Ilmu Gaib dari Al-Qur'an

0
0
Deskripsi

Berdasarkan kitab Fawāʾid nūrāniyya wa farāʾid sirriyyaraḥ māniyya oleh Sīdi Muḥammad al-Kuntī, seorang ulama Afrika Barat. 

Sumber: Marcus-Sells, Ariela. "Science, Sorcery, and Secrets in the Fawāʾid Nūrāniyya of Sīdi Muḥammad al-Kuntī." History of Religions 58.4 (2019): 432-464. https://www.journals.uchicago.edu/doi/full/10.1086/702255 atau https://www.academia.edu/39047870/Science_Sorcery_and_Secrets_in_the_Fawāʾid_Nūrāniyya_of_Sīdi_Muḥammad_Al_Kuntī    

{Sejumlah akademisi telah mencatat bahwa tulisan-tulisan Sīdi al-Mukhtār dan putranya serta penerusnya, Sīdi Muḥammad al-Kuntī, membahas secara signifikan serangkaian praktik kontroversial yang mereka sebut “ilmu-ilmu rahasia” (ʿulūm al-asrār) atau “ilmu-ilmu gaib” (ʿulūm al-ghayb), yang mencakup produksi azimat, manipulasi numerologi nama-nama Tuhan, dan komunikasi dengan jin. [1]

Esai ini menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dan mengklarifikasi hubungan-hubungan  ini melalui analisis mendalam terhadap satu teks yang belum pernah diteliti yang dinisbahkan kepada Sīdi Muḥammad, Fawāʾid nūrāniyya wa farāʾid sirriyyaraḥ māniyya (Manfaat dari yang diterangi dan mutiara rahasia dari sang pengasih), yang kadang-kadang tercantum dalam berbagai katalog sebagai Ism allah al-aʿẓam (Nama Tuhan yang teragung). Karya singkat ini membahas bagaimana menggunakan abjad Arab, nama-nama Tuhan, khususnya nama Tuhan yang teragung, untuk melakukan berbagai praktik dengan tujuan material tertentu di dunia — mulai dari menyembuhkan orang sakit, melindungi rumah, hingga mengendalikan alam semesta. Saya memilih teks ini sebagai fokus penelitian (1) karena keberadaan banyak saksi dalam manuskrip menempatkannya sebagai salah satu teks Kunta yang paling banyak disalin, yang membuktikan popularitas historisnya di wilayah ini, [10] dan (2) karena ia menggabungkan instruksi eksplisit tentang bagaimana melakukan berbagai praktik ini bersama argumen-argumen tentang legitimasi praktik-praktik ini. Kombinasi instruksi preskriptif dan pembelaan apologetik memberikan gambaran tentang bagaimana Sīdi Muḥammad memahami fungsi dan klasifikasi teks-teks dan praktik-praktik ini.

Serangkaian kekhawatiran yang diangkat Fawāʾid nūrāniyya bertepatan dengan minat yang terus berlanjut seputar peran praktik-praktik ini dalam sejarah Afrika Barat [11] serta ledakan minat baru-baru ini terhadap “sihir,” “okultisme,” dan “ilmu-ilmu esoterik” dalam konteks peradaban Islam. Literatur terkini telah memperbarui pemahaman kita tentang riwayat historis-tekstual tertentu dari transmisi pengetahuan dan hubungan antara perdebatan tentang praktik-praktik spesifik (seperti astrologi) serta diskusi epistemologis dan teologis yang lebih luas. [12]

Namun, bahkan ketika kategori baru "sains" dan "agama" diterima di Eropa modern, sebuah gerakan balasan yang menolak "rasionalisme filosofis dan filsafat mekanis" [19] dari Pencerahan mengakibatkan munculnya sekelompok ilmu "esoteris" atau "ilmu gaib" yang baru. [20] Periode ini melihat berbagai kelompok menggabungkan "dorongan menemukan kembali Tuhan yang tersembunyi" dengan upaya membangun studi ilmiah tentang alam roh. [21] Tidak seperti ilmu gaib Renaisans, gerakan-gerakan ini menggunakan konsepsi era Pencerahan tentang proses saintifik yang rasional, seiring usaha gerakan-gerakan ini memposisikan kembali hal-hal spiritual sebagai hal-hal saintifik. Para akademisi Studi Islam kadang-kadang berargumen atas penggunaan rubrik "ilmu gaib" karena keserupaan semantik dengan bahasa Arab "ʿulūm al-ghayb" (ilmu gaib) atau "ʿulūm al-kāfī" (ilmu-ilmu tentang hal yang tersembunyi). [22] Namun, di balik keserupaan leksikal ini terdapat kesenjangan epistemologis yang besar. Pertama, tidak semua Muslim yang membahas praktik seperti astrologi atau alkimia dalam konteks sejarah terlibat dalam proyek sintesis dan sinkronisasi okultisme era Renaisans. Sementara itu, "ilmu gaib" Eropa abad kesembilan belas mengandalkan pemahaman yang sangat berbeda tentang pengetahuan dan pembelajaran daripada ilmu gaib Muslim pramodern. Memang, Louis Brenner telah berargumentasi dengan meyakinkan bahwa masyarakat Afrika Barat prakolonial dicirikan oleh “episteme esoteris”, di mana semua pengetahuan memerlukan semacam ritual inisiasi. [23] Walaupun ilmu-ilmu yang dibahas para ulama Kunta dijiwai retorika kerahasiaan, ilmu-ilmu ini mungkin sama bisanya, pada kenyataannya, diakses para Muslim di Sahara seperti ilmu-ilmu hukum Islam. Oleh itu, sementara kita menunggu diskusi yang lebih terfokus tentang hubungan antara tradisi tekstual-ritual Islam dan perdebatan Barat mengenai kategori-kategori ini, pendekatan saya dalam esai ini dimulai dengan mempertimbangkan diskursus para ulama Kunta “sesuai dengan pemahaman mereka sendiri.” [24]

I. FAWĀʾID NŪRĀNIYYA

Fawāʾid nūrāniyya adalah karya yang relatif singkat dari Sīdi Muḥammad, yang terdiri dari dua puluh hingga tiga puluh folio manuskrip. [25] Teks utama karya ini mengungkapkan bahwa nama Tuhan yang teragung terdiri dari empat kata konsonan tak bervokal: AHM SQK ḤLʿ YṢ. Teks ini kemudian merinci bagaimana menggunakan nama ini dengan teknik khusus untuk membuat alam semesta tunduk pada kehendak seorang pendoa untuk memenuhi segala kebutuhan atau permintaannya. Selain itu, teks ini didahului pengantar panjang yang menjelaskan hubungan antara nama-nama Tuhan dan struktur alam semesta, pembelaan terhadap praktik penggunaan nama Tuhan yang teragung, pemaparan sejarah suci bagi kedua-dua ilmu gaib dan nama yang teragung, penjelasan teori di balik ilmu abjad dan nama, dan penggambaran kegunaan khusus untuk setiap abjad dari nama teragung, seperti mengalahkan musuh atau menyembuhkan orang sakit.

Singkatnya, menurut Fawāʾid nūrāniyya, Tuhan menciptakan tiga alam, al-malakūtal-jabarūt, dan al-mulk, [28] dengan nama-nama-Nya, yang semuanya berdiri, saling berhadapan, di al-malakūt, alam tertinggi dari ketiga alam ini. Secara khusus, ia menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan singgasana ilahi, yang dapat diduga berdiri di al-malakūt, dari nama-nama inti. Allah kemudian menciptakan para malaikat al-malakūt dari cahaya singgasana ini. Dengan cara yang sama, al-jabarūt dan kursi ilahi (al-kursī) dibuat dengan nama-nama sifat, dan para malaikat al-jabarūt diciptakan dari cahaya kursi. Akhirnya, kitab (al-lawḥ) dan dunia al-mulk—alam manusia yang terlihat—dibuat dengan nama-nama tindakan, dan para malaikat al-mulk diciptakan dari cahaya kitab. Urutan penciptaan ini berselang-seling antara penciptaan alam dari nama-nama dengan penciptaan malaikat dari cahaya masing-masing alam, dan setiap kelompok malaikat diberi serangkaian tugas khusus terkait alam di mana mereka diciptakan. [29]

Sistem korespondensi dalam kosmologi ini—malaikat ke alam ke nama—berarti bahwa para malaikat secara efektif bertindak sebagai pelaksana nama-nama dari mana mereka diciptakan. Sīdi Muḥammad menjelaskan hal ini dengan ringkas ketika menulis, “syekh, ayahku, semoga Allah meridainya, dulu berkata, 'setiap nama dari nama-nama Yang Mulia adalah agen (fāʿil) [untuk apa yang Dia kehendaki] terwujud.'” [30] Selain itu, setiap nama memiliki peran dalam dunia material dan spiritual serta mengatur tindakan tertentu, seperti menurunkan hujan atau meredakan angin, atau mengizinkan seseorang berjalan di atas air atau menyembuhkan orang buta. [31] Melalui hubungan ini seseorang dapat menggunakan nama-nama ini untuk memasukkan diri mereka ke dalam tatanan alam semesta dan secara bersamaan mengendalikan dunia dan prosesnya. Sīdi Muḥammad menjelaskan bahwa orang-orang beriman dapat “terhubung” dengan nama-nama ini. Proses ini secara langsung mempengaruhi tatanan alam semesta dan mengakibatkan seseorang mendapatkan peran dan kekuatan dari nama terkait. Lebih penting lagi, melalui hubungan dengan nama yang teragung, orang tersebut mendapatkan kendali terhadap peran dan kekuatan semua nama Tuhan:

“Kapan pun seorang hamba terhubung dengan nama yang teragung dan mendapatkan wujudnya, cahaya nama-nama dari wujud itu membanjiri (istafāḍat) roh-roh malaikat [32] sehingga mereka berseru kepada Tuhan mereka dan berkata: “Ya Tuhan kami, mengapa cahaya nama-Mu membanjiri kami?” Maka Tuhan berkata: “Aku tahu, oh para malaikatku, bahwa hamba-Ku, si fulan, telah terhubung dengan nama yang mulia ini karena suatu kebutuhan yang dimintanya kepada-Ku. Oh malaikat, penuhi kebutuhannya, apa pun itu.” Dan jika kebutuhannya baik dan murni, maka malaikat segera berangkat memenuhi kebutuhan ini, tetapi jika kebutuhannya buruk maka para malaikat memaksa setan memenuhinya dengan pedang di tangan mereka yang terbuat dari cahaya nama itu. Jadi mereka mengirim setan untuk memenuhi kebutuhan buruk itu.” [33]

Kutipan ini dengan tegas menyatakan bahwa seseorang dapat terhubung dengan nama Tuhan yang teragung untuk memenuhi kebutuhan pribadi apa pun, bahkan yang tidak murni atau buruk. Dalam kasus ini, para malaikat akan memaksa setan dengan pedang cahaya untuk memenuhinya. Sebagai konsekuensi anggapan bahwa individu dapat mengkooptasi kekuatan nama teragung untuk memenuhi permintaan apa pun, Fawāʾid nūrāniyya pada akhirnya menunjukkan bahwa dengan terhubung ke agen Tuhan, seseorang mampu mendapatkan kemampuan Tuhan bagi diri mereka sendiri. Memang, teks ini persis menyatakan hal ini, mengutip seseorang yang berpengetahuan (al-ʿārif īn), istilah umum bagi para wali Allah, yang mengatakan: “bismillah (dengan nama Allah) dari orang yang berpengetahuan memiliki derajat kun (Jadilah!) dari Tuhan.” [34]

Sekitar pertengahan pengantar, Fawāʾid nūrāniyya memulai penjelasan tentang ilmu abjad dan nama dengan menjelaskan teori di balik salah satu aspek ilmu ini, khususnya teknik melakukan operasi matematika pada abjad-abjad dari nama-nama Tuhan. Proses ini didasarkan pada sistem abjad, yang menetapkan angka untuk masing-masing dari dua puluh delapan abjad Arab. [35] Menurut Sīdi Muḥammad, dua puluh delapan abjad ini berkorespondensi dengan kekuatan yang mengatur alam: empat elemen (tanah, air, udara, dan api); empat cairan tubuh (dahak, darah, limpa, dan empedu); dua belas tanda zodiak; tujuh planet (Merkurius, Venus, Mars, Yupiter, Saturnus, matahari, dan bulan), dan seterusnya. Masing-masing korespondensi ini menawarkan cara yang berbeda untuk mengalikan dan membagi nilai numerik dari abjad. Teks ini bahkan memberikan tabel yang menggambarkan korespondensi ini. [36] Namun, pengetahuan yang disajikan pada tahap ini sebagian besar masih bersifat teoretis. Artinya, jangkauan dan jumlah operasi matematika potensial tidak terbatas, sedangkan Sīdi Muḥammad belum menjelaskan operasi mana yang perlu diterapkan pada abjad mana untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

Ambiguitas praktis ini menghilang segera ketika teks ini mengungkapkan nama Tuhan yang teragung sebagai AHM SQK ḤLʿ YṢ, yang menurut Sīdi Muḥammad dapat diperoleh dari operasi numerologi atas nama “Allāh.” Pada titik ini, Sīdi Muḥammad membahas masing-masing dari sebelas abjad yang membentuk nama teragung ini secara bergiliran. Kesebelas-sebelas abjad ini termasuk di antara empat belas abjad misterius yang tidak berhubungan yang muncul di awal surah-surah tertentu dalam Al-Qur'an. Teks ini mengacu pada empat belas abjad ini sebagai abjad yang “diucapkan” atau “disuarakan” (al-nuṭqāʾ), [37] dan pada bagian lain sebagai empat belas huruf yang “diterangi” (al-nūrāniyya), berbeda dengan empat belas huruf yang “digelapkan” (al-ẓulmāniyya),yang tidak muncul dengan cara ini dalam Al-Qurān. [38] Untuk setiap abjad, Sīdi Muḥammad menjelaskan beberapa sifat dasarnya dan dua nama yang berkorespondensi dengan aspek interior dan eksteriornya. Dia kemudian memberikan informasi yang agak rinci tentang bagaimana menggunakan setiap abjad untuk mendapatkan hasil yang spesifik dan nyata di dunia material.

Setelah membaca setiap abjad dari nama yang teragung, Fawāʾid nūrāniyya berakhir dengan penjelasan untuk masing-masing dari empat “kata” dalam AHM SQK ḤLʿ YṢ, yang Sīdi Muḥammad hubungkan dengan berbagai nama dalam bahasa Arab untuk Tuhan. Jadi, AHM mengacu kepada Allāh, Yang Kekal (Allāh al-dāʾim); SQK, Yang Hidup, Yang Mandiri (al-ḥayy al-qayūm); ḤLʿ, Pemilik Keagungan (dhū al-jalāl); dan Y, Pemilik Karunia (al-ikrām [42]). [43] Awal teks utama kemudian ditandai dengan satu lagi bismillah dan kata pengantar: “Segala puji bagi-Nya yang menjadikan hati orang murni seperti logam kebijaksanaan, dan cahaya seperti makam rahasia. … Dan kamu telah memintaku… agar aku mengangkat bagimu tabir rahasia dari nama Tuhan yang teragung dan khazanah azimat.” [44] Teks ini melanjutkan dengan penggabungan semua praktik yang disebutkan atau dibahas dalam pendahuluan. Dengan demikian kita mempelajari sejumlah hubungan matematis yang dapat diperlihatkan dengan nama dan ditunjukkan tabel yang terkait dengannya. Teks ini kemudian menginstruksikan pembaca untuk menuliskan tabel ini pada tablet timah, membawanya ke tempat pertapaan (khalwa), mengasapinya dengan kayu gaharu, melakukan ritual wudu (wudūʾ), dan, akhirnya, membacakan doa khusus. Doa ini dimulai dengan menyapa Tuhan dengan nama-Nya yang teragung: “Ya AHM SQK ḤLʿ YṢ!” dan kemudian dengan setiap abjad yang membentuk nama ini: “Aku memanggil-Mu dengan alif penyusun alam semesta; dan dengan hāʾ keilahian di hadapan kesaksian.” Akhirnya, doa ini diakhiri permintaan untuk mengendalikan alam semesta secara total: “Ya Tuhan! . . . Berikan kendali bentuk-bentuk (al-ashbāḥ) kepadaku [45] dan kuatkan aku dalam buku catatan roh sampai tidak ada manusia atau jin atau malaikat agen-Mu atau manfaat atau kekuatan atau pencari atau setan atau waktu atau tempat — atau apa pun yang berwujud— berada di luar jangkauan tindakanku atau keluar dari cengkeraman keinginanku.” [46] Doa ini, yang memohon kepada Tuhan untuk kekuasaan penuh atas alam semesta dan segala isinya, membuka serangkaian parateks serupa. Sīdi Muḥammad memberikan variasi yang berbeda untuk tabel yang dilampirkan pada nama dan doa permohonan yang menyertai penggunaannya. Dia juga menjelaskan bagaimana menggunakan nama yang teragung ini dalam kombinasi dengan praktik lain seperti pertapaan, pengucapan nama-nama Tuhan (zikir), dan pembuatan azimat, untuk mencapai tujuan yang lebih spesifik, seperti menyembuhkan orang sakit, menghancurkan musuh, membuat seseorang jatuh cinta, dan mengusir penguasa dari negerinya sendiri atau mengusir setan (shayāṭīn) dari tubuh manusia. [47]

II. BUKAN SIHIR 

Selain menyajikan dasar-dasar metafisik terhadap ilmu abjad dan nama serta instruksi khusus terhadap penggunaan nama Tuhan yang teragung, Fawāʾid nūrāniyya juga memberikan pembelaan yang kokoh terhadap praktik-praktik ini sebagai praktik ibadah Muslim yang sah. Namun, untuk memahami argumen-argumen yang mendukung ilmu-ilmu gaib ini, pertama-tama kita perlu memahami apa yang dibantah Sīdi Muḥammad . Untuk itu, pada bagian ini, saya akan beralih ke teks lain, al-Ṭarāʾif wa’l-talāʾid, sebelum kembali ke Fawāʾid nūrāniyya pada bagian III. Sīdi Muḥammad membahas ilmu-ilmu gaib pada dua bagian dalam karya sebelumnya: pertama, dalam pengantar teks, sebagai bagian dari pembahasannya yang lebih luas terhadap para wali Allah, dan sekali lagi pada bab 3, yang dikhususkan hampir seluruhnya untuk topik ini. Di kedua-dua bagian ini, Sīdi Muḥammad mengakui bahwa Muslim lain mungkin menganggap praktik yang digambarkannya sebagai “sihir.” Dia kemudian mempertahankan legitimasi praktik-praktik ini dan mendefinisikannya melalui perbandingan dengan mukjizat para nabi dan karamah para wali Allah, di satu sisi, dan sihir, di sisi lain.

Posisi Sīdi Muḥammad terkait sihir dan karamah didasarkan kepada serangkaian perdebatan yang berasal dari periode ʿAbbasid awal. Khilafah ini menyatukan orang-orang, serta ritual dan tradisi tekstual mereka yang terkait, dari Arab, Persia, dan Bizantium; [48] memulai proyek lintas generasi untuk menerjemahkan tradisi filosofis Yunani ke dalam bahasa Arab; [49] dan menyaksikan pertumbuhan ilmu-ilmu Islam baru seperti tafsir Al-Qur'an, hukum Islam, dan teologi. Selama periode ini, para ulama Muslim mencoba mengklasifikasikan praktik-praktik astrologi, alkimia, ramalan, taumaturgi, dan pengobatan, antara lain, dan menghubungkan praktik-praktik ini dengan ilmu-ilmu baru hukum, teologi, dan filsafat. Bagi para teolog, urusan utama adalah menegakkan nilai-bukti mukjizat kenabian (muʿjizāt). Para teolog Muʿtazīli menegaskan bahwa hanya para nabi yang dapat menghasilkan kejadian-kejadian yang “melanggar jalannya peristiwa normal” (khawāriq al-ʿādāt), dengan alasan bahwa tidak mungkin membedakan antara klaim yang benar dan salah tentang kenabian. Akibatnya, setiap manifestasi nyata dari alam gaib setelah kematian Muhammad hanyalah penipuan. [50] Sebaliknya, para teolog Ashʿarī  awal berpendapat bahwa keberadaan karamah dan siḥr tidak mengkompromikan nilai-bukti mukjizat kenabian. Perhatian utama para teolog Ashʿarī adalah menegakkan kekuasaan transenden dan kehendak bebas mutlak Tuhan. Para teolog ini mengembangkan doktrin perolehan (kasb) dengan menegaskan bahwa semua tindakan berasal dari Tuhan, yang memungkinkan manusia “memperolehnya”. [51] Para teolog yang mengikuti garis pemikiran ini menemukan bahwa legitimasi suatu tindakan bukan berasal dari tindakan itu sendiri (karena semua tindakan berasal dari Tuhan) tetapi lebih pada niat dan status moral orang yang melakukan tindakan tersebut. [52] Sementara itu, periode ini juga menyaksikan produksi tradisi tekstual yang secara eksplisit mengidentifikasi diri sebagai karya tentang siḥr—dalam hal ini mereka mengikuti definisi Bernd-Christian Otto tentang tradisi magis yang “inklusif”. [53] Teks-teks ini mencakup surat-surat Ikhwān al-Ṣafāʾ yang penuh teka-teki dan Ghāyat al-Ḥakīm (Tujuan orang bijak), yang dinisbahkan kepada Maslama ibn Qāsim al-Qurtubī (w. 964 ). Kedua teks ini mengasimilasi astrologi dan produksi azimat, khususnya, ke dalam kerangka Neoplatonik yang luas. [54] Perdebatan abad pertengahan ini meletakkan dasar bagi diskusi Sīdi Muhammad tentang ilmu-ilmu gaib berabad-abad kemudian. Namun, kategorisasi Sīdi Muhammad tentang berbagai praktik tidak mengikuti tren apa pun, baik diskusi awal abad pertengahan tentang ilmu sihir atau perkembangan selanjutnya, dan sebaliknya mencerminkan proses peminjaman selektif dari, dan pembentukan kembali, kerangka yang ada sebelumnya. 

Ulama Kunta ini mengakui perdebatan di antara para ulama mengenai legalitas ruqyah, dengan mencatat bahwa Mālik, salah seorang ulama hukum terpenting bagi para Muslim Afrika Barat, melarang praktik ini. [92] Namun, Sīdi Muḥammad menyatakan pendapatnya sendiri yang mendukung ruqyah selama ia memenuhi tiga persyaratan: “bahwa ia [dilakukan] dengan firman Tuhan Yang Mahatinggi atau dengan nama dan sifat-sifat-Nya; dalam bahasa Arab—dari bagian yang maknanya dipahami; bersama dengan keyakinan bahwa ruqyah tidak berpengaruh sendiri, melainkan [bekerja] dengan ketetapan Tuhan.”93 Sīdi Muḥammad menunjukkan prinsip memuliakan nama-nama Tuhan secara paling jelas dalam diskusinya tentang seni menggunakan “kotak ajaib.” Dalam bagian arāʾif wa’l-talāʾid ini, Sīdi Muhammad berpendapat bahwa kotak ajaib terkait dengan nama-nama Tuhan, yang, pada gilirannya, terkait dengan struktur alam semesta dan para malaikat yang mengaturnya. Kotak ajaib yang berbeda, dengan memanggil nama-nama Tuhan, dapat mempengaruhi perubahan spesifik baik di dunia material maupun immaterial.94

Seperti tindakan sihir, ilmu nama dan abjad dalam Fawāʾid nūrāniyya adalah bagian hal-hal “normal”—jelas-jelas merupakan perbuatan yang dapat diulang, berhubungan dengan sifat intrinsik manusia dan benda-benda langit, dan seseorang yang beriman dapat menggunakannya untuk memenuhi “kebutuhan” pribadi, bahkan jika kebutuhan itu “buruk.” Dengan penjelasan seperti ini, ilmu-ilmu ini muncul sebagai alat berguna yang dapat dimobilisasi umat Islam untuk mengubah kondisi material kehidupan mereka; ilmu-ilmu ini membutuhkan pembelajaran dan penerapan yang benar tetapi tidak bergantung pada kesalehan atau status moral seorang praktisi untuk keberhasilannya. Namun, setelah menyajikan ilmu-ilmu dengan penjelasan seperti ini, Sīdi Muhammad mulai mempertahankan penggunaannya dengan menyampaikannya sebagai praktik ibadah Muslim. Dengan penjelasan seperti ini, kemustajaban ilmu-ilmu ini jadi bergantung pada status moral dan spiritual praktisinya, sehingga memasukkan kembali ilmu-ilmu gaib ini ke dalam wilayah karamah.

Berikutnya, Sīdi Muḥammad mengutip dari Al-Qur'an—“Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku (adʿūnī), niscaya akan Aku perkenankan bagimu (apa yang kamu harapkan). Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri tidak mau beribadah kepada-Ku (ʿibādat) akan masuk (neraka) Jahanam dalam keadaan hina dina” (40:60) —dan kemudian menggunakan ayat ini sebagai landasan argumen dengan dua cabang. Pertama, Tuhan menanggapi doa makhluk-Nya. Tuhan tidak hanya berjanji akan menjawab doa seseorang dalam ayat di atas, tetapi Dia bahkan menjawab doa Iblis, “makhluk-Nya yang paling jahat,” ketika Iblis meminta Tuhan mengampuninya sampai hari Pembalasan. [99] Kedua, alih-alih tindakan yang menentang takdir, doa, pada kenyataannya, merupakan tindakan ibadah (ʿibāda), yang mengakui hubungan kehambaan (ʿubūdiyya) antara hamba (ʿabd) dan Tuhan. Ide ini didasarkan pada rangkaian kata berdasarkan akar bahasa Arab ʿabada, yang berkonotasi pelayanan, ibadah, dan penghambaan. Arti istilah-istilah ini bervariasi sesuai konteksnya, tetapi Sīdi Muḥammad umumnya menggunakan istilah ʿibāda dan jamaknya, ʿibādāt, untuk merujuk pada tindakan ibadah yang berbeda, yang berfungsi memperkuat “kehambaan” orang beriman dalam hubungannya dengan Tuhan, berbeda dengan kualitas "ketuhanan" (al-rubūbiyya) Tuhan atas hamba-hambanya. [100] Jadi, sepanjang diskusi ini Sīdi Muḥammad telah melakukan dua tindakan diskursif, memasukkan praktik penyebutan nama Tuhan yang teragung ke dalam kategori doa permohonan, dan membela doa permohonan sebagai bentuk praktik ibadah yang sah. Sīdi Muḥammad dengan demikian menggunakan ayat Al-Qur'an ini untuk menyatakan bahwa Tuhan menjawab doa-doa makhluknya, bahwa berdoa kepada Tuhan adalah tindakan ibadah, dan bahwa ilmu nama dan abjad dengan demikian adalah cara yang sah dan berguna untuk memanggil Tuhan.

Memang, kemudian dalam teks ini, Sīdi Muḥammad menyatakan hal ini secara eksplisit, dengan menulis: Niat orang kebanyakan adalah jawaban atas doa mereka, tidak lebih. Orang-orang ini adalah budak keinginan mereka. Dan orang-orang terpilih, niat mereka adalah mewujudkan kehambaan (al-ʿubūdiyya) dari ketidakmampuan mereka agar terhubung ke Tuhan. ... Dan orang-orang pilihan dari orang terpilih menentang tujuan pertama dan meniatkan tujuan kedua, tetapi niat mereka lebih sempurna, yang diwujudkan dengan duduk di atas karpet berdoa (al-ʿubūdiyya) dan berterima kasih atas hadiah dan rahmat yang telah diberikan kepada mereka. Dan terlebih lagi ... ketika tindakan mereka mengarahkan diri kepada Tuhan dan berkumpul kepada-Nya terjadi, segala sesuatu hadir bagi mereka dan segala keberadaan tunduk kepada mereka. Mereka kemudian bergerak dengan kebebasan seorang raja di kerajaannya. [102] Kutipan ini mengacu pada perbedaan umum Sufi antara "orang kebanyakan", "orang terpilih," dan "orang pilihan dari orang terpilih" untuk membagi pendoa menjadi tiga kelompok. Kelompok pendoa pertama dan terendah hanya menginginkan jawaban atas doa-doa mereka; kelompok kedua berdoa untuk membangun hubungan yang benar antara diri mereka sendiri dan Tuhan; sedangkan kelompok ketiga dan tertinggi, mengikuti jalan kelompok kedua, tetapi dengan “niat yang sempurna”. Sementara anggota kelompok terakhir ini menentang penggunaan ilmu gaib sebagai sarana pemenuhan keinginan, justru mereka yang paling mampu memanipulasi dan mengarahkan alam semesta sesuai keinginan mereka: seperti yang ditulis Sīdi Muḥammad, “segala keberadaan tunduk kepada mereka dan mereka bergerak dengan kebebasan seorang raja di kerajaannya.” Kutipan-kutipan seperti ini memungkinkan semua Muslim mengakses praktik-praktik ibadah yang penting seperti doa permohonan sambil tetap membatasi kemampuan menggunakan praktik-praktik ini untuk menghasilkan efek material yang nyata di dunia kepada sekelompok praktisi elite. Siapa pun dapat berdoa kepada Tuhan, tetapi hanya segelintir orang pilihan yang dapat yakin doa mereka akan dijawab. Sīdi Muḥammad kemudian menerapkan logika yang sama pada ilmu-ilmu gaib, menjelaskan bahwa para praktisi yang paling tinggi tingkatannya menguasai ilmu-ilmu ini hanya untuk kemudian mengabaikannya. Dengan demikian, Fawāʾid nūrāniyya menjelaskan bahwa para praktisi elite pertama-tama menggunakan ilmu-ilmu ini “untuk melatih diri mereka (anfūsihim), memperkuat aspirasi mereka, dan terhubung kepada nama di atas karena kekuatan nama itu. ... Mereka tidak menginginkan, melalui keterhubungan ini, pemenuhan ego atau nafsu mereka. ... Dan mereka itulah orang-orang yang, seiring maqam (al-maqamāt) mereka diperkuat di ambang akhir perjalanan mereka (sīrihim), menarik diri dari [ilmu-ilmu itu], karena mereka tidak lagi membutuhkannya.” [103] Jadi, bahkan ketika Sīdi Muḥammad menyampaikan ilmu-ilmu abjad dan nama ini sebagai sumber kekuatan tertinggi, dia memasukkan ilmu-ilmu ini dalam sistem kosmologis dan sosial yang kompleks yang berputar di sekitar otoritas para wali Allah. Daripada ilmu-ilmu ini ini tersedia bagi siapa pun yang memiliki akses ke teks, ilmu-ilmu ini dibatasi sebagai satu latihan spiritual (riyāḍāt) murid di jalan Sufi, yang mustajab, tetapi bukan sebagai tujuan akhir ilmu-ilmu itu sendiri.

Contoh Sīdi al-Mukhtār menempatkan ilmu-ilmu gaib hanya sebagai satu tahap di jalan Sufi yang pada akhirnya membutuhkan pengabaian ilmu-ilmu ini untuk mendapatkan imbalan pengetahuan yang lebih besar tentang Tuhan. Oleh itu, sementara ilmu-ilmu ini sah dan mustajab, para hamba Tuhan yang paling tinggi tingkatannya akhirnya mengabaikannya. Dalam berbagai cara, Sīdi Muḥammad menegaskan kembali bahwa pada tingkatan-tingkatan spiritual tertinggi para wali Tuhan tidak lagi membutuhkan ilmu-ilmu ini. Saat mereka semakin dekat dengan Tuhan, mereka memperoleh kendali Tuhan atas, dan kebebasan di dalam, ciptaannya dan tidak lagi bergantung pada teknik atau alat tertentu. Sebagai latihan spiritual bagi para murid Sufi, kutipan-kutipan ini ini menempatkan pengetahuan dan pelatihan dalam ilmu-ilmu gaib ini di tangan para syekh Sufi dan para wali Tuhan yang juga mewujudkan ekspresi paling sempurna dari ilmu-ilmu ini—manipulasi penuh alam material dan immaterial. Modalitas ini mewakili kutub terjauh pemahaman ilmu ini dari tindakan sihir. Daripada ilmu-ilmu yang bisa dipelajari secara berhasil terlepas dari kesalehan praktisinya, ilmu-ilmu ini sebagai latihan Sufi sangat bergantung pada kesalehan dan status spiritual praktisinya, yang seiring kemajuannya dalam ilmu-ilmu ini, akan meninggalkan ilmu-ilmu ini demi karamah.

Dengan demikian, mengakses sepenuhnya pesan Sīdi Muḥammad di dalam Fawāʾid nūrāniyya memerlukan akses jaringan dan pelatihan pedagogis tingkat lanjut, yang otomatis terbatas kepada elite Sahara dan garis keturunan Sahara yang mengabdikan diri untuk memperoleh dan mereproduksi pengetahuan Islam.

Jadi, bahkan ketika Fawāʾid nūrāniyya mentekstualisasikan pengetahuan, ia menggabungkan struktur dan strategi yang ditujukan untuk mengembalikan pembaca ke otoritas mediasi para ulama Kunta. Sementara sejumlah instruksi dalam Fawāʾid nūrāniyya itu lengkap, instruksi yang lain merujuk pada bacaan doa atau menulis tabel yang tidak termasuk dalam teks. Instruksi-instruksi ini harus diselesaikan baik melalui instruksi lisan atau dengan mengacu pada teks lain, sehingga membatasi akses praktik ini kepada mereka yang berada dalam jaringan pedagogis yang dipimpin para ulama Kunta. Contoh paling jelas dari jenis pembatasan ini melibatkan nama Tuhan yang teragung: AHM SQK Ḥ Lʿ YṢ. Tanpa tanda vokal pendek, nama itu sendiri tidak lengkap dan tidak dapat diucapkan. Setelah mengungkapkan nama teragung, teks utama Fawāʾid nūrāniyya memberikan instruksi menggunakan nama tersebut untuk mencapai sejumlah hasil spesifik. Banyak instruksi ini menggabungkan penggunaan nama Tuhan yang lain, tetapi dalam kasus ini teks ini menggantikan nama lain ini dengan sejumlah garis vertikal. Misalnya: “Barang siapa ingin melipat ruang yang jaraknya berjauhan (tayy al-ard), hendaklah dia salat dua rakaat lalu membaca nama اااا dan salat tahajud, maka Allah swt. akan melipat ruang baginya dan dia akan mencapai [tujuannya] tanpa cedera.” [114] Dalam kutipan ini, jumlah garis vertikal berfungsi sebagai kode, dengan dua, tiga, dan (dalam contoh di atas) empat garis masing-masing mewakili nama Tuhan tertentu. Agar seorang praktisi menyelesaikan instruksi dan dapat melipat ruang, mereka harus mempelajari kode dari seseorang yang berafiliasi dengan para ulama Kunta.

Oleh itu, selain memberikan wawasan tentang bagaimana para ulama Kunta memahami praktik ibadah ini, teks-teks ini mengungkapkan peran para ulama ini dalam membentuk struktur otoritas sosial di Sahara. Dengan pertama-tama menghadirkan ilmu-ilmu gaib sebagai sumber kekuatan tak terbatas dan kemudian membatasi kekuatan ini kepada seorang syekh Sufi dan murid-murid di bawah pengawasannya, Fawāʾid nūrāniyya menempatkan sumber kekuatan tak terbatas kepada para ulama Kunta. Menurut teks ini, para wali Tuhan yang tertinggi—status yang diklaim Sīdi Muḥammad untuk ayahnya, dan kemudian, untuk dirinya sendiri—dapat menggunakan nama-nama Tuhan dan unsur-unsur abjadnya untuk mengendalikan alam semesta secara mutlak, tanpa menjadi besar kepala sehingga tidak terkorupsi kekuatan ini. Pemerolehan kekuatan total dan pembatasannya kepada para wali Allah ini memanfaatkan ruang liminal yang ditempati ilmu-ilmu ini dalam klasifikasi pengetahuan Kunta. Secara efektif, ilmu-ilmu gaib mengambil sejumlah aspek-aspek sihir dan karamah. Sebagai sihir, ilmu-ilmu ini bergantung pada sifat yang konstan dan dapat dikontrol (seperti besi dan magnet), dan dapat dimanipulasi oleh siapa saja yang memiliki pengetahuan yang benar; Namun, sebagai karamah ilmu-ilmu ini hanya berlaku bagi Sufi terbesar. Hasil penciptaan ruang ambigu antara sihir dan karamah, dan kemudian penggunaan ruang ini untuk ilmu-ilmu gaib adalah akumulasi lebih banyak lagi kekuatan di tangan para wali Tuhan. Menurut teks-teks seperti Fawāʾid nūrāniyya, para ulama Kunta tidak hanya menempati posisi kosmologis istimewa dengan kedekatan yang lebih besar kepada Tuhan, tetapi mereka juga mampu secara sah melakukan tindakan seperti sihir dan dengan demikian memanipulasi struktur alam semesta. Akhirnya, dengan membingkai praktik-praktik ini sebagai praktik ibadah sufi (ʿibāda dan riyāḍa), teks-teks ini menunjukkan bahwa, untuk mengakses kekuatan ini dan membuat perubahan material bagi dunia, umat Islam pertama-tama harus menempatkan diri mereka di bawah pengawasan dan pelatihan para syekh Sufi, dan dengan demikian para ulama Kunta itu sendiri.

Ketegangan-ketegangan ini tidak pernah sepenuhnya terselesaikan dalam tulisan-tulisan Sīdi Muhammad, bahkan ketegangan-ketegangan ini terkait dengan “kesenjangan” lain yang tertanam dalam proses pembentukan otoritas melalui produksi pengetahuan. Tulisan-tulisan Sīdi Muhammad mengungkapkan upayanya untuk mengkonsolidasi otoritasnya terhadap para Muslim di Sahara Barat dengan aksesnya ke, dan kendalinya atas, praktik-praktik dahsyat yang dapat mengubah kondisi material para pengikutnya. Demi upayanya ini, Sīdi Muḥam-mad harus “mengungkapkan” pengetahuan ini, dan media naskah tertulis memungkinkan dia untuk menyiarkan pengetahuan ini, dan dengan demikian otoritasnya ke wilayah yang lebih besar. Namun, meskipun jarak tempuh teks lebih jauh daripada kata, teks juga memperoleh makna, peran, dan tujuan baru dalam konteks baru mereka. Fawāʾid nūrāniyya menunjukkan kesadaran Sīdi Muḥammad terhadap potensi ini. Jadi, bahkan saat dia mengungkapkan aspek pengetahuannya, secara bersamaan dia membatasi dan menyembunyikan dengan menyajikan instruksi melalui media tekstual yang hanya dapat dibaca elite berpendidikan tinggi dan dengan hati-hati menghilangkan elemen kunci dari instruksi tertulisnya. Kekosongan yang disengaja ini berfungsi untuk menghubungkan instruksi dengan jaringan pedagogis khusus Sīdi Muhammad, sehingga menyalurkan pengetahuan dan murid menuju para ulama Kunta. Proses tekstual ini memiliki fungsi yang sama dengan perbedaan teologis. Di satu sisi, Sīdi Muḥammad menyodorkan kemungkinan adanya alat-alat efektif yang dapat mengubah dunia material, dan di sisi lain dia membatasi alat-alat itu kepada para wali Tuhan. Dengan cara ini, Sīdi Muḥammad menyeimbangkan karamah dan sihir dan pada saat yang sama berusaha membentuk masyarakat Sahara melalui kontrol atas pengetahuan dan praktik Muslim.

Catatan kaki:

1 Jin adalah entitas non-manusia dengan sejarah panjang dalam pemikiran Islam dan budaya Arab pra-Islam. Lihat Alford T. Welch, “Allah and Other Supernatural Beings: The Emergence of the Qur’anic Doctrine of Tawḥīd,” dalam “Studies in Qur’an and Tafsir,” ed. Alford T. Welch, edisi tematik, Journal of American Academy of Religion 47, no. 4 (1980): 733–58; Jacqueline Chabbi, Le Seigneur des tribus, l'islam de Mahomet (Paris, 1997), 185–232; Toufic Fahd, “Anges, démons et djinns en Islam,” Source Orientales 8 (1971): 155–214. Untuk literatur yang mendokumentasikan pentingnya jin saat ini dalam masyarakat Islam, lihat Anand Vivek Taneja, Jinnealogy: Time, Islam, and Ecological Thought in the Medieval Ruins of Delhi (Stanford, CA: Stanford University Press, 2017); dan Emilio Spadola, The Calls of Islam: Sufis, Islamists, and Mass Mediation in Urban Morocco (Bloomington: Indiana University Press, 2013).

10 Saya telah mengidentifikasi lima belas saksi Fawāʾid nūrāniyya dalam katalog-katalog manuskrip. Hanya arāʾif wa’l-talāʾid, di mana saya telah mengidentifikasi dua puluh saksi, dan Nafḥa al-tīb, di mana saya mengidentifikasi dua puluh delapan saksi, yang lebih populer.

11 Constant Hams, “Problématiques de la magie-sorcellerie en islam et perspektif africaines,” Cahiers d’études africaines 189–90 (2008): 81–99; Louis Brenner, “The Esoteric Sciences in West African Islam,” dalam African Healing Strategies (Buffalo, NY: Trado-Medic Books, 1985), 20–28.

12 Noah Gardiner, “Forbidden Knowledge? Notes on the Production, Transmission, and Reception of the Major Works of Aḥmad al-Būnī,” Journal of Arabic and Islamic Studies 12 (2012): 81–143; Matthew S. Melvin-Koushi, “The Quest for a Universal Science: The Occult Philosophy of āʾin al-Dīn Turka Iṣfahānī (1369–1432) and Intellectual Millenarianism in Early Timurid History of Religions Iran” (PhD diss., Universitas Yale, 2012 ); Matthew Melvin-Koushki, “In Defense of Geomancy: Šaraf al-Dīn Yazdī Rebuts Ibn Ḫaldūn’s Critique of the Occult Sciences,” Arabica 64, nos. 3– 4 (2017): 346– 403; Travis Zadeh, “Magic, Marvel, and Miracle in Early Islamic Thought,” dalam The Cambridge History of Magic and Witchcraft in the West From Antiquity to the Present (New York: Cambridge University Press, 2015), 235–67; Liana Saif, The Arabic Influences on Early Modern Occult Philosophy (Houndmills: Palgrave Macmillan, 2015).

19 Hanegraaff, “Magic,” 402.

20 Michael Bergunder, “What Is Esotericism? Cultural Studies Approaches and the Problems of Definition in Religious Studies,” Method & Theory in the Study of Religion 22, no. 1 (2010):9–36.

21 Josephson, “God’s Shadow,” 315.

22 Matthew Melvin-Koushki, “Introduction: De-Orienting the Study of Islamicate Occultism,”Arabica 64, no. 3– 4 (2017): 288–89; Alireza Doostdar, The Iranian Metaphysicals: Explorations in Science, Islam, and the Uncanny (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2018), 9.

23 Louis Brenner, Controlling Knowledge: Religion, Power, and Schooling in a West African Muslim Society (Bloomington: Indiana University Press, 2001), 7-9, 17-38.

24 Talal Asad, Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2009), 200.

25 Saya berkonsultasi dengan tiga saksi Fawāʾid nūrāniyya untuk penelitian ini: Muḥammad ibn al-Mukhtār al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya wa farāʾid sirriyya raḥmāniyya,” 209d, Bibliotèque Na-tionale du Royaume du Maroc (selanjutnya BNRM 209d); “Fawāʾid nūrāniyya wa farāʾid sirriyya raḥmāniyya,” 12221, al-Muktaba al-Ḥassaniyya (selanjutnya MH 12221); “Fawāʾid nūrāniyya wafarāʾid sirriyya raḥmāniyya,” Hamdan Diadié Boucoum 04, Bibliotèque des Manuscripts de Djenne (selanjutnya BMD, Hamdan Diadié Boucoum 04). Berikut ini saya akan mengutip dari MH12221 sebagai teks utama saya tetapi akan menunjukkan dalam catatan kaki ketika saksi lain menyimpang. Kecuali dinyatakan lain, semua terjemahan adalah dari saya.

28 Para ulama Kunta bukanlah yang pertama menggunakan istilah ini untuk merujuk pada alam kosmologis yang berbeda. Untuk penggunaan terminologi ini dalam sejarah intelektual Sufi, lihat Arent Jan Wensinck, On the Relation between Ghazālī’s Cosmology and His Mysticism (Amsterdam: Noord-HollandscheUitgevers-Maatschappij, 1933); Kojiro Nakamura, “Imām Ghazālī’s Cosmology Reconsideredwith Special Reference to the Concept of ‘Jabarūt,’ ” Studia Islamica, no. 80 (1994): 29– 46;L. Gardet, “ʿĀlam,” dalam Encyclopaedia of Islam, Second Edition, ed. P.J. Bearman, Th. Bianquis, C. E. Bosworth, E. van Donzel, W. P. Heinrichs dkk. (Brill Online, http://referenceworks.brillonline.com, 2012); R. Arnaldez, “Lāhūt and Nāsūt,” dalam Encyclopaedia of Islam, Second Edition.

29 BNRM 209d mengandung kosmologi yang jauh lebih pendek daripada yang ditemukan di MH 12221 dan BMD, Hamdan Diadé Boucoum, 04. Versi BNRM yang disingkat menunjukkan bahwa al-mulk diciptakan dari cahaya kursi dan para malaikat al-mulk dari cahaya sifat , sedangkan penciptaan al-jabarūt dan al-malakūt tidak dibahas. al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya,” MH12221, fol. 20a–b, dan “Fawāʾid nūrāniyya,” BNRM 209d, fol. 197b.

30 al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya,” MH 12221, fol. 20a; penyisipan "untuk apa yang Dia kehendaki" hanya ditemukan dalam versi BNRM ("Fawāʾid nūrāniyya," BNRM 209d, fol. 198a).

31 al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya,” MH 12221, fol. 19b.

32 Ini juga bisa diterjemahkan sebagai “roh-roh al-mulk” jika dibaca sebagai arwāḥ al-mulkiyya daripada arwāh al-malakiyya.

33 al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya,” MH 12221, fol. 19b.

34 al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya,” MH 12221, fol. 20b.

35 Melvin-Koushi, “Quest for a Universal Science,” 17.

36 al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya,” MH 12221, fols. 31b–32b.

37 al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya,” MH 12221, fol. 32b.

38 al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya,” MH 12221, fol. 35b

42 Frasa lengkapnya adalah “Pemilik Keagungan dan Karunia” (dhū al-jalāla wa’l-ikrām). Kata “pemilik” (dhū) dipahami berlaku untuk kedua nama tersebut.

43 al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya,” MH 12221, fols. 36a–37b.

44 al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya,” MH 12221, fol. 37b.

45 Saksi BNRM membaca: “berikan kendali bentuk-bentuk kepada hambamu” (ʿabīdika). al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya,” BNRM 209d, fol. 215b.

46 Al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya,” MH 12221, fol. 38a–b.

47 Al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya,” MH 12221, fols. 39a–46a.

48 George Saliba, “The Role of the Astrologer in Medieval Islamic Society,” dalam Magic and Divination in Early Islam, ed. Emilie Savage-Smith (Aldershot: Ashgate, 2004), 343; Zadeh, “Magic, Marvel, and Miracle in Early Islamic Thought,” 240– 42.

49 Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movementin Baghdad and Early ʿAbbāsid Society (2nd– 4th/5th–10th C.) (London: Routledge, 1998).

50 Maribel Fierro, “The Polemic about the Karāmāt al-Awliyā and the Development of Ṣūfism in al-Andalus (Fourth/Tenth–Fifth/Eleventh Centuries),” Bulletin of the School of Oriental and African Studies 55, no. 2 (1992): 236–49; Zadeh, “Magic, Marvel, and Miracle in Early Islamic Thought,” 246– 47,

51 L. Gardet, “Allāh,” dalam Encyclopaedia of Islam, Second Edition.

52 Zadeh, “Magic, Marvel, and Miracle in Early Islamic Thought,” 247 – 49.

53 Otto, “Historicising,” 173.

54 Untuk pengantar kepada teks-teks ini lihat: Maribel Fierro, “Bāṭinism in al-Andalus. Maslama b.Qāsim al-Qurtubī (d.  353/964), Author of the Rutbat al-Ḥakīm and the Ghāyat al-Ḥakīm (Picatrix),” Studia Islamica 84 (1996): 87-112; Saif, Arabic Influences, 36–45; Liana Saif, “From Ġāyat al-ḥakīm to Šams al-maʿārif: Ways of Knowing and Paths of Power in Medieval Islam,” Arabica 64, nos. 3– 4 (2017): 297–345; Godefroid De Callataÿ, Ikhwan al-Safa’: A Brotherhood of Idealists on the Fringe of Orthodox Islam (London: Oneworld Publications, 2012).

92 Al-Kuntī, al-Ṭarāʾif wa’l-talāʾid, 2: 215.

93 Al-Kuntī, al-Ṭarāʾif wa’l-talāʾid, 2: 215.

94 Al-Kuntī, al-Ṭarāʾif wa’l-talāʾid, 2: 174.

99 Al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya,” MH 12221, fol. 24b. Berilah aku penangguhan waktu sampai hari mereka dibangkitkan (QS 7:14, 15:36, dan 38:79).

 00 Saya telah memilih "devotion," daripada "worship," ketika menerjemahkan kata ibāda untuk membedakannya dari ibadah ritual formal Islam (salat), yang tampaknya dianggap Sīdi Muḥammad sebagai jenis ibadah spesifik.

102 al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya,” MH 12221, fol. 27a.

102 al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya,” MH 12221, fol. 27a.

103 Al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya,” MH 12221, fol. 28b.

114 Al-Kuntī, “Fawāʾid nūrāniyya,” MH 12221, fol. 42b.}

Sumber gambar: https://i.gr-assets.com/images/S/compressed.photo.goodreads.com/books/1635246541l/59333774.jpg 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Khazanah Ilmu Islam Afrika (1)
0
0
Pengantar terhadap kitab `Ilaawat’l-Muttaalib.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan