“Membunuh tanpa menyentuh....Bullying”

4
0
Deskripsi

Kita tau istilah “Membunuh tanpa menyentuh” biasa diungkapkan untuk sebuah santet, ataupun seseorang menyewa pembunuh bayaran. Namun, istilah itu saya gambarkan juga untuk para pelaku Bullying

Ya, kenapa tidak? Pelaku bullying bahkan lebih jahat dari pembunuh bayaran. Pasalnya, yang mereka bunuh bukan nyawa, tetapi mental. Ketika seseorang telah “terbunuh” mentalnya, maka ia akan merasakan hidup seperti cangkang yang tidak berguna. Hingga pada akhirnya, banyak yang mengakhiri hidupnya...

Kita tau istilah “Membunuh tanpa menyentuh” biasa diungkapkan untuk sebuah santet, ataupun seseorang menyewa pembunuh bayaran. Namun, istilah itu saya gambarkan juga untuk para pelaku Bullying

Ya, kenapa tidak? Pelaku bullying bahkan lebih jahat dari pembunuh bayaran. Pasalnya, yang mereka bunuh bukan nyawa, tetapi mental. Ketika seseorang telah “terbunuh” mentalnya, maka ia akan merasakan hidup seperti cangkang yang tidak berguna. Hingga pada akhirnya, banyak yang mengakhiri hidupnya ketika sudah merasa dirinya terpuruk.

Saya disini ingin membahas bahayanya bully terhadap mental seseorang. Saya tidak menulis ini berdasarkan cerita orang lain, akan tetapi Saya mengangkat cerita Saya pribadi. Bagaimana mental Saya melemah, dan terpuruk dan dampaknya berkepanjangan.  Saya tau, bahwa kita semua pasti pernah melakukan tindakan bully, entah itu bullyan kecil yang sering kita tidak sadari bahwa itu bisa menyakiti hati orang lain.

Pertama, Saya ingin membahas tentang mental. Setiap orang memiliki kekuatan mental yang berbeda-beda. Kita tidak bisa menyamaratakan, apalagi  jaman sekarang itu muncul sebuah istilah “Baperan”. Entah berawal darimana, namun semenjak adanya istilah ini, orang jadi menyepelekan perasaan orang lain hanya dengan satu kalimat “Ah, baperan amat lu”.

Ketika istilah tersebut muncul, orang jadi semakin menyepelekan perasaan orang lain karena dianggap baperan. Sejujurnya Saya sangat membenci kalimat itu karena itu seperti istilah menormalisasikan bully, dan menghilangkan rasa empati terhadap perasaan oranglain. Ketika kita marah ataupun tidak terima dengan sikap itu, maka dianggap orang yang baperan. Seperti itulah kata baperan bekerja.

Saya, adalah orang sejak kecil ceria, periang, dan mudah bergaul dengan orang lain. Siapa sangka, dibalik itu semua, ada luka kecil yang semakin lama semakin melebar dan membesar. Luka itu adalah hasil dari perilaku bullying yang Saya terima di masa kecil Saya. Memang betul, sikap anak kecil pada saat itu tidak akan berfikir akan berdampak seperti apa ketika melakukan hal buruk kepada orang lain. Namun, setelah dewasa dan menjadi orangtua sebaiknya kitalah yang memberi edukasi terhadap anak-anak kita, maupun anak-anak yang ada disekitar kita. 

Kita yang harus memberikan arahan kepada anak sejak dini untuk tidak menjadi pelaku bullying, dan segera menolong temannya ketika menjadi korban. Ya, Saya akan menerapkan ini kepada anak Saya kelak. Karena saya tau, dulu ketika masih usia sekolah dasar, Saya mendapatkan sikap bullying dari teman-teman Saya, sehingga saya tumbuh menjadi anak yang sangat ketakutan ketika tidak diterima di circle yang ada di lingkungan Saya.

Tidak terasa, setelah tumbuh dewasa dan akan menginjak usia 30 tahun, luka Saya di masa kecil itu tidak hilang. Ketika saya mendapatkan lingkungan yang baru, dan lingkungan tersebut tidak sesuai dengan apa yang Saya harapkan, ada goncangan yang sangat hebat terhadap mental Saya. Seakan luka yang pada saat itu masih kecil, ketika tumbuh dewasa dihadapkan dengan situasi serupa, maka luka tersebut menjadi melebar dan sulit untuk menutupnya kembali.

Baru-baru ini Saya dihadapkan dengan situasi tersebut, yang mana Saya memasuki lingkungan yang baru. Ya, Saya baru bergabung dengan sebuah perusahaan yang Saya sendiri menggantungkan peruntungan Saya disini. Awalnya berjalan baik, dan Saya adalah orang yang mudah bersosialisasi dan tidak pernah menaruh niat buruk terhadap siapapun yang Saya temui, pada saat itu. Namun, seiring berjalannya waktu, Saya mulai memahami situasi dan kondisi serta culture yang ada di lingkungan yang Saya baru saja beradaptasi itu. Dimulai dari seorang senior yang mendekati Saya, kami saling mengobrol dan melempar pertanyaan selayaknya anak baru dan anak lama pada saat itu.

Tidak ada perasaan buruk sedikitpun, Saya merasa senang pada saat itu karena merasa ada seseorang yang bersikap baik, juga memberikan banyak wejangan. Ya saya anggap itu wejangan, karena dia banyak menasihati Saya, dan juga menceritakan kondisi baik buruknya di perusahaan.

Semakin larut dalam obrolan kami, ada hal yang membuat Saya mengganjal. Yaitu pertanyaan “how much salary do you get?”. Sontak saya tidak nyaman dengan pertanyaan itu. Saya pun tidak menjawabnya, dan ia memaksa menjawab dengan alibi “kamu tidak memberitahu Saya pun, Saya akan tau dari finance”. I’m so suprised. Bagaimana tidak, Saya yang heran pada saat itu bagaimana bisa sebuah divisi membocorkan data yang bersifat confidential. Lalu akhirnya Saya menjawab tanpa menyebutkan nominal pasti. Saya hanya menjawab “diatas sekian..”. Lalu dia menjawab “Oh, baiklah, Saya tidak akan memberitahukan ini kepada siapapun”. Namun, hati manusia tidak ada yang tahu. Pada akhirnya inilah awal dari semuanya, dia membocorkan obrolan kami yang seharusnya tidak di publikasi. Seakan kucing baru yang baru mendapatkan ikan segar, dia dengan antusias menggunjing tentang semua yang menjadi percakapan kami.

Hal sesederhana itu, menjadi sebuah petaka bagi Saya. Saya mudah mempercayai orang, apalagi ketika orang tersebut bersikap baik terhadap Saya. Dan benar saja, mereka yang memiliki Whatsapp Group yang tanpa saya, yang isinya hanya menceritakan tentang keburukan Saya, dan bagaimana Saya tidak bergunanya di perusahaan ini, dan membully apapun yang Saya lakukan akan menjadi sebuah gunjingan untuk mereka. Saya berfikir “Gue diem pun di omongin” setiap kali Saya tahu bahwa mereka sedang mengolok-olok.

Berjalannya waktu, Saya mulai menyadari bahwa kehadiran Saya tidak diterima dengan baik oleh mereka. Ketika Saya mulai bergabung pun mereka merasa perusahaan hanya membuang-buang uang untuk menggaji Saya. Pasalnya, dari awal Saya di hire langsung oleh owner, tanpa melalui management. Sebelum Saya bergabung secara resmi, 3 bulan sebelumnya Saya hanya sibuk dengan owner dan melakukan observasi, Saya tidak mengetahui culture di management ini seperti apa. Tentu saja ini membuat beberapa orang merasa iri (mungkin). Karena dianggap kehadiran yang tidak diharapkan. Bagaimana tidak, Saya disini membangun sebuah divisi yang sebelumnya tidak ada. Ibarat kata Saya merangkai sebuah kerangka, hanya Saya sendiri tanpa ada dukungan dari divisi lain.

Hingga akhirnya timbul entah ini sebuah kecemburuan sosial, kesenjangan atau apa. Nilai gaji yang seharusnya bersifat confidential, akhirnya seluruh karyawan mengetahui berapa gaji yang Saya dapatkan. Satu persatu menunjukkan sikap ketidak sukaannya terhadap Saya. Mereka melihat Saya terlalu ringan pekerjaannya, yang mana mereka harus selalu melakukan report setiap hari dengan mengirimkan foto kunjungan ke outlet dengan sebuah aplikasi yang hasil fotonya ada details alamat dan tanggal. Namun, Saya kerja yang dibebaskan WFO (Work From Office) ataupun WFA (Work From Anywhere). Padahal, sebetulnya beban kerja Saya yang tidak terlihat oleh mereka, yang mana saya harus menganalisan trend market, serta kondisi outlet. 

Ada salah satu staff design graphis yang melemparkan pertanyaan seperti ini ketika kita sama-sama berada di smoking area pada saat jam makan siang.

Lu kok tumben gak keluar?”, pada saat itu Saya memutuskan bekerja di kantor karena ada report yang harus Saya buat. “Oh, lagi mager di cafe aja, boros juga sih kerja di luar. Jadi di kantor aja”.

Jawaban Saya yang membuat anak tersebut merasa iri yang dia tidak bisa sebebas Saya memilih bekerja di kantor ataupun diluar. “Lo gak dimarahin sama GM kok ga dikantor aja gitu kerjanya.” Seketika Saya dapat menyimpulkan ini adalah sebuah kecemburuan yang mana dirinya tidak dapat seperti Saya bebas memilih bekerja di manapun. Saya yang pada saat itu memilih untuk tidak details menjawab karena tidak ingin menimbulkan masalah.

Semakin hari, banyak yang bersikap sinis terhadap Saya. Bahkan, orang-orang yang bersikap baik di depan Saya pun, mereka tetap menggunjing Saya di Whatsapp Group yang tanpa ada Saya itu.

Ada beberapa kejadian yang sangat mem-bully, salah satunya setiap Saya memasuki ruangan di kantor, semua gelak tawa yang ditahan. Lalu setiap baju yang Saya pakai, pasti selalu jadi bahan olok-olok. Mereka berbisik namun terdengar jelas oleh Saya. Sangat kacau pada saat itu, terdengar sepele bukan?

Namun bagi Saya itu menjadi hal yang menakutkan. Bahkan hanya untuk sekadar ambil air minum saja, yang dispensernya ada di ujung dekat meja mereka, Saya tidak berani mendekat kesana. Pernah Saya tidak kuat menahan tangis. Saya menangis dimeja Saya, setelah kejadian Saya yang di tertawakan mereka dan bahkan Saya tidak tau apa yg mereka tertawakan dari Saya. Pada saat Saya menerima gaji pertama di perusahaan tersebut, Saya sengaja membelikan mereka makanan dan juga membuat acara seperti welcoming party untuk Saya, agar Saya diterima dengan baik oleh mereka, namun itu tidak serta merta membuat mereka menjadi baik terhadap Saya. Tetap saja, Saya menjadi bahan paling legit untuk di olok-olok oleh mereka.

Setiap harinya Saya ketakutan dan gemetar. Saya Ketakutan bahkan untuk sekedar ingin menanyakan terkait pekerjaan, atau apapun. Saya merasa takut salah, takut di tertawakan. Saya betul-betul ketakutan.

Selain itu, Saya juga betul-betul tidak menyangka ketika dari mereka ada salah satu orang yang sering membuat cerita fiktif. Bahkan dia bisa memutarbalikkan fakta. Saya darisini memahami, ketika orang yang terobsesi entah itu haus akan sebuah “validasi” bahwa mereka itu superior, ataukah hanya pelampiasan dari kehidupan yang menyedihkan, atau sebuah kecemburuan kah? Dan yang terakhir asumsi Saya adalah, ini sebuah pelampiasan ketidakpuasan terhadap perusahaan. Maka ketika Saya hadir, Saya adalah orang yang pas untuk menjadi bulan-bulanan mereka.

Saya selalu bertanya-tanya dalam hati Saya, apa yang membuat orang melakukan kejahatan seperti itu? Ya, Saya anggap itu sebuah kejahatan ketika menjadikan seseorang bulan-bulanan untuk mereka. Setelah Saya keluar dari perusahaan tersebut, Saya sering bermimpi yang buruk tentang mereka. Ya, ketakutan Saya tidak berhenti sampai disitu. Saya merasa cemas, was-was dan gelisah bila mengingat mereka.

Mungkin cerita Saya tidak seberapa dibandingkan dengan cerita yang terjadi pada sebuah lembaga pemerintahan yang sedang viral itu. Namun disini Saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa sekecil apapun tindakan “bullying” tetaplah itu sebuah kejahatan yang membunuh mental seseorang. Saya adalah orang yang sudah rapuh mentalnya, mencoba untuk kuat menghadapi masalah sesederhana ini mungkin bagi orang lain. Namun bagi Saya, ini membunuh Saya secara perlahan jika Saya meneruskan bekerja disana.

Sekian cerita pengalaman ini, Saya harap ini menjadi sebuah pelajaran untuk kita semua.

Terima kasih :’)

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya WANITA TUA SI PEMBULLY
2
0
Terkadang sebuah ketidakpuasan seseorang terhadap kehidupannya, menjadikan sebuah obsesi yang tidak lagi belandaskan dengan logika. Atau ketika seseorang yang mengalami kehidupan yang menyedihkan, membuatnya melampiaskan kesedihannya yang terpendam itu kepada orang lain yang ia anggap memiliki sesuatu yang ia tidak punya. Maka dengan cara itu, ia akan merasa kuat dan puas. Cerita berikut ini adalah salah satu contoh tentang kisah seorang wanita tua yang tidak puas akan kehidupannya, kemudian ia melampiaskannya kepada orang lain. Ia merasa dengan membuat orang yang ia benci menderita, ada kepuasan tersendiri untuknya. Dengan terus menerus memberi makan egonya, membuatnya seakan diakui oleh sekitarnya bahwa ia berkuasa. Rasa dahaga dan dehidrasi akan sebuah pengakuan terus dirasakan didalam dirinya, selama tidak ada korban pelampiasan atas kekurangannya itu.Aku percaya, bahwa setiap manusia dilahirkan dengan sifat yang baik. Hanya saja, kehidupan yang mereka lalui berbeda-beda, sehingga menjadikan seseorang itu bisa menjadi jahat ataupun sebaliknya. Ya, wanita berusia 43 tahun ini, aku melihatnya adalah pribadi yang hangat, dan baik hati. Aku mengaguminya, pada awal kami saling bercerita tentang kisah masa lalu. Namun, semakin lama aku mengenalnya, aku melihat sisi lain darinya, yang biasa kusebut “dark side”. Dia, wanita yang terlahir dari keluarga yang sederhana, namun kehilangan sosok seorang ayah menjadikannya wanita yang keras dan egois. Terkadang dia sangat ingin diakui sebagai wanita yang kejam dan tidak berperasaan. Dia yang sangat ingin diagungkan di lingkungannya, ingin diakui dan dihormati. Senioritas adalah menjadi sebuah budaya yang ia terapkan terhadap siapapun yang ada disekitarnya. Ia tidak segan “menebas” siapapun yang dia anggap tidak sejalan dengannya.“Gue bakal bikin dia di cut”. Kalimat yang sering diucapkannya ketika ada seseorang yang ia tidak sukai. Menghina, menyindir dan mengolok-olok adalah sebuah budaya yang ia terapkan kepada para juniornya dan juga circle nya. Merasa usia dan masa kerjanya paling lama, maka banyak orang yang segan terhadapnya. Entah segan, atau takut akan menjadi bulan-bulanan. Semua orang seakan tunduk kepadanya. Bahkan dia tidak segan beradu mulut dengan atasannya, merasa paling tahu segalanya. Merasa ia paling bisa menangani setiap masalah.Aku semula yang sangat percaya kepadanya, dengan kata-kata manisnya seakan dia adalah seorang senior yang baik hati dan dapat dipercaya. Namun lambat laun ia mencoba menjadikanku sasaran bulan-bulannya. Rasa iri dengki terhadapku, mungkin itulah faktor utama yang membuatnya amat sangat membenciku. Itulah asumsiku setiap kali aku berfikir, “Aku salah apa, kok tega banget”.Namun, seiring berjalannya waktu, akupun sadar bahwa bukan aku yang salah, namun dialah yang sepertinya ada masalah dalam kehidupannya. Perlahan aku menyadari, dia membutuhkan seseorang untuk ia jadikan sasaran pelampiasan atas ketidakpuasannya terhadap hidupnya. Bayangkan saja, di usia yang tak lagi muda, wanita tua ini harus bekerja dengan level yang masih bawah. Belum lagi anak-anaknya yang masih kecil dan membutuhkan banyak biaya. Maka dari itu, ia berusaha untuk mempertahankan pekerjaannya. Meskipun ada suaminya, namun tuntutan kebutuhan yang tinggi membuatnya harus terpaksa bekerja. Memang ini adalah hal biasa dalam kehidupan, setiap orang pasti memiliki struggle masing-masing. Namun, apabila disadari, wanita tua ini sangat terobsesi menjadi superior dan paling di segani di lingkungannya karena dibalik itu ada kehidupan yang menyedihkan.Belum lagi hinaan yang kadang ia terima dari orang yang menganggapnya wanita gampangan, entahlah. Ia merasa ia adalah sosok MILF. Seringkali ia membanggakan bahwa banyak yang ingin mendekatinya. Tetapi pada kenyataannya, memang banyak yang ingin