
Kita tau istilah “Membunuh tanpa menyentuh” biasa diungkapkan untuk sebuah santet, ataupun seseorang menyewa pembunuh bayaran. Namun, istilah itu saya gambarkan juga untuk para pelaku Bullying.
Ya, kenapa tidak? Pelaku bullying bahkan lebih jahat dari pembunuh bayaran. Pasalnya, yang mereka bunuh bukan nyawa, tetapi mental. Ketika seseorang telah “terbunuh” mentalnya, maka ia akan merasakan hidup seperti cangkang yang tidak berguna. Hingga pada akhirnya, banyak yang mengakhiri hidupnya...
Kita tau istilah “Membunuh tanpa menyentuh” biasa diungkapkan untuk sebuah santet, ataupun seseorang menyewa pembunuh bayaran. Namun, istilah itu saya gambarkan juga untuk para pelaku Bullying.
Ya, kenapa tidak? Pelaku bullying bahkan lebih jahat dari pembunuh bayaran. Pasalnya, yang mereka bunuh bukan nyawa, tetapi mental. Ketika seseorang telah “terbunuh” mentalnya, maka ia akan merasakan hidup seperti cangkang yang tidak berguna. Hingga pada akhirnya, banyak yang mengakhiri hidupnya ketika sudah merasa dirinya terpuruk.
Saya disini ingin membahas bahayanya bully terhadap mental seseorang. Saya tidak menulis ini berdasarkan cerita orang lain, akan tetapi Saya mengangkat cerita Saya pribadi. Bagaimana mental Saya melemah, dan terpuruk dan dampaknya berkepanjangan. Saya tau, bahwa kita semua pasti pernah melakukan tindakan bully, entah itu bullyan kecil yang sering kita tidak sadari bahwa itu bisa menyakiti hati orang lain.
Pertama, Saya ingin membahas tentang mental. Setiap orang memiliki kekuatan mental yang berbeda-beda. Kita tidak bisa menyamaratakan, apalagi jaman sekarang itu muncul sebuah istilah “Baperan”. Entah berawal darimana, namun semenjak adanya istilah ini, orang jadi menyepelekan perasaan orang lain hanya dengan satu kalimat “Ah, baperan amat lu”.
Ketika istilah tersebut muncul, orang jadi semakin menyepelekan perasaan orang lain karena dianggap baperan. Sejujurnya Saya sangat membenci kalimat itu karena itu seperti istilah menormalisasikan bully, dan menghilangkan rasa empati terhadap perasaan oranglain. Ketika kita marah ataupun tidak terima dengan sikap itu, maka dianggap orang yang baperan. Seperti itulah kata baperan bekerja.
Saya, adalah orang sejak kecil ceria, periang, dan mudah bergaul dengan orang lain. Siapa sangka, dibalik itu semua, ada luka kecil yang semakin lama semakin melebar dan membesar. Luka itu adalah hasil dari perilaku bullying yang Saya terima di masa kecil Saya. Memang betul, sikap anak kecil pada saat itu tidak akan berfikir akan berdampak seperti apa ketika melakukan hal buruk kepada orang lain. Namun, setelah dewasa dan menjadi orangtua sebaiknya kitalah yang memberi edukasi terhadap anak-anak kita, maupun anak-anak yang ada disekitar kita.
Kita yang harus memberikan arahan kepada anak sejak dini untuk tidak menjadi pelaku bullying, dan segera menolong temannya ketika menjadi korban. Ya, Saya akan menerapkan ini kepada anak Saya kelak. Karena saya tau, dulu ketika masih usia sekolah dasar, Saya mendapatkan sikap bullying dari teman-teman Saya, sehingga saya tumbuh menjadi anak yang sangat ketakutan ketika tidak diterima di circle yang ada di lingkungan Saya.
Tidak terasa, setelah tumbuh dewasa dan akan menginjak usia 30 tahun, luka Saya di masa kecil itu tidak hilang. Ketika saya mendapatkan lingkungan yang baru, dan lingkungan tersebut tidak sesuai dengan apa yang Saya harapkan, ada goncangan yang sangat hebat terhadap mental Saya. Seakan luka yang pada saat itu masih kecil, ketika tumbuh dewasa dihadapkan dengan situasi serupa, maka luka tersebut menjadi melebar dan sulit untuk menutupnya kembali.
Baru-baru ini Saya dihadapkan dengan situasi tersebut, yang mana Saya memasuki lingkungan yang baru. Ya, Saya baru bergabung dengan sebuah perusahaan yang Saya sendiri menggantungkan peruntungan Saya disini. Awalnya berjalan baik, dan Saya adalah orang yang mudah bersosialisasi dan tidak pernah menaruh niat buruk terhadap siapapun yang Saya temui, pada saat itu. Namun, seiring berjalannya waktu, Saya mulai memahami situasi dan kondisi serta culture yang ada di lingkungan yang Saya baru saja beradaptasi itu. Dimulai dari seorang senior yang mendekati Saya, kami saling mengobrol dan melempar pertanyaan selayaknya anak baru dan anak lama pada saat itu.
Tidak ada perasaan buruk sedikitpun, Saya merasa senang pada saat itu karena merasa ada seseorang yang bersikap baik, juga memberikan banyak wejangan. Ya saya anggap itu wejangan, karena dia banyak menasihati Saya, dan juga menceritakan kondisi baik buruknya di perusahaan.
Semakin larut dalam obrolan kami, ada hal yang membuat Saya mengganjal. Yaitu pertanyaan “how much salary do you get?”. Sontak saya tidak nyaman dengan pertanyaan itu. Saya pun tidak menjawabnya, dan ia memaksa menjawab dengan alibi “kamu tidak memberitahu Saya pun, Saya akan tau dari finance”. I’m so suprised. Bagaimana tidak, Saya yang heran pada saat itu bagaimana bisa sebuah divisi membocorkan data yang bersifat confidential. Lalu akhirnya Saya menjawab tanpa menyebutkan nominal pasti. Saya hanya menjawab “diatas sekian..”. Lalu dia menjawab “Oh, baiklah, Saya tidak akan memberitahukan ini kepada siapapun”. Namun, hati manusia tidak ada yang tahu. Pada akhirnya inilah awal dari semuanya, dia membocorkan obrolan kami yang seharusnya tidak di publikasi. Seakan kucing baru yang baru mendapatkan ikan segar, dia dengan antusias menggunjing tentang semua yang menjadi percakapan kami.
Hal sesederhana itu, menjadi sebuah petaka bagi Saya. Saya mudah mempercayai orang, apalagi ketika orang tersebut bersikap baik terhadap Saya. Dan benar saja, mereka yang memiliki Whatsapp Group yang tanpa saya, yang isinya hanya menceritakan tentang keburukan Saya, dan bagaimana Saya tidak bergunanya di perusahaan ini, dan membully apapun yang Saya lakukan akan menjadi sebuah gunjingan untuk mereka. Saya berfikir “Gue diem pun di omongin” setiap kali Saya tahu bahwa mereka sedang mengolok-olok.
Berjalannya waktu, Saya mulai menyadari bahwa kehadiran Saya tidak diterima dengan baik oleh mereka. Ketika Saya mulai bergabung pun mereka merasa perusahaan hanya membuang-buang uang untuk menggaji Saya. Pasalnya, dari awal Saya di hire langsung oleh owner, tanpa melalui management. Sebelum Saya bergabung secara resmi, 3 bulan sebelumnya Saya hanya sibuk dengan owner dan melakukan observasi, Saya tidak mengetahui culture di management ini seperti apa. Tentu saja ini membuat beberapa orang merasa iri (mungkin). Karena dianggap kehadiran yang tidak diharapkan. Bagaimana tidak, Saya disini membangun sebuah divisi yang sebelumnya tidak ada. Ibarat kata Saya merangkai sebuah kerangka, hanya Saya sendiri tanpa ada dukungan dari divisi lain.
Hingga akhirnya timbul entah ini sebuah kecemburuan sosial, kesenjangan atau apa. Nilai gaji yang seharusnya bersifat confidential, akhirnya seluruh karyawan mengetahui berapa gaji yang Saya dapatkan. Satu persatu menunjukkan sikap ketidak sukaannya terhadap Saya. Mereka melihat Saya terlalu ringan pekerjaannya, yang mana mereka harus selalu melakukan report setiap hari dengan mengirimkan foto kunjungan ke outlet dengan sebuah aplikasi yang hasil fotonya ada details alamat dan tanggal. Namun, Saya kerja yang dibebaskan WFO (Work From Office) ataupun WFA (Work From Anywhere). Padahal, sebetulnya beban kerja Saya yang tidak terlihat oleh mereka, yang mana saya harus menganalisan trend market, serta kondisi outlet.
Ada salah satu staff design graphis yang melemparkan pertanyaan seperti ini ketika kita sama-sama berada di smoking area pada saat jam makan siang.
“Lu kok tumben gak keluar?”, pada saat itu Saya memutuskan bekerja di kantor karena ada report yang harus Saya buat. “Oh, lagi mager di cafe aja, boros juga sih kerja di luar. Jadi di kantor aja”.
Jawaban Saya yang membuat anak tersebut merasa iri yang dia tidak bisa sebebas Saya memilih bekerja di kantor ataupun diluar. “Lo gak dimarahin sama GM kok ga dikantor aja gitu kerjanya.” Seketika Saya dapat menyimpulkan ini adalah sebuah kecemburuan yang mana dirinya tidak dapat seperti Saya bebas memilih bekerja di manapun. Saya yang pada saat itu memilih untuk tidak details menjawab karena tidak ingin menimbulkan masalah.
Semakin hari, banyak yang bersikap sinis terhadap Saya. Bahkan, orang-orang yang bersikap baik di depan Saya pun, mereka tetap menggunjing Saya di Whatsapp Group yang tanpa ada Saya itu.
Ada beberapa kejadian yang sangat mem-bully, salah satunya setiap Saya memasuki ruangan di kantor, semua gelak tawa yang ditahan. Lalu setiap baju yang Saya pakai, pasti selalu jadi bahan olok-olok. Mereka berbisik namun terdengar jelas oleh Saya. Sangat kacau pada saat itu, terdengar sepele bukan?
Namun bagi Saya itu menjadi hal yang menakutkan. Bahkan hanya untuk sekadar ambil air minum saja, yang dispensernya ada di ujung dekat meja mereka, Saya tidak berani mendekat kesana. Pernah Saya tidak kuat menahan tangis. Saya menangis dimeja Saya, setelah kejadian Saya yang di tertawakan mereka dan bahkan Saya tidak tau apa yg mereka tertawakan dari Saya. Pada saat Saya menerima gaji pertama di perusahaan tersebut, Saya sengaja membelikan mereka makanan dan juga membuat acara seperti welcoming party untuk Saya, agar Saya diterima dengan baik oleh mereka, namun itu tidak serta merta membuat mereka menjadi baik terhadap Saya. Tetap saja, Saya menjadi bahan paling legit untuk di olok-olok oleh mereka.
Setiap harinya Saya ketakutan dan gemetar. Saya Ketakutan bahkan untuk sekedar ingin menanyakan terkait pekerjaan, atau apapun. Saya merasa takut salah, takut di tertawakan. Saya betul-betul ketakutan.
Selain itu, Saya juga betul-betul tidak menyangka ketika dari mereka ada salah satu orang yang sering membuat cerita fiktif. Bahkan dia bisa memutarbalikkan fakta. Saya darisini memahami, ketika orang yang terobsesi entah itu haus akan sebuah “validasi” bahwa mereka itu superior, ataukah hanya pelampiasan dari kehidupan yang menyedihkan, atau sebuah kecemburuan kah? Dan yang terakhir asumsi Saya adalah, ini sebuah pelampiasan ketidakpuasan terhadap perusahaan. Maka ketika Saya hadir, Saya adalah orang yang pas untuk menjadi bulan-bulanan mereka.
Saya selalu bertanya-tanya dalam hati Saya, apa yang membuat orang melakukan kejahatan seperti itu? Ya, Saya anggap itu sebuah kejahatan ketika menjadikan seseorang bulan-bulanan untuk mereka. Setelah Saya keluar dari perusahaan tersebut, Saya sering bermimpi yang buruk tentang mereka. Ya, ketakutan Saya tidak berhenti sampai disitu. Saya merasa cemas, was-was dan gelisah bila mengingat mereka.
Mungkin cerita Saya tidak seberapa dibandingkan dengan cerita yang terjadi pada sebuah lembaga pemerintahan yang sedang viral itu. Namun disini Saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa sekecil apapun tindakan “bullying” tetaplah itu sebuah kejahatan yang membunuh mental seseorang. Saya adalah orang yang sudah rapuh mentalnya, mencoba untuk kuat menghadapi masalah sesederhana ini mungkin bagi orang lain. Namun bagi Saya, ini membunuh Saya secara perlahan jika Saya meneruskan bekerja disana.
Sekian cerita pengalaman ini, Saya harap ini menjadi sebuah pelajaran untuk kita semua.
Terima kasih :’)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
