
"Mbak, mau pegangan sama saya aja?" Danish menyodorkan telapak tangan kanan. βSaya paham. Rasanya pasti nggak enak, ya?β
π» Bagian dari Chat Story: Fam-ILY (Lanjutan cerita Haiyan dan Naya setelah punya tiga bujang)
π» Konten audio visual tersedia gratis di Tiktok
π΅ Cahaya - Jesenn


Β
Flying Back to Surabaya
"Dean duduk di dekat jendela, jaga-jaga kalau Buna ketakutan."
Naya menepuk pelan lengan Haiyan. Wajahnya memerah karena malu. Namun, dia tetap memilih kursi tengah, duduk di antara suami dan putra bungsunya.
"Masih capek?" tanya Haiyan setengah berbisik tepat di telinga Naya. "Bobo lagi aja."
Naya menggeleng pelan. Tatapannya justru terarah pada Daniel dan Danish yang sibuk menata barang-barang bawaan sekeluarga di ruang penyimpanan atas tempat duduk. Naya menoleh ke arah lain dan ikut mengintip suasana apron, tempat parkir pesawat, dari jendela di samping Dean. Naya memastikan anak-anaknya sudah duduk, baru kemudian menatap Haiyan, yang rupanya sejak tadi tak sedikit pun mengalihkan pandangan.
Lagi-lagi Naya tersipu oleh cara Haiyan menatapnya. "Jangan lihatin aku kayak gitu," kata Naya lirih sembari menutup mata suaminya dengan tangan kanan.
Haiyan terkekeh, lantas meraih tangan Naya lembut. "Hampir dua puluh tahun menikah, masa belum terbiasa?" Jemari Haiyan lincah menyusup ke sela-sela jemari wanitanya. "Kamu imut banget kalau lagi ngawasin anak-anak, padahal mereka sudah besar dan mandiri. Aku suka lihat sisi kamu yang itu."
Tatapan Naya ikut melembut saat membalas senyuman tipis Haiyan. "Untung kamu sama Twinnie sudah baikan. Perjalanan pulang jadi menyenangkan."
"Kita lihat nanti. Waktu pesawat take off, kamu masih bisa bilang perjalanan ini menyenangkan atau nggak."
"Ih, Echan!"
Tawa kecil Haiyan semerdu suaranya ketika sedang bernyanyi. Pria itu menarik kepala Naya untuk bersandar di bahunya. Aroma parfum kayu cedar menguar, menyapa saraf penghidu Naya. Beriringan dengan kecupan-kecupan kecil yang Haiyan tanamkan di sisi kepalanya, Naya kembali merasa nyaman. Naya menarik napas panjang, kemudian main-main mengembuskannya hingga mengenai area leher Haiyan yang terekspos.
"Nggak usah mancing!"
Gelak canda Naya menjadi sajian eksklusif bagi telinga Haiyan. Wanita itu tidak menjauhkan kepalanya. Naya menjelma jadi sosok jahil di waktu yang tak terduga.
Haiyan mendesah pelan. Tangannya meremat jalinan jari mereka. "Merem! Keburu take off nanti! Mending kamu bobo daripada nangis-nangis."
"Nggak separah itu, Echan."
"Aya, merem!" Haiyan mengusap rambut Naya yang betah bersandar di bahunya. "Mau nina bobo versi jazz, rock, pop, atau koplo?"
Tawaran nyeleneh Haiyan terbalas gelengan kepala. Andai tidak tertahan sabuk pengaman, dengan senang hati Naya akan mengalungkan tangannya yang lain ke pinggang Haiyan. Namun, Naya sadar diri. Saat ini mereka berada di tempat umum dan bukan saatnya untuk bermanja-manja berlebihan.
"Bobo!" perintah Haiyan lagi. Ada ketergesa-gesaan dalam suaranya, seakan dia punya kewajiban untuk membuat istrinya tak sadarkan diri sebelum waktu take off tiba.
Terpisahkan lorong, Daniel dan Danish duduk di baris yang berbeda dengan Dean, Naya, dan Haiyan. Daniel melirik kursi di sebelah jendela. Seorang wanita berambut sebahu tampak asyik sendiri memandangi keramaian para petugas memasukkan koper-koper ke lambung pesawat. Danish tengah menepuk-nepukkan kedua belah tangan ke celana seusai memasukkan tas terakhir, saat tiba-tiba Daniel mendorongnya untuk mengambil kursi tengah.
Danish ingin mengeluarkan protes. Dia tidak suka area yang terimpit begitu. Akan tetapi, Danish memaklumi begitu saudara kembarnya menunjuk si penumpang lain lewat lirikan mata. Karena sangat berdedikasi pada cintanya, sebisa mungkin Daniel tidak perlu berkontak dengan cewek baru, meski itu hanya duduk bersebelahan.
Danish melirik bangku di dekat lorong dengan tatapan tak rela. Ekor matanya menangkap gambaran Naya dan Haiyan yang tengah bercanda sambil berbisik-bisik. Cibiran tak kasat mata dia lontarkan sepuas hati. Tanpa perlu berdebat, Danish mengabulkan keinginan Daniel.
"Aura bucin ini sangat kental." Danish bermaksud menyindir ayah dan ibunya, juga Daniel. Namun, yang menoleh justru cewek di sebelah kanannya. Danish buru-buru berkata, "Saya lagi bicara sama saudara saya, bukan sama Mbak."
Cewek itu hanya membulatkan mulutnya tanpa bersuara. Ketika Danish tersenyum sembari mengangguk, si cewek ikut berbuat demikian, seolah-olah dia adalah cermin bisu yang tak bisa berbicara. Danish pura-pura menyibukkan diri dengan ponsel, menyetelnya dalam mode pesawat. Diam-diam dia menikmati wangi segar dari gadis di sebelahnya.
Beberapa saat kemudian pesawat berjalan mundur, siap menuju landasan pacu. Badan kendaraan mengayun pelan.
Danish tak bisa menahan diri untuk tidak menoleh ke arah kursi Naya. Dia sedikit tenang setelah tahu Haiyan cukup sigap untuk segera merangkul Naya yang sedikit terkejut, terbangun dari tidurnya yang belum begitu lama. Danish akan meluruskan punggung, ketika menyadari lengan jaketnya tanpa sengaja ikut teremat bersama sandaran lengan oleh si cewek di sebelah.
Danish tidak jadi menarik tangan. Melalui lirikan mata, Danish memperhatikan getaran tubuh yang berusaha cewek itu sembunyikan. Kelopak mata si cewek menutup beberapa detik, lantas kembali terbuka, melahap pemandangan gelap di luar sana. Danish sempat terpana beberapa detik oleh keindahan bulu mata panjang nan lentik yang tergambar saat cewek itu terpejam.
Deru mesin pesawat terdengar ribut. Danish kembali menoleh ke kiri, pada Naya yang menenggelamkan wajah di bahu Haiyan. Kegugupan jelas terlihat, tetapi Haiyan dengan sabar berbisik-bisik menenangkan sambil tangannya tak berhenti mengusap bahu Naya. Perhatian Danish tercabut saat lengan jaketnya makin teregang.
"Mbak, mau pegangan sama saya aja?" Danish menyodorkan telapak tangan kanan. "Saya paham. Rasanya pasti nggak enak, ya?"
Si cewek mengangkat wajah. Pantulan cahaya di matanya yang berair bagaikan taburan bintang di langit malam. Jarang sekali Danish menemui orang Asia memiliki iris mata segelap itu.
"Ibu saya juga takut kalau pesawat mau take off," lanjut Danish. "Biasanya, ibu saya harus gandengan . Mungkin itu lebih membantu daripada remas-remas sandaran lengan yang keras." Kelopak mata Danish sedikit melebar saat menyadari profil wajah dengan tulang hidung yang tinggi itu. "Do you speak English? I thought you--"
"Saya paham bahasa Indonesia."
Akhirnya, Danish mendapat kesempatan untuk mendengar suaranya yang serak-serak basah. Si gadis mengisap ingusnya sebelum meleleh keluar hidung. Tatapannya turun pada uluran tangan Danish yang masih mengambang.
"Boleh?" tanyanya ragu-ragu.
Sudut-sudut bibir Danish tertarik ke atas. Sebagai ganti kata-kata, Danish menyorongkan tangannya lebih jauh. Gayung bersambut, mereka pun berpegangan tangan. Getaran badan pesawat semakin terasa dan tanpa sadar cewek itu mengetatkan genggaman seraya memejamkan mata.
"Ke Surabaya mau jalan-jalan atau gimana, Mbak?" Danish berusaha menarik perhatiannya dari rasa takut yang mendera.
"Saya ... kuliah."
"Oh, kuliah." Danish manggut-manggut. Ibu jarinya bergerak mengusap punggung tangan perempuan yang usianya lebih tua darinya itu. "Kuliah di mana?"
Si cewek meringis. Wajah pucatnya mulai terwarnai merah muda. "ITS. Perkapalan."
"Wih, hebat!" puji Danish tulus. "Itu jurusan keren, kan? Anak teknik, nih!"
Obrolan ringan berhasil menyita perhatian hingga pesawat lepas landas. Mereka sempat terdiam beberapa detik. Si cewek sibuk berkomat-kamit, berdoa, ketika perlahan tekanan udara semakin membuatnya sesak. Saat bel berbunyi dan lampu sabuk pengaman meredup, dia membuka mata dan mendapati Danish tengah tersenyum padanya.
"See? Kita baik-baik aja," kata Danish ramah.
Si cewek tertawa kikuk. "Saya berlebihan, ya?"
"Nggak. Sama sekali nggak." Danish agak tak rela ketika cewek itu menarik tangan hingga genggaman mereka terburai. "Semua orang punya ketakutannya masing-masing. Tadi saya sudah bilang, kan, ibu saya juga takut naik pesawat. Nah, makanya, saya nggak menganggap orang yang punya ketakutan seperti itu sebagai orang yang lemah."
"Ibu kamu ...."
"Tuh, yang itu," sahut Danish sambil menunjuk deretan kursi sebelah. Naya tengah meneguk air mineral yang Haiyan sodorkan padanya. "Tiap bepergian naik pesawat, ayah saya selalu nemenin ibu saya. Kalau terpaksa banget harus naik pesawat sendiri, ibu saya pasti bawa boneka beruang kecil untuk dipegang." Danish merendahkan suara dan mencondongkan tubuhnya ke arah si cewek. "Kuburan kakek saya dari pihak ibu ada di samudera atlantik."
Cewek itu berkedip-kedip sambil membulatkan bibir. Dia memahami maksud ucapan Danish barusan.
"Saya lebih sering naik kereta daripada pesawat. Kalau saya ... mungkin gara-gara terdoktrin oleh banyaknya kecelakaan pesawat. Saya nggak punya trauma khusus yang gimana-gimana."
"Saya juga lebih suka perjalanan malam pakai kereta." Danish terkekeh sambil mengusap tengkuk salah tingkah. "Karena sekarang lagi trip bareng keluarga, saya ikut majority vote."
"Naik kereta malam memang enak!" Si cewek langsung setuju. "Kalau saya nggak kehabisan tiket, pasti saya naik kereta malam ini."
Danish mendapati gingsul manis yang akan selalu tersembunyi bila cewek itu tidak tersenyum lebar. Selagi bercakap-cakap, Danish menilai bagaimana profil wajah gadis ini begitu menarik perhatiannya. Ada rasa bule timur tengah yang tersamarkan dalam penampilan ala gadis jawa.
"Nanti pegangan saya lagi waktu mau landing, juga nggak apa-apa, Mbak." Danish kian berani usai mendapat tanggapan berupa senyum malu-malu kucing. "Dari tadi kita ngobrol, tapi belum tahu nama. Saya Danish."
"Dira. Nadira," balasnya sembari menundukkan pandangan.
Di sebelah Danish, Daniel duduk dengan otot wajah berkedut-kedut. Sedari awal saudara kembarnya mengajak si orang asing bicara, Daniel memejamkan mata berpura-pura tidur. Dia tidak bermaksud mencuri dengar. Namun, tawaran Danish untuk berpegangan tangan lama-lama membuat perutnya tergelitik. Daniel mati-matian menahan geli supaya tidak kelepasan menertawakan tingkah Danish.
"Sssttt," bisik Haiyan. "Matanya nutup, kok, bibirnya senyum-senyum."
Daniel membuka sebelah mata. Dia menguap lebar-lebar, kemudian sedikit berguling hingga berhadapan dengan ayahnya. Gerakan dagunya menunjuk-nunjuk Danish tanpa kentara.
"Tuh, ada yang lagi PDKT sama orang baru."
Haiyan ikut melongok. Ekspresi jahilnya muncul, tidak jauh berbeda dengan yang Daniel perlihatkan saat ini. "Ada bahan ledekan baru, nih."
"Sama mahasiswi, lho."
"Oh ya?" Haiyan tergemap sepersekian detik. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri dalam tempo pelan. "Memang benar-benar anak Yana," lanjutnya lirih, bicara pada diri sendiri.
***


Β
***
To be continued β¦.
Untuk kalian yang bertanyea-tanyea (π€£), chat story ini tersedia di tiktok ya. Aku usahakan update tiap hari, meski itu malam sekali pun.
Well, happy reading! π
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
