
Part 21 - 24
BACA GRATIS DI SINI!!!
Daftar Isi :
Part 21. Angry Sissy
Part 22. Drama King
Part 23. Join The Circle
Part 24. The Revenge
21
Angry Sissy
AUDY
Arsal berengsek!
Kemana perginya lelaki itu setelah merengek untuk ikut makan siang bersamaku, hingga aku tidak jadi makan siang dengan Raisa* – teman SMA-ku – demi makan siang dengan makhluk sialan itu?
(*Baca : Duda Itu Mantanku di fizzo, GRATISSSS!!)
Well, meski nyatanya Raisa memang menentukan lokasi janjian kami ke agak jauh dan aku enggan menyanggupinya sih. Tadi Raisa memang ada urusan di dekat sini, tapi mendadak harus pergi ke Alam Sutera. Jarak BSD ke Alam Sutera kan lumayan jauh.
Namun, ini tetap salah Arsal! Jika tahu lelaki itu tidak kunjung datang, padahal aku sudah memesan makanan yang di requestnya, aku lebih baik naik taksi online dan pergi ke Alsut!
Aku berhenti mencoba menghubunginya sejak kali ke tiga teleponku tidak diangkat sama sekali. Kepalaku kini sedang sibuk menyusun rencana, apa yang akan aku lakukan saat lelaki itu menunjukkan batang hidungnya dengan wajah tak berdosa.
Mungkin aku akan menyiram kuah ramen yang masih mendidih ini ke wajahnya.
"Audy—"
Brak!
Sebuah suara yang memanggil namaku, membuatku seketika menggebrakan kedua sumpit yang semula aku gunakan pada meja.
Suara yang ditimbulkan cukup keras, mengingat tanganku turut bersinggungan dengan meja makan di restoran ini.
"Lo nggak tau cara baca jam, ya?"
Suaraku agak mengecil di akhir saat mengangkat kepalaku dan mendapati sosok Arsal yang tidak datang sendirian.
Sialan! Rupanya karena Nadira-Nadira ini Arsal jadi lama?
Aku tidak ada masalah dengan Nadira. Aku juga tidak terlalu peduli, mau Arsal cinta mampus sampai rela kayang atau salto atau terjun dari helikopter sekali pun, aku tidak masalah.
Namun, jika kebucinannya sudah merugikanku secara materi dan emosi, aku jelas sangat mempermasalahkan itu!
"Hai, Audy. Maaf banget ya, aku nggak tahu kalo Arsal udah ada janji sama kamu."
"Minta maaf doang nggak bikin energi gue balik, karena udah setengah jam nahan emosi gara-gara lo yang nggak dateng-dateng!"
Aku tidak memedulikan ucapan Nadira dan memilih untuk memaki Arsal lantaran kesal.
"I'm really sorry. Gue bener-bener nggak bermaksud buat bikin lo nunggu. Tadi ada urusan mendadak."
Halah! Siapa yang peduli dengan urusan mendadaknya, yang sudah bisa ditebak, pasti berurusan dengan wanita di sampingnya ini.
"Mending lo pindah meja, dari pada ramen gue pindah ke muka lo, ya!"
Arsal bergidik ngeri, saat tanganku bergerak untuk menggeretaknya agar menyingkir dari hadapanku selagi aku belum benar-benar menumpahkan ramen di atas kepalanya.
"Tapi ini makanan gue—"
"Ya, tetep lo bayar lah! Tuh, billnya. Bayar makanan gue sekalian!"
Aku melemparkan bill yang sempat aku pinta pada karyawan restoran, lantaran ingin memperhitungkan kerugianku lebih lanjut akibat ulah Arsal ini.
Arsal masih menatapku beberapa saat, yang aku balas dengan pelototan, menandakan bahwa aku sedang sangat marah padanya dan tidak perlu mencoba untuk membujukku.
Aku dapat menyaksikan Nadira yang berusaha menarik tangan Arsal untuk pergi dari meja yang aku tempati, hingga Arsal pun beranjak dari hadapanku.
Mereka tidak pindah restoran. Mereka hanya pindah meja, yang membuatku masih bisa melihat dua sosok itu bergandengan tanpa beban.
Mengingat Beberapa minggu yang lalu Arsal masih menangis-nangis setelah mereject setiap panggilan dari Nadira, lalu melihat keduanya yang saat ini sudah kembali akrab membuatku tidak memahami hubungan mereka itu semacam apa.
Lagi pula, kenapa aku harus paham sih? Aku 'kan tidak peduli.
Jika Arsal memang main gila dengan istri orang ...
Oh, shit! Lelaki itu memang sudah gila. Aku mampu melihat interaksi keduanya saat ini, seperti anak SMA baru jadian.
Dari mulai menyuapi potongan sushi, menyapu makanan sisa di bibir Nadira dengan tangannya, sampai buru-buru menyodorkan gelas minum wanita itu saat tersedak.
Sahabat macam apa yang melakukan hal semacam itu? Aku juga memiliki beberapa sahabat cowok, tapi tidak sampai segitunya!
Apa kabar dengan suaminya Nadira? Memangnya lelaki itu baik-baik saja, melihat istrinya bersahabat seperti ini? Jika aku menjadi pasangan salah satu di antara mereka, mungkin sudah aku hajar dua-duanya lantaran persahabatan kelewat batas ini!
Oke lah, jika memang benar hanya sebatas sahabat tanpa ada perasaan apa pun. Ini 'kan jelas-jelas Arsal cinta mampus dengan wanita itu.
Ponselku berdering panjang, menandakan ada telepon masuk. Aku buru-buru mengangkatnya, dari pada sibuk menonton dua manusia aneh yang terus tersenyum di sepanjang makan siang. Aku yakin gigi mereka sudah kering, karena terus ditunjukkan sepanjang waktu.