mendekatinya hanya untuk menidurinya. Itulah mengapa dia sangat bangga ketika dia haus dan dahaga akan sebuah validasi bahwa ia adalah sosok MILF.Aku adalah seseorang yang merasa menjadi sasaran bulan-bulannya. Entah karena keberadaanku dirasa menganggunya, atau dia tidak puas akan posisiku. Yang aku sering dengar adalah banyak beberapa orang sebelumnya yang ia serang, orang-orang itu kebanyakan orang yang ia anggap “gak ada kerjanya”.Aku yang tidak begitu nampak ia jadikan samsak, terlihat samar. Ya, wanita tua ini memiliki kekuatan manuever kepada orang-orang untuk mengolok-olokku. Bully yang ia lemparkan kepadaku memanglah tidak nampak seperti menyiksa fisik pada umumnya. Namun wanita tua ini memiliki mulut seperti ular yang bercabang. Ia bisa menjadi sebuah “bisa” dimanapun ia berada. Terkadang aku melihat posisinya bak mami-mami yang ada di tempat bordel.Semakin aku mempelajarinya, semakin aku paham kenapa ia bisa melakukan itu. Aku melihat banyak ketidakpuasan yang ia rasakan. Di mulai dari posisinya yang masih level bawah, gaji yang ia rasa sangat minim dan tidak setara dengan pekerjaannya, kondisi usia tua yang mengharuskannya untuk tetap pergi kerja dan meninggalkan anak balitanya, dan banyak hal lain lagi terutama kisah masa lalunya yang kehilangan sosok kasih sayang dari sang Ayah. Sungguh menyedihkan, di usia yang tak lagi muda, ia harus menanggung ketidakadilan kehidupan. Ia menutupi itu dengan menjadi sosok yang kejam dan superior.Seringkali ku dengar ia tak segan melawan atasannya dengan kata-kata yang tidak pantas di lontarkan dari seorang bawahan ke atasan. Namun, itulah kenyataannya. Ia mungkin tumbuh dengan kehidupan yang keras yang menjadikannya pribadi yang tak ada etika.Aku juga sering mendengar olok-olok yang ia lontarkan kepada siapa saja yang ia rasa pantas untuk dihina. Aku salah satu orang yang sering mereka jadikan bahan rosting. Ya, roasting. Baru-baru ini kata itu menjadi kata favorite wanita tua ini dan juga para circle nya untuk menjadi bahan tertawaan mereka ketika mereka sedang berkumpul.Tak segan-segan, bahkan mereka memiliki panggilan untuk CEO perusahaan tempat mereka bekerja dan mencari nafkah. “BOBI”, yaa, awalnya kupikir mereka memanggil CEO kami itu dengan nama pendeknya, namun ternyata BOBI adalah kepanjangangan dari Botak Biadab. Aku yang speecless  ketika mendengar panggilan yang mereka buat kepada orang yang memberikan mereka pekerjaan dan makan dari gajinya.Tak hanya itu, mereka akan memberikan sebutan olok-olok kepada siapapun yang mereka anggap “seru” untuk di roasting. Seringnya mereka membuat panggilan itu dari fisik. Ketika mereka sedang menceritakan orang-orang yang mereka olok-olok itu, mereka tertawa terbahak-bahak dengan puas. “Enak banget ya ngeroasting orang tuh, aku suka banget”. Ucap salah satu komplotan wanita tua itu. Entahlah, ini menjadi sebuah culture yang mereka bangun. Aku melihatnya itu adalah culture shock  yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Dan itu adalah sebuah toxic yang menjadikan mereka kehilangan sebuah empati.Aku melihat dari komplotan wanita tua ini adalah junior-junior yang masih muda usia dibawah 25 tahun. Tentu saja mereka seakan mengabdi kepada wanita tua ini agar diakui keberadaannya. Padahal sebelumnya, aku melihat mereka ini adalah pribadi yang baik. Namun karna tuntutan sebuah culture, menjadikan mereka terbiasa menjadi jahat.Ketika pulang kerumah, wanita tua ini menjadi sosok ibu yang hangat untuk anak-anaknya, dan sosok seorang istri yang mengabdi kepada suaminya. Ia melakukan pekerjaan rumah tangga dengan baik, mengurus anak-anaknya dengan baik. Namun ketika memasukin lingkungan kerja, ia seperti berubah menjadi sosok “Wanita Tua Pembully”.Itulah gambaran sebuah cerita dimana jalan kehidupan, ketidakadilan yang diterima menjadikan seseorang yang baik menjadi kehilangan empati.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan