
Snippet:
"Kak Jeno." Naya tersipu. "Minggir," lanjutnya mirip mencicit.
"Jawab dulu," kilah Jeno. Tubuhnya mendesak maju, membuat Naya kian membungkuk. "Nanti, di sana, kamu cuma boleh khawatir sama aku, bukan anak-anak."
"Tapi–"
Chaotic yet Lovely
"Mommy mau pergi berapa lama?"
Suara Jeni membuat Naya mendongak. Tatapan mereka bertemu di tengah, tepatnya di pantulan cermin meja rias. Biarpun tidak ada raut kehilangan di wajahnya, Jeni terdengar sedih saat bertanya.
"Satu minggu, Jeni," jawab Naya sambil memulas senyum. Naya lanjut mengepang rambut panjang putrinya. "Mommy pulang hari Sabtu."
"Tapi, aku ada jadwal fashion show di hari Jumat."
Kali ini secara terang-terangan Jeni menyampaikan perasaannya melalui air muka. Naya jadi ikut-ikutan cemberut. Jeno, yang dari tadi berdiri di paling belakang sambil mengepang rambut Naya, menangkap gelagat tak mengenakkan tersebut.
"Sebagai ganti Mommy, Nenek sama Om Rafael bakal ke sini nonton acara kamu," ucap Jeno dengan suara beratnya. "Daddy bakal rekam acaranya biar Mommy bisa lihat aksi kamu di atas catwalk. Kamu nggak usah khawatir Mommy bakal ketinggalan acara sepenting itu."
"Benaran, Daddy?" Jeni sampai menolehkan kepalanya ke belakang untuk langsung menatap sang ayah. "Nenek bakal ke sini?"
Naya dan Jeno bertukar pandang dalam sepersekian detik. Akan tetapi, Jeno lebih suka meladeni pertanyaan putrinya. Jeno kembali meyakinkan Jeni bahwa berita yang dia dengar bukanlah sebuah kebohongan. Jeni langsung bersorak kegirangan, tak lagi sedih akibat kemungkinan tidak ada pendukung di acara fashion show-nya.
Kalau tidak harus menghadiri seminar sertifikasi di Semarang, Naya pun dengan senang hati akan berdiri di baris terdepan sebagai pendukung Jeni. Sayangnya, tiba-tiba kantor mengutus Naya dalam perjalanan dinas. Rencana Naya untuk mencari pakaian dan mendandani Jeni agar tampil secantik boneka buyar oleh agenda menjemukan itu.
Naya telah selesai mengepang rambut Jeni. Dia bebaskan putri berusia delapan tahun itu untuk berganti pakaian di kamarnya sendiri. Tinggal tersisa Naya dan Jeno berada di depan meja rias. Naya sabar menunggu Jeno yang telaten mengurus rambutnya penuh kehati-hatian.
Usai memastikan bahwa Jeni telah menutup pintu, Naya baru berani bertanya. "Kak Jeno panggil Mama Rose ke Jogja? Kok, aku baru tahu?"
"Ya … itu … aku sekalian kasih tahu kamu," sahut Jeno agak tidak jelas akibat sedang menggigit karet rambut. Setelah beres memasangkan ikatan terakhir di rambut Naya, Jeno lanjut bicara. "Habis ini aku telepon mama, deh."
"Lho, tadi itu Kak Jeno omong doang? Belum benar-benar pasti ada Mama Rose?" Naya memekik, lantas menepuk keras perut kotak-kotak Jeno. "Kalau Mama Rose nggak bisa, gimana? Kak Jeno nggak lihat Jeni sudah senang banget begitu? Aku nggak suka, ya, kalau nanti anakku sampai sedih."
Jeno malah tertawa. "Jeni punya tiga nenek. Tambah satu nenek tante dari Jevin. Ada banyak back up plan." Jeno mengecup ubun-ubun Naya. Itu adalah ritual yang selalu dia lakukan setiap selesai menata rambut Jeni maupun Naya. "Pokoknya, selama seminggu ke depan, kamu nggak usah kebanyakan mikir urusan rumah. Aku bisa handle."
Naya tidak meragukan kasih sayang Jeno sebagai seorang ayah. Hanya saja, dia tidak bisa tidak khawatir meninggalkan dua anak kecil di bawah pengawasan Jeno. Terlebih putra bungsu mereka sedang dalam masa aktif dan mudah merajuk. Naya dan Jeno saja sering kali kesusahan mengurus anak-anak bersama. Bagaimana mungkin Jeno sanggup melakukan semuanya seorang diri?
"Mikir apa, hm?" Jeno mengamati kerutan di kening istrinya.
Naya menggeleng. Sambil tetap bungkam, wanita itu berdiri merapikan peralatan menata rambut yang terserak.
Namun, Jeno tidak melepaskannya begitu saja. Naya terpekik saat Jeno tiba-tiba mendorong tubuhnya hingga berimpitan dengan meja rias. Bulu kuduk Naya meremang merasakan area belakang tubuhnya menempel dengan tubuh Jeno.
Jeno sengaja memberikan tatapan seduktif melalui cermin, selagi berbisik rendah tepat di telinga Naya. "Daripada mikirin nasib anak-anak seminggu ke depan, mending kamu mikirin nasib aku. Aku nggak kuat pisah dari kamu terlalu lama." Jeno memberikan kecupan tipis di daun telinga Naya. "Aku bisa urus anak-anak. Tapi, kalau gitu, siapa yang ngurusin aku?"
"Kak Jeno." Naya tersipu. "Minggir," lanjutnya mirip mencicit.
"Jawab dulu," kilah Jeno. Tubuhnya mendesak maju, membuat Naya kian membungkuk. "Nanti, di sana, kamu cuma boleh khawatir sama aku, bukan anak-anak."
"Tapi–"
"Mommy, lebih bagus baju yang putih atau ungu?"
Pintu terbuka dan Jeni kembali masuk ke kamar orang tuanya. Supaya kelakuan mereka tidak tertangkap basah, sekuat tenaga Naya mendorong Jeno, yang berakibat suaminya itu jatuh terjengkang. Tak pakai lama Jeni melempar baju-baju di tangannya untuk menghampiri Jeno. Naya pun segera membenahi letak kursi yang sempat menjadi sandungan Jeno.
"Daddy kurang hati-hati, sih!" Jeni mengomel. Gadis kecil itu berusaha menarik tangan Jeno supaya bangkit. "Waktu pelajaran olahraga, teman aku ada yang jatuh kayak Daddy barusan, terus kepalanya bocor. Kepala Daddy bocor, nggak?"
Tanpa sepengetahuan Jeni, Naya meringis. Kedua tangannya terkatup di depan dada sebagai simbol permintaan maaf. Sebaliknya, Jeno justru mengaduh berlebihan dan terus menggerutu pada Jeni. Sesekali Jeno melirik Naya.
"Aduh, Jeni, ini sakit banget. Siapa yang bakal ngurusin Daddy kalau sakit begini?" Jeno memegangi bagian belakang kepalanya.
"Aku!" seru Jeni bersemangat. "Aku bakal jagain Daddy biar nggak luka!"
Jeno kalah. Taktiknya tidak berhasil karena pertolongan Jeni, yang sesungguhnya tidak diperlukan. Naya hanya tertawa-tawa. Jeni yang kebingungan melihat bergantian antara ayah dan ibunya.
"Ya sudah, ayo pada ganti baju!" Naya menepuk bahu Jeno supaya bangkit berdiri. "Bandaranya jauh. Mommy nggak mau ketinggalan pesawat." Kedua belah telapak tangan Naya saling menepuk. "Ya ampun! Adek mana? Duh, anak itu paling susah kalau disuruh siap-siap."
***
Perjuangan Jeno si bapak tunggal pun dimulai. Dia melewati malam pertama tanpa hambatan. Walaupun Nono sempat menangis mencari-cari ibunya, bocah itu kembali tenang saat Jeno menemaninya hingga lelap. Sampai pagi, Jeno bertahan tidur berdampingan dengan Nono di kasur sempit berbentuk rumah-rumahan.
Pagi berikutnya, Jeno terbangun di atas kubangan ompol. Tumben sekali Nono tidak bangun ketika ingin ke toilet. Setelah menceritakan kejadian mengesalkan itu pada Naya melalui telepon, Jeno mendapat tips untuk tidak membiarkan Nono minum terlalu banyak menjelang waktu tidur. Sebelum tidur, Jeno juga harus mendorong Nono supaya buang air kecil terlebih dahulu.
Hal simpel seperti itu pun, baru Jeno pelajari setelah punya anak kedua. Jeno menyadari bahwa dia terlalu meremehkan pekerjaan mengasuh anak. Tanpa bantuan Naya, Jeno pasti akan berenang di kasur penuh ompol Nono di hari berikutnya.
Pagi ketiga, Jeno bangun kesiangan. Masalah pun berantai karena Jeni ikut-ikutan terlambat. Berbeda dengan Jeno dan Jeni, Nono justru bangun paling awal dan sudah sibuk bermain di ruang tengah. Anak berusia dua tahun itu asyik memukul-mukul drum mainan layaknya sedang memberi lagu latar untuk adegan Jeno dan Jeni yang kelimpungan berlarian ke sana dan kemari.
"Daddy, ini hari Rabu. Harusnya aku pakai seragam kotak-kotak!" protes Jeni ketika melihat seragam yang Jeno siapkan untuknya.
"Jam pelajaran pertama olahraga, kan?"
"Daddy salah lihat jadwal untuk besok." Jeni bersungut-sungut. "Hari Rabu nggak ada pelajaran olahraga. Adanya acara makan siang bersama bawa bento masing-masing."
Jeno menepuk jidat, lantas melihat jam. Dia tidak punya cukup waktu mengubrak-abrik dapur untuk menyajikan bekal makanan berkualitas tinggi. Sejak kemarin bahkan Jeno selalu membeli bubur ayam dari warung terdekat buat sarapan, demi kepraktisan. Di samping itu, masakan Jeno selalu mendapat rating buruk dari anak-anak.
Alhasil, hari ini Jeno menyerahkan tugas membeli makanan pada sopir layanan pesan antar. Menu sarapan dan isi kotak bekal makan Jeni sama, yaitu nuget ayam, kentang goreng, dan hamburger dari restoran cepat saji yang buka 24 jam. Malam pun makan hamburger. Jeni gembira sebab selama ini ibunya selalu membatasi konsumsi makanan sejenis itu.
Jeno dan Jeni sepakat menyimpan rahasia penting tersebut. Ketika Naya menelepon malam hari, tidak ada satu pun dari mereka yang bercerita perihal kejadian tadi pagi.
Namun, mulut Nono bocor. Dia santai menjawab "mamam bulgel" saat Naya bertanya hari ini makan apa saja. Karena terdesak, Jeno dan Jeni pun mengakui 'dosa besar' mereka.
"Astaga! Kan, malamnya bisa makan makanan lain. Masa makan burger tiga kali sehari?"
"Sesekali aja, Mommy," balas Jeni berani. Dari samping, Jeno menggeleng supaya Jeni tak lagi melawan.
"Mommy mau bicara sama Daddy. Mana Daddy?"
Jeno melenguh. Mau tak mau dia menerima ponsel dari putrinya. Jeno mematikan mode loudspeaker dan menjauhi anak-anak ke teras belakang. Jeno yakin, sebentar lagi Naya pasti akan mengomel panjang lebar.
"Halo? Naya?"
"Kak Jeno!"
Rentetan kata-kata mengalir deras setelahnya. Jeno diberi kuliah dan ceramah. Sesungguhnya, Jeno malu. Dia sendiri yang bicara pada istrinya untuk tidak perlu mencemaskan anak-anak. Namun, dia juga yang membuat Naya cemas karena tidak becus merawat Jeni dan Nono.
"Habis ini aku telepon Bibi biar besok datang lebih pagi. Urusan sarapan biar Bibi yang menyiapkan."
Jeno setuju. Sampai saat ini rumah mereka masih layak huni karena ada bantuan Bibi, asisten rumah tangga yang datang pagi dan pulang petang. Selain bertugas menjaga Nono di rumah ketika Jeno berangkat ke kantor, Bibi juga memegang urusan domestik lainnya. Sebenarnya, untuk urusan masak-memasak, Naya selalu menanganinya sendiri. Karena ada keterbatasan tenaga saat ini, urusan dapur akan pindah tangan pada Bibi.
"Iya, aku ikut rencana kamu," balas Jeno.
"Besok Mama Rose sampai jam berapa? Biar aku minta tolong Bibi buat siapin kamar tamu sekalian."
Alis Jeno nyaris menyatu. "Memang Mama Rose mau ke sini?"
"Oh, bukan Mama Rose, ya? Kalau gitu, Mama Erina yang bakalan datang ke acara fashion show Jeni?"
"Shit!" Jeno benar-benar lupa. Tinggal tersisa satu hari sebelum hari pementasan Jeni. Jeno belum memanggil bala bantuan.
"Heh? Bicara apa tadi?" seru Naya sedikit terkejut karena mendapat umpatan Jeno.
"Bukan untuk kamu, Naya." Jeno menggaruk kepala. Matanya menatap penunjuk waktu, lantas bergulir melihat anak-anak yang tengah bermain bersama. "Aku temani Nono main dulu, ya. Sebelum bobo, nanti aku telepon lagi. Bye, Sayang."
Jeno sengaja mengucapkan 'sayang' sebagai ganti makian 'shit' tadi. Dia buru-buru memutus sambungan telepon dari Naya dan ganti menghubungi Rose. Untung saja ibu tirinya itu belum tidur. Jeno berhasil menyelamatkan acara Jeni karena Rose dan Rafael bersedia membatalkan semua rencana dua hari ke depan untuk berangkat ke Yogyakarta.
***
"Nggak mau!"
Nono melolong panjang sambil membebaskan diri dari sang ayah. Dia berlarian hanya menggunakan popok dan kaus dalam. Di belakangnya, Jeno mengejar sambil membawa kaus di tangan.
"Tertangkap kau, bandit kecil!" Jeno memanggul Nono dan membawanya kembali ke kamar. "Kalau kita nggak segera siap-siap, kakak kamu bakal terlambat."
Nono seakan tak peduli. Dia nyaris kabur lagi begitu Jeno menurunkannya ke atas kasur. Jeno dan Nono terlibat dalam duel sengit.
"Kak," panggil Rafael sambil melongok ke dalam kamar. "Jeni tanya, tuh. Kameranya sudah siap? Kata Jeni, Kakak bakal bikin rekaman buat Kak Naya."
Kepala Jeno rasanya mau pecah. Dia belum mengisi ulang daya kamera. Pada akhirnya, Jeno meminta tolong Rafael untuk mengurus peralatan rekaman.
"Daddy, aku sudah selesai!" Kali ini Jeni yang muncul. Anak itu berputar-putar menunjukkan pakaiannya. "Tinggal rambut. Daddy yang sisirin, ya."
"Tapi, Daddy lagi–"
"Biar Mama urus Nono." Rose mengambil alih pekerjaan Jeno yang tak kunjung selesai. "Jeni mau kamu yang urusin rambutnya, tuh."
Drama hari Jumat belum selesai. Karena persiapan yang memakan waktu panjang, mereka nyaris terlambat sampai ke tempat lomba. Jeno menggunakan kemampuan menyetir ala sopir angkot kejar setoran. Beruntung sekali mereka tiba dengan selamat.
Rose mengantar dan menemani Jeni bersiap-siap di belakang panggung. Kehadiran Rose bikin suasana lumayan gempar. Para pihak penyelenggara tidak menyangka ada cucu dari artis papan atas mengikuti acara ini.
Rafael yang bertugas merekam, bersiap-siap mengambil gambar dari tempat paling strategis. Dia rela berdesakan dengan ibu-ibu para kontestan. Demi mempertahankan kualitas gambar, Rafael berdiri di paling depan, dekat dengan bibir panggung.
Di sisi lain, Jeno sedang menyingkir dari keramaian. Pasalnya, si pangeran kecil mulai rewel karena kegerahan. Sesekali Jeno melengok ke arah runaway supaya tidak melewatkan aba-aba. Jeno baru mendekat lagi ketika si pembawa acara memanggil dua nomor urut sebelum Jeni.
"Tuyun!" pinta Nono setengah merengek.
Jeno menurunkan Nono dari gendongan. Belum sempat Jeno menggenggam tangan putranya, kaki Nono bergerak cepat bak ada sepasang roket tertempel di sana. Nono melejit menghindari hutan manusia-manusia tinggi demi mencari tempat lapang. Ketika melihat hujan cahaya di panggung yang relatif sepi, detik itu juga Nono menentukan target.
"Kak Jeno!" Rafael nyaris berteriak memanggil Jeno yang masih merunduk mencari-cari keberadaan Nono. "Nono ada di panggung!"
Celah mata Jeno terbuka maksimal. Di atas panggung, putranya seperti kebingungan mendapat seruan gemas para penonton. Jeno bergerak beringas membelah kerumunan agar cepat mencapai sisi panggung. Akan tetapi, sebelum melihat sang ayah, Nono lebih dulu menemukan Jeni.
"Kakak!" seru Nono sambil merentangkan kedua tangan. Akhirnya, ada orang yang dia kenal.
Jeni keheranan. Anak itu sempat bertukar tatap dengan Rafael yang berdiri di ujung runaway, lalu kembali melihat Nono yang memeluk pinggangnya sedikit ketakutan. Jeni pun mengurai pelukan Nono dan menggenggam tangannya lembut.
"Adek jalan sama Kakak, ya."
Nono tidak mengerti, tetapi tetap menurut. Nono mengikuti langkah Jeni sambil memandang berkeliling.
Tiba di dekat tempat Rafael berdiri, Jeno sudah menunggu. Sang ayah mengulurkan tangan. Bukannya bergegas turun dari panggung, Nono justru makin merapatkan diri pada sang kakak. Hingga gilirannya selesai, Jeni tetap berlenggak-lenggok sembari menggandeng Nono.
Rombongan Jeno segera menyingkir begitu Jeni dan Nono turun panggung. Sudah cukup kehebohan yang mereka buat karena kehadiran Rose terkuak, juga karena tingkah Nono yang di luar dugaan. Sambil menunggu pengumuman, mereka bersembunyi di salah satu tempat makan.
Baru saja duduk, Jeni langsung menangis. Karena khawatir akan ikut menangis, Rafael membawa keponakan terkecilnya pergi menjauh. Jeno dan Rose bersama-sama menenangkan Jeni.
"Karena sambil gandeng Adek, aku nggak bisa jalan kayak biasa." Jeni frustrasi tak bisa memberikan hasil maksimal.
"Belum ada pengumuman, Jeni. Belum tentu juga jurinya nggak suka sama Jeni," kata Rose.
"Kalau aku nggak menang, gimana?"
Jeno mengira-ngira apa yang akan Naya lakukan di situasi seperti ini. Jeno pun mengangkat dan mendudukkan Jeni di atas pahanya. Meski Jeni sudah terlalu besar untuk dipangku, Jeno tetap melakukan hal itu. Jeno memeluk sang putri sembari menepuk-nepuk punggungnya.
"Rencananya jadi rusak gara-gara Adek, ya? Daddy tahu, kamu pasti kesal. Nggak apa-apa, kamu boleh merasa kesal." Jeno mengusap kepala Jeni yang tak berhenti mengangguk di bahu sang ayah. "Kamu sudah melakukan yang terbaik sesuai kemampuan. Lihat aja, nggak ada peserta yang bawa adik ke panggung. Kamu bisa menyelesaikan misi sambil gandeng Adek, berarti kamu hebat. Tugas kamu lebih berat, lho. Sebelum jadi juara buat juri, kamu sudah jadi juara buat Adek."
"Juara buat Adek?" Jeni menegakkan punggung, lantas menghapus air matanya sendiri.
Jeno mengangguk mantap. "Adek ketakutan gara-gara lihat banyak banget orang yang teriak-teriak ke arahnya. Tadi Daddy lihat ada yang mau pegang-pegang Adek malah. Untung ada kamu di sana. Adek jadi merasa aman." Jeno mengecup kening Jeni. "Terima kasih, ya, Kakak, sudah jagain Adek."
***
Naya mendengarkan cerita dan keluhan Jeno saat mengurus anak-anak. Sebelah tangannya menyangga kepala sehingga Naya bisa mengamati perubahan ekspresi suaminya. Naya seperti dapat melihat penambahan garis-garis keriput penuaan di wajah Jeno, padahal baru dia tinggal enam hari.
"Good job, Daddy!" puji Naya tulus sambil menepuk-nepuk dada Jeno. Suaminya telah selesai bercerita. "Terus, Jeni menang?"
"Juara bontot. Tapi … itu pun sudah bagus. Jeni jadi nggak terlalu sedih." Jeno menghela napas panjang dan mengusap wajah. "Semoga itu bukan akal-akalan papaku lagi. Mentang-mentang cucu artis papan atas dan orang penting negara, juri jadi meloloskan Jeni."
"Nggak, kok. Aku sudah tanya ke Mama Rose. Beliau nggak cerita kejadian kemarin ke Papa." Naya tersenyum. "Jeni jadi juara karena dia memang pantas mendapatkannya."
"Syukurlah."
Naya terkekeh. Ekspresi lega Jeno memang tidak main-main. Naya mengerti, Jeno paling kesal kalau si kakek sudah bertindak. Kelakuan Noah acap kali di luar nalar saat memanjakan Jeni dan Nono.
"Makasih, ya, sudah jagain anak-anak," kata Naya seraya meletakkan kepala di bahu Jeno. "Jeni bilang seru kalau main sama ayahnya. Nono juga bilang gitu. Waktu tadi kalian jemput aku di bandara, anak-anak nggak kelihatan kangen berat sama aku. Pasti itu karena Kak Jeno yang asyik banget urus mereka, selagi nggak ada sosok ibu yang strict ini."
Jeno mendengus. "Aku, mah, jago ajak mereka main aja. Waktu Jeni nangis, aku sempat bingung harus bagaimana. Di titik itu, rasanya aku mau telepon kamu buat menenangkan Jeni. Kamu, kan, jago banget menghibur orang pakai kata-kata, nggak kayak aku."
"Endingnya berhasil, kan?" Naya mengusap pipi Jeno. "Aku yakin Kak Jeno sama jagonya kayak aku. Treatment yang kita kasih ke anak-anak cenderung berbeda, tapi mereka membutuhkannya. Dalam kasus Jeni, dia membutuhkan Kak Jeno untuk berada di sisinya saat itu. Dan … Kak Jeno sukses memenuhi kebutuhan tersebut."
Pencapaian Jeno terasa komplet karena mendapat sanjungan istrinya. Inilah yang membuat Jeno terus-menerus jatuh cinta pada Naya.
"Kalau kamu, bagaimana?" Jeno bertanya. "Selama di sana, kamu lebih sering mikirin aku daripada anak-anak, kan?"
Naya melenguh. Ocehan Jeno benar-benar tak masuk akal.
"Urusin aku, dong, Naya," pinta Jeno genit sambil menusuk-nusuk pipi Naya dengan jari telunjuk. "Aku capek, nih. Mengurus Nono ternyata draining energy banget. Aku mau recharge dari kamu."
"Mau diurusin apanya?"
"Itunya," jawab Jeno penuh arti. "Kamu pasti paham."
Bagaimana bisa Naya tak paham? Kebiasaan Jeno tak berubah sejak awal menikah. Apabila salah satu dari mereka pulang dari perjalanan dinas, acara kangen-kangenan berikutnya akan terjadi di atas ranjang. Jeno tidak mudah melepaskan Naya hingga dini hari menjemput.
Jeno tidak menyesal waktunya banyak tersita untuk anak-anak selama seminggu ini. Toh, dia mendapatkan hal sepadan sebagai balasannya. Meski lelah, Jeno sesungguhnya menerima cinta yang besar dari Naya, Jeni, dan Nono.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