"Maudy, lo masih di BSD?"
Suara Raisa terdengar dari ujung sana. Well, teman-teman SMA-ku lebih terbiasa memanggilku Maudy, seperti Raisa contohnya.
"Masih nih. Lo di mana?"
"Gue susulin ke tempat lo deh, gue baru aja kelar nih."
"Nggak usah, Sa! Jemput gue aja di The Breeze."
"Lo udah selesai, makan siangnya?"
"Udah."
"Yah, gue belum makan."
"Cari tempat makan lain aja. Di sini banyak setan."
"Hah?"
Raisa tampak bingung dengan ucapanku, tapi aku sudah menutup panggilannya dan bergegas pergi dari sini.
Sambil berjalan keluar dari restoran, aku melirik mereka sekali lagi. Apa aku harus merekamnya dan mengirimkan video kebersamaan mereka pada suami Nadira?
Astaga, stop Audy! Ini jelas bukan urusanku!
***
"Orang-orang yang gagal move on tuh pikirannya pendek atau gimana, ya?"
Raisa seketika terbatuk, saat aku menyampaikan isi pikiranku terkait Arsal yang masih terus terikat pada sosok Nadira, meski wanita itu sudah jelas-jelas menikah dengan orang lain, alias meninggalkannya!
Aku seketika teringat akan sosok Raisa yang hanya berpacaran satu kali seumur hidup, dan ditinggal nikah pula! Lalu, sampai detik ini aku tidak pernah mendengar kabar ia menjalin hubungan dengan lelaki mana pun.
Pantas saja Raisa tersedak.
Saat ini, kami sedang berada di restoran lain untuk menemani Raisa makan. Aku yang sudah makan hanya memesan minuman saja. Dan beruntungnya, aku bisa nebeng pulang dengan Raisa dan tak harus menunggu Arsal.
"Eh, gue bukan ngomongin lo, Sa! Sori-sori."
"Gue nggak gagal move on tuh."
"Tapi sampe sekarang, lo belum punya pacar, kan?"
"Ya karena gue belum mau pacaran aja, Dy!"
"Tapi lo masih suka nyari tau atau kontakan sama mantan lo gitu, nggak?"
"Ya enggak lah! Kalo bisa, gue bakal menghindar dari segala kemungkinan yang bisa bikin gue ketemu dia!"
Aku bertepuk tangan antusias, mendengar suara Raisa yang menggebu-gebu saat menceritakan perjuangan move on-nya.
"Nah, kan! Manusia normal kayak gitu, kan? Mantan lo juga udah nikah kan, Sa? Siapa sih namanya, gue lupa."
"Sebut aja pohon."
"Kok pohon sih?" Aku memprotes ucapan Raisa.
"Ya, gue males nyebut namanya!" Raisa balas berseru.
Aku tertawa pelan, yang seperti ini kok menyatakan diri sudah move on.
"Oke, si Pohon 'kan udah nikah. Lo sama sekali nggak berhubungan sama dia 'kan setelah itu?"
"Yaa nggak lah! Gue nggak segila itu ... gue nggak setabah itu sih, lihatnya."
"Meski pun, lo masih segitu cintanya?"
"Gue nggak segitu cintanya, buat rela jadi pelakor, ya!"
"Kalo udah cerai, lo mau balik lagi?" Aku kembali melayangkan pertanyaan itu. "Mungkin nggak sih sampe cerai. Kalo sampe cerai, gila sih."
"Hah? Lo ngomongin apa sih? Lo lagi ngomongin siapa?"
Raisa yang semakin tidak mengerti dengan ucapanku, karena semakin lama justru semakin berbeda dengan ceritanya, tampak bingung.
"Hmm ... ada deh, kenalan gue."
Aku masih kesal dengan Arsal dan tidak sudi menyebutnya saudara tiriku!
"Temen lo jadi pelakor?"
"Bukan temen, kenalan!"
Aku juga tidak mau menyebutnya temanku. Kami tidak berteman!
"Iya-iya, kenalan lo. Dia gagal move on sampai rela jadi pelakor?"
"Pebinor sih tepatnya."
"What ... serius?"
"Nebak aja. Gue juga nggak tau." Aku menyahut santai, seraya menyeruput jus mangga yang aku pesan.
Raisa menggelengkan kepalanya mendengar setiap ucapanku, lalu tertawa geli.
"Gebetan lo, ya? Lo lagi naksir cowok, terus cowoknya malah suka sama istri orang?"
Aku tersedak jus mangga yang tengah aku minum hingga terbatuk, lalu melotot pada Raisa.
"YA NGGAK MUNGKIN LAH! Udah gila kali, kalo gue suka sama Arsal!"
"Oh ... namanya Arsal." Raisa mengangguk, sambil menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.
Yaa... meski dulu, aku memang pernah menyukainya sih. Sedikit tertarik, tepatnya. Pertemuan awal kami memang cukup baik, tapi pertemuan-pertemuan berikutnya membuatku menyesali saat teringat bahwa aku sempat menyukainya.
***
22
Drama King
Lagu Demons dari Imagine Dragons menemani waktu istirahatku setelah seharian berkelana sampai ke Tangerang Selatan. Aku tergolong orang yang jarang jalan-jalan jauh, meski aku lumayan sering hangout dengan teman-temanku.
Namun, destinasi yang biasa kami kunjungi tidak pernah jauh dari sekeliling tempat tinggal kami. Bisa dikatakan, kami hanya bermain di sekitaran Jaksel atau Jakpus. Bukan ingin dibilang si paling Jaksel, masalahnya daerah situ memang kawasan perkantoran, yang mana sebagian besar temanku bekerja di sini. Terlebih rumah lamaku juga berada di sekitar sini, rumah Arsal juga tak jauh dari rumah lamaku.
Untuk apa kami pergi ke Jakarta Timur di jam pulang kerja dan bermacet-macetan hanya untuk nongkrong di BKT? Bukannya aku mengatakan tempat tersebut buruk, aku juga pernah main ke sana karena dekat dengan rumah salah satu temanku.
Ponselku berkali-kali berdenting pelan, menandakan ada pesan masuk. Rupanya dari grup chat teman-temanku.
Lunar : Tumben Audy jam segini ga heboh ngajakin main. Friday loh ini.
Lunar : Biasanya udah berisik nyuruh orang nyusul ke sky life atau main ke rumahnya
Marsha : Nyusul gue aja, Lun. Males banget gue nemenin Erlan nonton jeketi
Lunar : Buset, Erlan tobat dari wibu malah jadi wota
Lunar : Berarti lo di fx nih, Sha?
Dion : Ke pepper lunch yuk? Di fx ada kan?
Lunar : Yuk, gue bentar lagi otw nih
Marsha : Audy kayanya sibuk sama kaka tirinya deh
Marsha : Sombong dia, mentang2 di rumah udah ada temen, ga nyuruh2 kita ke rumahnya lagi
Lunar : Iya ih, gue blm pernah diajak main ke rumahnya bokap barunya Audy
Aku berdecak pelan membaca pesan dari teman-temanku, lalu mengetikkan balasan pertanyaan awal Lunar.
Audy : Skip dulu, capek
Dion : Biasa lo gada capeknya, Dy
Audy : Anjing, tar gue dikira pake sabu kalo ga capek2
Marsha : Tau dari mana lo kalo orang pake sabu gada capeknya?
Marsha : Halo BNN...
Audy : Sialan lo!
Lunar : Kerjaan lo 'kan sambil rebahan, kok bisa capek sih
Audy : Gue abis berkelana ke negeri sebrang
Audy : Gue sibuk banget hari ini ya! Udah kebawa sampe tangsel, diomelin orang china, masih dibikin emosi sama kelakuan Arsal
Saat aku mengatakan diomeli orang china, that's literally warga Tiongkok yang merupakan karyawan kantor pusat tempatku bekerja. Jadi, bukannya aku bermaksud rasis.
Dion : Jadi lo beneran gaikut nih? Kalo ikut, gue jemput sekarang
Audy : Nggak dulu. Gofood-in pepper lunchnya aja ke rumah gue
Tak ada yang membalas pesanku lagi, teman-temanku mendadak lenyap saat aku minta dikirimkan makanan via gofood. Dasar teman-teman laknat!
Aku kembali menyibukkan diri dengan mengedit foto kegiatanku selama hari ini untuk di posting ke instagram. Kegiatan tersebut cukup menyita waktu, hingga aku tidak sadar sudah lebih dari setengah jam, aku menghabiskan waktu hanya untuk mengatur preset di lightroom.
"Dy, lo pesen makanan?"
Suara Arsal terdengar dari luar, seiring dengan ketukan di pintu kamarku.
Aku yang merasa tidak memesan apa pun cukup kebingungan, hingga aku bergerak untuk membuka pintu.
Sosok Arsal muncul di depan pintu kamarku sambil mengulurkan totebag berisi makanan dari pepper lunch. Aku meralat ucapanku sebelumnya, ternyata teman-temanku tidak sejahanam itu.
"Iya, punya gue."
"Tapi ini atas nama Dion, alamatnya sih bener di sini."
"Iya, Dion temen gue."
"Temen yang mana?"
"Hih, bukan urusan lo!" Aku segera menyambar totebag tersebut, lalu bergerak untuk menutup pintu kamar lagi.
Aku baru ingat bahwa satu-satunya teman dalam circle-ku yang belum pernah bertemu Arsal, hanya Dion. Di hari pernikahan orang tua kami, lelaki itu tidak bisa datang karena ada acara lain. Saat membantuku beres-beres barang pindahan pun, Dion tidak sempat bertemu Arsal, karena Arsal sudah berlari seperti orang tolol saat mendapat telpon dari Nadira.
Lagi pula, memangnya apa kepentingan Arsal untuk mengetahui semua teman-temanku sih? Memangnya dia siapa?
"Dy, tunggu dulu!"
Tangan Arsal menahan pintu kamarku saat hendak menutup.
Aku mendesah pelan. Apa lagi sih, aku masih enggan berurusan dengan lelaki ini lantaran masih kesal dengan kejadian tadi siang.
"Apa lagi?" tanyaku dengan intonasi galak.
"Gue mau minta maaf kejadian tadi siang. Sumpah, gue bener-bener minta maaf. Gue udah mau nyamperin lo pas jam makan siang, tapi kartu akses gue ketinggalan, terus—"
"Mendadak urusan sama Nadira. Halah, udah ketebak!"
"Sori..." Arsal berkata dengan nada lebih rendah, seolah menunjukkan rasa penyesalannya.
"Yaudah lah, lo juga udah bayar makanan gue tadi siang."
"Lo udah nggak marah?"
"Nggak." Aku menyahut singkat. "Tapi masih kesel, kalo lihat lo sekarang."
Aku buru-buru menarik pintu kamarku dengan kencang, hingga membuat Arsal terkejut dan menarik tangannya. Namun, belum sempat tangannya tertarik seluruhnya, aku sudah mendorong kembali pintu ini hingga menjepit tangan lelaki itu.
"Aw! Audy, tangan gue!"
Arsal berteriak heboh, yang membuatku membuka pintu kamarku lagi.
"Shit! Sakit banget!"
Aku cukup terkejut dengan kejadian tadi, tapi sudah tidak heran melihat Arsal bereaksi berlebihan saat terluka seperti ini.
"Kejepit dikit doang, kan?" tanyaku agak khawatir, tapi berusaha memastikan bahwa aku tidak menekan pintu sekencang itu.
"Dikit doang juga sakit, Audy! Ini bisa bikin darah beku di kuku gue!"
Arsal masih merintih kesakitan sambil menjauhkan tangannya yang barusan terjepit.
"Mana sih, coba lihat?"
"Nggak, nanti di pegang sama lo malah makin sakit."
"Ya, terus lo maunya gimana? Gue bawa ke rumah sakit?"
"Kayaknya harus ke rumah sakit. Lihat nih, tangan gue langsung merah!" Arsal menunjukkan tangannya yang tadi terjepit, yang padahal kan wajar saja, belum juga ada lima menit, tentu saja masih sedikit memar.
"Kalo tangan gue nanti kenapa-napa, terus harus diamputasi karena terlambat dapet penanganan medis, gimana?" kata Arsal lagi.
"Anjir, nggak ada orang yang sampe diamputasi Cuma gara-gara kejepit pintu!" Aku berteriak geram, merasa Arsal semakin berlebihan.
"Lo 'kan nggak tau, bukan berarti nggak pernah ada!"
Aku yang kesal melihat ekspresinya yang saat ini sangat berlebihan, seketika menyambar tangannya yang tadi terjepit dengan cepat, lalu menggenggamnya cukup kencang.
"AW! Damn! Shit! Bangsat! AUDY ITU SAKIT BANGET!"
"Ada apa sih, ribut-ribut?"
Suara Mama tiba-tiba terdengar dari bawah, yang sepertinya dapat mendengar keributan kami. Tak lama, Mama terlihat muncul dari tangga dan melihat kami yang masih bersitegang.
"Ada apa?" tanya Mama lagi.
"Tangan aku cedera, gara-gara dijepit pintu sama Audy." Arsal mengadu pada Mama.
"Cedera dari mana! Cuma kejepit doang! Lagian, yang nentuin cedera atau enggak tuh dokter!"
"Makanya, gue bilang kita harus ke rumah sakit!" Arsal balik mengotot.
"Yaudah, sana ke rumah sakit! Yang kejepit kan Cuma tangan lo, kaki lo masih bisa jalan buat ke rumah sakit sendiri!"
"Tapi ini gara-gara lo, jadi lo harus tanggung jawab!"
"Ya ampun! Kalian udah pada gede kok masih ribut gini sih?" Mama memegangi kepalanya saking pusing melihat keributan kami dengan tak ada yang mau mengalah.
"Ke rumah sakit aja sana, sama sahabat sehidup semati yang lo gandeng tadi siang!" Aku tak mengindahkan ucapan Mama, dan lanjut membalas ucapan Arsal.
"Kok lo bawa-bawa Nadira?"
"Kalo lo nggak sibuk sama dia, gue nggak harus kesel, dan muak lihat muka lo, sampe lo harus nahan pintu kayak tadi, padahal gue udah bilang masih kesel!"
"Udah! STOP!"
Mama akhirnya berteriak karena sudah tidak tahan mendengar keributan kami.
"Audy, kamu sengaja bikin tangan Arsal kejepit?" tanya Mama.
"Ya enggak lah! Emang aku psikopat!" Aku membalas kesal.
"Yaudah, kamu minta maaf sama Arsal dong, Dy."
"Nggak mau! Salah dia kok, ngapain tangannya diem aja di pintu kamar aku."
Aku yang malas dengan usaha Mama untuk menyuruhku minta maaf dengan Arsal pun langsung menutup pintu, lalu menguncinya.
Jika tangan Arsal memang masih sesakit itu, silahkan lanjutkan dramanya di hadapan Mama saja! Aku tidak peduli.
Jika tangannya sampai diamputasi, mungkin ia hanya akan menangis karena tak mampu bergandengan lagi dengan sahabat tersayangnya itu.
***
23
Join The Circle
Malam minggu, suasana Sky Life tampak ramai dipadati oleh para pengunjung yang meningkat tiga kali lipat dibanding hari kerja. Aku dapat melihat beberapa wajah familier penghias timeline sosial media, alias para circle selebgram yang kini tampak seliweran di setiap sudut night club ini.
Aku baru ingat bahwa malam ini ada DJ tamu yang merupakan anak dari artis terkenal, yang memiliki circle pertemanan dengan para selebgram dan artis-artis muda lainnya. Pantas saja suasana hari ini tampak penuh sesak.
Aku jadi membayangkan berapa keuntungan permalam dari tempat ini, mengingat bahwa founder tempat hiburan malam ini umurnya tak jauh berbeda denganku – malah dengar-dengar, lebih muda dariku – mungkin berkisar di umur 25 atau 26.
Ketika aku masih diperbudak oleh bangsa asing, si pemilik tempat ini sepertinya sudah bermandikan uang hasil usahanya sendiri. Well, meski aku yakin, untuk membuat bisnis ini menjadi semakin besar, ia juga pasti bekerja sama dengan banyak pihak dan tidak menutup kemungkinan ada investasi dari perusahaan asing juga.
Aku tidak tahu sih, meski katanya wanita bernama Tania, yang merupakan pendiri awal club malam ini terbilang friendly dan banyak mengenal para pengunjung tempat ini yang awalnya hanya teman-temannya saja, aku tetap tidak mengenalnya.
Lupakan keuntungan pemilik tempat ini, toh aku tidak kecipratan uangnya juga.
Mataku kini fokus untuk mencari keberadaan teman-temanku, sambil mengeratkan genggaman tanganku dengan Dion yang baru datang bersamaku.
"Pada di mana, Dy?"
Aku berusaha membuka ponselku untuk membaca pesan dari Marsha.
"Table deket bar katanya."
"Wow, hebat amat lagi rame gini bisa open table. Mana saingannya sama selebgram juga," komentar Dion, yang juga menyadari sejak tadi banyak selebgram yang berkeliaran di tempat ini.
"Iya juga, biasa kalo ada acara, pasti table-nya udah pada dibooking."
Kami berjalan menuju meja yang ditempati teman-temanku, lalu melihat ada Marsha dan Lunar yang duduk di sana. Di tengah keramaian ini, sofa mereka tampak lengang lantaran hanya diisi oleh dua orang.
"Buset, lo mau dugem kok pake batik sih, Yon?" cetus Marsha, saat melihat outfit yang digunakan Dion.
"Abis kondangan."
"Sama lo, Dy?" tanya Lunar.
Aku mengangguk, seraya duduk di sebelah Lunar.
"Iya nih. Tapi outfit gue masih oke, kan?"
Aku menunjukkan outfit yang tengah aku gunakan saat ini, yang menggunakan dress berwarna hitam dengan panjang selutut, serta bagian tangan yang bertali tipis, hingga mampu mengekspose bahu dan leherku.
"Emang nggak dipelototin ibu-ibu, lo kondangan pake baju kayak gitu?"
"Tadi pake scraft sih, buat nutup dada sama bahu, biar nggak dipelototin ibu-ibu."
"Cewek lo kemana emang, Yon? Kok tumben, kondangan ngajak Audy?" tanya Lunar.
"Udah putus."
Marsha yang sedang minum, seketika tersedak mendengar berita terbaru yang keluar dari mulut Dion.
"Serius? Sejak kapan? Kok bisa?"
"Minggu kemarin ... yah, gitu deh. Katanya gue nggak perhatian, nggak peduli, nggak serius. Tau ah! Pusing."
"Lo kalo bales chat kelamaan sih, kayaknya. Itu masuk ke bentuk nggak perhatian." Lunar merespon.
"Lo nggak bahas mau nikah kapan, makanya dibilang nggak serius!" Aku turut menimpali, mengingat cerita Dion yang enggan menanggapi saat pacarnya membahas pernikahan, lantaran teman-teman cewek itu sudah menikah.
"Yaa, gue emang belum kepikiran nikah. Makanya pas minggu lalu ribut, dia bahas lagi kalo semua teman-temannya udah pada nikah. Which is maksa kita juga buat buru-buru nikah. Ya gue bilang aja, tapi temen-temen gue belum nikah tuh. Langsung diputusin."
"Ya anjing sih emang jawaban lo, Yon!" Marsha memaki Dion tanpa ragu.
Aku dan Lunar hanya tertawa mendengarnya.
"Btw, siapa yang open table? Kok bisa sih? Ini 'kan lagi penuh banget?" tanyaku, membahas tentang table yang kami tempati ini.
"Abang lo tuh, dia 'kan eksklusif, jadi dapet deh," jawab Marsha.
Oh, Arsal ada di sini.
Aku tidak melihatnya tadi pagi, setelah semalam tangannya kesakitan seperti orang kelindas truck, lelaki itu justru sudah menghilang sejak pagi buta dengan membawa mobilnya. Berarti tangan yang katanya mau diamputasi itu, sudah baik-baik saja 'kan?
"Kok lo nggak dateng bareng Arsal, Dy?" tanya Lunar.
"Gue 'kan abis nemenin Dion kondangan."
Aku memanggil salah seorang karyawan di tempat ini, untuk meminta gelas tambahan. Sebab, aku melihat di meja tersebut sudah ada minuman yang kemungkinan besar dipesan oleh Arsal.
"Thank you loh, Dy." Dion menyahuti ucapanku. "Next kondangan, lo temenin gue ya, Lun?" Lelaki itu beralih pada Lunar.
"Boleh sih, kebetulan gue abis masukin clucth bagus nih di keranjang zalora."
"Iya, nanti gue checkout-in abis gajian."
"Kok gue nggak di checkout-in juga?" Aku menatap Dion tidak terima, atas jasaku hari ini yang tanpa diberi imbalan apa pun.
"Bokap baru lo udah kaya, Dy!"
"Tapi tetep aja, gue nggak dikasih black card. Apa gue minta aja, ya? Masa gue nggak mendapat keuntungan sih, dari pernikahan mereka?"
"Minta ke Arsal aja, kalian 'kan akrab." Lunar menimpali.
Aku mendengus pelan, saat mengingat sosok Arsal lagi.
Btw, aku jadi penasaran dengan kegiatan lelaki itu seharian ini. Aku sih menebak, ia sepertinya sibuk main sahabat-sahabatan lagi dengan Nadira. Apakah Arsal juga datang ke sini bersama Nadira?
"Oh iya, Arsal dateng ke sini sama siapa?" tanyaku pada Marsha dan Lunar, yang sudah bertemu Arsal sebelumnya.
"Sendiri deh kayaknya, dia kayaknya lagi nggak gandeng siapa-siapa. Ini aja malah ngajak Erlan join sama anak-anak yang lain, entah sejak kapan mereka jadi sebestie itu."
Aku hanya mengangguk pelan.
Gelas yang tadi aku minta sudah datang, aku pun menuangkan Jose Cuervo ke dalam gelasku, lalu menelannya dalam sekali teguk.
Tak lama, objek yang tadi kami bicarakan pun datang. Aku dapat melihat Arsal dan Erlan yang berjalan ke table kami.
"Hey, Sissy. Tangan gue udah baik-baik aja, kalo lo masih khawatir." Arsal datang dengan wajah santai, seraya menunjukkan jemarinya ke depan wajahku.
Aku segera menepisnya, lantaran tidak peduli juga dengan keadaan tangannya yang memang seharusnya baik-baik saja! Lelaki itu saja yang berlebihan.
"Emang tangan lo diapain, sama Audy, Sal?" tanya Erlan.
"Biasa lah, Audy mainnya kasar."
"Wow, tangan lo diiket?" Marsha bertanya semakin penasaran.
"Apaan sih!" Aku berteriak kesal, medengar pikiran liar teman-temanku.
Arsal tertawa melihat reaksiku, seraya menuangkan minuman pada gelas kecil yang ada di meja kami.
"Oh ... ini kakak barunya Audy." Dion berusaha bergabung dalam obrolan ini, lantaran ia satu-satunya temanku yang belum berkenalan dengan Arsal.
Tidak seperti yang lain, Dion tergolong jarang ikut berkumpul di Sky Life, karena tidak terlalu suka minum. Ia hanya sesekali ikut berkumpul dengan kami jika memang terpaksa, seperti saat ini sih, karena aku sudah menemaninya kondangan.
Arsal menoleh pada Dion, lalu mengangkat alisnya pertanda bingung.
Dion segera mengulurkan tangan.
"Dion."
"Oh – gebetan Audy?"
"Bukan gebetan gue, sotoy!" tukasku sebal, lantaran Arsal yang sok tau.
"Beneran temen Audy?" Arsal memilih bertanya pada Dion. "Arsal." Lelaki itu menyambut uluran tangan Dion.
"Iya. Kenapa lo mikir gue gebetan Audy, sih?" Dion ikut mengeluh.
Kami sudah berteman cukup lama, tepatnya dari masa-masa kuliah. Kami tergabung karena beberapa moment aneh yang akhirnya membuat kamu akrab satu sama lain, lalu berlanjut hingga detik ini.
Satu-satunya yang terlibat asmara diantara kami hanya Marsha dan Erlan, mereka memutuskan berpacaran satu tahun setelah kami wisuda. Aku bahkan tidak menyadari, kapan Erlan dan Marsha saling tertarik satu sama lain.
"Makanya, Dy! Cari pacar, biar nggak dikira pacaran sama Dion." Marsha terdengar mengomporiku.
"Mau gue kenalin, sama temen gue nggak, Dy?" tawar Lunar.
"Lo aja nggak punya pacar, Lun! Pake sok mau ngenalin cowok ke gue!" Aku membalas ucapan Lunar.
Lunar hanya tertawa. "Gue 'kan karena belum nemu yang cocok."
"Ya gue juga karena lagi males aja, belum open recruitment."
Di sebelahku, Arsal terdengar tertawa pelan mendengar ucapanku. Ia tidak menyela selagi aku fokus mengobrol dengan teman-temanku.
"Sini-sini, gue aja yang ngenalin cowok buat lo berdua deh," kata Marsha. "Mau gue kenalin sama temennya Erlan, nggak?"
"Siapa?" Erlan tampak bingung sendiri, saat namanya disebut.
"Itu loh, si Tonny."
"Wota, ya?" tebak Lunar. Saat ingat Erlan tengah menggemari salah satu girl group yang ramai dengan fanboynya.
"Bukan sih, tapi wibu."
"Buset, nggak mau lah! Nanti gue disuruh cosplay jadi anime!" Aku langsung menyahut cepat.
"Ya, nggak papa. Lucu kok cosplay gitu." Marsha malah membela ide tersebut.
"Lo sering ya main cosplay-cosplay-an?" tanya Dion.
"Urusan ranjang, lo nggak usah tau!" Erlan menyahut galak.
"Wah, boleh tuh dicoba." Suara Arsal terdengar dari sebelahku.
"Nyobain sama siapa? Lo bukannya udah putus sama Rhea?" tanya Lunar.
Aku berusaha untuk tidak tersedak minumanku sendiri, saat mendengar pertanyaan Lunar dan mengantisipasi jawaban Arsal. Meski mereka sudah tahu permasalahan awalku dengan Arsal, mereka tentu tidak mengetahui bahwa aku pernah tidur lagi dengan Arsal saat status kami sudah seperti sekarang.
Untuk urusan ini, aku masih belum mampu untuk menceritakannya karena terlalu aneh.
Tanganku seketika mencubit pelan lengan Arsal, memberikan kode pada lelaki itu untuk tidak menjawab aneh-aneh di depan teman-temanku.
Aku dapat melihat Arsal berusaha menahan rasa sakit karena cubitanku, yang dibalasnya dengan pelototan dan senyum lebar ke arahku.
Padahal, bisa saja ia mencobanya dengan Nadira. Mereka sekarang sedang main selingkuh-selingkuhan, kan? Masa iya, selingkuh dengan istri orang hanya pegangan tangan.
"Duh, iya. Sama siapa, ya? Lo nggak mau ngenalin ke gue cewek wibu, Lan? Gue jadi pengen sambil cosplay juga nih."
Aku merasa sudah cukup duduk bersantai di sofa ini, sementara semakin malam, permainan musik dari DJ si anak artis ini terdengar semakin mengajak siapa pun untuk turun ke dance floor. Aku menarik Lunar untuk ikut bersamaku, lantaran Marsha sudah sibuk dengan Erlan.
Seperti ucapanku sebelumnya, Dion jarang ikut clubbing, tentu saja ia tak mau untuk diajak menari bersama. Jadi lelaki itu memilih untuk duduk-duduk saja sambil menonton kegiatan Erlan dan Marsha yang tidak layak untuk dipertontokan itu.
"Kok Arsal nggak diajak, Dy?" tanya Lunar.
"Biarin aja, temen dia 'kan banyak. Ngapain juga ngikutin gue."
"Lo lagi berantem, ya?" Lunar berteriak di dekat telingaku, selagi tubuhnya tetap bergerak mengikuti ritme musik yang menghentak.
Sebelum aku menyahuti ucapan Lunar, tubuhku tiba-tiba terdorong karena tersenggol seseorang.
Aku menoleh, lalu mendapati sosok yang paling aku benci seumur hidup.
"Ups, sori. Nggak sengaja."
Siapa lagi jika bukan Rhea si bitchy laknat berengsek yang tidak bahagia jika tidak mencari perkara denganku..
_____________
24
The Revenge
"Ups, sori. Nggak sengaja."
Siapa lagi jika bukan Rhea si bitchy laknat berengsek yang tidak bahagia jika tidak mencari perkara denganku.
"Lo sengaja ya, Anjing!" Aku balas mengomel dan mendorong tubuhnya.
"Lo sakit jiwa, ya? Kita nggak nyari masalah sama lo, ngapain sih lo cari gara-gara?" Emosi Lunar turut tersulut untuk membelaku.
"Diem, lo nggak usah ikut-ikutan!" Rhea menatap Lunar sekilas, lalu beralih ke arahku. "Audy ... Audy ... lo tuh emang hobi ya, main sama mantan gue? Jadi sekarang lo lagi nempelin Arsal?"
Aku tertawa keras mendengar ucapan Rhea. Rupanya, sejak tadi wanita itu sibuk memperhatikanku dengan Arsal yang tadi duduk bersama.
Rhea tidak terima melihatku tertawa, ia langsung menjambak rambutku secara tiba-tiba.
"Aw, fuck! Shit! Lepasin tangan lo, Bangsat!"
Lunar berusaha membantuku untuk menyingkirkan lengan Rhea dari rambutku. Hal tersebut membuat Rhea turut menjerit karena Lunar mencakar tangannya.
Thanks to Lunar yang sudah mewakiliku untuk mencakarnya, sebab sayang sekali aku baru menggunting kuku hingga tak memiliki kuku panjang untuk mencakar wanita aneh ini.
Sialnya, sudah dicakar pun, tangannya masih tak lepas dari rambutku. Akhirnya aku balas menjambak rambutnya, dan menariknya dengan kencang.
"Rhea! Audy! Kalian ngapain, sih?"
Sosok Arsal tiba-tiba menyeruak di tengah-tengah kami, lalu menatap aku dan Rhea secara bergantian.
"Aduh, Kak. Kepala aku pusing, sakit banget, hampir mau copot ini gara-gara dijambak Rhea."
Aku menyandarkan kepalaku ke lengan Arsal, seraya menggandengnya dengan penuh drama.
Arsal seolah langsung paham di detik pertama saat melihat tingkahku, aku dapat menangkapnya berusaha menahan tawa saat mendengar nada suaraku yang terdengar manja.
"Kak? Sok imut banget lo!"
Rhea menatapku tidak terima, jika di sebelahku tidak ada Arsal, tangannya sudah terlihat gatal ingin kembali mendorong pundakku.
"Coba Kak Arsal, jelasin ke mantan lo, gue ini siapa?"
"Rhe, Audy ini adik aku." Arsal mulai bersuara.
"WHAT?"
Rhea berteriak dengan wajah yang seketika shock.
Sementara aku tersenyum puas sambil melotot ke arahnya. Tanganku masih terus menggandeng Arsal, demi memanasi Rhea.
"Adik dari mana? Kalian aja belum lama kenal, kan?"
"Papa aku nikah sama Mamanya Audy. So, she's my sister."
"Kasihan banget sih lo! Gagal deh jadi kakak ipar gue." Aku mengibaskan rambut dengan penuh kepercayaan diri.
Lunar yang menyaksikan drama ini terlihat sangat menikmati dan menjadi penonton yang sibuk bertepuk tangan, saat wajah Rhea terlihat menahan malu.
"Sejak kapan? Kok aku nggak tau?"
"Ya, lo 'kan cuma mantannya Arsal! Kenapa harus tahu!" tukasku yang sedang merasa di atas awan.
"Gue nggak ngomong sama lo, ya!"
"Sssttt, udah diem. Sebelum lo makin malu, jadi kemarin tuh Arsal pacaran sama lo cuma iseng. Makanya sebentar doang."
Wajah Rhea semakin merah padam, terlebih Arsal tidak menyela ucapanku sama sekali.
Sepertinya, Arsal juga membiarkan aku terus mengompori cewek ini, lantaran ia juga tidak cinta-cinta amat saat berpacaran dengan Rhea.
Well, aku tahu Arsal memang berengsek. Tapi masa bodo, jika keberengsekannya dilakukan untuk Rhea, sepertinya sangat tepat sasaran.
Rhea pergi meninggalkan kami dengan wajah kesal dan tidak membalas ucapanku lagi.
Aku pun tertawa puas karena merasa menang telak dari Rhea yang berniat mempermalukanku part dua.
"You're welcome," kata Arsal, saat aku tak menyinggung aksinya sama sekali.
"Iya iya, thanks." Aku akhirnya mengucapkan terima kasih juga pada lelaki itu. "Tapi itu 'kan juga gara-gara lo yang emang dari awal cari masalah!" Aku menambahkan, tidak lupa dengan kejadian tadi yang justru awal mulanya karena Arsal yang banyak tingkah!
"Nanti pulang mau bareng nggak, Dy?" Arsal menawarkan.
Aku melirik ke meja tempat kami duduk tadi, lalu melihat Dion yang tengah meneguk jus jeruk pesanannya.
"Nggak deh, gue balik bareng Dion. Dia juga nggak mabok."
"Gue juga nggak mabok kok." Arsal membela diri.
"Tapi lo tadi minum, bahaya kalo bawa mobil."
"Ya, maksud gue, kita naik taksi bareng."
"Gimana nanti aja deh."
Beberapa saat kemudian, Arsal sudah menghilang entah kemana.
Lunar juga sudah menghilang ditelan lautan manusia yang semakin malam ini semakin bertambah ramai.
Sialan, aku sendirian lagi.
Aku berusaha berjalan untuk mencapai meja yang tadi aku tempati, tapi keramaian ini membuatku kesulitan untuk berjalan.
Hingga aku merasakan ada seseorang yang mendorong tubuhku dari belakang. Aku pun seketika menoleh ke belakang.
"Hey, sori-sori banget. Gue nggak sengaja."
Seorang lelaki tampak panik saat mataku sudah bereaksi untuk mengomel. Melihat wajah bersalahnya, aku pun mengurungkan niatku.
"It's okay. Emang lagi rame kok."
"Tirta."
Aku menatap tangannya yang tiba-tiba terulur, seolah mengajak berkenalan.
Aku berdecak pelan, lalu menyambutnya. "Audy."
"Lo sendiri?"
"Sama temen-temen gue, kayaknya mereka di sebelah sana. Tapi dari tadi susah banget lewatnya."
"Yuk, gue temenin ke sana."
Tiba-tiba saja lelaki itu sudah berjalan di sampingku, membantuku untuk melewati keramaian di dance floor hingga mengantarkan kami untuk sampai ke dekat bar.
Namun, aku tidak menemukan teman-temanku di meja yang kami tempati tadi. Kemana perginya mereka? Meja yang kami tempati tadi juga sudah ditempati oleh orang lain.
"Ketemu nggak, temen-temen lo?"
Aku menggeleng. Lalu memutuskan untuk duduk di salah satu kursi bar yang kosong.
Tirta pun mengikut duduk di sebelahku, lalu menawarkanku untuk memesan minuman.
"No, thanks. Gue udah minum tadi."
Aku menolak tawarannya, karena merasa asupan alkohol di tubuhku sudah cukup untuk hari ini. Aku tidak ingin terlalu mabuk, karena tidak enak terlalu sering kepergok pulang sambil mabuk oleh Papa. Maksudku, Papanya Arsal. Well, Papa tiriku.
"Just one shot?"
Tirta menaruh gelas kecil di hadapanku, lalu menuangkan whisky ke gelas tersebut.
Lelaki itu mengangkat gelasnya, seraya mengajakku untuk mendentingkan gelas kami.
Oke, satu gelas saja, tidak apa-apa.
Aku pun mengambil gelas tersebut, lalu menyambut ajakan cheersnya.
Tirta tak memaksaku lagi untuk minum, kami hanya mengobrol sekadarnya, membahas hal-hal untuk mengenal satu sama lain.
Kepalaku mulai terasa pusing. Aku pikir, efek alkohol mulai mempengaruhi tubuhku.
Aku melihat ke sekelilingku, yang mana menunjukkan suasana tempat ini semakin ramai. Pantas saja hawa di sini semakin panas, ditambah lagi dengan kepulan asap dari vape dan shisha yang dinikmati para pengunjung.
Aku mencari mengambil jepit rambut yang tertancap di tali clutch yang aku gunakan, lalu menjepit rambutku yang semula tergerai.
Udara di sekitar sini semakin terasa sesak, aku dapat merasakan napasku yang semakin tidak teratur.
"Audy, are you okay?"
Tangan Tirta tiba-tiba menyentuh bahuku, yang membuatku tersentak saat menyadari darahku berdesir pelan saat kulit kami bersentuhan.
Berengsek! Minumanku diberi obat perangsang!
Aku mengepalkan kesepuluh jariku dengan kuat, seraya berdiri dari tempat dudukku. Tanganku segera menepis tangan Tirta yang berusaha untuk menyentuhku.
"Lo ... ngasih apaan ke minuman gue?" Aku berteriak panik seraya mundur, menjauhi lelaki yang baru aku kenal ini.
"Nothing." Tirta menjawab santai, lalu tangannya kini menarik tubuhku untuk kembali mendekat.
Jantungku berdegup kencang saat tangan tersebut melingkar di pinggangku. Aku dapat merasakan tubuhku bergetar pelan, lantaran senyawa aneh yang mulai bereaksi di tubuhku.
"Maybe, we just need-"
"LEPASIN!"
Aku menarik tubuhku untuk menjauh darinya, lalu melotot kesal ke arahnya.
"Hey, Baby. Relax."
Aku menggeleng keras.
Aku tidak suka cara seperti ini.
Ini konyol. Lelaki itu dengan sengaja menaruh sesuatu di minumanku hanya untuk mengajakku tidur bersamanya? Aku tidak mau.
"Rhea bilang lo available, katanya lo suka kalo dibikin horny pake-"
Bangsat!
Rhea memang keparat!
Aku sudah enggan menanggapi lelaki tolol tadi yang rupanya diperdaya oleh Rhea, yang masih tidak terima atas kekalahannya tadi. Aku berusaha menjauh dari Tirta, yang untungnya lelaki itu tidak mengejarku lagi.
Sambil terus berlari, napasku semakin memburu saat seluruh aliran darahku terasa berkumpul pada satu titik, hingga menimbulkan gairah yang berlebihan dan memaksa untuk dituntaskan.
Dimana teman-temanku? Mengapa tidak ada yang terlihat satu pun?
"Nyari apa Audy? Nyari mantan gue, buat lo ajak tidur?"
Rhea muncul di hadapanku dengan wajah tak berdosa dan senyum lebar yang nyaris membelah wajahnya.
"Fuck you!" Aku memaki dengan kesal.
"Oh ... lo nggak mau tidur sama Tirta, karena dia bukan mantan gue? Lucu banget ya, fetish lo tuh naksir sama mantan orang."
Aku enggan meladeni Rhea sebelum aku benar-benar menjadi gila.
Cewek itu sudah gila! Aku yakin kejiawaannya pasti terganggu. Hanya karena satu perkara yang tidak aku sengaja, dendamnya padaku menjadi sepanjang ini?
Aku memilih untuk fokus mencari cara menuntaskan masalah ini. Meski kepalaku rasanya membeku dan tak mampu memikirkan apa pun.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
