Amalan Manakah Yang Membawa Kita Ke Surga?

0
0
Deskripsi

Selesai shalat, kami kembali ke hotel melewati jalan yang sama sebagaimana keberangkatan tadi. Jalanan yang temaram yang hanya dibantu dengan cahaya lampu dari rumah rumah penduduk semakin membuat malam itu terasa damai.

Suasana khas daerah yang jauh dari jangkauan kota besar ini semakin membuat tentram perasaan hati. Kusejajarkan langkah kaki mengikuti ustadz yang berjalan santai di sampingku.

“Apakah engkau pernah terpikir, amalan apakah kelak yang akan mengantarkan kita ke surga”?.

Aku merasa kaget...

#Seri04

Speedboat yang kami tumpangi sudah menjauhi pelabuhan Tengkayu, kota Tarakan, dan mulai menyusuri laut lepas dengan sisi Pulau Kalimantan di sebelah kiri dan Selat Makassar di sebelah kanan. Pemandangan laut lepas Selat Makassar dan kumpulan pepohonan mangrove sebagai batas luar pulau secara bersamaan mendatangkan ketakjuban tersendiri bagi siapapun yang menyadari kebesaran Allah.

Keindahan ini sayang untuk dilewatkan sehingga secara bergantian kualihkan pandanganku sejauh mungkin untuk sekedar meresapi pandangan yang belum tentu bisa kurasakan di tempat lain.

Ustadz yang berada disampingku terlihat masih memegang mushaf dan tenggelam dalam tilawahnya dengan suara yang lirih. Suara yang ditimbulkan dari TV layar datar yang menampilkan film action box office terbaru dibiarkan menyala sebagai fasilitas hiburan bagi penumpang tanpa peduli apakah ada yang menonton atau tidak. Semua penumpang terlena dengan aktivitasnya masing masing.

Separuh perjalanan sudah terlewati. Pemandangan laut yang luas sudah berganti dengan gugusan pulau pulau kecil yang banyak terdapat di sepanjang perjalanan. Jalur lintasan terkesan menjadi bercabang dengan banyaknya gugusan pulau tersebut. Speedboat yang kami tumpangi secara bergantian mengambil jalur di sisi pulau pulau tersebut untuk menghindari gelombang dan ombak yang kadang bisa datang tiba tiba tersaput angin kencang.

Dan tanpa terasa dua jam lebih sudah terlampaui hingga hamparan laut yang berwarna biru jernih berubah menjadi keruh hingga speedboat kami memasuki Sungai Sesayap yang mengantarkan kami menuju desa Tideng Pale, Kabupaten Tana Tidung.

Tideng Pale adalah ibukota kabupaten yang terletak di kecamatan Sesayap Ilir. Tideng Pale (dibaca Tidung Pala) sendiri diambil dari bahasa Tidung dengan aksen yang unik. Menurut sejarahnya nama desa ini diambil dari kata Tideng yang berarti gunung dan Pale yang berarti tawar. Tideng Pale sendiri diambil sebagai nama desa karena ia terletak di daerah gunung yang dialiri Sungai Sesayap dibawahnya yang jika musim kemarau akan muncul pembatas sungai antara asin dan tawar.

Dan kali ini disinilah aku berada, masih dalam aktivitas jaulah dakwah mendampingi ustadz.

*****

Kumandang adzan dari menara masjid itu begitu syahdu. Suara sang muadzin yang menggema di udara seakan mengantarkan burung burung untuk kembali ke sarangnya, dan seketika juga menyadarkan manusia untuk kembali mengingat Allah setelah sibuk dengan segala aktivitasnya seharian. Matahari di ufuk Barat meninggalkan rona merah kekuningan yang perlahan tenggelam di balik bebukitan yang sudah mulai berkabut.

Aku berjalan beriringan dengan ustadz tanpa suara seakan terlena dengan merdunya suara adzan. Diam tenggelam dalam kesyahduan panggilan Allah untuk setiap orang beriman. Seiring dengan berakhirnya kumandang adzan, berakhir juga langkah kami di ujung pelataran masjid.

Inilah Masjid Agung At-Taqwa yang sangat megah. Sangat berbeda dengan bentuk aslinya – sebelum direnovasi - yang dulu pernah kukunjungi beberapa tahun sebelumnya. Masjid berlantai tiga yang terletak di sisi jalan utama sejajar dengan sungai Sesayap ini terlihat sangat megah dan menjadi salah satu ikon Kabupaten Tana Tidung.

Sebagaimana layaknya masjid masjid di kota besar, masjid inipun bersifat multifungsi, yaitu area perkantoran untuk lembaga keagamaan dan ruang serbaguna untuk publik di lantai satu dan ruang utama untuk ibadah di lantai dua dan tiga.

Tak berselang lama, iqamah-pun dilantunkan dan segera jamaah yang hadir bergegas membentuk barisan shaf yang rapi sebagai salah satu syarat keutamaan shalat berjamaah.  

“Saya merintis dakwah sudah puluhan tahun, amaliyah sunnah dan sosial-pun saya lakukan. Termasuk mendatangi tempat tempat yang jauh bahkan hingga ke pedalaman, termasuk sekarang ini. Lalu apakah semua itu akan menyebabkan saya masuk surga?”.

Aku hanya terdiam tak mampu menjawab. Pikiran dan pengetahuanku tak sanggup untuk mencerna. Selama ini yang kutahu bahwa ibadah yang kulakukan pastinya berharap pamrih, yaitu ganjaran dari Allah berupa pahala.

“Lantas untuk apa kita beribadah kalau tidak menjamin kita ke surga, ustadz?”.

Aku memberanikan diri untuk bertanya meskipun mungkin saja jawaban yang diberikan ustadz tetap saja tak bisa kucerna dengan baik.

“Tidak ada yang salah dengan konsep pahala dan dosa, surga dan neraka, berharap dan takut”.

“Seseorang beribadah karena berharap pahala dan terhindar dari dosa, berharap masuk surga dan takut neraka adalah wajar karena inipun ada tuntunannya. Hanya saja level atau maqamnya yang berbeda”.

“Maksudnya bagaimana ustadz?”.

“Saat pertama kali seseorang mengenal Islam, biasanya konsep al-khauf (takut) dan al-raja’ (berharap) ini dikenalkan lebih dulu untuk memberikan motivasi dalam beramal. Dalam prakteknya bisa saja terjadi dia tidak mau melakukan dosa karena takut masuk neraka atau sebaliknya dia mau beribadah karena berharap masuk surga”.

“Tapi bagi saya pribadi, saya berpendapat bahwa ibadah yang kita lakukan tidak boleh bersifat transaksional atau berdasarkan hitungan untung dan rugi. Artinya kalau saya lakukan ini maka akan dapat pahala segini dan seterusnya”.

“Lalu bagaimana kalau ada seseorang yang fokus mengejar pahala untuk mendapatkan surga?”, tanyaku dengan sedikit penasaran.

“Tidak ada yang salah dengan target untuk mengejar pahala. Tapi pertanyaan lanjutannya adalah apakah kita yakin dengan mengumpulkan pahala yang banyak tersebut bisa menjamin kita masuk surga?. Berapakah nilai pahala yang harus dikumpulkan untuk menebus surga?”.

Meski sedikit pusing aku terus memaksakan diri untuk mencerna tiap kalimat yang diucapkan ustadz barusan. Memang ada hal fundamental yang berbeda antara apa yang diucapkan ustadz dengan apa yang pernah kupelajari dulu di sekolah.

“Saya khawatir kalau cara pandang kita melihat agama hanya berdasarkan dosa dan pahala, yang muncul adalah penghakiman. Yang terjadi malah sikap ekstrimisme yang mendominasi dibanding sikap ukhuwwah”.

Sampai disini ustadz mulai menjelaskan secara perlahan dengan memberikan beberapa contoh aktual yang terjadi di lingkungan masyarakat akhir akhir ini. Dan secara perlahan juga pemahamanku mulai terbuka dengan konsep beragama seperti yang dipaparkan ustadz.

“Banyak orang yang merasa lebih baik dibanding yang lain karena merasa pahalanya lebih banyak. Bisa jadi dari pahala shalat jamaahnya, pahala tilawahnya dan seterusnya sehingga ia merasa lebih berhak masuk surga dibanding yang lainnya. Ini sangat berbahaya”.

“Lantas bagaimana seharusnya seorang melihat hal ini, ustadz?”.

“Dalam beragama diperlukan proses, dari yang semula kita hanya berharap pahala saja, lalu secara perlahan kita ubah konsepnya menjadi apapun bentuk ibadah yang kita lakukan semata mata hanya karena ingin meraih rahmat (kasih sayang) Allah”.

“Artinya dari yang semula hanya hubungan transaksional berubah menjadi hubungan cinta dan kasih sayang”.

“Lalu bagaimana dengan orang yang selalu berusaha istiqamah dalam ibadah tertentu karena nilai pahalanya yang besar, ustadz?”.

“Istiqamah dalam ibadah sangat dianjurkan. Allah memang menyediakan banyak jalan untuk mendapatkan pahala dari amalan tertentu. Misal ibadah shalat. Orang yang sama sama mengerjakan shalat bisa jadi nilai pahalanya berbeda”.

“Shalat berjamaah nilai pahalanya 27 kali lipat dibanding shalat sendirian. Shalat diawal waktu nilai pahalanya sangat besar dibanding shalat di akhir waktu. Ini contoh satu amalan tapi beda pahala yang disediakan”.

“Jika seseorang memahami mekanisme pelipatgandaan pahala ini dengan baik, tentu setiap orang ingin mendapatkannya. Tapi sayangnya tidak semua orang menyadarinya”.

“Lalu bagaimana kaitannya dengan amalan yang membawa kita ke surga tadi ustadz?”.

“Karena kita tidak pernah mengetahui amalan manakah yang bisa membawa kita ke surga, maka kita harus membuat prioritas. Kita harus berupaya sekuat mungkin untuk mengejar ibadah dengan nilai pahala yang lebih besar meski kita tidak pernah mengetahui yang manakah diantara ibadah tersebut yang bisa membawa kita ke surga”.

“Kalau kita tidak pernah tahu amalan mana yang menyebabkan kita masuk surga, padahal semua orang sangat menginginkannya, lantas apa sebenarnya yang menyebabkan kita bisa masuk surga?”.

“Ada hadits Nabi dari sahabat Jabir Radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan : Aku mendengar Nabi SAW bersabda : Tidak seorangpun dari kalian yang dimasukkan ke surga oleh amalnya dan tidak juga diselamatkan dari neraka karenanya, tidak juga aku, kecuali karena rahmat (kasih sayang) dari Allah. (HR. Muslim)

“Rahmat atau kasih sayang Allah sangat luas dan diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan dalam prakteknya rahmat ini harus kita upayakan untuk diraih, bukan hanya duduk diam sambil berharap tanpa usaha”.

“Bagaimana caranya ustadz?”.

“Sebarkan kasih sayang kepada semua orang. Itulah tuntunan agama untuk mendapatkan rahmat Allah”.

“Rasulullah bersabda : Orang orang yang saling berkasih sayang akan disayang oleh Dzat yang Maha Penyayang. Maka sayangilah penduduk bumi maka para penduduk langit (malaikat) akan menyayangi kalian”. (HR. Abu Dawud).

Hadits terakhir yang disampaikan ustadz ini sangat familiar bagiku sejak bangku sekolah dulu. Dan menurut ustadzku dulu bahwa hadits pertama yang disampaikan Rasulullah kepada para sahabat bukanlah tentang shalat, puasa ataupun ibadah lainnya, melainkan tentang kasih sayang.

Sampai disini, akhirnya aku bisa mengerti bahwa istiqamahnya ustadz dalam dakwah, setianya beliau melakukan rihlah sampai ke pelosok pedalaman, semangatnya beliau dalam membina umat dan para kader dakwah sampai sampai waktu untuk pribadi beliau sendiri kadang dikorbankan demi kepentingan dakwah adalah semata mata karena ingin menyebarkan sekaligus juga meraih kasih sayang dari Allah.

Oleh karenanya sebanyak apapun ibadah yang dilakukan, sebesar apapun amalan yang dilaksanakan bukan lagi jadi jaminan untuk mendapatkan surga. Namun jika kasih sayang Allah sudah diraih, maka semuanya secara otomatis akan terlampaui. Dan Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu... (QS. 7 : 156).

Bersamaan dengan selesainya penjelasan ustadz, berakhir juga langkah kaki kami di tengah temaramnya suasana malam di salah satu sudut daerah pedalaman di Kalimantan Utara ini. Ustadz segera memasuki kamar hotel sambil tak lupa berpesan bahwa masih ada satu agenda lagi selepas Isya nanti, yaitu silaturahmi ke kerabat beliau.

Inilah tausiyah yang sangat mendalam yang kurasakan secara tidak sengaja malam itu. Bukan di tempat formal layaknya majelis taklim, tapi hanya di pinggir jalan sambil berjalan kaki.

Ternyata memang perlu kedewasaan dalam beragama dan beramal agar tujuan kita tidak salah sasaran. Beramal karena cinta, sebagaimana yang tercermin dalam aktivitas dakwah ustadz, selalu melahirkan daya tarik tersembunyi yang menyimpan keajaiban kasih sayang Allah.

Keajaiban kasih sayang ini bisa kita saksikan dalam rangkaian sejarah Islam.

Lihatlah saat Nabi Ibrahim menempatkan Siti Hajar dan bayinya Ismail di bukit Shafa dan Marwah yang bisa ditafsirkan sebagai spirit baktinya kepada suami dan sebagai bentuk cintanya kepada Allah.

Legenda Bilal bin Rabah adalah juga gambaran tentang keteguhan hati dalam mempertahankan iman seorang budak di tengah penderitaan.

Begitu juga sang legenda perang Khalid bin Walid yang lebih mencintai jihad di medan perang ketimbang tidur dengan pengantinnya di pembaringan.

Demikian juga legenda dakwah Hasan al-Banna yang lebih mencintai dakwah diatas segalanya.

Semuanya mencerminkan keajaiban cinta dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.

Lalu amalan apakah lagi yang bisa membawamu ke surga selain kasih sayang Allah?.

*****

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Seorang Mukmin Tidak Mengawali Harinya Dari Shalat Subuh
0
0
Subuh jam empat lewat beberapa menit, notifikasi di hapeku berbunyi menandakan ada pesan masuk.“Kita shalat Subuh di Masjid Nurul Ilmi. Setelah itu mampir sebentar ke rumah Pak Untung”, instruksi ustadz lewat pesan di hapeku.“Iya Insya Allah ustadz”, balasku singkat.Aku memang sudah hapal kebiasaan ustadz dalam setiap tugas, yakni shalat Subuh di masjid yang berbeda dari masjid sebelumnya yang kami singgahi. Kubangunkan Ihsan agar bersiap siap, dan akupun segera keluar menuju lobi menunggu ustadz keluar kamar.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan