Istirahat dan Tidur Hanya Di Perjalanan

0
0
Deskripsi

Kulihat jam dari hapeku, pukul 19.35 dan kami masih belum keluar dari batas kota Balikpapan. Kulirik ustadz yang duduk di sampingku, posisi duduknya sudah terlihat nyaman sambil bersandar pada kursinya yang sudah diturunkan sedikit dalam posisi rebah. Nafasnya sudah halus dan teratur yang menandakan bahwa ustadz sudah terlelap dalam buaian.

#Seri22

Tanpa terasa hampir setahun penuh aku sudah melakukan hal ini. Perjalanan bolak balik Samarinda – Balikpapan seperti bukan sesuatu yang berat lagi. Aku sudah hapal tiap tikungan jalan, mana jalan yang mulus dan mana jalan yang berlobang, bergelombang maupun jalan rusak lainnya. Dari perjalanan gelap sebelum Subuh hingga tengah malam sudah pernah kulalui.

Aktivitas rutin yang selalu kulakukan adalah menjemput kedatangan ustadz dari Jakarta ke bandara Sepinggan tiap hari Jum’at sore dan mengantarkannya kembali pada hari Ahad. Rutinitas bolak balik  Jum’at – Ahad tiap pekan selama setahun inilah aktivitas yang seolah menjadi kewajibanku selama setahun ini.

Dan rutinitas ini juga yang menjadikan ustadz terlihat unik dan berbeda dari anggota dewan lainnya. Selama masa tugas ustadz selama dua periode di Senayan – selama tidak ada tugas kenegaraan – tiap akhir pekan ustadz selalu meluangkan waktunya pulang ke daerah untuk mengambil tugas lain sebagai seorang dai dan ulama yang bertanggung jawab dengan amanah yang diembannya.

“Dua pertiga waktu saya di Jakarta dan sepertiga lainnya harus berada di daerah”.

Inilah ungkapan yang sering kudengar dari mulut ustadz. Dan ucapan ini bukan hanya sekedar lip service sebagaimana yang sering dilontarkan oleh para politisi untuk menggaet suara rakyat, tapi ini adalah sebuat azam yang memang terbukti di lapangan dan dirasakan manfaatnya oleh banyak orang. Dan aku hanyalah salah satu orang yang terlibat langsung dari pembuktian ini.

Dan kebiasaan ustadz seperti ini dengan sendirinya merubah pola hidup yang saling mempengaruhi terhadap aktivitas yang dilakukan. Bertanggung jawab terhadap amanah, aktif dalam kegiatan, dan rutin dalam jadwal seolah memberikan asumsi bagi orang lain kapan waktu ustadz untuk beristirahat?. Bahkan ada pendapat yang lebih ekstrem lagi apakah ustadz tidak memperhatikan kesehatan sehingga tidak memberikan hak untuk tubuh beliau beristirahat?.

*****

“Nanti jemput di bandara jam 17.10”.

Itulah pesan ustadz yang masuk ke hapeku. Hari Jum’at seperti ini adalah aktivitas rutinku untuk menjemput ustadz ke bandara Sepinggan Balikpapan. Yang kupastikan hanyalah jam kedatangan pesawat di bandara sehingga aku bisa mengukur waktu kapan harus bergerak dari Samarinda.

“Senin – Kamis ustadz beraktivitas di Jakarta. Jum’at – Ahad beraktivitas di daerah”, inilah fiksasi jadwal yang sudah kumaklumi.

Seringkali terjadi kalau Jum’at sore sudah ada agenda sehingga waktu penjemputan di bandara-pun bergeser menjadi pagi hari. Hari Sabtu full agenda, baik agenda Ikadi, agenda MMQ dan Qira’ati maupun agenda di Al-Azhar. Hari Ahad biasanya agenda kegiatan sampai menjelang shalat Zhuhur, dan selesai Zhuhur langsung berangkat ke bandara Sepinggan.

Lalu kapan ustadz meluangkan waktu untuk istirahat?”.

Pertanyaan pertanyaan sederhana ini kadang lewat begitu saja seiring berlalunya waktu. Bahkan kadangkala ini tidak akan menjadi pertanyaan jika tidak ada seorangpun yang peduli.  

“Saya baru mendarat di bandara. Posisi dimana?”, pesan dari ustadz masuk ke hapeku..

“Saya sudah di parkiran ustadz”, jawabku singkat.

Setelah menunggu beberapa saat akhirnya aku berhasil membawa ustadz keluar bandara yang sangat sibuk ini. Sibuk dengan padatnya jadwal penerbangan dan juga sibuk dengan pengerjaan proyek perluasan bandara.

“Kita cari masjid shalat dulu, baru cari warung makan”, ucap ustadz yang menyadari bahwa waktu shalat Magrib sudah tiba.

“Baik ustadz”, jawabku yang segera mencari lokasi masjid terdekat untuk melaksanakan shalat Magrib.

Gemerlap lampu sudah menghiasi tiap penjuru bersamaan gelapnya awan yang menaungi kota. Suara adzan yang tadi menggema dari menara menara masjid perlahan menghilang. Kulajukan mobil menuju masjid yang berada di sekitaran terminal Batu Ampar.

“Besok agenda di Tenggarong sampai sore. Hari Ahad-nya ada workshop Manajemen Masjid di Masjid Islamic Center sampai Zhuhur”, urai ustadz menjelaskan agenda dua hari ke depan sesaat kami berada di warung makan tidak jauh dari terminal bis Batu Ampar.

Sekitar satu jam berlalu kini kami sudah berada di jalan poros Balikpapan – Samarinda. Cuaca yang panas dan terik di siang hari nampaknya akan berganti secara ekstrem di malam hari ini. Kilat beberapa kali menyambar di gelapnya langit malam menandakan akan segera turun hujan.

“Semoga saja hujan turun tidak begitu lebat”, batinku.

Aku cukup mengkhawatirkan kondisi cuaca yang ekstrim sebagaimana yang pernah kualami beberapa waktu yang lalu saat kami berada di jalan Tenggarong – Samarinda dalam perjalanan pulang dari Kota Bangun. Malam itu sudah jam satu dini hari dan hujan turun sangat lebat disertai angin yang bertiup cukup kencang. Jalan diluar mobil benar benar tak terlihat karena tebalnya curah hujan kecuali warna putih marka jalan yang masih terlihat akibat terkena lampu sorot dari mobil dan sesekali ditimpa kilauan kilat yang menyambar. Marka jalanan inilah satu satunya penuntun jalanku di tengah malam itu.

Kulihat jam dari hapeku, pukul 19.35 dan kami masih belum keluar dari batas kota Balikpapan. Kulirik ustadz yang duduk di sampingku, posisi duduknya sudah terlihat nyaman sambil bersandar pada kursinya yang sudah diturunkan sedikit dalam posisi rebah. Nafasnya sudah halus dan teratur yang menandakan bahwa ustadz sudah terlelap dalam buaian.

Entah kenapa tiap kali melihat ustadz terlelap seperti ini, aku kadang menduga mungkin inilah quality time-nya untuk istirahat dan tidur. Dengan segala aktivitas yang sangat padat dan pengaturan waktu yang ketat pastilah waktu istirahat dan tidurnya akan memiliki pola yang tidak biasa dan tidak sama dengan kebanyakan orang. Lalu kapankah waktu yang tepat untuk beliau beristirahat?.

Jam 21.20, kami baru memasuki kawasan hutan Bukit Soeharto. Derai hujan yang cukup intens meski tidak begitu lebat mewarnai perjalanan kami di tengah kawasan  hutan lindung itu.

Iring iringan mobil yang bergerak dengan perlahan membuat semua orang bertanya tanya ada kejadian apakah di depan sana. Jarak mobil satu dengan lainnya yang hanya berkisar kurang lebih dua meter menandakan ada sesuatu yang ganjil yang terjadi jauh di depan sana. Kerlap kerlip lampu mobil disertai dengan suara klakson dengan berbagai macam bunyi cukup meramaikan suasana di sepertiga awal malam itu. Dan anehnya iring iringan mobil seperti semut merayap ini hanya terlihat dari satu arah, yaitu arah Balikpapan – Samarinda, sementara arah sebaliknya justru berkebalikan, sangat kosong dan lengang.

Masing masing orang merasakan penasaran apakah yang terjadi hingga menyebabkan kemacetan yang luar biasa itu. Di tengah semua tanya dan penasaran setiap orang akhirnya ada mobil patroli polisi yang datang dengan sirine dan pemberitahuan yang bisa didengar oleh semua orang.

“Bapak dan ibu sekalian, mohon maaf perjalanannya terganggu karena di depan ada bencana pohon tumbang yang menghalangi perjalanan bapak dan ibu. Kami beritahukan bahwa sekarang petugas kami sedang dalam pembersihan jalan”.

Pemberitahuan ini disampaikan berulang kali hingga semua orang mengetahuinya.

“Ada apa?. Sudah dimana sekarang?”. Aku kaget mendengar suara ustadz yang datang tiba tiba. Ternyata tanpa kusadari ustadz terbangun dari tidurnya sesaat setelah mobil patroli tadi berlalu.

“Ini masih di Bukit Soeharto ustadz. Di depan sana katanya ada pohon tumbang dan sekarang lagi dibersihkan oleh petugas”, jawabku menjelaskan persis apa yang kudengar barusan.

Ustadz tidak bereaksi apa apa. Peristiwa yang sedang terjadi sekarang seperti tidak memberikan efek apapun padanya. Diraihnya hape dari kantongnya untuk melihat jam, lalu kembali ke posisi semula. Diam dalam pulas.

Sementara di depan dan belakang mobilku sangat kentara sekali reaksi gelisah dari para sopir yang ditandai dengan silih bergantinya bunyi klakson, dari yang terdengar serius hingga yang terdengar seakan mengolok-olok peristiwa yang terjadi. Aku sendiri lebih memilih diam dan mengikuti setiap tahapannya secara alami saja.

Setelah lebih dua jam berlalu, akhirnya iring iringan mobil sudah bisa terurai secara perlahan laksana tali yang terlepas dari buhulnya. Meski hujan belum juga reda namun bukan lagi dianggap penghalang untuk bisa bergerak. Di tengah rinai hujan yang turun stabil, kulajukan mobil mengikuti pergerakan di depanku dengan sesekali menyalip mobil yang terlihat berjalan merayap.

Dan pada salah satu sudut jalanan yang sempit di tengah hutan, nampaklah para petugas yang masih sibuk dengan aktivitas mereka dengan latar belakang pohon besar yang tumbang yang sudah dalam kondisi terpotong potong kecil dan dijejerkan di pinggir jalan.

Keluar dari area hutan lindung Bukit Soeharto, laju mobil sudah mulai stabil. Aku tidak mau mengambil resiko dengan menjalankan mobil lebih cepat lagi di tengah hujan seperti ini. Apalagi kulihat ustadz disampingku yang masih terlelap dengan nyaman.

Jalanan di depanku sudah mulai terlihat kosong. Kegelapan sudah mulai merayapi malam yang hampir berada di puncaknya. Kupertahankan caraku mengendalikan mobil seperti ini dan kubiarkan ustadz dalam lelapnya hingga akhirnya kami memasuki kota Samarinda. Malam sudah benar benar berada di puncaknya. Hujan yang sudah berangsur berhenti digantikan dengan cahaya bintang yang muncul secara perlahan.

“Alhamdulillah bisa tidur cukup lama juga tadi”, ucap ustadz dengan lirih hampir hampir tak terdengar telinga.

Aku tak memberikan respon apapun karena kutahu diluar waktu ini kesempatan ustadz untuk istirahat dan tidur juga sangat sedikit. Aku tahu persis jam tiga dini hari nanti ustadz pasti sudah berada diatas sajadah untuk bermunajat kepada Allah dalam tahajjudnya. Rakaat demi rakaat terus dilakukan hingga beberapa menit menjelang adzan Subuh. Al-Ma’tsurat dan tilawah akan menjadi rutinitasnya bakda Subuh hingga waktu syuruq. Lalu  kegiatan demi kegiatan akan dilakukan setelahnya dari pagi hingga malam berganti. Lantas kapankah waktu istirahat dan tidur yang ideal bagi ustadz?.

“Istirahat dan tidur dimanapun bagi saya tidak masalah, yang penting bisa dinikmati”.

Ungkapan ini pernah beberapa kali ustadz lontarkan dalam beberapa kesempatan, dan sepertinya inilah quality time yang pas bagi beliau. Selama mendampingi ustadz dalam berbagai perjalanan, memang ustadz tidak pernah memilih tempat dimana mau beristirahat. Namun dari banyak pengalaman yang kulalui, di mobil ataupun diatas kendaraan adalah tempat yang gampang bagi ustadz untuk menemukan kedamaian dalam lelap.

“Tanpa kusadari ternyata ustadz punya pola tersendiri dalam mengatur waktu istirahatnya”, batinku sambil tersenyum seakan baru menemukan hal baru yang tidak kusadari sebelumnya selama ini.

Dari ritme dan pola yang dilakukan ustadz ini aku mencoba flashback melalui beberapa riwayat. Seringkali disebutkan dalam riwayat tersebut bahwa Rasulullah dan para sahabat acapkali memanfaatkan waktu siang hari untuk “qailulah” (tidur sebentar saat matahari berada di puncaknya atau beberapa saat sebelum shalat Zhuhur). Diluar waktu itu Rasulullah bahkan sudah bergelut dengan aktivitas risalah dan dakwah untuk mengurusi kemaslahatan umat.

Di malam hari waktu Rasulullah selalu dihabiskan untuk shalat yang bahkan suatu ketika “ditegur” oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha karena mendapati kaki beliau bengkak akibat banyaknya rukuk dan sujud yang beliau lakukan. Dan saat mendapat “protes” dari Aisyah atas aktivitas yang beliau lakukan ini, Rasulullah hanya meresponnya dengan senyum seraya berkata “apakah engkau tidak senang kalau aku termasuk kedalam golongan hamba yang pandai besyukur”. Inilah cara Rasulullah bersyukur.

Lantas dengan semua aktivitas yang dilakukan ustadz, apakah ini juga termasuk cara ustadz bersyukur?.

*****

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Teror Bermula
0
0
Imin  yang mendengarkan ocehan kedua sahabatnya ini tak menunjukkan reaksi apapun. Ia lebih tertarik untuk melihat ke arah jalanan yang sesekali ditingkahi deru suara motor warga yang lewat di depan rumah mereka. Namun tiba tiba matanya fokus ke halaman bawah yang seperti menampakkan bayangan seorang perempuan berpakain hijau panjang. Ia nampak memasuki rumah. Tanpa ekspresi dan bahkan tanpa menimbulkan suara. Dan anehnya saat perempuan itu memasuki rumah, tak ada suara pintu terbuka dan tak ada suara geret engsel pintu seperti yang ia alami tadi sore. Seketika bayangan itu menghilang.“Hah.. Astaghfirullahal azhiim”, gumamnya tanpa sadar.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan