
Inginnya bersikap gentleman, maksudnya jujur pada perasaan sendiri. Tapi kenapa jadi…
– Our First Kiss Goes Wrong –
.
Selesai melunasi keperluan administrasi kelulusan sekolah, tibalah pada hari di mana semua anak remaja yang tengah beranjak dewasa itu bersiap merayakan capaian akhir masa sekolah mereka dengan acara perpisahan.
Acara prom night, malam perpisahan.
Petang ini, jarum jam sudah menunjuk ke angka enam lewat sembilan, dan Keenan masih betah berkutat di depan cermin kamar mandi. Ia sibuk mengatur tatanan rambutnya sedemikian rupa. Mepet sekali, sedangkan jam setengah tujuh nanti ia sudah harus berangkat untuk menjemput Aletta.
Keenan mengajak sahabatnya itu untuk pergi bersama dengan alasan hari ini ia diizinkan untuk pertama kali membawa mobil sendiri. Padahal, tidak tahu saja cara Keenan meminta izin pada sang ayah.
“Ayah, nanti Ale pasti pake gaun yang ribet-ribet gitu. Masa Keenan tega ngangkut dia motoran? Gak bangetlah, yah, kasihan dia.” Seperti biasa, Aletta digunakannya sebagai tameng.
“Bahasamu, Nan. Memangnya Rumi itu barang? Pake diangkut segala,” jawab Damar pada anaknya.
Oh ya, para orang tua memanggil Aletta dengan sebutan Rumi, nama belakang Aletta. Lebih cantik ketimbang Ale, panggilan yang Keenan sematkan. Lagi pula Keenan selalu melarang siapapun menggunakan panggilan itu. Katanya itu adalah panggilan sayang khusus dari Keenan untuk Aletta. Yang benar saja?
“Coba ayah liat ini, Ale cantik banget. Lagi dandan dia,” Keenan masih merayu ayahnya agar bisa bergaya membawa mobil di hari terakhirnya ke sekolah, dengan memperlihatkan foto Aletta yang sedang berdandan.
Foto itu dikirim Aletta tadi ketika bingung memilih riasan rambut. Padahal bertanya pada Keenan pun tak akan menemukan jalan keluar.
Lalu kenapa harus Keenan? Ya Aletta ingin saja.
Sekarang mau bagaimana tak luluh, Damar sangat menyayangi Aletta. Karena keluarga kecilnya hanya dikaruniai satu jagoan, ia sudah menganggap Aletta sebagai putrinya sendiri.
Kembali lagi, sesudah urusan rambutnya rampung dan merasa malam itu ia sudah tampan maksimal seperti biasanya—menurutnya, Keenan mengambil ponsel untuk kemudian menekan speed dial nomor tiga.
“Halo, Kai?” jawab seseorang di seberang sana.
“Le, lo jadinya pake baju warna apaan?”
“Hm? Gue? Putih,” Aletta sedikit heran karena pertanyaan tersebut. “Kai, lo masih siap-siap? Eh, gue gak mau telat ya!”
“Bawel, bentar lagi berangkat gue. Udah ya, bye.”
“Hati-hati ya, jangan ngebut tapi cepetan berangkat,” titah Aletta. Aletta dan sifat cerewetnya selalu sanggup membuat Keenan sedikit menyunggingkan senyum.
Tak ingin membuang waktu karena tuan putri sudah menunggu, Keenan bergegas mengecek lemari pakaiannya. Sedari tadi, ia bingung tentang warna jas yang akan digunakan. Inginnya serasi dengan Aletta, jadi lebih baik bertanya, kan?
Kenapa harus serasi? Ya Keenan ingin saja.
“Ibu, Keenan berangkat ya,” Keenan memanggil ibunya sembari duduk di kursi teras untuk memakai sepatu.
“Ganteng sekali anak ibu. Hati-hati bawa mobilnya, inget kamu bawa Rumi,” pesan ibunya pada Keenan yang hanya mengangguk. “Jangan lupa mampir dulu untuk izin, sekalian salam ke orang tua dan Aksa sebelum pergi.”
“Siap laksanakan, bu!” ujar Keenan berlagak menunjukkan sikap hormat. Tak lupa sebelum pamit, ia mencium tangan ibunya sambil merapalkan doa minta restu. Karena malam ini, Keenan berniat memberanikan diri untuk bersikap sebagai gentleman.
••
Singkat cerita setelah menjemput Aletta, mereka berdua sudah sampai di area parkir sekolah. Keenan masih setia menunggu Aletta yang tak kunjung rampung melihat cermin untuk memastikan riasan wajah dan rambutnya sudah oke.
“Kai, gue gimana? Udah rapi? Udah cantik?” tanya Aletta memposisikan duduknya serong menghadap Keenan.
“Bukan gue banget tapi lo cantik, pokoknya cantik. Udah yuk turun.” Di lubuk hati terdalam, sejujurnya Keenan sudah dongkol. Tapi sekali lagi, ia enggan mengusik Aletta dan dunianya. Sahabat yang baik, bukan?
“Ah, tapi gue gak pede..” Sedari tadi, kepercayaan diri Aletta surut melihat anak-anak sekolahnya yang berlalu lalang di area parkir begitu anggun dan cantik dengan dandanan apik serta balutan gaun nan indah.
Keenan menghela napasnya, sekali lagi menilik penampilan Aletta dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kalau mau meninggalkan gengsi, sejak tadi Aletta membuka pintu rumah untuk menyambutnya, mata Keenan tak mampu berhenti memuja.
Aletta mengenakan dress putih model baby doll selutut berhiaskan bunga kecil warna-warni dengan tali spaghetti yang memamerkan leher panjang hingga bahu lebarnya, ditambah polesan make up dan rambut digulung simple ke atas.
Melihat itu, Keenan hanya bisa meneguk ludah. Dia sudah jujur tadi, Aletta begitu cantik malam ini.
Mungkin karena ini pertama kalinya ia melihat gadis itu memakai riasan penuh, menutupi kekurangan yang sebenarnya tak pernah ada di mata Keenan, jadi Aletta sukses membuatnya terkesima.
Tetapi di balik itu, entah sudah berapa kali Keenan merapalkan keteguhan hati bahwa gadis di hadapannya adalah Aletta, sahabatnya. ‘Jangan macam-macam atau nanti ditendang bang Aksa,’ gumamnya dalam hati.
Ditatap seperti itu, Aletta jadi merona sendiri. Apa lagi Keenan tak berucap apa-apa.
Namun memang tak ada yang bisa ditebak dari seorang Keenan, karena sedetik kemudian Aletta berteriak mengaduh dan mendelik jengkel karena jepitan rambutnya ditarik paksa, hingga rambut panjang yang sudah susah payah digulung ke atas itu kembali terurai jatuh.
“Apaan sih lo, sakit tau Kai!” keluh Aletta sembari mengulurkan tangan untuk memukul lengan Keenan.
“Sorry, gini aja lebih bagus,” ujar Keenan sembari membantu merapikan rambut Aletta.
Keenan menata ulang rambut panjang Aletta agar bisa menutupi leher dan bahunya. Walau tak bisa tertutup semua, setidaknya para lelaki brengsek di aula nanti tak bisa sembarangan menikmati pemandangan indah itu. So possessive.
“Lo gak mau pake jaket, Le? Dingin ntar. Pake jaket gue ya?” tawar Keenan karena masih merasa tak puas.
“Sembarangan lo. Dress gue udah oke banget malah disuruh pake hoodie. Lo mau kece sendirian? Jangan harap,” tolak Aletta sambil menjulurkan lidahnya mengejek. Kemudian ia keluar dari mobil sebelum Keenan menyuruhnya yang tidak-tidak.
Aletta mengerti akan sikap Keenan itu. Sama seperti kakaknya tadi yang meminta agar Aletta memakai pakaian lain karena dinilai terlalu terbuka. Dua orang itu sangat protektif dan menyebalkan.
Baru beberapa langkah meninggalkan Keenan di belakang, Aletta merasakan sebuah kain tersampir di pundaknya. Ternyata itu jas yang Keenan kenakan. “Gak boleh dilepas atau kita pulang,” ancam Keenan, kemudian jalan mendahului.
Mendapati tingkah laku Keenan membuat Aletta hanya mampu geleng-geleng kepala, tapi ia tak akan protes. Jadi ia berniat untuk menikmati momen malam ini dengan menyusul sahabatnya itu agar bisa jalan berdampingan.
“Oke, Keenanku sayang,” goda Aletta menampilkan senyum manis sembari merangkul lengan Keenan.
••
Acara berlangsung haru dan meriah dengan kehadiran seluruh siswa-siswi kelas 12, serta para guru dan jajaran sekolah. Tepat pada pukul sembilan, acara formal dikatakan telah berakhir dan kini digantikan dengan keseruan acara ala anak muda.
Karena masih berada dalam satu lingkar pertemanan, Keenan dan Aletta duduk di satu meja bersama yang lain. Orang-orang sudah terbiasa dengan mereka yang selalu datang satu paket. Sampai ketika ada seorang siswi bernama Fanya datang menghampiri.
“Hai guys, gue mau pinjem Keenan, boleh?” pinta Fanya.
Mengetahui bahwa siswi ini adalah teman sekelas Aletta, Keenan pun mengangkat alisnya dan menatap Aletta yang duduk berhadapan dengannya seolah bertanya. Namun Aletta juga tak tahu apa maksud Fanya, jadi ia hanya merespon dengan mengangkat bahunya seakan tak peduli.
Jujur saja entah kenapa hal tersebut membuat Keenan jengkel.
Dan karena malas “disoraki” teman-temannya yang duduk melingkar dalam satu meja itu, Keenan terpaksa mengikuti Fanya keluar dari gedung aula.
“Lo tau gue? Ada perlu apa?” tanya Keenan to the point ketika mereka berhenti di taman samping aula.
“Gak ada orang yang gak tau lo di sekolah ini, Nan,” jawab Fanya dengan suara lembut.
Di sana ternyata ramai, lantaran ada photoboot dan juga lampu-lampu hias yang cocok dijadikan spot foto, membuat Keenan tak nyaman karena langsung jadi pusat perhatian. Momen di mana Keenan sedang bicara berdua dengan gadis lain selain Aletta selalu sukses menarik perhatian orang-orang.
Keenan saat itu masih bersikap baik meskipun sudah sangat risih, apalagi ketika Fanya terus berbasa-basi melontarkan pertanyaan seperti, “Lo udah keterima di Bandung ya? Lo masuk jurusan apa? Nanti lo bakal tetep sering-sering balik Jakarta, kan?”
“Sebenernya lo mau ngomong apaan, deh? Gue tadi lagi makan, jadi buruan ke intinya aja.”
Fanya hanya bisa tersenyum gugup menanggapi sikap ketus Keenan padanya. Tapi pilihannya hanya ada sekarang atau tidak sama sekali. Lalu ia memberanikan diri untuk berkata, “sebenernya gue mau ngobrol aja sih, sama...”
Masih ingin bersikap baik, Keenan menunggu dengan segenap kesabaran tersisa. Orang-orang dengan sifat keingintahuan yang besar mulai mendekat, ingin tahu apa yang dibicarakan Keenan dan Fanya.
Mereka sudah bisa menebak skenario tak asing ini. Seorang gadis itu pasti berniat menyatakan cinta pada Keenan, dan selanjutnya mereka akan melihat adegan Keenan yang pergi tanpa mempedulikan perasaan gadis yang ditolaknya.
Searogan itu Keenan di mata sebagian orang. Namun bagi yang paham, mereka tahu Keenan hanya berterus terang dan tak ingin mempermainkan seseorang. Kalau tidak suka, ya sudah. Unpopular opinion but everyone would agree, Keenan sedang menjaga hati yang lain.
“Gue tau lo sama Aletta gak ada apa-apa, dia sendiri yang bilang. Makanya gue beraniin diri buat ngomong, lo mau gak jadi pacar gue? At least gue pingin deket sama lo.”
Bingo, sesuai dugaan, maka Keenan hanya bisa menghela napasnya lelah sampai matanya menemukan Aletta yang menyelinap di antara kerumunan. Pemandangan Aletta yang malah kegirangan ketika ia sedang bersama perempuan lain, entah mengapa membuat Keenan mendesis tak suka.
Bahkan dari sini ia bisa melihat Aletta mengatakan sesuatu lewat gerakan mulutnya, “yang ini diterima aja!”
Kalau sudah begini, baiknya Keenan segera menyelesaikannya. Ia enggan membuat teman-teman laknatnya itu senang karena pertunjukan komedi yang sedang berlangsung ini. “Fa.. Fani? Fatya? Nama lo siapa dah?” tanya Keenan.
“Fanya, Keenan~” jawabnya mendayu dengan mata berbinar.
“Pertama, gue aja gak tau siapa lo. Jadi lo udah tau jawabannya, kan? Gue gak bisa, sorry,” dan kemudian Keenan berlalu begitu saja melewati Fanya. Keenan berjalan menghampiri Aletta. Lama-lama gadis itu harus diberi pengertian karena terlalu sering mendorongnya dekat dengan perempuan lain yang bahkan tak dikenalnya.
Tangannya sudah terulur untuk menarik Aletta keluar dari kerumunan, sampai ia mendengar sesuatu di belakangnya. “Apa gue bilang, Keenan tuh cuma mau sama Aletta si piala bergilir.”
Samar, kata-kata itu masuk ke telinga Keenan secara tidak sopan. Orang-orang yang berada di sekitar situ juga sudah pasti mendengar, termasuk Aletta sendiri yang langsung membeku ditempatnya.
Tampaknya salah satu teman dari Fanya berusaha menenangkan dengan berujar tidak pantas seperti itu. Matilah mereka, karena saat itu juga Keenan berbalik untuk menghunuskan tatapan tajamn pada Fanya dan komplotannya.
“Bilang apa lo barusan?” nada Keenan sudah tidak bersahabat. “Lo tau apa soal Aletta? Soal gue?”
Tipikal Keenan, laki-laki itu tak akan tinggal diam ketika Aletta disudutkan. Bukan sekali dua kali ia terseret kasus hingga masuk ruang BK hanya karena tak terima ketika Aletta dibuat tak nyaman. Apa lagi ini, fatal sekali bagi Keenan.
“Asal lo tau ya, mulut murahan lo bahkan gak pantes buat nyebut nama secantik Aletta El Rumi!” perlahan namun tegas, Keenan melangkah satu demi satu, mengintimidasi gadis-gadis lancang di depannya.
Aletta—yang sudah tahu ini akan berakhir seperti apa, dengan sekuat tenaga menahan malu menarik lengan Keenan agar berhenti. Ia berharap saat itu juga Keenan membawanya pergi menjauh dari sana, tanpa memperumit masalah.
“Kai, stop,” Keenan bisa mendengar suara Aletta bergetar ketika mengucapkannya. “Gue mau pulang.”
Tidak ada yang lebih penting dari Aletta saat ini, jadi Keenan menarik napas panjang untuk menekan segala emosi yang ada. Ia pun menarik tubuh mungil itu agar merapat padanya, dengan tangan yang sudah melingkari pinggang Aletta posesif.
Sengaja. Ingin menunjukkan kepada semua orang di sana bahwa ada siapa di balik sosok Aletta.
“Tapi ngomong-ngomong gue salut sama orang-orang di sekolah ini. Tau aja mana perempuan yang punya kelas dan pantas untuk diperebutkan,” ucap Keenan sebagai kalimat penutupnya, sebelum membawa Aletta pergi dari sana.
Kerumunan otomatis menyingkir memberi jalan sembari mulai berbisik-bisik. Entah mencemooh apa lagi tentang Aletta, keduanya tak ingin peduli. Tapi sebenarnya banyak yang gagal fokus atas tindakan Keenan ketika melindungi Aletta, terkesan manis sekali.
Tunggu, ada satu yang terlewatkan. Mungkin tidak ada yang tahu, wajah Aletta sungguh merona tak tertolong. Pipinya panas, ya Tuhan.
‘Aletta, dia Keenan, sahabatmu. Dia Keenan,’ gumam Aletta dalam hatinya.
••
“Angkringan, mau enggak?”
Mereka sudah ada di mobil, namun Keenan masih belum melajukan mobilnya. Keduanya lama saling terdiam tanpa menuai obrolan, sampai Keenan dengan segala ke-random-annya tiba-tiba menawarkan makan.
Angkringan adalah salah satu pelarian mereka jika kebetulan Aletta diperbolehkan keluar malam. Gadis itu pernah bilang kalau dia menyukai suasana malam, jadi sejak saat itu Keenan sesekali mengajaknya makan di angkringan daerah Fatmawati.
“Pake baju kayak gini?” Aletta bertanya sembari mengangkat sedikit dress-nya untuk sekali lagi mengingatkan Keenan tentang apa yang sedang mereka pakai.
“Emang kenapa?”
“Sinting,” desis Aletta. “Gue pingin mekdi aja, tapi makan di mobil.”
Keenan paham betul mood Aletta sedang buruk, jelas sekali alasannya. Keenan juga sangat tahu, saat ini Aletta sedang menahan sesuatu untuk diutarakan. Namun laki-laki itu tak akan bertanya kecuali Aletta yang membuka diri.
Selalu begitu. Karenanya, Keenan akan memberi ruang sebanyak mungkin sampai Aletta mampu menenangkan dirinya sendiri.
“Kalo sampe tumpah-tumpah, gue gelitikin lo!” Keenan memberi peringatan.
Mereka akhirnya memesan mcdonald’s via drive thru. Suasana hati Aletta juga sepertinya telah membaik seraya gigitan pertama pada spicy paha ayamnya menguar di mulut. Keenan? Tak sampai tiga menit, triple cheeseburger-nya sudah habis tak bersisa.
“Galak bener.”
“Bodo. Makan tuh yang rapi—tuh, kan!” Belum apa-apa Keenan sudah siaga untuk menyeka saus di ujung bibir Aletta dengan jarinya. Kemudian ia menadahkan tangan di bawah dagu Aletta ketika gadis itu menggigit potongan paha ayam, takut-takut berserakan.
Seperti sedang mengasuh bayi saja.
Selesai dengan dua potong paha ayamnya, Aletta menyambar es krim dari Keenan dan memakannya tanpa dosa. Mau bagaimana lagi, Keenan hanya bisa mengalah pasrah. Semuanya termaafkan ketika sesekali Aletta menyuapinya.
“Pulang sekarang?” tanya Keenan.
“Bentar, abisin ini dulu.”
Keenan tahu, Aletta sedang mengulur waktu karena tak ingin segera pulang. Ia pun lagi-lagi hanya menurut, dan memilih memainkan ponsel sembari menunggu Aletta menghabiskan es krimnya.
“Kai, emang selama ini pikiran anak-anak tentang gue kayak gitu ya? Gue gak tau.” Lihat, Aletta dengan sendirinya akan membahas semua hal yang berkecamuk mengganggu pikirannya.
“Gue juga enggak tau tuh,” jawab Keenan. Ia kemudian memposisikan dirinya sedikit menyerong menghadap Aletta. “Selama ini fine aja, kan? Ngapain omongan mereka lo denger? Emang mereka tau lo gimana?”
“Tau, mereka kan sekelas sama gue. Mereka bisa menilai gue kayak gitu karena mereka sering liat tingkah laku gue, ya kan?” ucap Aletta lirih. “Kai, gue di sekolah gimana, sih? Takut-takutnya banyak sikap gue yang kurang berkenan di mata temen-temen.”
“Memang lo mau punya impresi kayak gimana buat diliat sama orang-orang?”
Keenan bertanya hal yang wajar saja menurutnya, karena ia menganggap pembicaraan ini serius namun santai. Tapi entah kenapa Aletta malah merasa terpojokkan.
“Maksud lo gue mau cari perhatian, gitu?” Aletta mendelik.
“Loh, kok jadi cari perhatian? Gue tanya, lo mau menghadirkan kesan tentang diri lo ini seperti apa emangnya di depan orang-orang?” ujar Keenan. “Le, gue gak suka ya kalau lo menelan bulat-bulat perkataan buruk orang yang jelas-jelas punya thing sama lo.”
Kalau sudah seperti ini, Aletta jadi malas menjawab dan memilih memalingkan perhatiannya ke luar jendela. Salahnya sendiri, berdiskusi dengan Keenan tapi tidak dengan kepala dingin. Padahal ia tahu Keenan itu seorang yang rasional, netral, sekaligus menyebalkan!
‘Boleh teriak gak, sih? Gue lagi pingin disayang,’ gerutu Aletta dalam hatinya.
“Ale, sini liat gue,” titah Keenan sembari membawa tangan Aletta ke dalam genggamannya. “Gue enggak men-judge lo ya. Gue cuma nanya.”
Masa bodo, Aletta masih terdiam dan Keenan hanya bisa menghela napas.
“Ya udah, maafin gue, ya? Gak nanya lagi deh gue,” ujar Keenan berusaha merebut kembali perhatian Aletta.
“Lo itu friendly, bisa menempatkan diri di manapun, gak pinter-pinter amat tapi juga gak bego-bego amat,” dan Aletta langsung menunjukkan kepalan tangannya. “Bentar gue belum selesai, ah elah.”
Ayo Keenan, semangat!
“Dan, ehm, banyak orang bilang lo cantik, lo menarik, termasuk gue. Denger gak? Gue bilang lo cantik. Makanya hal wajar kalau memang banyak yang suka sama lo, tapi gue enggak akan membiarkan itu,” ucap Keenan.
Alis Aletta merengut, “maksudnya?”
Aletta ini love language-nya physical touch sama afirmasi, Keenan khatam sekali. Makanya sebagai jurus andalan, ia tak lepas menggenggam tangan Aletta sembari terus mengutarakan kesan positif yang sudah pasti disenangi.
“Gue enggak akan biarin sembarangan cowok deketin lo, minimal mereka sungkeman dululah sama gue,” jawab Keenan bercanda. “Yang terpenting, orang-orang tadi gak ada pantes-pantesnya ngatain lo. Di samping lo yang—mana pernah sih jalan sama cowok di sekolah selain gue? Dari situ aja perkataan mereka udah enggak mendasar,” jelasnya.
“Lagian mereka enggak tau apa, yang ada di otaknya si neng Aletta ini cuma ada buku matematika, drama komedi romantis, paha ayam mekdi, dan Keenan Kalingga? Mau mikirin cowok lain, mana sempat?”
Entah berapa kali Aletta merotasikan matanya hari ini. Konyol.
“Ucapan mereka emang jahat, tapi kita enggak bisa cegah orang untuk bergunjing. Mereka enggak tau lo kayak gimana, tapi karena kita hidup berdampingan, bersosialisasi, dan berinteraksi, mereka bebas menilai siapapun,” Keenan masih melanjutkan ceramahnya.
“Makanya ngapain didengerin? Gue lebih tau lo, dan bisa menjamin lo itu cewek berkelas kayak apa yang gue bilang di depan muka mereka.”
Cukup, akhirnya satu tetes air mata Aletta terjatuh.
“Sini, lo itu harus nangis. Soalnya bukan Aletta banget kalau mood-nya jelek tapi enggak mewek,” titah Keenan yang sudah membuka kedua tangannya untuk menyambut sahabatnya itu ke dalam pelukan hangat.
Kesempatan besar untuk disayang, Aletta menggeser sedikit posisinya ke tengah agar bisa menyusupkan tubuhnya ke dalam pelukan Keenan.
“Lo tau enggak, sih, sebenernya gue dari tadi cuma pingin dipeluk!” omel Aletta, dan Keenan langsung tertawa mendengarnya.
“Tau gue. Cuma kalau langsung gue peluk, lo bakalan nangis duluan tanpa sempet ngeluarin unek-unek.”
“Tapi lo intronya kelamaan, bawel kayak kak Aksa,” protes Aletta.
“Kan gue emang adeknya bang Aksa, ya pasti sifatnya sama lah.”
“Ha, dalam mim—” ups, salah posisi.
Saat hendak membalas candaan Keenan dengan menengadahkan kepala, Aletta malah disambut dengan jarak wajah mereka yang tinggal seinci saja. Karena ia tak sadar sedari tadi Keenan sedang mengecup puncak kepalanya.
Sedikit saja ada di antara mereka bergerak maju, bibir mereka akan bersinggungan.
Jantung Aletta berdegup sangat kencang, begitu juga dengan laki-laki di hadapannya. Aletta bisa merasakan itu sebab tangannya sedang menopang tubuhnya sendiri di atas dada Keenan. Ketika hendak membenahi posisi, ia justru merasakan tangan Keenan menahannya dan malah merengkuhnya lebih erat.
Tidak tahu siapa, tidak tahu di detik ke berapa, bibir mereka tahu-tahu sudah bertemu, dengan Keenan yang perlahan memejamkan mata.
‘Ini terasa benar, nyaman sekali..’
.
.
– To be continued
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
