
⚠️ WARNING ⚠️
Chapter ini mengandung adegan menyeramkan/mengagetkan, darah, dialog umpatan serta adegan mengerikan lainnya. Dimohon kebijaksanaannya dalam membaca.
***
Arlan menelan ludah. “Pandji, kita harus gimana?!”
“Gue lawan aja kali, ya!” Marco yang seorang anak taekwondo mulai membuat ancang-ancang untuk menyerang. “Jangan mendekat, jurig sialan!”
"Guys! Baca doa!” Pandji merapal doanya dalam hati.
“Gue lupa, Ndji. Gue lupa!!!"

Suasana berubah menjadi gelap dan mencekam. Kami semua panik!
Jam, kompas, seluruh tanda yang kami buat, bahkan foto juga data yang kami ambil, kosong raib entah ke mana.
Seharusnya kami lebih peka dengan segala keanehan ini. Seharusnya kami sadar bahwa semua yang indah itu bersifat menjebak.
Celaka!
Bagaimana caranya keluar dari tempat ini?
Putaran waktu seolah terhenti dan kami hanya berputar-putar tak tentu arah di tempat antah berantah.
Entah bagaimana caranya, kami harus bisa pulang dengan selamat bersama-sama. Atau mungkin saja…, mati bersama pula.
JURNAL 2 (00:13 AM) : PANDJI – KETUA KLUB BOTANI
“Dji! Pandji!”
“PANDJI…!!! BANGUN, PANDJI…!!!”
Pandji tersentak karena guncangan di pundaknya. Ia mengejapkan mata beberapa kali, mengumpulkan kesadarannya.
Gelap?
Ia menggosok matanya saat netranya hanya bisa menangkap kegelapan. Apa ia tidak salah lihat? Benarkah hari sudah malam? Bagaimana mungkin?
“Dji….”
Suara panik seorang wanita terdengar di sisinya.
“Kita tidur berapa lama, sih?” Pandji mulai bisa melihat sedikit sinar dari headlamp^ yang dikenakan sosok wanita di hadapannya.
Wanita itu tidak menjawab pertanyaannya, malah terisak. Jemarinya yang menggengam tangan Pandji terasa begitu dingin. Beku laksana es.
“Dji? Kita ada di mana ini? Bukannya kita masih di bebatuan tepi telaga? Kenapa kita bisa di tengah hutan gini?” suara wanita yang satunya. “Tadi hari masih siang, Dji!” Wanita itu juga mulai menangis ketakutan.
“Bel, tenang dulu. Jangan panik.”
Panji yang masih mencerna keanehan ini segera mencek ponsel dari dalam waist bag-nya. Alarm yang ia pasang bahkan belum berbunyi. Yang lebih mencengangkan, sekarang jam di ponselnya menunjukkan pukul 00:13 am.
Suara langkah kaki berlari dan sibakan rerumputan semak mendekat ke arah mereka. Sekejap, seorang pria bertubuh atletis berdarah Belanda-Ambon berhenti tepat di hadapan Pandji. Napasnya tersengal.
“Kompas nggak jalan, Bro. Jarumnya muter nggak tentu arah. Padahal gue udah berkali-kali coba pindah tempat,” lapor Marco mendekati Pandji. Memperlihatkan kompas di tangannya. “Gue kira, cuma kompas gue yang rusak. Tapi ternyata, kompas anak-anak yang lain juga sama."
Penasaran, Pandji ikut mencek kompas miliknya.
Benar saja. Sama. Kompasnya bergerak tak tentu arah.
“Coba lihat jam tangan kalian dan jam ponsel. Sekarang pukul berapa?” ucap Panji. Jantungnya berdebar tak tenang. Terbayang kembali olehnya ekspresi keberatan Abinya ketika ia mengatakan akan mengadakan riset ke pulau ini.
Mereka berdelapan saling membandingkan jam di pergelangan tangan dan ponsel mereka masing-masing. Semuanya berbeda, tetapi tetap berkisar pukul 00 tengah malam.
Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?
Sebelum mereka tidur, matahari masih teramat terang. Kenapa mereka bisa terlelap hingga malam dan berada di tempat yang sangat berbeda dengan yang mereka lihat sebelumnya? Air terjun dan telaga tadi bahkan menghilang begitu saja.
“Kalian semua, ayo ngumpul.” Pandji bertepuk tangan, meminta teman-temannya untuk kembali ke dekatnya.
“Menurut kalian, apa sebaiknya kita bikin tenda dadakan di sini? Nggak mungkin kita lanjutkan perjalanan dalam kondisi seperti ini.”
“Nggak mau …! Gue mau balik ke Villa aja. Jangan-jangan kita udah di alam gaib ini …,” rengek seorang pria gemulai berbadan kurus ketakutan.
“Heh, banci! Loe nggak lihat kondisinya gelap kayak gini, huh? Belom lagi kita nggak tahu sedang berada di mana. Gimana caranya kita bisa nyampe ke Villa dalam kondisi kayak gini! Kompasnya aja ngaco. Mikir, dong!”
“Loe, cowok siluman! Jangan ngatain gue, ya!”
“Heh, gue cewek, ya!”
“Nggak ada cewek kayak loe!”
“GUYS! GI, RA! STOP! JANGAN BERANTEM LAGI!” bentak Panji. “Kita harus tenang. Panik cuma bakal menutup pikiran kita.
Dan loe, Gi, jangan ngomong yang nggak-nggak. Sekarang kita harus jaga omongan kita. Kita ada di hutan dan kita nggak tahu posisinya ada di mana. Yang kita butuhkan sekarang adalah ketenangan. Jadi kita bisa mutusin langkah kita selanjutnya. Paham?!”
Panji mengarahkan pandangannya pada ke tujuh teman-temannya. Syukurlah sudah ada salah seorang di antara mereka yang menyalakan lampu emergency petromak, sehingga ia bisa cukup jelas melihat mereka semua.
“Nah, sekarang kita sama-sama nggak ngerti apa yang sebenernya terjadi. Kita juga nggak tahu seberapa bahayanya menempuh perjalanan di malam seperti ini. Jadi menurut kalian gimana?
Kita kemah menunggu subuh dan matahari muncul atau kita lanjutkan perjalanan? Tapi pastinya harus siap dengan entah apapun resiko yang menanti di perjalanan nanti.”
Wajah teman-temannya tampak begitu tegang. Mereka saling pandang seakan tak tahu harus memutuskan apa. Pandji membiarkan mereka berpikir sejenak.
“Siapa yang setuju kalau kita kemah?”
Hanya dua tangan yang tidak mengacung.
“Kenapa?” tanya Pandji pada Togi dan Arlan.
“Gue takut, Dji …,” pria gemulai bernama Togi itu merengek kembali, bergelayut di lengan Pandji. “Yang namanya hutan pasti banyak setannya ….”
“Sssttt!” Kendra menjentik dahi Togi. “Dibilang jangan ngoceh sembarangan, masih ngeyel!”
Togi cuma bisa meringis mengusap dahinya.
“Loe punya pertimbangan apa, Lan?” tanya Pandji pada Arlan.
Arlan menarik napas dalam-dalam. “Gue harus jelasin ini dulu sama kalian semua. Gue yang bangun duluan di antara kita semua. Awalnya gue pikir gue mimpi, tapi gue cek suasana di sekitar kita, jam, kompas, angin pun, coba kalian rasakan udara di sini. Nggak ada angin sepoi-sepoi. Semuanya datar gitu aja.
Jangan kira suasana gelap ini baru terjadi. Gue sudah hitung waktu. Dan gue rasa dua jam setelah gue bangun, Marco bangun. Jarum jam masih tetap pukul 00 am."
Arlan menjeda ucapannya. Menatap serius pada mereka semua.
"Kalian semua sama sekali nggak bisa kita dibangunin dan kami nggak mungkin meninggalkan kalian lebih jauh untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Lalu satu per satu kalian bangun beberapa jam kemudian.
Loe yang terakhir, Dji. Harusnya sekarang sudah subuh.”
Pandji tercengang. “Bener, Co?” Ia mencoba memastikan pada Marco.
Marco mengangguk. Begitu pula Sirra, gadis tomboy di sisi Marco.
“Loe bangun satu jam setelah Diana.”
Pandji menarik napasnya dalam-dalam.
“Kalau kita kemah di sini, kita cuma punya tenda darurat karena sebelumnya kita emang udah bikin kemah jauh di balik air terjun tadi. Tenda ini cuma muat buat tiga cewek. Gimana kalau hari hujan?” Kendra menunjuk langit gelap tanpa bulan dan bintang. Di kejauhan terdengar gemuruh dan kilat petir. “Semua nggak muat di satu tenda.”
“Ya. Tapi kita nggak bisa berpedoman pada kompas. Kita nggak tentu arah. Aliran sungai juga nggak kedengeran,” ucap Sirra.
“Tanda yang kita ikat di pohon, gimana?"
Arlan menggeleng. “Lenyap. Tempat ini bahkan bukan rute yang sudah kita tempuh sebelumnya. Kita sudah disesatkan, Bro.”
Dua wanita dan satu pria merengek kembali.
“Ssttt …,” Sirra menenangkan dua temannya. Sementara Kendra menepuk-nepuk pundak Togi.
“Gue cek semua foto-foto kita, tanaman dan hewan-hewan eksotis itu, semuanya lenyap dari gallery. Pemandangan di dalam foto kita semua, cuma gelap dan berkabut,” tukas Diana.
Penasaran, Pandji membuka ponselnya. Benar yang diucapkan Diana. Harusnya di salah satu foto, ada dirinya yang tengah berenang bersama Marco. Di tangan Marco, tadinya ada ikan besar yang mereka panggang sebelum tidur siang.
Jantung Pandji semakin berdetak tak karuan seiring ia menggulir semua foto-foto dalam gallery ponsel dan ponsel temannya.
Kendra juga memperlihatkan hasil tangkapan kamera digitalnya. Semuanya sama. Seakan keindahan yang sebelumnya mereka lihat adalah fatamorgana. Lalu … ikan dan buah jenis apa yang sebelumnya masuk ke perut mereka?
Belum yakin betul, Pandji mengambil buku jurnalnya dari dalam ransel. Ada foto polaroid yang mereka ambil tadi.
Ya Tuhan!
Hasilnya sungguh mengerikan. Bahkan foto itu pun seolah terbakar.
Wajah teman-temannya semakin terlihat tegang.
“Dari awal, sejujurnya gue udah curiga. Mana mungkin ada tempat sebagus itu dengan flora dan fauna yang menarik, tapi belum pernah ditemukan dan diteliti. Apalagi bentuknya cantik …, juga nggak kalah ajaib.”
Pandji membenarkan ucapan Kendra dalam hati.
“Ada yang lebih mengerikan, Bro,” Arlan menghentikan ucapannya. Terlihat ragu-ragu.
“Apa?” Pandji menatap Arlan lekat-lekat.
“Pas pertama kali gue bangun tadi, gue lihat ada dua cewek cantik yang berada di dekat loe. Yang satu berpakaian seputih salju dengan aura keperakan sedang merangkul tubuh loe. Sedang yang satunya berkain keemasan, berusaha narik tangan loe.
Terus, pas mereka tahu gue ngelihat mereka, mereka tiba-tiba lenyap gitu aja dari pandangan gue.”
Semua teman-temannya menoleh ke arah Pandji. Tampak begitu tegang.
“Gue belum pernah dengar hal sekonyol ini.”
“Gue serius, Dji. Demi Tuhan!” Arlan mendesah kesal.
“Okay. Anggap aja gue percaya."
Pandji berusaha mengabaikan hal itu. Ia bukanlah orang yang gampang percaya hal gaib. Namun, entah kenapa, firasatnya semakin tak enak.
"Jadi sekarang gimana? Kemah atau lanjutkan perjalanan?”
Kembali mereka saling pandang.
“Jalan.”
Panji menggigit bibir. Ia melirik lagi arloji di pergelangan tangannya dan jam di ponsel. Sama. Keduanya benar-benar tidak bergerak dan tidak ada tanda matahari akan segera muncul. Malah gelegar petir yang terdengar semakin mendekat.
“Okay, perlengkapan tali temali, senter, headlamp dan lainnya, tolong pegang. Selama di jalan nanti, kita semua harus tetap waspada. Nggak boleh panik atau mencar apapun yang terjadi!”
***
Mereka dengan cepat mempersiapkan diri untuk mulai menempuh perjalanan. Menguatkan tekad menelusuri hutan dan lereng.
Hanya terdengar suara langkah kaki mereka di antara ranting, rerumputan dan dedaunan yang berserakan di tanah. Beberapa kali terdengar suara burung hantu dan koak gagak entah dari mana. Suasana semakin mencekam. Hutan yang mereka masuki seakan tak ada habisnya, malah semakin bertambah rapat.
“Loe nandain pohonnya tadi, ‘kan?” tanya Pandji pada Kendra yang ada di barisan paling belakang.
“Ada. Itu barusan dua meter ke belakang, gue tandai pohonnya,” sahut Kendra.
“Coba cek ulang,” ucap Pandji lagi.
Dengan sigap Kendra berlari ke arah pohon yang ia tandai.
Sebenarnya Pandji sudah mencurigai sesuatu sejak tadi. Setiap kali ia menoleh ke belakang, memeriksa jejak kakinya di rerumputan, ajaibnya rumput itu kembali tegak seakan tak pernah terinjak.
Mereka berhenti sejenak. Mengatur napas karena rasanya seakan mereka sudah berjalan lebih dari satu jam.
Kendra berbalik menatap teman-temannya. Menggelengkan kepala. Lalu berlari cepat ke arah teman-temannya.
“Gue udah sayat kulit pohonnya. Tapi sayatan tadi hilang. Bener-bener lenyap gitu aja!” seru Kendra membelalak tak percaya.
Arlan berjengit, lalu ikut menghampiri pohon yang dicek Kendra tadi. Benar. Tidak ada bekas sayatan sama sekali. Padahal sebelumnya ia jelas melihat Kendra menyayat pohon itu. Ia menggelengkan kepala saat kembali berhadapan dengan Pandji.
Suara raungan dan tangis histeris Togi kembali membahana.
“Mamaaa … Gi nggak mau mati di sini…. Gi masih pengen hidup. Gi mau pulang….”
“Kita istirahat dulu,” putus Pandji.
Ia mengetik sesuatu di ponselnya, kemudian menulis notes di jurnalnya. Sesuatu yang ia rasa harus ia lakukan. Kemudian ia mengumpulkan kembali teman-temannya. Mengatakan pertimbangannya dengan sejujur-jujurnya. Ia pernah mendengar hal ini dari Abinya dan sama sekali tidak menyangka akan mengalami tragedi mengerikan ini pula.
⠀
“Guys. Kalian mungkin sudah sama-sama pernah mendengar kejadian seperti ini, ketika seseorang atau sekelompok orang berada di hutan. Sekarang, kita sepertinya memang sudah masuk ke dalam dimensi gaib.”
Pandji membuka telapak tangannya, menahan suara tangis panik Togi dan tiga wanita yang tampak menggigil meneteskan air mata.
“Sekarang harapan kita cuma satu. Tuhan. Mari kita berdoa menurut kepercayaan masing-masing, memohon keselamatan pada Yang Maha Kuasa.”
Belum pernah mereka berdoa sekhusyuk ini seumur hidup. Namun belum sempat mereka berucap ‘Aamiin’, terdengar gelegar petir. Suaranya teramat memekakkan telinga. Lalu, rintik hujan pun turun.
Suara mendesau timbul di antara pepohonan.
⠀
‘Hihihihihi.’
⠀
Mereka sama-sama tercengang mendengar kikik halus yang sepertinya berada di atas pepohonan. Menatap nanar kelebatan putih yang melintas dari pohon yang satu ke yang lain.
⠀
‘Hihihihihi.’
⠀
“Jangan disenter!” tukas Pandji saat Marco hendak mengarahkan cahaya ke atas. “Mereka akan mengikuti arah senter kita kalau….”
“Mereka?!” Bella tersentak.
“Mereka siapa maksudnya, Dji?” Diana mengalungkan lengannya ke tangan Pandji.
Pandji menelan ludah. “Udah kita lanjut jalan. Acuhkan saja.”
⠀
‘Hihihihihi.’
⠀
Sosok putih di atas sana mulai bermunculan serentak, mengepung mereka. Sosok-sosok itu memperlihatkan diri dengan kulit yang teramat pucat, kumuh, juga bola mata dan rambut putih panjang yang kusut. Wajah mereka begitu seram. Taring mencuat dari ujung bibir mereka, sementara mereka tertawa cekikikan. Kuku-kuku mereka yang panjang, runcing dan kotor tampak sangat berbahaya.
Arlan menelan ludah. “Pandji, kita harus gimana? Mereka mengepung kita!”
“Gue lawan aja kali, ya,” Marco yang seorang anak taekwondo mulai membuat ancang-ancang melawan. “Jangan mendekat, jurig sialan!”
“Guys! Baca doa!” Pandji merapal doa dalam hati.
“Gue lupa, Ndji. Gue lupa!” ucap Kendra saking paniknya melihat kelebatan sosok-sosok buruk rupa tadi melayang cepat di sekitar mereka.
Mau tidak mau, Pandji membacakan ayat suci lebih keras. Sementara itu, rombongan bergaun putih kumuh itu mulai merangkak menuruni tanah dan pepohonan. Membuat mereka terkepung.
Sosok yang mereka yakini sebagai Kuntilanak itu semakin mendekat. Fokus Pandji sedikit terganggu karena jerit dan tangis ketakutan teman-temannya bersaing dengan hujan yang semakin bertambah deras.
⠀
“Hihihihihi."
⠀
Sontak Pandji dan kawan-kawan melirik pada siapa yang tertawa di antara mereka.
“Anjir! Si Jantina nyusahin aja. Pakai kerasukan segala lagi!” Marco mengumpat, menampar pipi Togi. Tapi pria kemayu itu malah menyenandungkan tembang Jawa kuno entah apa yang tidak akan mungkin dia nyanyikan jika sadar.
Diana dan Bella sontak menghambur memeluk tubuh Pandji, menggigil ketakutan. Kepanikan semakin menjadi, meski Pandji terus melafalkan doa-doa yang diikuti oleh teman-temannya. Hanya saja rasa takut dan panik, membuat energi positif mereka semakin melemah. Makhluk-makhluk astral itu … jadi bertambah kuat!
“Co! Ada yang narik kaki gue!” Arlan berusaha menendang selendang putih kumuh yang melilit pergelangan kakinya. Membuat tubuh Arlan jatuh tertelungkup di tanah yang basah berlumpur hitam.
Selendang itu berasal dari salah satu sosok berambut putih kelabu panjang di atas pohon dengan wajah dan senyum mengerikan. Tubuh Arlan terseret seketika. Marco dengan cepat mengejar sahabatnya itu.
Panji melempar pisau serba guna dari dalam legpack^^-nya pada Marco. Untungnya Marco bisa menangkap benda itu sambil menahan tubuh Arlan.
“Nggak bisa dipotong, Dji!” sorak Marco.
“Sambil doa motongnya, Co!”
Semetara itu Pandji makin disibukkan menjaga dua wanita yang menjerit panik ketakutan. Sedangkan Sirra dan Kendra berusaha menyadarkan Togi yang kerasukan. Pria itu sedang mencekik dirinya sendiri.
Makhluk-makhluk hitam besar dan berbulu lainnya turut berdatangan.
Sial!
Bagaimana bisa semua jadi begini?!
'Tolonglah…. Katakan ini cuma sekadar mimpi buruk. Kumohon, Tuhan …,' jerit batin Pandji.
Ia berusaha memukul makhluk-makhluk hitam besar tadi dengan tasbih yang ia kenakan di pergelangan tangannya. Beberapa makhluk yang terkena pukulannya menjerit kesakitan. Tetapi karena dua teman wanita yang menempelinya, gerakan Pandji jadi terbatas.
⠀
“Pergi kalian Kuntilanak bangsat!” Marco berteriak marah melihat tubuh Arlan telah terbalut sepenuhnya oleh kain si Kuntilanak. Hanya menyisakan matanya yang menatap nanar ke arah Marco. Dalam sekejap saja, Arlan terangkat naik ke salah satu pohon. Jeritan permohonannya tersumpal oleh selendang kotor tadi.
Marco menendang murka salah satu dari jurig wanita bermuka seram itu. Namun pergelangan tangannya ditarik oleh Kuntilanak lainnya. Terdengar bunyi derak di kaki dan tangan Marco. Pria itu meraung kesakitan, sedangkan Kuntilanak tadi tertawa melengking.
Pandji meringis dengan mata berkaca-kaca melihat pemandangan menyahat hati itu. Sementara teman-temannya yang lain menjerit histeris. Menangis meratapi Marco yang meregang nyawa karena sabetan kuku tajam Kuntilanak buruk rupa tadi pada lehernya. Darah mengucur membanjiri tubuh Marco yang terpuruk ke tanah. Membuat genangan merah yang menyatu dengan guyuran hujan.
Situasi semakin gawat karena sosok-sosok besar serupa Genderuwo ikut muncul hingga membuat Bella pingsan. Diana menjerit histeris. Apalagi ketika wanita itu ditarik paksa oleh dua sosok hitam tadi.
Penuh amarah Pandji mengejar sosok hitam itu. Menyerangnya dengan doa dan tenaga dalam yang diajarkan oleh Abinya. Tidak ia sangka, ia akan menggunakannya di saat seperti ini.
Sosok Genderuwo itu mengerang menggelegar ketika tubuhnya terbakar oleh ajian yang dikuasai Pandji. Namun, teman-teman Genderuwo itu mengerung marah. Mereka sekarang bergerombol menyerang Pandji secara bersamaan.
Pandji berusaha mempertahankan diri. Mengucap doa yang menjadi perisai perlindungan untuk dirinya. Namun sampai kapan ia bisa bertahan? Makhluk-makhluk menyeramkan itu kian bertambah banyak. Sementara tenaganya semakin terkuras.
Energi positif dalam diri Pandji mulai melemah. Berganti dengan amarah dan kesedihan ketika melihat Diana, gadis yang pernah menyatakan perasaan padanya, menjerit kesakitan saat disentuh paksa oleh para Genderuwo. Wanita itu menatap Pandji dengan pandangan memohon.
Air mata Pandji tak kuasa lagi ia bendung. Ia sungguh tak tega. Namun, bagaimana caranya ia bisa menolong gadis itu? Ia bahkan tidak bisa bergerak leluasa dari posisinya saat ini. Serangan para Genderuwo di sekitarnya terasa kian kuat.
Pandji memalingkan pandangan pada tubuh Bella yang pingsan. Gadis itu juga dipermainkan oleh sosok kerdil hitam dengan kuping runcing, bertaring dan berlidah serupa kadal.
Ya Tuhan …! Tolong kami…. Memangnya apa kesalahan yang kami lakukan di tempat ini? Seingatnya, mereka sudah berusaha sopan dan tidak melanggar peringatan yang dituturkan juru kunci pulau ini. Lalu apa masalahnya?
Panji mengalihkan pandang ke arah Sirra dan Kendra. Mereka agaknya gagal menyadarkan Togi. Pandji terpaku menatap Kendra yang bersimbah darah, jatuh ke atas rerumputan. Sementara Togi, menyeringai seram, mengangkat batu besar berlumuran darah ke arah Sirra. Mata pria pria itu sepenuhnya merah dan mengeluarkan air mata darah.
Sirra berlari menjauh dari Togi. Gadis itu berusaha menghampiri Pandji. Tetapi kakinya malah tersandung akar pohon besar. Spontan rapalan doa Pandji terlupakan karena ia bergerak mendekati Sirra.
Perisai perlindungannya lenyap seiring energi dan mental Pandji yang bertambah lemah. Geraman sosok-sosok Genderuwo tadi terdengar jauh lebih keras. Seolah mereka tahu, merekalah yang memenangkan pertarungan ini.
Tubuh Pandji kini terangkat dalam genggaman salah satu Genderuwo berukuran paling besar. Panji memejamkan mata, menyadari tak ada lagi harapan baginya untuk selamat. Ia dan teman-temannya akan berakhir di pulau terkutuk ini.
Namun, ditengah keputusasaannya, tiba-tiba muncul sinar putih menyilaukan berkelebat cepat menuju ke arahnya laksana roket.
Apalagi, ini? batinnya risau. Jantung Pandji berdebar kencang, merasa sepertinya inilah akhir hidupnya. Pandji memejamkan mata sambil terus berdoa dalam hati.
Desau angin yang teramat kuat mengibasnya dengan keras. Membuat tubuh Pandji terhempas ke tanah. Kini jaket tebal yang ia kenakan bukan hanya terguyur oleh hujan, namun juga lumpur hitam yang teramat bau. Wajah dan matanya juga terkena cipratan lumpur itu. Ia mengusap mukanya, berharap dapat melihat dengan jelas.
⠀
“Pandji…. Maaf aku hampir terlambat. Aku akan menyelamatkanmu. Jangan takut. Pegang tanganku.”
⠀
Suara lembut itu menggema dalam kepalanya. Ia membuka mata. Di hadapannya berdiri wanita yang luar biasa cantik dari balik cadar putih transparan di wajahnya. Di kepalanya bertengger tiara dari rangkaian mutiara. Wanita itu menunggu Pandji menerima uluran tangannya.
"Kamu siapa?" Pandji menoleh ke kiri dan ke kanan. Para Genderuwo yang mengelilinginya, tak bisa mendekati cahaya yang dipancarkan tubuh wanita tadi.
"Kamu tidak perlu tahu. Ayo ikut aku. Aku akan menolongmu."
Pandji menoleh ke belakang. Menatap teman-temannya yang semakin tampak mengenaskan.
“Teman-temanku?” ucap Pandji dengan air mata berderai. Ia sungguh tak kuasa melihat kondisi teman-temannya. Mereka datang ke sini penuh perjuangan, harapan, impian masa depan, juga kegembiraan. Mana mungkin ia meninggalkan mereka semua. Mereka sahabatnya.
⠀
“Maafkan aku, Pandji. Aku tak bisa menyelamatkan mereka. Sudah tak ada waktu lagi. Ikutlah denganku, sebelum dia datang!”
⠀
Wanita serupa Dewi dari Kayangan tadi mengibaskan selendang putihnya ke wajah Pandji. Seketika Pandji mencium aroma anggrek merpati yang begitu pekat dan wangi. Tubuhnya seolah melayang terbang dan matanya cuma bisa menangkap kabut putih sebelum akhirnya tenggelam dalam cahaya terang benderang.
Samar-samar, terdengar teriakan memanggil namanya dari jarak yang teramat jauh.
⠀
“PANDJIIIIII .......!!!!”
SCRATCH !
^ Senter kepala : ditempelkan di kepala sebagai cahaya bantu dalam gelap, khususnya saat bertualang di gua orienteering, hiking, ski, backpacking, berkemah, pendakian gunung atau bersepeda gunung.
^^ Tas Paha
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
