Al-Qur'an Adalah Sumber Segala Ilmu

0
0
Deskripsi

“Permisalan orang Muslim yang membaca Al-Qur’an bagaikan buah utrujah (seperti jeruk), rasanya enak dan baunya harum. Permisalan orang Muslim yang tidak membaca Al-Qur’an bagaikan kurma, rasanya enak tapi tidak ada baunya. Dan perumpamaan orang fajir (pendosa) yang membaca Al-Qur’an bagaikan buah raihanah (seperti kemangi), baunya harum tapi rasanya pahit. Dan perumpamaan orang fajir yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah hanzholah, rasanya pahit dan tidak memiliki bau”.

#Seri20

Siang itu di penghujung Nopember 2016, kulajukan mobil berjenis LCGC (Low Cost Green Car) itu menuju ke arah Ciracas, Jakarta Timur. Kali ini aku mendampingi Pak Makhrawi dan Pak Helmi yang sengaja datang dari Samarinda, Kalimantan Timur untuk suatu urusan penting di Kementerian Agama, Jakarta.

Berangkat dari kawasan Jati Raya Ragunan Jakarta Selatan, kuarahkan mobil melewati Jalan TB Simatupang dan terus menyusuri daerah Pasar Rebo hingga melewati Pasar Induk Kramat Jati. Dari titik ini, kuaktifkan GPS di perangkat selularku untuk mencari alamat Pondok Tahfidz Utrujah di daerah Ciracas, Jakarta Timur.

Karena memang bukan penduduk asli dan tidak mengenal medan dengan baik, tentunya beberapa kali juga kendala yang kuhadapi karena memang aku tidak mahir memprediksi arah GPS di perangkatku, terlebih lagi ketika melewati perkampungan dan tikungan jalan yang membingungkan. Hal ini ditambah lagi dengan perangkat hapeku yang memang sudah tergolong jadul.

Ustadzah Sarmini, orang yang ingin kami kunjungi, memang telah memberikan beberapa petunjuk  melalui komunikasi telepon, namun ini hanya membantu sedikit dikarenakan alamat yang kami cari terletak di pemukiman yang padat penduduk dan banyaknya cabang jalan yang terlihat mirip dan membingungkan. Beberapa kali kami bahkan hanya memutari area yang sama akibat terlalu berpatokan pada perangkat GPS.

Setelah cukup lama mencari dan bertanya dengan beberapa warga setempat yang kami temui, akhirnya dari kejauhan kami menemukan sebuah rumah berlantai dua yang cukup besar dan terlihat asri.

“Pastas saja sulit dicari. Ternyata tempatnya memang tersembunyi di perkampungan”, ucapku kepada Pak Makhrawi.

“Tapi kampungnya Jakarta beda dengan kampungnya Samarinda”, balasnya sambil tersenyum.

Sampai di depan pintu rumah, sepasang suami istri nampak menunggu dan menyambut kedatangan kami dengan raut sumringah. Di beberapa pojok pekarangan terlihat beberapa anak kecil sedang asyik bermain dengan riang gembira dengan membentuk beberapa kelompok kecil. Keasyikan yang nampaknya tak mau diganggu dengan hal kecil di sekeliling mereka. Keasyikan bermain khas anak anak dengan dunia mereka sendiri yang seakan terpisah dari dunia orang dewasa. Inilah sebagian anak anak binaan dari Rumah Tahfidz Utrujah binaan dua orang suami istri yang sekarang berada di depan kami, ustadzah Sarmini dan ustadz Hari Susanto.

“Assalamu ‘alaikum”, ustadz mendahului untuk mengucapkan salam.

“Wa ‘alaikum salam. Silahkan masuk, ustadz”, sang suami berkata dengan ramah.

“Maaf ustadz, pak, tempatnya agak berantakan. Tadi dipakai anak anak buat bermain”, ucap sang istri sambil menuntun kami ke tempat duduk di ruang tamu.

Setelah dipersilahkan masuk dan berbincang hangat, aku coba menyapu pandanganku ke sekeliling ruangan. Di sebelah belakang kembali aku melihat beberapa anak kecil dengan berbagai aktifitas yang nampaknya seru dan menyenangkan. Di lantai atas samar samar terdengar suara anak anak melantunkan tilawah secara bersama sama yang dipandu oleh seorang ustadz. Di sebelah luar anak anak perempuan yang kulihat tadi sekarang sudah berpindah kesenangan dengan saling kejar kejaran dengan suara riang.  

“Rumah ini adalah fasilitas yang dipinjamkan oleh salah seorang menteri yang bersimpati dengan kegiatan kami, ustadz”, terang ustadzah Sarmini membuka percakapan.

“Waah luar biasa sekali bisa dikasih pinjam dari seorang Menteri”, Pak Hilmi menanggapi dengan sedikit takjub.

“Iya pak, kebetulan kami bertemu beliau dalam satu acara dan kami sampaikan cita cita kami dalam pembelajaran dan tahfidz qur’an sejak usia balita”, jelasnya lagi.

“Ternyata sang Menteri menanggapinya dengan serius dan akhirnya jadilah fasilitas rumah ini bisa kami tempati sekarang”.

“Kebetulan seorang ustadz dari Kaltim juga menitipkan anaknya disini, dan sekarang perkembangannya sudah sangat luar biasa”, tambahnya lagi.

‘Siapa ustadz dari Kaltim yang dimaksud?”, bisikku kepada Pak Makhrawi yang duduk di sebelah kiriku.

“Ustadz Taufiq”, balasnya singkat.

“Apa yang melatarbelakangi kalian suami istri untuk mendirikan lembaga Utrujah ini?”, tanya ustadz kepada mereka.

“Kebetulan kami berdua memang sama sama hafidz qur’an, ustadz. Dulu kuliahnya juga di bidang Al-Qur’an”.

“Dari situ kami bertekad untuk memperkenalkan Al-Qur’an kepada anak anak kami sejak balita. Dan setelah mereka terbiasa baru kami arahkan ke program tahfidz”, jawab ustadz Hari, sang suami.

“Dari sinilah kami berpikir kenapa tidak dikembangkan saja secara luas. Toh kami juga, alhamdulillah, punya metode yang selama ini kami gunakan dalam menghapal Al-Qur’an”.

“Dan kebetulan anak anak kami semuanya sudah mengkhatamkan Al-Qur’an pertama mereka pada usia bawah lima tahun”, ujarnya menambahkan. Anak mereka saat itu berjumlah tiga orang.

“Lalu bagaimana cara mengajarkan anak anak tersebut cara praktis untuk menghapal Al-Qur’an?”, tanya Pak Makhrawi.

“Kami membiasakan mereka untuk membuat ilustrasi atau gambar di media tertentu, misal dinding rumah dan mereka hanya membayangkan seakan akan disana ada mushaf qur’an”, terang ustadzah Sarmini

“Ini artinya anak anak ini harus punya mushaf standar yang tidak boleh ditukar dengan mushaf yang lain”, Pak Makhrawi coba menangkap penjelasan dari ustadzah Sarmini.

“Iya betul Pak, mushaf haruslah milik mereka sendiri agar alam bawah sadarnya terbiasa membayangkan tulisan pada lembaran mushaf yang sudah familiar bagi mereka”.

Aku yang mendengar percakapan ini coba mengasosiasikan metode yang digunakan yang nampaknya serupa dengan gaya belajar visual dalam teori quantum learning yang pernah kupelajari.

“Lalu nama Utrujah sendiri diambil dari bahasa Arab?”, tanyaku memberanikan diri.

“Iya betul. Utrujah adalah nama buah sejenis jeruk yang rasanya manis dan baunya harum”, jawab sang suami.

“Nama inilah yang kami ambil untuk program qur’an kami, tepatnya Utrujah Club”, timpal sang istri.

“Kami bercita cita agar bumi Indonesia ke depannya nanti berlimpah dengan sumber daya yang berkompetensi Al-Qur’an di segala bidang”, tambahnya penuh semangat.

“Bagaimana dengan ujian sekolahnya. Bukankah anak anak tidak diikutkan program pendidikan formal?”, tanya ustadz.

“Betul ustadz. Kami disini hanya memfasilitasi model pendidikan non formal, khusus program tahfidz. Anak anak yang mencapai usia kelas akhir, kami ikutkan ujian paket, baik paket A untuk SD, paket B untuk SMP dan paket C untuk SMA, ustadz”.

“Memang model pendidikan non formal seperti ini cukup banyak tersebar, khususnya untuk sekolah tahfidz. Dan untungnya pemerintah juga memberikan kesempatan yang sama kepada peserta didik untuk mendapatkan ijazah dengan model Paket”, jawab ustadz yang sangat menguasai masalah ini.

“Dan yang membuat kami bangga, ustadz, ada anak didik kami yang ikut paket C dan diterima di Fakultas Kedokteran UI”, sela ustadzah Sarmini dengan antusias.

“Bukankah ini menandakan bahwa anak anak yang khusus mempelajari Al-Qur’an-pun tidak kalah kecerdasannya dengan anak anak dari sekolah formal”, terangnya lagi dengan perasaan bangga.

“Iya saya sepakat dengan hal itu. Dan saya sangat yakin orang yang cinta dan belajar Al-Qur’an pasti juga cerdas untuk mempelajari bidang ilmu yang lainnya”, timpal ustadz memberikan kesimpulan.

“Al-Qur’an adalah sumber segala ilmu. Logika sederhananya adalah kalau sumber ilmu saja bisa dikuasai, maka otomatis cabang ilmu yang lain akan terasa mudah untuk dipahami”, tambah ustadz meyakinkan dengan logika yang mudah dipahami.

Aku sangat kagum dengan pendapat ustadz ini dan setuju sepenuhnya. Satu premis yang sangat luar biasa. Bukankah banyak sejarah yang membuktikan kebenaran hal ini?.

SyeikhYusuf Qardhawi bahkan pernah mengatakan dalam kitab fikih siyasi-nya bahwa kalangan sahabat Nabi dulu adalah berlatar belakang ulama dan ahli Al-Qur’an terlebih dulu baru kemudian menjadi khalifah dan pemimpin. Artinya mereka hapal qur’an dulu sebelum berkiprah di tengah umat.

“Saya kebetulan punya rencana untuk mendirikan rumah tahfidz qu’ran di Kaltim untuk anak anak usia sekolah”, ujar ustadz memaparkan rencananya ke depan.

“Mungkin nanti kalau bersedia antum berdua, suami istri, bisa kami undang untuk memberikan training kepada guru guru sekolah kami disana”, tawar ustadz kemudian.

“Insya Allah ustadz”, jawab suami istri ini hampir berbarengan.

Melihat semangat ini menambah kekagumanku pada suami istri yang sama sama bergelar Doktor yang pernah menempuh pendidikan S3-nya di International University of Africa, Sudan ini.

Semangat ini menyadarkanku pada motivasi hadits dari Abu Musa al-Asy’ary dimana Rasulullah menyampaikan :

“Permisalan orang Muslim yang membaca Al-Qur’an bagaikan buah utrujah (seperti jeruk), rasanya enak dan baunya harum. Permisalan orang Muslim yang tidak membaca Al-Qur’an bagaikan kurma, rasanya enak tapi tidak ada baunya. Dan perumpamaan orang fajir (pendosa) yang membaca Al-Qur’an bagaikan buah raihanah (seperti kemangi), baunya harum tapi rasanya pahit. Dan perumpamaan orang fajir yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah hanzholah, rasanya pahit dan tidak memiliki bau”.

Setelah berlangsung sekitar satu jam pertemuan berakhir dan kami bersiap untuk kembali ke rumah ustadz di kawasan Pasar Minggu. Sebelum berpisah ustadzah Sarmini memberikan bingkisan berupa buku yang ia tulis sendiri dengan judul Semangat Khatam Al-Qur’an Sejak Balita.

Senada dengan yang dilakukan oleh pasangan suami istri ini, namun dengan waktu yang lebih awal, semangat Al-Qur’an seperti ini juga-lah yang ustadz sebarkan ke berbagai penjuru di bumi Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara selama puluhan tahun ini.

Sebagai seorang Koordinator Wilayah (Korwil) Kalimantan Metode Qira’ati, tentunya ustadz sudah tidak asing lagi dengan seluk  beluk pengajaran Al-Qur’an ini. Tiada hari yang terlewatkan selain mengenalkan dan menyebarkan semangat Al-Qur’an ini ke setiap individu dan masyarakat di seluruh penjuru wilayah.

Aku termasuk orang yang beruntung karena bisa mendampingi ustadz dalam gerakan dakwah ini. Dari wilayah perkotaan hingga pelosok dan pinggiran bahkan sampai wilayah perbatasan negara Malaysia di ujung Utara pulau Kalimantan ini pernah kudatangi bersama ustadz. Oleh karenanya tidak mengherankan kalau cabang pengajaran metode qira’ati ini tersebar dimana mana.

Dalam setiap majelis maupun pertemuan yang mengumpulkan orang banyak selalu saja kata kata motivasi ini menjadi spirit dan penyemangat yang dikobarkan ustadz.

“Al-Qur’an adalah sumber segala ilmu”, ungkap ustadz dalam banyak kesempatan bertemu masyarakat.

‘Semakin intens mempelajari Al-Qur’an, semakin banyak rahasia ilmu akan terungkap”.

Kata kata ini dengan sendirinya menjadi personal branding bagi ustadz dan secara langsung juga menjadi tagline yang menghiasi semua aktifitas ustadz, baik sebagai seorang dai maupun sebagai seorang senator.

“Banyak ayat ayat Al-Qur’an yang secara harfiah bisa difahami bahwa ia mencakup segala macam ilmu pengetahuan”.

“Oleh karenanya, perkenalkanlah Al-Qur’an kepada anak anak kita sejak usia dini sebagai bekal awal bagi mereka untuk mempelajari ilmu di bidang lainnya”.

“Keyakinan yang harus ditanamkan adalah semua disiplin ilmu akan sangat mudah dipelajari dan dipahami jika modal utamanya, yaitu Al-Qur’an, sudah kita pelajari dan pahami dengan baik”.

Motivasi dan afirmasi seperti inilah yang selalu digaungkan ustadz, khususnya kepada generasi muda agar senantiasa menuntut ilmu berlandaskan Al-Qur’an.

Demikianlah semangat ini terus dihembuskan oleh ustadz ke berbagai kalangan dan tingkatan. Jika berhadapan dengan para pelajar dan mahasiswa, maka ini adalah dorongan bagi mereka untuk sungguh sungguh mempelajari ilmu lainnya dengan berlandaskan Al-Qur’an. Jika berhadapan dengan masyarakat umum, maka ini akan menjadi pendorong bagi mereka agar memberikan pendidikan terbaik buat anak anak mereka. Dan jika berhadapan dengan para pejabat maka spirit ini bisa dijadikan landasan untuk pengambilan kebijakan yang membawa manfaat untuk orang banyak.

***** menuju ke arah Ciracas, Jakarta Timur. Kali ini aku mendampingi Pak Makhrawi dan Pak Helmi yang sengaja datang dari Samarinda, Kalimantan Timur untuk suatu urusan penting di Kementerian Agama, Jakarta.

Berangkat dari kawasan Jati Raya Ragunan Jakarta Selatan, kuarahkan mobil melewati Jalan TB Simatupang dan terus menyusuri daerah Pasar Rebo hingga melewati Pasar Induk Kramat Jati. Dari titik ini, kuaktifkan GPS di perangkat selularku untuk mencari alamat Pondok Tahfidz Utrujah di daerah Ciracas, Jakarta Timur.

Karena memang bukan penduduk asli dan tidak mengenal medan dengan baik, tentunya beberapa kali juga kendala yang kuhadapi karena memang aku tidak mahir memprediksi arah GPS di perangkatku, terlebih lagi ketika melewati perkampungan dan tikungan jalan yang membingungkan. Hal ini ditambah lagi dengan perangkat hapeku yang memang sudah tergolong jadul.

Ustadzah Sarmini, orang yang ingin kami kunjungi, memang telah memberikan beberapa petunjuk  melalui komunikasi telepon, namun ini hanya membantu sedikit dikarenakan alamat yang kami cari terletak di pemukiman yang padat penduduk dan banyaknya cabang jalan yang terlihat mirip dan membingungkan. Beberapa kali kami bahkan hanya memutari area yang sama akibat terlalu berpatokan pada perangkat GPS.

Setelah cukup lama mencari dan bertanya dengan beberapa warga setempat yang kami temui, akhirnya dari kejauhan kami menemukan sebuah rumah berlantai dua yang cukup besar dan terlihat asri.

“Pastas saja sulit dicari. Ternyata tempatnya memang tersembunyi di perkampungan”, ucapku kepada Pak Makhrawi.

“Tapi kampungnya Jakarta beda dengan kampungnya Samarinda”, balasnya sambil tersenyum.

Sampai di depan pintu rumah, sepasang suami istri nampak menunggu dan menyambut kedatangan kami dengan raut sumringah. Di beberapa pojok pekarangan terlihat beberapa anak kecil sedang asyik bermain dengan riang gembira dengan membentuk beberapa kelompok kecil. Keasyikan yang nampaknya tak mau diganggu dengan hal kecil di sekeliling mereka. Keasyikan bermain khas anak anak dengan dunia mereka sendiri yang seakan terpisah dari dunia orang dewasa. Inilah sebagian anak anak binaan dari Rumah Tahfidz Utrujah binaan dua orang suami istri yang sekarang berada di depan kami, ustadzah Sarmini dan ustadz Hari Susanto.

“Assalamu ‘alaikum”, ustadz mendahului untuk mengucapkan salam.

“Wa ‘alaikum salam. Silahkan masuk, ustadz”, sang suami berkata dengan ramah.

“Maaf ustadz, pak, tempatnya agak berantakan. Tadi dipakai anak anak buat bermain”, ucap sang istri sambil menuntun kami ke tempat duduk di ruang tamu.

Setelah dipersilahkan masuk dan berbincang hangat, aku coba menyapu pandanganku ke sekeliling ruangan. Di sebelah belakang kembali aku melihat beberapa anak kecil dengan berbagai aktifitas yang nampaknya seru dan menyenangkan. Di lantai atas samar samar terdengar suara anak anak melantunkan tilawah secara bersama sama yang dipandu oleh seorang ustadz. Di sebelah luar anak anak perempuan yang kulihat tadi sekarang sudah berpindah kesenangan dengan saling kejar kejaran dengan suara riang.  

“Rumah ini adalah fasilitas yang dipinjamkan oleh salah seorang menteri yang bersimpati dengan kegiatan kami, ustadz”, terang ustadzah Sarmini membuka percakapan.

“Waah luar biasa sekali bisa dikasih pinjam dari seorang Menteri”, Pak Hilmi menanggapi dengan sedikit takjub.

“Iya pak, kebetulan kami bertemu beliau dalam satu acara dan kami sampaikan cita cita kami dalam pembelajaran dan tahfidz qur’an sejak usia balita”, jelasnya lagi.

“Ternyata sang Menteri menanggapinya dengan serius dan akhirnya jadilah fasilitas rumah ini bisa kami tempati sekarang”.

“Kebetulan seorang ustadz dari Kaltim juga menitipkan anaknya disini, dan sekarang perkembangannya sudah sangat luar biasa”, tambahnya lagi.

‘Siapa ustadz dari Kaltim yang dimaksud?”, bisikku kepada Pak Makhrawi yang duduk di sebelah kiriku.

“Ustadz Taufiq”, balasnya singkat.

“Apa yang melatarbelakangi kalian suami istri untuk mendirikan lembaga Utrujah ini?”, tanya ustadz kepada mereka.

“Kebetulan kami berdua memang sama sama hafidz qur’an, ustadz. Dulu kuliahnya juga di bidang Al-Qur’an”.

“Dari situ kami bertekad untuk memperkenalkan Al-Qur’an kepada anak anak kami sejak balita. Dan setelah mereka terbiasa baru kami arahkan ke program tahfidz”, jawab ustadz Hari, sang suami.

“Dari sinilah kami berpikir kenapa tidak dikembangkan saja secara luas. Toh kami juga, alhamdulillah, punya metode yang selama ini kami gunakan dalam menghapal Al-Qur’an”.

“Dan kebetulan anak anak kami semuanya sudah mengkhatamkan Al-Qur’an pertama mereka pada usia bawah lima tahun”, ujarnya menambahkan. Anak mereka saat itu berjumlah tiga orang.

“Lalu bagaimana cara mengajarkan anak anak tersebut cara praktis untuk menghapal Al-Qur’an?”, tanya Pak Makhrawi.

“Kami membiasakan mereka untuk membuat ilustrasi atau gambar di media tertentu, misal dinding rumah dan mereka hanya membayangkan seakan akan disana ada mushaf qur’an”, terang ustadzah Sarmini

“Ini artinya anak anak ini harus punya mushaf standar yang tidak boleh ditukar dengan mushaf yang lain”, Pak Makhrawi coba menangkap penjelasan dari ustadzah Sarmini.

“Iya betul Pak, mushaf haruslah milik mereka sendiri agar alam bawah sadarnya terbiasa membayangkan tulisan pada lembaran mushaf yang sudah familiar bagi mereka”.

Aku yang mendengar percakapan ini coba mengasosiasikan metode yang digunakan yang nampaknya serupa dengan gaya belajar visual dalam teori quantum learning yang pernah kupelajari.

“Lalu nama Utrujah sendiri diambil dari bahasa Arab?”, tanyaku memberanikan diri.

“Iya betul. Utrujah adalah nama buah sejenis jeruk yang rasanya manis dan baunya harum”, jawab sang suami.

“Nama inilah yang kami ambil untuk program qur’an kami, tepatnya Utrujah Club”, timpal sang istri.

“Kami bercita cita agar bumi Indonesia ke depannya nanti berlimpah dengan sumber daya yang berkompetensi Al-Qur’an di segala bidang”, tambahnya penuh semangat.

“Bagaimana dengan ujian sekolahnya. Bukankah anak anak tidak diikutkan program pendidikan formal?”, tanya ustadz.

“Betul ustadz. Kami disini hanya memfasilitasi model pendidikan non formal, khusus program tahfidz. Anak anak yang mencapai usia kelas akhir, kami ikutkan ujian paket, baik paket A untuk SD, paket B untuk SMP dan paket C untuk SMA, ustadz”.

“Memang model pendidikan non formal seperti ini cukup banyak tersebar, khususnya untuk sekolah tahfidz. Dan untungnya pemerintah juga memberikan kesempatan yang sama kepada peserta didik untuk mendapatkan ijazah dengan model Paket”, jawab ustadz yang sangat menguasai masalah ini.

“Dan yang membuat kami bangga, ustadz, ada anak didik kami yang ikut paket C dan diterima di Fakultas Kedokteran UI”, sela ustadzah Sarmini dengan antusias.

“Bukankah ini menandakan bahwa anak anak yang khusus mempelajari Al-Qur’an-pun tidak kalah kecerdasannya dengan anak anak dari sekolah formal”, terangnya lagi dengan perasaan bangga.

“Iya saya sepakat dengan hal itu. Dan saya sangat yakin orang yang cinta dan belajar Al-Qur’an pasti juga cerdas untuk mempelajari bidang ilmu yang lainnya”, timpal ustadz memberikan kesimpulan.

“Al-Qur’an adalah sumber segala ilmu. Logika sederhananya adalah kalau sumber ilmu saja bisa dikuasai, maka otomatis cabang ilmu yang lain akan terasa mudah untuk dipahami”, tambah ustadz meyakinkan dengan logika yang mudah dipahami.

Aku sangat kagum dengan pendapat ustadz ini dan setuju sepenuhnya. Satu premis yang sangat luar biasa. Bukankah banyak sejarah yang membuktikan kebenaran hal ini?.

SyeikhYusuf Qardhawi bahkan pernah mengatakan dalam kitab fikih siyasi-nya bahwa kalangan sahabat Nabi dulu adalah berlatar belakang ulama dan ahli Al-Qur’an terlebih dulu baru kemudian menjadi khalifah dan pemimpin. Artinya mereka hapal qur’an dulu sebelum berkiprah di tengah umat.

“Saya kebetulan punya rencana untuk mendirikan rumah tahfidz qu’ran di Kaltim untuk anak anak usia sekolah”, ujar ustadz memaparkan rencananya ke depan.

“Mungkin nanti kalau bersedia antum berdua, suami istri, bisa kami undang untuk memberikan training kepada guru guru sekolah kami disana”, tawar ustadz kemudian.

“Insya Allah ustadz”, jawab suami istri ini hampir berbarengan.

Melihat semangat ini menambah kekagumanku pada suami istri yang sama sama bergelar Doktor yang pernah menempuh pendidikan S3-nya di International University of Africa, Sudan ini.

Semangat ini menyadarkanku pada motivasi hadits dari Abu Musa al-Asy’ary dimana Rasulullah menyampaikan :

“Permisalan orang Muslim yang membaca Al-Qur’an bagaikan buah utrujah (seperti jeruk), rasanya enak dan baunya harum. Permisalan orang Muslim yang tidak membaca Al-Qur’an bagaikan kurma, rasanya enak tapi tidak ada baunya. Dan perumpamaan orang fajir (pendosa) yang membaca Al-Qur’an bagaikan buah raihanah (seperti kemangi), baunya harum tapi rasanya pahit. Dan perumpamaan orang fajir yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah hanzholah, rasanya pahit dan tidak memiliki bau”.

Setelah berlangsung sekitar satu jam pertemuan berakhir dan kami bersiap untuk kembali ke rumah ustadz di kawasan Pasar Minggu. Sebelum berpisah ustadzah Sarmini memberikan bingkisan berupa buku yang ia tulis sendiri dengan judul Semangat Khatam Al-Qur’an Sejak Balita.

Senada dengan yang dilakukan oleh pasangan suami istri ini, namun dengan waktu yang lebih awal, semangat Al-Qur’an seperti ini juga-lah yang ustadz sebarkan ke berbagai penjuru di bumi Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara selama puluhan tahun ini.

Sebagai seorang Koordinator Wilayah (Korwil) Kalimantan Metode Qira’ati, tentunya ustadz sudah tidak asing lagi dengan seluk  beluk pengajaran Al-Qur’an ini. Tiada hari yang terlewatkan selain mengenalkan dan menyebarkan semangat Al-Qur’an ini ke setiap individu dan masyarakat di seluruh penjuru wilayah.

Aku termasuk orang yang beruntung karena bisa mendampingi ustadz dalam gerakan dakwah ini. Dari wilayah perkotaan hingga pelosok dan pinggiran bahkan sampai wilayah perbatasan negara Malaysia di ujung Utara pulau Kalimantan ini pernah kudatangi bersama ustadz. Oleh karenanya tidak mengherankan kalau cabang pengajaran metode qira’ati ini tersebar dimana mana.

Dalam setiap majelis maupun pertemuan yang mengumpulkan orang banyak selalu saja kata kata motivasi ini menjadi spirit dan penyemangat yang dikobarkan ustadz.

“Al-Qur’an adalah sumber segala ilmu”, ungkap ustadz dalam banyak kesempatan bertemu masyarakat.

‘Semakin intens mempelajari Al-Qur’an, semakin banyak rahasia ilmu akan terungkap”.

Kata kata ini dengan sendirinya menjadi personal branding bagi ustadz dan secara langsung juga menjadi tagline yang menghiasi semua aktifitas ustadz, baik sebagai seorang dai maupun sebagai seorang senator.

“Banyak ayat ayat Al-Qur’an yang secara harfiah bisa difahami bahwa ia mencakup segala macam ilmu pengetahuan”.

“Oleh karenanya, perkenalkanlah Al-Qur’an kepada anak anak kita sejak usia dini sebagai bekal awal bagi mereka untuk mempelajari ilmu di bidang lainnya”.

“Keyakinan yang harus ditanamkan adalah semua disiplin ilmu akan sangat mudah dipelajari dan dipahami jika modal utamanya, yaitu Al-Qur’an, sudah kita pelajari dan pahami dengan baik”.

Motivasi dan afirmasi seperti inilah yang selalu digaungkan ustadz, khususnya kepada generasi muda agar senantiasa menuntut ilmu berlandaskan Al-Qur’an.

Demikianlah semangat ini terus dihembuskan oleh ustadz ke berbagai kalangan dan tingkatan. Jika berhadapan dengan para pelajar dan mahasiswa, maka ini adalah dorongan bagi mereka untuk sungguh sungguh mempelajari ilmu lainnya dengan berlandaskan Al-Qur’an. Jika berhadapan dengan masyarakat umum, maka ini akan menjadi pendorong bagi mereka agar memberikan pendidikan terbaik buat anak anak mereka. Dan jika berhadapan dengan para pejabat maka spirit ini bisa dijadikan landasan untuk pengambilan kebijakan yang membawa manfaat untuk orang banyak.

*****

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Kontrakan Baru
0
0
“Tapi betul ya pak, kita boleh menempati dulu selama 2 minggu baru bayar”.Tiba tiba Imin ingat bunyi iklan yang mereka baca dan langsung menanyakannya pada Pak Darno. Pak Darno yang ditanya seketika menghentikan langkahnya dan berpaling ke arah mereka. Kentara sekali ia menarik napas lalu membuangnya dengan desahan yang kuat.“Iya betul mas. Bahkan kalau dalam dua minggu sampeyan tidak betah dan mau pindah juga tidak apa apa. Tak perlu bayar”, ucapnya sungguh sungguh.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan