
Ravindra tidak pernah membayangkan jatuh hati sedalam ini.
Ravindra tidak pernah membayangkan jatuh hati sedalam ini.
Perempuan, adalah hal yang tidak pernah dianggapnya serius. Ia begitu menyayangi dan mencintai dirinya sendiri, sehingga pernah bersumpah hanya ingin menjalani hidup seperti yang diimpikan. Memberikan segalanya hanya untuk dirinya sendiri.
Ia ingin tinggal di Ubud dan menjelajahi daerah lain di Bali demi menangkap keindahan sebanyak mungkin, kemudian menuangkannya ke atas kanvas.
Ia menikmati melukis di pagi hari, sambil menyesap rokok dan ditemani segelas kopi yang berangsur dingin. Ravindra, sebenarnya hanya ingin hidup seperti itu sampai tua. Menghadap kanvas yang akan menjadi sarana pertumpahan inspirasi dan emosinya. Namun, wajah polos Evelyn terlanjur membuat hatinya berombak sejak pertama kali bertemu.
Tak sengaja berjumpa saat sama-sama sedang membuang sampah di depan rumah, penampilan lugu Evelyn saat itu mampu menimbulkan debar khusus di hatinya. Ravindra masih ingat, waktu itu Evelyn mengenakan kaos kebesaran dan juga celana pendek sebatas lutut. Rambut hanya diikat asal dan tampak sedikit berantakan.
Penampilan yang biasa, tapi tidak mampu menutup kecantikan yang terpancar dan tertangkap oleh matanya.
"Baru nempatin?" sapanya saat itu, hanya untuk sekadar berbasa-basi pada tetangga baru. Pasca enam bulan menempati rumah di komplek, Ravindra merasa luar biasa lega akhirnya ia mempunyai tetangga. Mau bagaimana lagi, hanya ia satu-satunya penghuni di blok ini.
"Iya," jawab Evelyn ramah. "Kakak udah lama di sini?"
"Baru enam bulan..."
"Saya Evelyn. Panggil aja Eve." Evelyn saat itu menangkupkan kedua tangannya.
"Saya Ravindra," jawab Ravindra sambil memperhatikan rona merah di pipi Evelyn. Tidak, ia yakin rona itu bukan disebabkan karena wajahnya yang kelewat tampan, melainkan matahari memang sedang terik-teriknya.
Sekilas ia menyusuri wajah kecil dengan kelopak mata yang lebar, dinaungi segaris alis yang terbentuk rapi. Tidak terlalu tebal, juga tidak tipis. Tatapannya beralih pada dagu runcing Evelyn yang membuat Ravindra ingin menyapu lembut sudut lancip itu dengan kuas. "Panggil aja Ravindra... atau kalau kepanjangan Vin juga boleh," sambungnya kemudian dan keuda matanya menyelami bibir Evelyn yang masih membentuk senyuman.
Merah muda, warna ranum bibir Evelyn yang saat itu tertangkap matanya dengan begitu sempurna.
Ia adalah laki-laki yang berkali-kali memenjara keindahan perempuan dalam bingkai kanvasnya. Namun baru kali ini ia menemukan keindahan hanya dalam tampilan pakaian rumahan dan tanpa polesan make up. Jangan salah, keindahan di mata seniman sepertinya tidak harus selalu cantik menuruti standar iklan. Perempuan yang jauh dari standar komersil sekali pun, bisa menjelma indah jika sudah terlahir kembali di atas kanvasnya.
Setelah proses basa-basi yang cukup singkat, Evelyn menghilang di balik pagar besi yang menjulang tinggi. Ravindra ingat betul, hari itu juga ia menghubungi jasa pembuatan pagar demi membatalkan pengerjaan pagar pesanan, yang baru saja ia pesan sehari sebelumnya.
Waktu itu di blok ini hanya ada mereka berdua. Sisanya rumah yang masih dalam tahap pembangunan dan tanah kavling kosong. Saat itu ia ingin di suatu kesempatan Evelyn datang dan mengetuk pintu rumahnya. Ia tidak ingin menambah pembatas di antara mereka dengan membiarkan rumahnya tetap tanpa pagar, sehingga Evelyn bebas menginjakkan kaki di halaman rumahnya, kapan saja.
Keinginannya terwujud. Evelyn, hampir selalu datang dan pintu rumahnya selalu terbuka dua puluh empat jam. Evelyn menjelma menjadi satu-satunya perempuan yang ia lukis. Ravindra tidak bisa menahannya. Ia membiarkan Evelyn masuk dan menjajah hatinya dengan bebas.
"Mantan kamu ada berapa?" Suatu hari Evelyn bertanya, saat ia sedang menempelkan sebelah telinga di permukaan perut yang kian membesar. Lucunya, pertanyaan itu dilontarkan setelah usia kehamilan Evelyn memasuki bulan ke-empat.
"Kenapa tiba-tiba nanya gitu?" Ia tentu saja keheranan.
"Hmmm... penasaran aja." Senyuman Evelyn mengembang. "Sebenernya udah lama aku pingin nanya ini. Tapi aku takut kamu nanti nanya balik berapa mantan aku... "
"Emang berapa mantan kamu? " Ia malah balik bertanya dan membuat Evelyn cemberut lucu.
"Tuh kan kamu nanya.... "
"Aku bakal jawab berapa mantan aku, kalau kamu jawab dulu berapa mantan kamu." Ravindra mengulum senyum.
"Mmm... oke. Mantan aku ada... tapi janji jangan ketawa ya!"
Belum-belum cengirannya sudah melebar,
"Tuh kan, ketawa!"
"Nggak, nggak ketawa...." Ia buru-buru menyesap pipi bagian dalam.
"Vin! Muka kamu jeleeek...." Evelyn tak dapat menahan tawanya.
"Bohong! Kamu sering bilang kalau aku ganteng. Buruan berapa mantan kamu?" desaknya yang sudah terlanjur penasaran.
"Mmm... satu," jawab Evelyn malu-malu sambil mengangkat jari telunjuknya.
"Satu doang?" Ravindra menatap tak percaya.
Evelyn mengangguk dengan wajah memelas.
"Kasihan. Nggak laku ya?"
"Ihhh!" Sebelah tangan Evelyn gemas mencubit lengannya, kemudian bibir ranum itu mengerucut lucu. Sungguh saat sedang hamil muda Evelyn semakin menggemaskan saja. Jika tidak ingat apa kata dokter, mungkin ia sudah menyeret Evelyn ke dalam kamar dan melakukan sesuatu yang sedikit brutal. Namun ia selalu teringat apa kata dokter, "Pelan-pelan ya Pak, istrinya lagi hamil muda. Jangan digoyang keras-keras."
"Sekarang jawab, berapa mantan kamu!" Raut curiga Evelyn serasa ingin membunuhnya.
"Mmm... " Ravindra memutar kedua bola matanya. Berusaha mengingat-ingat. Ah sulit. Bahkan ia lupa, kapan terakhir kali pacaran.
"Lama!" Evelyn menatap galak.
"I stop counting from..... " Ia mengacungkan ke sepuluh jarinya dengan cengiran takut-takut.
"Sepuluh?" Kedua mata Evelyn membulat.
"Mmm... sebelas, dua belas... lima belas... Eh... "
"Vin!"
"Aku lupa he he he.... " Ia tersenyum kikuk memamerkan seluruh giginya.
Mau bagaimana lagi? Memang sama sekali tidak ada yang serius. Bahkan tahun-tahun belakangan, ia mulai tidak tertarik pada komitmen sebelum akhirnya bertemu dengan Evelyn.
"Nak, jangan kayak bapakmu ya..." Evelyn memasang tampang sedih yang dibuat-buat sembari mengusap perutnya.
"Kenapa cuma satu? Apa dia segitu spesialnya? Jangan-jangan cinta pertama kamu?" Ia bermaksud menggoda Evelyn.
Evelyn tersenyum kecil. "Dia memang spesial. Kita putus baik-baik begitu lulus SMA, dan sejak itu aku nggak tertarik sama siapa pun sampai akhirnya ketemu kamu."
"Thanks to him. Dia jaga kamu baik-baik. Nggak kayak aku...." Senyuman nakalnya mengembang.
"Hm iya, dia alim! Nggak kayak kamu yang sosor terus!" ledek Evelyn dengan senyumannya yang centil menggoda.
" ..... terus lanjut di kamar, Sayang," sambungnya sebelum mengangkat tubuh Evelyn dari sofa.
"Vin, mau ngapain??" Evelyn menatap panik.
"Susu kamu tambah montok.... mau mikcu." Ia menjawab tanpa perasaan bersalah, padahal kemarin malam sudah dapat jatah.
"Vin! Dasar maniak!" Evelyn memukul pelan bahunya dengan tatapan protes yang terkesan dibuat-buat.
Ah, padahal mau! Ravindra menyadari sudut bibirnya saling menjauh ketika merindukan masa-masa itu. Ia rindu mengobrol intim dengan Evelyn. Ia rindu Evelyn tidur di sampingnya. Rindu menyelami jiwa raga Evelyn di malam-malam sunyi.
Setelah Evelyn hamil, mereka menikah secara sederhana dengan hanya dihadiri oleh keluarga dekat. Ia pindah ke rumah Evelyn, sementara rumahnya sendiri beralih fungsi menjadi studio seni kecil- kecilan.
Awal-awal menikah, segalanya masih terasa begitu indah hingga mereka tiba pada hari kelahiran Ivy. Pada saat Ivy lahir, ia juga terlahir menjadi seorang ayah. Ia menyandang peran baru dengan tanggung jawab yang demikian besar. Seiring bertambah hari, cinta Evelyn terkikis oleh peran baru mereka sebagai orang tua. Cinta mereka menjadi kian hambar. Perselisihan kerap terjadi yang sumber masalahnya itu-itu saja.
Apalagi kalau bukan soal uang.
Ravindra tidak menyesali kehadiran Ivy. Sama sekali tidak. Namun tidak dipungkiri, kehadiran Ivy justru membuat perasaan Evelyn semakin jauh darinya. Ia bukan lagi prioritas Evelyn, tetapi ia bisa menerima itu.
Ia tidak bisa cemburu pada putri kecilnya. Ivy, bagaimana pun juga adalah alasannya bertahan dari serangan demi serangan yang kerap dilakukan oleh Evelyn. Ravindra ingin Ivy tetap merasakan kasih sayang utuh darinya. Ia tidak ingin Ivy kehilangan sosok ayah sehingga tetap membangun kedekatan dengan Ivy, meski hati dan telinga seringkali tidak tahan terhadap perkataan Evelyn.
Akan tetapi, Evelyn menyerah dengannya. Evelyn memilih berpisah.
"Sorry, aku nggak kuat lagi Vin," ucap Evelyn saat mengungkapkan keinginannya untuk bercerai.
Ia tidak bisa menahan keputusan Evelyn. Kedua orang tua mereka bahkan saling bertemu untuk menjadi mediator. Namun, ia sudah terlanjur menjadi laki-laki yang gagal di mata Evelyn, hingga Evelyn membulatkan tekad untuk tetap bercerai.
"Itu urusan aku juga! Perempuan itu bakal jadi mama tirinya Ivy!" Ia mengingat amarah Evelyn kemarin malam. Ia melihat tatapan keras Evelyn setelah sebelah tangan tangguh menggebrak meja.
"Kamu cemburu?" tanyanya dengan senyuman tertahan.
"Nggak!" Evelyn buru-buru merubah mimik wajah yang keras menjadi lebih kalem. "Aku cuma khawatir sama Ivy. Khawatir bapaknya bawa pulang lonte...." Evelyn menatap sinis kedua matanya.
"Eve... kan kamu tahu aku nggak punya duit? Kamu pikir lah. Mana ada lonte mau dipake gratisan? Cuma kamu yang mau sama aku...." Ia tersenyum kering saat melihat bibir Evelyn terbuka lebih lebar, akan tetapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar.
"Maksud aku, bukan lonte dalam arti sesungguhnya. Maksud aku cewek gatel yang kesengsem sama kamu, terus nyamperin kamu gitu! Yang ngintilin kamu terus! Aku nggak mau ya, kamu pacaran di depan Ivy!"
"Kamu ngomongin masa lalu kamu?"
"Eh enak aja! Aku nggak gatel!" Kedua mata Evelyn melebar pertanda protes.
"Alah bilang aja itu kamu! Kamu tuh bisa ngatain orang lain yang kamu nggak tahu wujudnya, karena berkaca dari pengalaman kamu sendiri kan? Kamu dulu sering buang sampah pake hotpants demi pamer paha sama aku kan? Biar aku kena jebakan kamu gitu... ngaku aja dulu kamu suka kan liat aku?" Senyumannya semakin mengembang saat melihat wajah tidak terima Evelyn.
"Hiih! Ngapain! Justru aku tahu, selera kamu itu ya cewek-cewek yang gampang masuk ke rumah kamu!"
"Ya kayak kamu dulu kan? Gampang masuk rumah aku.... "
"........ "
"........ gampang buka baju juga."
"......... "
"Padahal kamu ngaku polos, tapi kamu buka-buka sendiri baju kamu!"
"VIN! Kamu duluan ya yang buka baju aku!"
"Terus kenapa nggak nolak?"
"........."
"Ha ha ha ha..." Tawanya berderai saat melihat ekspresi serba salah Evelyn.
"Aku serius! Awas kalau kamu pacaran di depan Ivy! Kalo udah punya pacar, nggak usah minta sampo sama parfumku lagi! Nggak usah numpang cuci baju di rumahku! Nggak usah... "
Ravindra tersenyum sendirian saat mengingat bagaimana ketika menghentikan ocehan Evelyn dengan bibirnya. Ia segera bangkit dari kursi dan mencuri kecup singkat dari bibir penuh wanita itu.
"Siap!" ucapnya sambil menatap lekat wajah Evelyn yang bersemu merah.
Evelyn masih mencintainya. Ravindra tahu itu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
