia mengucap terima kasih menggunakan bahasa tagalog, sengaja dilakukan karena seringkali masyarakat lebih ramah dan bersikap maklum pada turis.

A Cat,” ujar Clara terbata menghilangkan aksen balinya. “In front of me. I’m sorry.” Clara menatap sopir dengan perasaan bersalah, ia bahkan menggunakan raut wajah mengiba. Raut wajah cantik Clara berhasil melunakkan amarah sopir.

It’s okay, it’s okay, Miss.” Sopir menjawab dengan sungkan. Meski hatinya masih jengkel karena jidat yang memar akibat tindakan Clara tapi pria mana menolak permintaan maaf perempuan jelita yang mengiba.

Clara  berdiri dan membersihkan siku dan lututnya yang lecet. Sepanjang lengan kirinya juga lecet terkena aspal, ia menyesal mengenakan tank-top bertali spaghetti untuk hari ini.

***

Akhirnya Clara sampai ke hotel tujuan, setelah melewati pos pengamanan. Security menunjuk lahan parkir khusus kurir.

Ini pertama kalinya Clara masuk ke sebuah club private, hanya menggunakan nama sakti Celia Halim, ia dapat melenggang gratis tanpa perlu bayar tiket masuk club seharga gajinya sebulan.

“Sore, Kak. Ada yang bisa dibantu?” Resepsionis club dengan ramah menyambut di lobby.

“Mau mengirim sepatu untuk Celia Halim. Bisa diantar?”

Resepsionis mengangguk, “Sebentar ya, nanti akan ada petugas lain yang mengantar Kakak.”

Clara mengangguk. Ia terus menerus takjub dengan pemandangan didepan mata. Petugas lain lalu menjemput dan meminta Clara untuk mengikutinya.

Dengan sneakers loakan yang sudah tipis sol sepatunya, Clara mengikuti petugas. Mereka melewati kolam renang yang ramai oleh kerumunan ekspatriat disertai dentuman EDM dari DJ di panggung sisi kolam.

Petugas itu membawa Clara menuruni bukit dengan lift khusus. Masih berdecak kagum dengan pemandangan bebatuan dari tebing sekitar Pantai Geger.

“Kita masih belum sampai, Bli?” tanya Clara  dengan logat daerah pada petugas yang mengantar.

“Masih setengah jalan, Kak. Kakak asli sini?”

“Ibunya saya Bali, Bli.”

“Wah, saya pikir tamunya Miss Celia.” Ia memandang Clara dari atas ke bawah lalu kembali ke atas, “Ternyata sama kita.”

Seakan paham, Clara berujar. “Sama-sama jelata. Bukan begitu, Bli?” Keduanya tertawa garing.

Begitu selesai menuruni tebing batu, Clara lalu diajak ke sebuah dermaga dengan beberapa perahu motor berlogo club terparkir rapih. Tidak banyak bicara, ia mengikuti saja.

“Kenapa tangannya lecet-lecet?”

“Tadi jatuh dijalan, Bli. Belum sempat beli obat merah.”

Lawan bicara Clara mengangguk pendek sambil mengendarai perahu motor menuju arah yang ia tidak tahu.

“Saya tidak diculik ini?” Clara berseloroh.

“Miss Celia itu tamu VVIP kami. Hanya orang tertentu diundang ke pestanya,” jelas petugas pria itu. “Atau tepatnya hanya anak-anak orang kaya tertentu yang bingung dimana habiskan uang orangtua.”

“Wah pantas saya tidak akan bisa ikut, lha saya sudah tidak punya orang tua,” canda Clara terdengar getir.

Bli mengangguk tidak enak karena canggung.

Clara bergurau mencairkan suasana dan menunjukkan tentengan dari tas anyaman akar wangi pada Bli. “Apa kebingungan itu juga termasuk sepatu dua puluh lima juta ini?”

Bli mengangguk canggung tidak yakin, khawatir salah bicara. Perahu motor menukik cukup tajam pada sebuah tebing lain.

Clara mengeratkan pegangan pada tas anyam seolah benda pusaka. Hatinya bertanya-tanya perempuan jenis apa yang akan ditemuinya, jika menyerahkan sepatu saja perjalanannya begitu berliku.

Dari balik belokan tebing tadi, kini terlihat samar-samar perahu pesiar yang megah. Pemandangan laut lepas terlihat sepanjang mata memandang, Clara terpukau dengan di hadapannya.

Super Yacht terukir pada lambung kapal. Bli memarkir perahu motor di sisi lambung kapal, dimana ada tangga untuk naik. Mendadak hand walkie pria itu menyala dan memerintahnya  kembali ke daratan.

“Nanti ada petugas lain, Kakak akan diantar langsung bertemu Miss Celia,” pamit Bli tergesa.

Clara menarik nafas, perkara mengantar sepatu saja harus melewati tiga lapis pengamanan. Ia menaiki undakan tangga menuju ke lambung kapal.

Masih belum menemukan petugas atau pelayan hotel, Clara celingukan mencari keramaian dan suara musik berasal. Ia melewati beberapa gazebo terbuka yang dilengkapi sepasang kursi panjang untuk berjemur.

Matahari sudah jauh tidak sepanas tadi karena menjelang petang, Clara dapat melihat gurat jejak lembayung pada langit oranye. Sesaat kemudian pandangannya jatuh pada sepasang perempuan dan lelaki yang sedang berciuman.

Clara terpaku dan menyaksikan ciuman itu. Adegan yang biasa dibayangkan dalam imajinasi atau film kini terpampang nyata di hadapan. Perempuan berbikini hitam menggelayut manja.

Meski hanya mendapat pemandangan punggung sang lelaki yang bahu lebar. Clara seolah sedang menikmati adegan film romantis secara nyata.

“Berhenti, we can’t do this!” Lelaki itu menyentak sambil melepas kaitan lengan perempuan yang melilit tubuhnya.

“Dante, kamu tahu perasaanku kan?”

“Kita hanya berteman, atau tepatnya kamu sahabat Celia. That’s it. Tidak lebih,” tegas Dante mengangkat kedua tangan seolah tidak ingin terlibat lebih jauh dengan perempuan di hadapan.

Sesaat kemudian Dante berputar dan berjalan ke arahnya, Clara menangkap kekesalan di wajah lelaki itu. Seperti dugaannya, lelaki berbahu lebar itu memang tampan. Dengan potongan rambut James Dean, t-shirt V putih yang dipadukan dengan celana pendek khaki dan kemeja tipis biru Dante memang mirip bintang film.

Dalam delapan detik mereka berpapasan, waktu seakan berhenti. Clara dapat merasakan tajamnya sepasang mata Dante seolah menguilitinya. Ia tidak pernah merasakan bagaimana tatapan seorang lelaki dapat membuatnya salah tingkah seperti saat ini.

Clara mengangkat telunjuk, berdeham, suaranya tercekat di ujung lidah seolah ketampanan lelaki itu juga berhasil membius pita suaranya. Dante mengernyit dan menggeleng padanya, lalu meninggalkannya begitu saja. ***
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Projectromancethewwg
Selanjutnya Chasing My Sweetheart 02
2
0
🩵Blurb Bab 02🩵“Berhenti,” bentak Dante frustasi. Sekelompok remaja pesta kokain di tengah laut sudah satu masalah, jika ditambah mayat perempuan muda yang mati karena sepatu itu akan menjadi bencana baru untuknya. Tangannya tidak boleh kotor.Tepat waktu, Dante berhasil menggapai pinggang Clara yang nyaris terjun ke laut. Jika dibandingkan dirinya yang jangkung besar, bobot tubuh gadis itu mungkin hanya setengahnya saja.***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan