
Serba-serbi takdir menurut Ikram Hawramani yang dipandu pandangan Ibnu Taimiyah dan mazhab Maturidi.
"Teologi Ibnu Taimiyah
Esai Jon Hoover dalam buku Ibnu Taimiyah dan Zamannya (yang saya tinjau di sini) telah menyadarkan saya bahwa Ibnu Taimiyah memiliki solusi unik yang dapat membantu mengakhiri kebuntuan intelektual teologi Islam ortodoks ketika hanya merujuk kepada para pemikir seperti al-Ghazāli dan al-Rāzī. Oleh itu, saya memutuskan untuk membaca Teodisi Optimisme Tanpa Henti Ibnu Taimiyah karya Hoover, sebuah studi yang sangat rinci dan informatif tentang pemikiran teologis Ibnu Taimiyah yang didasarkan pada disertasi doktoralnya,
Para teolog Asy'ariyah menyangkal bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dengan suatu tujuan, karena dalam pandangan mereka hal ini menyiratkan bahwa Tuhan membutuhkan alam semesta, yang kemudian menyiratkan bahwa Tuhan tidak sempurna. Untuk mempertahankan ketidakbutuhan Tuhan secara mutlak, mereka harus menegaskan bahwa alam semesta diciptakan bukan karena adanya keinginan, maksud atau tujuan dari Tuhan.
Para teolog Asy'ariyah juga memunculkan gagasan ‘waktu-mati’ di mana semua kejadian dalam sejarah, pada masa lalu, masa kini dan masa depan itu seperti film yang telah selesai disutradarai Tuhan. Mereka harus menegaskan hal ini karena berpikir bahwa anggapan masa depan belum tercipta akan menyiratkan pengetahuan Tuhan berubah (bertambah atau berkurang) seiring waktu. Bagi mereka, perubahan bagi Tuhan tidak dapat diterima karena menyiratkan ketidaksempurnaan. Tuhan seharusnya sudah mengetahui segala sesuatu yang mungkin terjadi sejak pra-keabadian sehingga pengetahuanNya tetap sama dan tidak pernah berubah.
Ibnu Taimiyah menolak pandangan waktu-mati ini. Baginya Tuhan ada dalam "waktu-riil". Jika anda membayangkan keabadian seperti sebuah garis, saat ini adalah sebuah titik di atasnya di mana kita dan Tuhan mengalaminya bersama-sama. Meskipun Tuhan itu abadi dan alam semesta diciptakan dalam waktu, tidak berarti bahwa waktu Tuhan terpisah dari waktu alam semesta. Waktu adalah riil di mana-mana. Di bawah ini adalah diagram yang menggambarkan pemahaman Ibnu Taimiyah tentang waktu:
Menurut Ibnu Taimiyah, jika Tuhan telah menciptakan segala sesuatu yang mungkin terjadi sejak pra-keabadian, artinya tidak akan terjadi apa-apa karena semuanya sudah terjadi, seperti film yang sudah disimpan di rak. Tetapi kenyataannya kita mengalami waktu dan perubahan, yang baginya membuktikan bahwa waktu itu riil dan bahwa kehendak Tuhan berinteraksi dengan alam semesta dalam waktu riil daripada hanya sekali dalam pra-keabadian seperti yang diklaim para teolog Asy’ariyah.
Para teolog Asy’ariyah harus menempatkan pengetahuan dan kehendak yang tidak berubah bagi Tuhan untuk mempertahankan gagasan yang diilhami Yunani bahwa Tuhan tidak berubah. Ibnu Taimiyah mengkritik gagasan tentang Tuhan yang terikat, yang tidak dapat menghendaki atau menciptakan sesuatu yang benar-benar baru. Dia mengatakan Tuhan yang bisa menghendaki dan menciptakan hal-hal baru di dalam waktu sebenarnya lebih sempurna daripada Tuhan yang tidak bisa melakukan hal ini. Dengan cara ini, dia mempertahankan pandangan waktu-riil tentang Tuhan dari waktu-mati para teolog Asy’ariyah. Bagi Ibnu Taimiyah, Tuhan selalu dinamis, aktif dan kreatif dalam waktu-riil, karena Tuhan seperti ini lebih sempurna daripada Tuhan yang diam.
Seseorang mungkin keberatan karena pandangan ini menundukkan Tuhan kepada waktu. Pada kenyataannya, waktu tunduk kepada Tuhan – Tuhan menciptakan waktu saat demi saat dengan kehendak dan kuasaNya. Tuhan itu abadi, tetapi satu tindakanNya dapat mendahului tindakanNya yang lain (karena kita mengatakan Tuhan yang dinamis lebih sempurna daripada Tuhan yang diam), dan "waktu" menjadi berarti rangkaian tindakan Tuhan. Jika Tuhan berhenti bertindak, waktu akan berhenti – alam semesta akan menjadi seperti gim video yang dijeda. Tuhan bertindak setiap saat dengan menyebabkan atom dan foton bergetar dan bergerak, dan mungkin inilah yang menyebabkan waktu ada. Jika semuanya berhenti bergerak, waktu akan berhenti.
“Dan mereka meminta kepadamu (Muhammad) agar azab itu disegerakan, padahal Allah tidak menyalahi janji-Nya. Dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.”
A-Qur’an, ayat 22:47
Ayat di atas menunjukkan bahwa Tuhan terlibat secara dinamis dengan waktu, dan waktu itu relatif. Tuhan dapat mengontrol seberapa cepat waktu bergerak dalam alam semesta hanya dengan memperlambat atau mempercepat seberapa cepat foton dan atom bergetar dan bergerak. Ayat di atas mengisyaratkan bahwa alam semesta berjalan sangat cepat dibandingkan cara Tuhan mengukur waktu di luar alam semesta. 1000 tahun telah berlalu dalam alam semesta kita ketika hanya satu hari berlalu bagi Tuhan. Seolah-olah kita hidup dalam gim video yang dipercepat dengan faktor sekitar 354360 (jumlah hari dalam 1000 tahun lunar).
Para teolog Asy’ariyah mengatakan tidak mungkin bagi Tuhan melakukan sesuatu secara berurutan satu demi satu karena Dia harus melakukan segala sesuatu dalam satu saat pada waktu pra-keabadian. Tetapi Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Tuhan yang menciptakan segala sesuatu satu demi satu lebih sempurna. Dan jika Tuhan menciptakan secara demikian, jika Dia menciptakan setiap momen, maka artinya waktu itu riil, bagi kita dan bagi Tuhan, melalui pilihan Tuhan sendiri yang memilih untuk menciptakan setiap momen. Para teolog Asy’ariyah mengatakan waktu hanyalah sebuah ilusi yang membuat mereka menyangkal kehendak bebas karena berpikir Tuhan seharusnya sudah selesai menyutradarai film sejarah. Tetapi jika waktu itu riil, jika Tuhan menciptakan setiap momen pada saat ia terjadi, ini memberi ruang bagi perkembangan dan perubahan dalam film sejarah. Sejarah tidak akan menjadi sebuah buku tertutup atau film yang telah usai, melainkan sebuah kisah yang hidup dan berkembang.
Baik para teolog Asyʿariyah dan Muʿtazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki maksud dan tujuan ketika menciptakan alam semesta, karena jika tidak begitu artinya Tuhan memperoleh sesuatu dari penciptaan alam semesta. Artinya Tuhan tidak sempurna dan bertujuan menjadi sempurna dengan menciptakan alam semesta. Tetapi Ibnu Taimiyah menjawab:
Siapa pun yang melakukan suatu tindakan yang tidak mendatangkan kesenangan, atau manfaat, atau keuntungan bagi dirinya sendiri, pada waktu menjelang atau akan datang, tidak memiliki tujuan, dan tidak dipuji karenanya.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Tuhan yang bertindak dengan tujuan yang bijaksana lebih sempurna daripada Tuhan yang tidak memiliki tujuan, jadi Tuhan harus memiliki tujuan yang bijaksana ketika menciptakan alam semesta. Para teolog Asyʿariyah menjawab bahwa tindakan ini menyiratkan Tuhan tidak sempurna dan memiliki kebutuhan menyempurnakan diri-Nya. Ibnu Taimiyah menjawab bahwa kesempurnaan berarti melakukan segala sesuatu pada waktunya dan ketidaksempurnaan adalah ketika sesuatu tidak ada padahal seharusnya ada. Jadi bagi Ibnu Taimiyah penciptaan yang tanpa henti, dinamis dan bijaksana adalah ekspresi kesempurnaan Tuhan. Bukan penciptaan tanpa tujuan karena menciptakan dengan tujuan adalah sifat Tuhan sejak keabadian dan ekspresi kesempurnaanNya. Dia tidak membutuhkan ciptaan, adalah ekspresi kesempurnaanNya untuk menciptakan terus-menerus.
Teologi Ibnu Taimiyah gagal menyelesaikan paradoks takdir dan kehendak bebas. Dia mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan semua tindakan manusia (sesuatu yang bisa kita setujui), tetapi dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa Tuhan juga menciptakan penyebab yang membuat manusia memilih suatu tindakan dibanding tindakan yang lain. Sementara dia berargumen secara luas bahwa manusia bertanggung jawab atas tindakan mereka, dia juga berargumen secara kontradiktif bahwa manusia pada akhirnya tidak punya pilihan, dengan mengatakan bahwa pilihan manusia sebenarnya adalah jabr bi-tawaṣṣut al-irāda (keharusan melalui kehendak [yang diciptakan Tuhan sendiri] ]), yang juga dikatakan al-Rāzī.
Membela Kehendak Bebas bersama Para Teolog Maturīdī
Sementara Ibnu Taimiyah gagal menjelaskan paradoks takdir dan kehendak bebas, dia memberikan sebuah unsur dasar penting bagi solusinya, yaitu menyangkal pandangan Asy'ariyah tentang “waktu-mati”, dan menggantinya dengan teori waktu-riil – gagasan bahwa tindakan Tuhan mengikuti setiap tindakan lain, sehingga waktu itu riil dan sejarah bukanlah film yang sudah usai; melainkan kisah yang berkembang. Masa depan belum ada dan Tuhan menghadirkan setiap momen baru dalam sejarah secara waktu-riil. Ketika menjawab doa seseorang, Tuhan benar-benar dan sungguh-sungguh campur tangan dalam alam semesta untuk membawa perubahan bagi kepentingan orang yang berdoa, sedangkan para teolog Asy'ariyah mengatakan baik doa dan jawabannya sudah ditakdirkan sejak pra-keabadian.
Teologi Ibnu Taimiyah seringkali bergantung pada pertimbangan kualitas apa yang paling sempurna bagi Tuhan. Dengan demikian, dia mengatakan bahwa Tuhan yang aktif dan dinamis lebih sempurna daripada Tuhan yang diam para teolog Asy’ariyah. Pertanyaan yang harus diajukan adalah: Tuhan mana yang lebih sempurna, yang dapat menciptakan makhluk yang benar-benar berkehendak bebas, atau yang tidak dapat menciptakan makhluk seperti itu?
Para teolog Asy’ariyah, al-Ghazāli, al-Rāzī dan Ibnu Taimiyah semuanya mengatakan bahwa Tuhan benar-benar terikat oleh sifat-Nya sehingga tidak mampu menciptakan makhluk berkehendak bebas karena Dia harus menciptakan semua niat, kehendak dan tindakan. Tuhan tidak mampu memberikan ruang bagi manusia untuk bebas.
Apakah Tuhan seperti itu lebih sempurna dari Tuhan yang berkuasa menciptakan makhluk yang benar-benar bebas? Kita manusia bisa membuat robot, tapi kita tidak pernah bisa memberi mereka kemampuan untuk memiliki kehendak bebas. Semua yang mereka lakukan akan selalu berasal dari pemrograman mereka. Bahkan jika kita membiarkan mereka dengan bebas memilih apa yang harus dilakukan berdasarkan lingkungan mereka, lingkunganlah yang memutuskan sepenuhnya apa yang harus mereka lakukan. Bahkan jika kita menambahkan sedikit keacakan pada keputusan mereka sehingga mereka dapat secara acak memilih tindakan mereka, tidak akan ada kebijaksanaan atau pilihan dalam keputusan mereka. Yang terjadi adalah acak, arbitrer, dan tanpa tujuan.
Apa yang unik tentang manusia adalah tidak seperti robot, manusia memiliki dimensi ekstra yang memberi mereka kemampuan untuk benar-benar memilih, seperti yang diyakini para sarjana Maturīdī. Inilah kemungkinan Amanah yang Tuhan maksudkan dalam ayat ini:
Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh,
Al-Qur’an, ayat 33:72
Tuhan telah mengamanahkan kita dengan kemampuan yang diciptakanNya dalam kebijaksanaan dan kreativitas-Nya – kemampuan memilih antara yang baik dan yang buruk. Oleh itu, kita dapat mengatakan seperti al-Māturīdī bahwa ada unsur ikhtiyār (kemampuan memilih) yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Kita tidak mengatakan, seperti kaum Mu’tazilah dan Qadariah, bahwa manusia menciptakan tindakan mereka sendiri. Sebagai gantinya, kita bisa mengusulkan proses tiga langkah berikut:
- Manusia berniat berdasarkan suatu kemampuan yang telah didelegasikan Tuhan. Manusia diberi kemampuan oleh Tuhan untuk menciptakan niatnya sendiri. Tuhan yang dapat mendelegasikan keputusan kepada makhluk-Nya lebih sempurna daripada Tuhan yang tidak.
- Tuhan menciptakan kehendak manusia (atau tidak menciptakannya)
- Tuhan menciptakan tindakan eksternal (atau tidak menciptakannya)
Oleh itu, Tuhan sepenuhnya berkuasa atas alam semesta dan manusia tidak akan pernah bisa menginginkan apa pun kecuali Tuhan menghendakinya dan mengizinkannya (seperti langkah kedua). Kita manusia hanya bisa berniat melakukan sesuatu, berdasarkan ikhtiyār (kebebasan memilih) yang telah Tuhan berikan kepada kita, dan Tuhanlah yang menciptakan segala hal lain yang mengikutinya.
Kita juga dapat menolak pandangan Muʿtazilah/Qadariyah bahwa Tuhan tidak menciptakan perbuatan buruk. Mereka mengatakan jika Tuhan menciptakan perbuatan buruk, Dia akan bertanggung jawab atas perbuatan ini. Tetapi kita mengatakan bahwa ketika manusia bermaksud buruk, Tuhan, ketika berkehendak, mengizinkan perbuatan buruk ini terjadi karena tujuanNya yang bijaksana. Tuhan tidak bertanggung jawab atas keburukan karena ia berasal dari niat manusia. Dia hanya melaksanakan niat ini untuk melestarikan sistem alam semesta yang telah diciptakanNya. Ketika manusia berniat buruk, Tuhan mungkin memperlakukan mereka dengan khidhlān (pengabaian) seperti yang dikatakan Abū Ḥanīfa dan al-Māturīdī, dan membiarkan keburukan terjadi. Saya membahas masalah keburukan dan solusinya secara lebih terperinci dalam esai: Mengapa Tuhan Mengizinkan Keburukan, dan Mengapa Hal Buruk Terjadi pada Orang Baik.
Takdir (Qadar) dalam Al-Qur'an
Ada hadis-hadis sahih di mana Nabi saw. mengisyaratkan manusia tidak memiliki kehendak bebas. Permasalahan hadis akan dibahas kemudian. Al-Qur'an sendiri, bagaimanapun, tidak pernah memberi tahu kita pada ayat mana pun bahwa keputusan manusia di masa depan sudah ditakdirkan dan diketahui sebelumnya. Takdir yang dibicarakan Al-Qur'an selalu tentang hal-hal yang menimpa manusia dari luar:
"Dan Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (63:11)
Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Tidak ada seorang wanita pun yang mengandung dan melahirkan, melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan tidak dipanjangkan umur seseorang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauḥ Maḥfūẓ). Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. (35:11)
Kebajikan apa pun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu (Muhammad) menjadi Rasul kepada (seluruh) manusia. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi. (4:79)
Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauḥ Maḥfūẓ) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. (57:22)"
Al-Qur'an juga memberi tahu kita bahwa petunjuk hanya datang dari Tuhan:
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (24:21)
Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (28:56)"
Jika kita mendasarkan pendapat kita hanya pada Al-Qur'an dan sejumlah hadis sahih, pandangan tentang takdir yang kita dapatkan adalah Tuhan berkuasa atas semua keadaan eksternal manusia. Dia juga berkuasa memberikan petunjuk kepada kita. Kita, bagaimanapun, bertanggung jawab memilih keadaan internal kita. Tuhan bisa memberi kita petunjuk tapi kita bisa menolaknya. Inilah yang dimaksud dengan kufr, mengetahui kebenaran tentang Tuhan, diberikan petunjuk oleh Tuhan, tetapi tetap mengingkariNya.
Daripada memberitahu kita bahwa dunia ini seperti film yang sudah usai, Al-Qur'an memberi kita kesan bahwa alam semesta beroperasi secara waktu-riil seperti yang dikatakan Ibnu Taimiyah. Apa yang "tertulis" dalam takdir kita adalah keadaan eksternal dalam hidup kita. Tuhan tahu persis apakah kita akan mendapatkan suatu pekerjaan, atau di mana kita akan hidup tahun depan, atau kapan kita akan mati. Keadaan eksternal kehidupan kita sepenuhnya berada dalam kekuasaanNya. Tetapi ini tidak berarti bahwa keadaan kita kaku dan tidak dapat diubah. Al-Qur’an mengatakan:
"Tuhan menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat Ummul-Kitāb (Lauḥ Maḥfūẓ). (13:39)"
Ayat ini memberikan kesan bahwa Lembaran Terjaga (al-Lawḥ al-Maḥf) tidaklah kaku tetapi dapat berubah-ubah. Nabi saw. mendukung pandangan ini dalam hadis sahih berikut:
"لَا يَرُدُّ القَضَاءَ إلَّا الدُّعَاءُ، وَلَا يَزِيدُ فِي العُمُرِ إلَّا البِرُّ
Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa. Tidak ada yang bisa menambah umur kecuali kebajikan.
(Diriwayatkan dalam al-Tirmidzi, disahkan al-Albani dalam al-Silsila al-Sahiha 154 dan dalam Sahih al-Jami` 7687)"
Menurut hadis di atas, jika tindakan anda saat ini membuat anda layak masuk Neraka, yang perlu anda lakukan hanyalah berdoa memohon petunjuk dan pengampunan, yang akan mengubah takdir Tuhan. Nabi saw. juga berdoa agar takdir Tuhan diubah:
"... dan aku memintaMu untuk membuat setiap takdirMu bagiku adalah baik.
Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibbān 870; Muṣannaf Abu Shayba 28767"
dan juga:
"Ya Tuhan, barang siapa yang beriman kepadaMu dan bersaksi bahwa aku adalah utusanMu, maka buatlah dia senang bertemu denganMu, dan ringankanlah takdir-takdirMu kepadanya, dan kurangilah kehidupan duniawinya. Dan barang siapa yang tidak beriman kepadamu, dan tidak bersaksi bahwa aku adalah utusanMu, maka janganlah buat dia senang bertemu denganMu, dan janganlah ringankan takdirMu kepadanya, dan tambahkan kehidupan duniawinya.
Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibbān 208"
dan juga:
"Diriwayatkan Anas:
Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian merindukan kematian karena musibah yang menimpa dirimu, dan jika engkau tidak mampu, melainkan merindukan kematian, maka hendaknya engkau berkata, 'Ya Tuhan! Biarkan aku hidup selama hidup itu lebih baik bagiku, dan ambillah hidupku jika kematian lebih baik bagiku.'"
Ṣaḥīh al-Bukhārī 6351"
Doa-doa di atas hanya masuk akal jika masa depan, yaitu qadar, dapat diubah.
Ketika Nabi saw. berkata bahwa tempat kita di surga atau neraka sudah ditentukan, kita dapat menafsirkan perkataan ini sebagai jika dunia berakhir hari ini, Tuhan tahu apakah kita akan berada di surga atau neraka. Tetapi perkataan ini tidak berarti bahwa kita tidak dapat mengubah tempat kita melalui doa.
Qadar (takdir) Tuhan mungkin hanya merujuk fakta bahwa semua alternatif masa depan yang ditawarkan Tuhan kepada kita dikendalikanNya. Anda dapat memilih untuk menjadi baik atau buruk, tetapi dalam kedua-dua alternatif masa depan, anda mungkin ditakdirkan untuk menjadi seorang dokter. Meskipun kita memilih antara masa depan, Tuhan menciptakan bentuk dan sifat dari semua masa depan.
Pandangan waktu-riil Ibnu Taimiyah tentang alam semesta dan penegasan Māturīdī tentang kebebasan sejati akan membantu menciptakan teori kehendak bebas yang koheren dalam Islam.
Pandangan Asy’ariyah tentang waktu-mati dan Tuhan yang diam bertentangan dengan kehendak bebas, karena dalam pandangan Asy’ariyah tidak ada hal baru yang terjadi. Semuanya sudah selesai, jadi kita hanya tampak hidup, bernafas dan memilih. Tetapi pandangan waktu-riil Ibnu Taimiyah memberitahu kita bahwa masa depan belum ada dan Tuhan secara aktif dan kreatif menciptakannya dari waktu ke waktu. Dengan demikian, ada ruang untuk kehendak bebas karena kita berinteraksi dengan Tuhan secara waktu-riil. Takdir Tuhan secara sederhana berarti bahwa Dia memutuskan bentuk dari semua alternatif masa depan. Tetapi Dia tidak memaksa kita memilih satu masa depan dan menghindari masa depan yang lain. Dia memberi kita pilihan bebas sejati dalam memutuskan masa depan yang kita inginkan.
Pandangan-pandangan yang ditawarkan di sini sangat sesuai dengan semua yang dikatakan Al-Qur'an. Seperti yang diakui al-Rāzī, ayat-ayat tentang takdir dan kehendak bebas dapat digunakan berargumen baik untuk determinisme ketat maupun kehendak bebas. Dia dan orang lain seperti Frank Griffel berpikir bahwa Al-Qur’an memiliki sikap kontradiktif terhadap takdir dan kehendak bebas; Tuhan menentukan segalanya, namun manusia bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Tetapi dengan menggabungkan pandangan Ibnu Taimiyah dan Māturīdī, kita dapat menyelesaikan semua kontradiksi yang tampak: Tuhan menentukan dan menciptakan semua masa depan, tetapi manusia memutuskan masa depan mana yang akan mereka jalani. Kita tidak akan pernah bisa lari dari apa yang telah Tuhan tentukan, tetapi Tuhan juga menawarkan kita alternatif masa depan yang dapat kita pilih. Pilihan kita tentang masa depan yang akan kita jalani tidak pernah dikatakan telah ditentukan sebelumnya dalam Al-Qur’an, yang malah terus-menerus menegaskan sebaliknya, bahwa kitalah yang memutuskan apakah kita merusak atau menyucikan diri dengan pilihan kita.
"demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya,
maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya,
sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu),
dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.
Al-Qur’an, ayat 91:7-10."
Dan jika kita memilih baik, Tuhan menakdirkan kebaikan lebih lanjut bagi kita:
"Dan setelah dia (Musa) dewasa dan sempurna akalnya, kami anugerahkan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Al-Quran, ayat 28:14"
Musa a.s berbudi luhur, jadi Tuhan menakdirkan bahwa dia harus mendapatkan kebijaksanaan dan pengetahuan.
"Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Al-Qur’an, ayat 16:97"
Di atas, Tuhan menegaskan bahwa Dia akan menakdirkan kehidupan duniawi yang baik bagi mereka yang mengerjakan kebajikan.
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat."
Al-Qur'an, ayat 14:7"
Di atas, Tuhan menegaskan bahwa ada hubungan kontraktual antara orang beriman dengan diriNya. Jika kita bersyukur, Dia akan menakdirkan penambahan hal-hal baik bagi kita. Dan jika kita ingkar, Dia akan membuat kita tersiksa.
Hidup itu seperti berjalan di jalan yang diciptakan Tuhan. Di beberapa titik, jalan menjadi bercabang (yang semuanya diciptakan Tuhan), tetapi kita bebas memilih jalan untuk dilalui. Tuhan menanggapi pilihan yang benar dengan menakdirkan hal-hal yang baik bagi kita, dan menanggapi pilihan yang buruk dengan menakdirkan kesulitan dan bencana bagi kita.
"Sungguh, bagi kaum Saba` ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun."
Tetapi mereka berpaling, maka Kami kirim kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Aṡl dan sedikit pohon Sidr.
Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.
Al-Qur’an, ayat 34:15-17"
Salah satu masalah terbesar dalam Al-Qur'an mengenai kehendak bebas dan takdir ada pada ayat 4:78-79, yang diyakini sebagian orang sebagai kontradiktif:
"Dimanapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh. Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, "Ini dari sisi Allah", dan jika mereka ditimpa suatu keburukan mereka mengatakan, "Ini dari engkau (Muhammad)." Katakanlah, "Semuanya (datang) dari sisi Allah." Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (sedikit pun)?"
Kebajikan apa pun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu (Muhammad) menjadi Rasul kepada (seluruh) manusia. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi.
Al-Qur’an, ayat 4:78-79"
Tetapi menurut sintesis Taimiyah-Maturīdī saya, ayat pertama mengatakan bahwa apa pun yang menimpa manusia terjadi karena Tuhan yang menyebabkannya (menggerakkan atom-atom yang relevan, dst.). Jadi semuanya dari Tuhan. Ini juga berarti bahwa Tuhan sepenuhnya berkuasa atas masa depan, jadi apa pun yang terjadi di masa depan, asalnya selalu dari Tuhan. Namun, ayat kedua mengatakan bahwa alasan sesuatu menimpa anda bisa jadi karena nikmat yang Tuhan berikan kepada anda (untuk hal yang baik) atau akibat pilihan buruk anda sendiri (untuk hal yang buruk).
Dengan kata lain, ketika dihadapkan pada dua masa depan, masa depan A (baik) dan masa depan B (buruk), kedua-duanya diciptakan Tuhan. Tetapi jika anda memilih masa depan yang baik yang kemudian terjadi, itu adalah rahmat Tuhan. Dan jika anda memilih masa depan yang buruk, itu adalah kesalahan Anda sendiri. Jadi kedua masa depan berasal dari Tuhan, manun masa depan yang buruk terjadi karena pilihan anda.
Ini mungkin mengapa Nabi mengatakan:
"لَا يَقْضِي اللَّهُ لَهُ شَيْئًا إِلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ
Tuhan tidak pernah menakdirkan sesuatu untuk [orang beriman] kecuali itu baik baginya.
Musnad Amad 19884 dan Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibbān 729"
Sikap Tuhan terhadap orang beriman hanyalah bentuk belas kasihNya; hadis tersebut dapat dimaknai bahwa Tuhan tidak pernah, atas kehendakNya sendiri, berniat dan menghendaki keburukan bagi orang beriman. Tuhan tidak suka melihat kita menderita.
Namun, ini tidak menjawab pertanyaan mengapa Tuhan menguji orang beriman dengan penderitaan. Mungkin artinya jika orang beriman itu benar-benar saleh dan tidak berdosa, mereka tidak akan membutuhkan ujian atau kesulitan apa pun sehingga tidak ada keburukan yang akan menimpa mereka. Ujian Tuhan bertujuan mengajari kita ketundukan sejati kepada kehendak dan kuasaNya. Jika kita mencapai standar ketundukan sempurna, yang mustahil terjadi, mungkin ujian dan kesulitan tidak akan ada lagi.
Petunjuk Tuhan dan Penutupan Hati
Ayat-ayat Al-Qur'an tentang Tuhan yang membimbing dan menyesatkan manusia atau menutup hati orang-orang kafir sering digunakan untuk membenarkan fatalisme – gagasan bahwa manusia sama sekali tidak memiliki peran di alam semesta; tindakan dan pilihan mereka semua diciptakan Tuhan.
"Dan jika Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Tetapi kamu pasti akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.
Al-Qur'an, ayat 16:93"
Dengan percaya bahwa Tuhan menyebabkan semua pilihan manusia, para teolog Sunni klasik percaya bahwa Tuhan dapat mewajibkan sesuatu atas seseorang ketika mereka tidak mungkin melakukannya. Contoh klasik adalah fakta bahwa Tuhan memberikan petunjuk bagi orang-orang kafir, namun Dia sendiri yang telah menutup hati mereka sehingga tidak mungkin mendapatkan petunjuk.
Berdasarkan apa yang telah dibahas sejauh ini, kita dapat memecahkan masalah ini dengan mengatakan bahwa Tuhan memberikan petunjuk kepada manusia, tetapi Dia juga memberi manusia kebebasan untuk mengikuti atau menolak petunjukNya. Dia menunjukkan kebenaran kepada kita, seperti firmanNya:
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
Al-Qur’an, ayat 41:53"
Tetapi setelah menunjukkan tanda-tandaNya kepada kita, Dia membiarkan kita memilih atau mengingkari tanda-tanda ini. Orang-orang beriman akan mendapat petunjuk lebih lanjut dari Tuhan, sedangkan orang-orang kafir akan disesatkan:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, niscaya diberi petunjuk oleh Tuhan karena keimanannya. Mereka di dalam surga yang penuh kenikmatan, mengalir di bawahnya sungai-sungai. (Al-Qur'an, ayat 10:9)
Dan orang-orang kafir berkata, "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) tanda (mukjizat) dari Tuhannya?" Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk orang yang bertobat kepada-Nya," (Al-Qur'an, ayat 13:27)"
Oleh itu, petunjuk berasal dari Tuhan, tetapi tindak lanjutnya tergantung pada niat manusia. Orang-orang yang beriman, beramal saleh, dan bertobat diberkahi dengan petunjuk yang lebih lanjut. Orang-orang kafir disesatkan lebih jauh sebagai azab bagi mereka. Kita bisa memilih mengikuti atau menolak petunjuk.
"Bagaimana Allah akan memberi petunjuk kepada suatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, serta mengakui bahwa Rasul (Muhammad) itu benar-benar (rasul), dan bukti-bukti yang jelas telah sampai kepada mereka? Allah tidak memberi petunjuk kepada orang zalim..
Al-Qur’an, ayat 3:86"
Ayat di atas mengatakan Tuhan tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang zalim yang sebelumnya beriman kemudian memilih menolak Nabi saw.
Petunjuk Tuhan tidaklah acak. Dia tidak memaksa seseorang masuk ke Neraka dan seseorang lain masuk ke Surga seperti yang dipikirkan para ahli hadis dan teolog Asy’ariyah. Sebaliknya, Tuhan mengizinkan kita memilih tempat kita di Neraka atau Surga. Tuhan tahu apakah kita akan berada di Neraka atau Surga jika kita mati saat ini. Dia juga tahu semua kemungkinan masa depan. Tetapi Dia telah memberi kita kebebasan untuk mengubah apa yang telah ditakdirkan sebelumnya bagi kita berdasarkan pilihan kita. Anda mungkin seorang yang berdosa dan Tuhan mungkin telah menakdirkan Anda memiliki kehidupan yang tidak bahagia. Tetapi jika anda bertobat dan menjadi saleh, Tuhan mungkin mengubah takdir anda dan mengizinkan anda memiliki kehidupan yang lebih bahagia.
Adapun penutupan hati orang-orang kafir, ditujukan kepada mereka yang telah berdosa dan menolak Tuhan begitu parah dan lama sehingga Tuhan memutuskan untuk mengunci takdir mereka dan mencegah mereka dari bertobat.
"Tidaklah demikian! Barang siapa berbuat keburukan dan dosanya telah menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.
Al-Qur’an, ayat 2:81"
Al-Qur'an juga mengatakan:
"Akan Aku palingkan dari tanda-tanda (kekuasaan-Ku) orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar. Kalaupun mereka melihat setiap tanda (kekuasaan-Ku) mereka tetap tidak akan beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak (akan) menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka menempuhnya. Yang demikian adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lengah terhadapnya.
Al-Qur'an, ayat 7:146"
Tuhan tidak secara acak menutup hati seseorang. Dia menutup hati orang-orang yang melakukan begitu banyak keburukan sehingga Tuhan memutuskan bahwa mereka tidak pantas memiliki kesempatan untuk bertobat. Begitu hal ini terjadi, Dia menutup hati mereka dan membuat mereka tidak mungkin lagi bertobat kepadaNya.
Paradoks yang Tersisa: Pengetahuan Tuhan
Penciptaan masa depan adalah proses dinamis antara Tuhan dan manusia. Tuhan terus-menerus menawarkan berbagai masa depan kepada kita dan kita memilih masa depan yang kita inginkan. Kita tidak akan pernah bisa menciptakan masa depan yang Tuhan tidak inginkan karena Tuhanlah yang menciptakan masa depan. Kita hanya memilih. Bahkan jika semua umat manusia ingin memulai perang, masa depan yang Tuhan tawarkan kepada kita mungkin tidak memiliki perang. KehendakNya mengalahkan kehendak manusia sehingga perang tidak akan pernah terjadi.
Namun, ini mengarah pada pertanyaan: Apakah Tuhan tahu masa depan mana yang akan anda pilih sebelum anda memilihnya? Jika Tuhan sudah tahu masa depan mana yang akan anda pilih, bagaimana mungkin pilihan itu didasarkan pada kehendak bebas?
Ini adalah paradoks logis. Jika sebuah keputusan benar-benar berdasarkan kehendak bebas, sepertinya ia tidak akan bisa diprediksi. Bayangkan anda membuat robot yang memiliki kehendak bebas. Bahkan jika anda tahu semua yang perlu diketahui tentang robot itu, anda tidak akan pernah tahu apa yang akan dilakukannya selanjutnya karena keputusannya didasarkan pada kehendak bebas. Jika anda selalu dapat memprediksi dengan akurasi 100% apa yang akan selalu diputuskan oleh robot itu, maka robot itu sebenarnya tidak memiliki kehendak bebas. Kebebasan berarti mampu membuat pilihan sejati yang berasal dari dalam diri anda, bukan yang dipaksakan dari luar diri anda oleh keadaan, atau dipaksakan interaksi kimiawi dalam otak anda. Kebebasan berarti pilihan sejati dari jiwa yang sepenuhnya independen dari alam semesta.
Mengatakan bahwa keputusan berdasarkan kehendak bebas dapat diketahui sebelum diambil mungkin sama tidak masuk akalnya dengan mengatakan bahwa Tuhan dapat membuat segitiga bersisi 4, atau bahwa Dia dapat membuat suatu benda begitu berat sehingga Dia sendiri tidak dapat mengangkatnya. Ada kemungkinan bahwa keputusan manusia yang berkehendak bebas secara logis benar-benar tidak dapat diketahui karena cara Tuhan membuat keputusan ini. Keputusan ini benar-benar bebas dan didelegasikan kepada manusia oleh Tuhan dengan cara yang tidak mungkin mengetahuinya (tetapi ada pandangan alternatif seperti yang kita bahas).
Seperti yang telah disebutkan, para teolog Asy’ariyah, al-Ghazāli, al-Rāzī semuanya mengatakan bahwa Tuhan benar-benar terikat oleh sifat-Nya sehingga tidak mampu menciptakan makhluk berkehendak bebas karena Dia harus menciptakan semua niat, kehendak dan tindakan. Tuhan tidak mampu memberikan ruang bagi manusia untuk benar-benar bebas.
Jadi pertanyaannya adalah: Apakah Tuhan cukup kuat untuk menciptakan makhluk yang keputusannya begitu bebas sehingga tidak mungkin memprediksi keputusannya sebelumnya?
Sejauh yang saya tahu, tidak ada teolog Muslim yang pernah mengajukan pertanyaan ini secara langsung.
Mengatakan bahwa Tuhan telah mengetahui sebelumnya tentang keputusan kita mungkin merupakan penghinaan terhadap kekuasaan Tuhan, karena menunjukkan bahwa Tuhan tidak mampu menghasilkan makhluk yang keputusannya begitu bebas sehingga tidak mungkin memprediksi keputusan ini. Apakah Tuhan tidak mampu menciptakan makhluk seperti itu? Namun mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki pengetahuan sebelumnya tentang keputusan kita mungkin merupakan penghinaan terhadap keberadaanNya yang Mahatahu.
Teolog Muslim Ortodoks seperti al-Rāzī memilih potensi penghinaan pertama, dengan mengatakan Tuhan tidak mampu membuat makhluk yang benar-benar berkehendak bebas, sementara Muʿtazilah non-ortodoks memilih potensi penghinaan kedua, dengan mengatakan Tuhan tidak mampu mengetahui sebelumnya keputusan manusia.
Kita yang lebih tahu harus menghindari kedua penghinaan ini dan memilih jalan tengah di antaranya; menyerahkan penilaian masalah ini kepada Tuhan dan mengandalkan apa yang kita yakini – fakta bahwa kita bertanggung jawab atas keputusan kita, dan fakta bahwa Tuhan sepenuhnya berkuasa atas alam semesta.
Karena takut kepada Tuhan, kita tidak boleh menyangkal kemungkinan bahwa Tuhan entah bagaimana mengetahui semua keputusan di masa depan bahkan sebelum diputuskan, meskipun ini terdengar seperti omong kosong dan kontradiktif dengan kehendak bebas. Kita hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang dunia di luar alam semesta dan kita tidak mengetahui sifat sejati Tuhan dan pengetahuanNya. Oleh itu, daripada menyangkal pengetahuan Tuhan, kita harus mengakui kedua kemungkinan:
- Entah secara logis tidak mungkin pengetahuan sebelumnya berlaku pada keputusan berdasarkan kehendak bebas. Masa depan adalah tindakan kreatif antara Tuhan dan manusia. Dalam pandangan ini, mengatakan mungkin mengetahui keputusan berdasarkan kehendak bebas sebelum ia dibuat tidak masuk akal – sama seperti mengatakan Tuhan dapat menciptakan segitiga bersisi 4. Tuhan, tentu saja, dapat menentukan arah masa depan, dan tidak ada manusia yang dapat melakukan apa pun yang tidak Dia inginkan. Tapi Dia mendelegasikan sejumlah keputusan bagi manusia, dan karena itu manusia bisa memilih antara masa depan yang berbeda. Secara logis tidak mungkin mengetahui masa depan mana yang akan dipilih sebelum ia dipilih karena agar keputusan benar-benar bebas, ia seharusnya tidak bisa diprediksi. Tuhan sendiri, dengan kekuatan dan kreativitasNya yang tak terbatas, telah memilih menciptakan makhluk yang dapat membuat keputusan yang tidak terduga. Tentu saja, ketika Tuhan berkehendak, Dia juga bisa memaksakan keputusan kepada manusia. Kita tidak menyangkal kuasa Tuhan untuk melakukan hal ini.
- Atau Tuhan memiliki kekuasaan misterius untuk mengetahui masa depan mana yang akan dipilih manusia bahkan sebelum dipilihnya. Dalam pandangan ini, Tuhan sudah memiliki “film” sejarah, masa lalu dan masa depan, dan tidak ada yang akan berubah di dalamnya. Ini tampaknya sepenuhnya bertentangan dengan kehendak bebas, tetapi daripada menyangkalnya, karena takut kepada Tuhan, kita menyerahkan maknanya kepada Tuhan. Tuhan mengetahui segala sesuatu yang mungkin diketahui.
Apa yang kita ketahui dengan pasti dari Al-Qur'an adalah kita bertanggung jawab atas keputusan kita. Kita juga tahu bahwa Tuhan sepenuhnya berkuasa atas nasib kita. Kita juga tahu bahwa fatalisme itu dilarang – kita tidak bisa mengatakan bahwa sudah ditentukan sebelumnya apakah kita akan masuk Surga atau Neraka sehingga tidak ada gunanya berbuat baik:
"Orang-orang musyrik akan berkata, "Jika Tuhan menghendaki, tentu kami tidak akan mempersekutukan-Nya, begitu pula nenek moyang kami, dan kami tidak akan mengharamkan apa pun." Demikian pula orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan azab Kami. Katakanlah (Muhammad), "Apakah kamu mempunyai pengetahuan yang dapat kamu kemukakan kepada kami? Yang kamu ikuti hanya persangkaan belaka, dan kamu hanya mengira." (6:148)"
Namun, kita juga harus menolak pernyataan al-Rāzī bahwa manusia hanyalah tampak bebas. Itu hanya dugaan. Sebaliknya, kita harus mengatakan bahwa kita sama sekali tidak tahu solusi paradoks ini dan bahwa kita menyerahkan masalah ini kepada Tuhan. Sejauh yang kita tahu, kita bebas memilih, Tuhan sepenuhnya berkuasa, dan apakah pengetahuanNya berlaku untuk keputusan masa depan kita atau tidak adalah masalah berbahaya yang kita serahkan kepada Tuhan. Secara logis, tampaknya pengetahuan seharusnya tidak berlaku untuk kehendak bebas, tetapi kita mengakui bahwa Tuhan begitu agung dan jauh di luar pengetahuan kita sehingga kita mengatakan bahwa logika tidak selalu cukup untuk mengesampingkan kemungkinan pengetahuan Tuhan sebelumnya.
Takdir Para Nabi
"Dia (Jibril) berkata, "Sesungguhnya aku hanyalah utusan Tuhanmu, untuk menyampaikan anugerah kepadamu berupa seorang anak laki-laki yang suci."
Al-Qur’an, ayat 19:19"
Dalam ayat di atas, seorang malaikat memberi tahu Maryam ibu Isa as. bahwa dia akan memiliki seorang putra yang “suci”. Artinya Isa as. ditakdirkan untuk menjadi suci. Kita melihat hal yang sama dalam kasus Yaḥyā as.:
"Kemudian para malaikat memanggilnya, ketika dia berdiri melaksanakan salat di mihrab, "Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran) Yahya, yang membenarkan suatu kalimat (firman) dari Allah, panutan, berkemampuan menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi diantara orang-orang saleh."”
Al-Qur’an, ayat 3:39"
Di atas, Zakaria diberitahu bahwa putranya yang belum lahir akan menjadi orang yang terhormat, bermoral dan jujur, seolah-olah Yahya sendiri tidak memiliki kehendak bebas dalam hal ini. Ini tidak meniadakan kehendak bebas secara umum. Artinya, orang-orang pilihan tertentu akan dilindungi Tuhan dari dosa dan kekafiran. Seperti yang dibahas sebelumnya, manusia hanya berniat, tetapi Tuhan menciptakan kehendak dalam diri mereka untuk berbuat baik atau buruk. Dalam kasus para nabi, bahkan jika mereka menginginkan sesuatu yang buruk, Tuhan dapat mengesampingkan kehendak mereka dan mencegah mereka melakukan dosa.
Sementara manusia pada umumnya memiliki kehendak bebas, para nabi memiliki kehendak bebas yang lebih terbatas di bawah petunjuk dan kendali Tuhan. Dengan cara ini Tuhan dapat berencana untuk seorang nabi bahkan sebelum kelahiran nabi itu dan memastikan rencanaNya dilaksanakan sepenuhnya. Dia mungkin memberi nabi itu kehendak bebas yang cukup untuk menjadi manusia sampai tingkat tertentu, sambil mencegah mereka menyimpang dari rencanaNya.
Perlindungan yang sama mungkin juga dinikmati orang-orang beriman yang saleh. Tuhan memudahkan mereka berbuat baik dan menyulitkan perbuatan buruk bagi mereka dengan mengesampingkan kehendak mereka ketika Dia menginginkannya, dan membatasi kebebasan mereka berbuat dosa sebagai nikmat atas mereka. Tetapi ketika menyangkut orang-orang tidak beriman yang memberontak, Tuhan menghilangkan perlindunganNya:
"Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.
Al-Qur’an, ayat 4:115"
Tentang Narasi Hadis yang Kontradiktif
Banyak hadis menunjukkan bahwa manusia telah ditakdirkan masuk Surga atau Neraka bahkan sebelum mereka dilahirkan. Hadis-hadis ini tampaknya sepenuhnya bertentangan dengan kehendak bebas dan keadilan Tuhan. Karena banyaknya hadis yang maknanya yang saling bertentangan tentang hal ini, saya telah mendedikasikan esai tambahan di sini: Studi Hadis tentang Qadar (Takdir): Menilai Antara Fatalisme dan Kehendak Bebas
Kesimpulan saya dalam esai itu adalah literatur hadis tidaklah konklusif terkait fatalisme. Kita memiliki pilihan untuk menolak fatalisme, dan karena menolaknya adalah pilihan yang lebih masuk akal dan lebih sesuai dengan Al-Qur'an, dan karena didukung beberapa hadis sahih, maka menolaknya harus menjadi pilihan seseorang yang lebih menyukai pandangan teologis yang telah saya jelaskan dalam esai ini.
Kita tahu bahwa Imam al-Bukhārī menolak beberapa hadis sahih ketika menganggap maknanya tidak masuk akal, seperti yang ditunjukkan penelitian Jonathan Brown.1 Imam Mālik juga menolak bertindak berdasarkan beberapa hadis sahih ketika bertentangan dengan praktik penduduk Madinah (lihat disertasi PhD Asal Usul Hukum Islam: Al-Qur'an, Muwatta' dan Amal Madinah oleh Yasin Dutton). Kita mungkin tidak pernah tahu, tapi mungkin jika Imam al-Bukhārī menentang fatalisme, dia akan menganggap narasi fatalistik sebagai tidak sahih terlepas dari sanadnya.
Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyah menolak fatalisme dan bersungguh-sungguh menafsirkan kembali narasi hadis fatalistik untuk memberi ruang bagi kehendak bebas sejati dan kemungkinan perubahan nasib seseorang; lihat esai Livnat Holtzman dalam Ibnu Taimiyah dan Zamannya.
Kesimpulan
Kita tahu pasti bahwa kita bertanggung jawab atas tindakan kita. Ini harus menjadi dasar pemikiran kita tentang hal-hal ini. Anggapan tentang takdir dan pengetahuan Tuhan tidak boleh membuat kita putus asa untuk melakukan perbuatan baik dan menghindari dosa, karena kita tidak boleh meninggalkan suatu kepastian (tanggung jawab kita) demi spekulasi.
Ringkasnya, kita menerima tanggung jawab manusia, penentuan ilahi atas masa depan alternatif, kemungkinan perubahan takdir, dan kemungkinan kehendak bebas manusia yang sejati. Kita menegaskan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Mahakuasa, bahwa Dia sepenuhnya berkuasa atas alam semesta, bahwa tidak ada manusia yang dapat melakukan apa pun kecuali Tuhan mengizinkannya dan menciptakan kehendak tersebut. Kita juga mengakui paradoks antara kehendak bebas dan pengetahuan ilahi dan menyerahkan solusi akhir kepada Tuhan. Kita tidak ingin mengatakan ada sesuatu yang Tuhan tidak tahu. Tetapi tidak ada rasa malu jika Tuhan cukup berkuasa untuk menciptakan makhluk yang cukup bebas membuat keputusan yang secara intrinsik tidak mungkin diprediksi. Ini menegaskan sifatNya Yang Mahakuasa, bahkan jika secara sepintas tampak bertentangan dengan sifatNya Yang Maha Mengetahui. Karena kita tidak memiliki pengetahuan yang utuh tentang masalah ini, kita menyerahkan solusi akhir kepada Tuhan: mungkin merupakan penghinaan terhadap Tuhan untuk menyangkal kemungkinan kehendak bebas yang sejati dan tidak mungkin diprediksi (karena itu menunjukkan bahwa Tuhan tidak mampu membuat keputusan seperti itu), dan mungkin juga merupakan penghinaan terhadap Tuhan untuk mengatakan bahwa keputusan manusia di masa depan tidak mungkin diprediksi (karena itu menunjukkan bahwa Tuhan tidak mengetahui keputusan manusia di masa depan).
Tuhan mengizinkan kita memilih antara alternatif masa depan, tetapi semua masa depan diciptakan Tuhan. Doa bermanfaat karena Tuhan mungkin merespons dengan menciptakan masa depan alternatif baru yang tidak ada sebelumnya dan yang mengandung banyak rahmat yang tidak akan kita dapatkan jika tidak berdoa. Kita tidak akan pernah bisa lepas dari takdir Tuhan, tetapi kita bisa mempengaruhi apa yang Tuhan tetapkan bagi kita dengan kesalehan atau keberdosaan kita. Jika kita saleh, Tuhan memberi kita ganjaran dengan menakdirkan hal-hal yang baik, dan jika kita berdosa, Tuhan mungkin menghukum kita dengan menakdirkan hal-hal buruk bagi kita. Inilah yang dimaksud dengan makna sederhana dari Al-Qur'an dan sabda Nabi saw. tentang salat yang dapat mengubah takdir seseorang.
Catatan kaki
Untuk contoh para ulama yang pernah menolak beberapa hadis sahih, lihat makalah (unduhan gratis) Bagaimana Kita Tahu Para Ahli Hadis Awal Melakukan Kritik Matan dan Mengapa Sangat Sulit Menemukannya oleh Jonathan Brown."
Sumber gambar: https://hawramani.com/wp-content/uploads/2019/03/ibn_taymiyyas_theodicy-624x944.jpg
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
