SATU SISI

0
0
Deskripsi

"Itu bukannya Lira, adiknya Kak Johan?" Rendy berkata setelah dekat.

Andreas tak begitu menanggapi karena masih sibuk membuka pembungkus permen pemberian Lira tadi dan segera mengulum permen itu sambil memegangi tangkai plastiknya.

"Anda tidak berbuat macam-macan lagi, kan?" Rendy menatap khawatir pada lelaki bermata sipit yang masih santai memainkan permen dalam mulutnya, membuat pipinya mengelembung sebelah.

"Macam-macam apa?" Kening Andreas berkerut menatap lelaki yang berdiri di sampingnya.

Kening...

"Itu bukannya Lira, adiknya Kak Johan?" Rendy berkata setelah dekat.

Andreas tak begitu menanggapi karena masih sibuk membuka pembungkus permen pemberian Lira tadi dan segera mengulum permen itu sambil memegangi tangkai plastiknya.

"Anda tidak berbuat macam-macan lagi, kan?" Rendy menatap khawatir pada lelaki bermata sipit yang masih santai memainkan permen dalam mulutnya, membuat pipinya mengelembung sebelah.

"Macam-macam apa?" Kening Andreas berkerut menatap lelaki yang berdiri di sampingnya.

Kening Rendy ikut berkerut dalam menatap orang yang selalu ia panggil Tuan Muda itu.

"Ayo, ikut aku!" Andreas turun dari kap mobil sport-nya.

"Biar saya yang menyetir." Rendy sudah menodongkan tangannya meminta kunci.

"Sudah, masuk sana!" Andreas menolak dan memberi isyarat tangan agar lelaki yang masih memakai kemeja kotak-kotak cokelat-hijau tua dirangkap jas almamater biru tua itu masuk ke mobil

"Tapi, semalam Anda baru saja ma ...." Rendy tak melajutkan kalimatnya karena Andreas yang sudah lebih dulu masuk ke mobil dan segera menyalakan mesin mobil sport-nya yang langsung mengeluarkan suara khas.

Rendy menghela napas panjang. Dengan terpaksa, ia masuk dan duduk di sebelah Andreas yang akan menyetir.

"Pelan-pelan saja, tidak usah cepat-cepat, Tuan Muda." Rendy berkata masih dengan wajah khawatirnya.

"Kau pikir aku anak kecil?" Andreas menoleh ke arahnya tidak terima. Segera diinjaknya pedal gas dan mobil sport mewah itu sudah melesat lurus menuju jalan raya.

Wajah Rendy menegang saat berkali-kali Andreas membunyikan klakson mobil dan berjalan zig-zag melewati kendaraan-kendaraan lainnya yang berada di jalan raya tersebut.

Alamat kena tilang lagi sepertinya .... Rendy berkata dalam hati sambil melihat ke arah Andreas yang terlihat senang mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi dan berhasil melewati mobil-mobil lainnya.

"Di depan sana ada lampu merah. Anda ...." Rendy tak melanjutkan kata-katanya karena Andreas yang sudah keburu melanggar lampu merah dan hampir saja menabrak motor dari arah berlawanan. Ulah Andreas itu juga memancing pengendara lain sehingga saling bersahutan membunyikan klason, membuat jalanan itu ramai dan kacau.

Rendy sampai menahan napas sambil memegangi atap mobil karena kejadian itu. Namun, si biang keladi yang menyebabkan nyawa mereka hampir saja melayang itu malah tertawa terbahak-bahak.

"Besok, pasti sudah akan ada surat tilang yang datang." Rendy tampak menyesal saat mereka sudah berbelok di sebuah jalan yang tidak begitu ramai.

"Seperti biasa ... bayar saja berapa." Andreas menajawab enteng tanpa menoleh ke arahnya.

"Anda selalu menggampangkan segala sesuatu. Bagaimana kalau Tuan Besar sampai tahu?" Kening Rendy berkerut menatapnya.

"Mana sempat Papa mengurusi hal remeh seperti surat tilang?" Andreas terkekeh.

Rendy terdiam mendengarnya.

"Pokoknya, kau tinggal tutup mulut, diam, dan ikut aku." Andreas menoleh sebentar ke arahnya, sebelum fokus kembali ke depan.

Rendy menyandarkan punggungnya pada jok mobil sambil menghela napas panjang.

"Ngomong-ngomong ... akan ke mana kita?" tanyanya karena ia baru sadar jika itu bukan jalan menuju rumah.

"Ke club, ada Brian di sana," jawab Andreas tanpa menoleh ke arahnya.

"Apaa?" Mata Rendy membukat memandang orang yang diakui sebagai saudranya tersebut. "Ini masih siang. Semalam, Tuan Muda juga baru saja dari club. Masa’ ini mau ke sana lagi?" Rendy tak habis pikir.

"Club yang ini beda dari yang semalam. Ini punya teman si Brian dan wajib hukumnya kalau aku harus ke sana." Andreas menerangkan dengan pandangan tetap fokus ke depan.

"Tapi, Tuan Besar ...."

"Papa, kan, sedang dinas ke luar negeri. Paling enggak, bulan besok baru pulang," potong Andreas. Ia menoleh sebentar ke arah Rendy lalu fokus lagi menyetir dan melihat depan. "Asal kau bisa jaga mulut, semua bisa diatur, kan?" Ia tertawa.

Rendy hendak protes, tapi akhirnya diurungkan niatnya saat orang yang dipanggilnya Tuan Muda itu sudah menginjak gas dan kembali menjalankan mobil sport itu dengan kencang, saat mereka kembali melewati jalan raya yang padat oleh kendaraan lain. Dan seperti tadi, Andreas dengan Mobil Ferrari 488 Pista-nya kembali membuat lalu lintas kacau dengan melanggar lampu lalu lintas.

***

Malam sudah menunjukkan pukul Sembilan. Lira yang memakai baju tidur berbentuk dress selutut lengan panjang warna putih berenda pada bagian bawah dengan belahan dada yang cukup rendah, mengetuk pintu kamar Johan lalu membuka sendiri pintu itu.

"Kak?" panggil Lira. 

Johan yang memakai kacamata dan sedang duduk di depan meja belajar, menoleh ke arahnya. 

"Ah ... untunglah Kakak belum tidur." Lira tersenyum dan berjalan ke arah kakaknya.

"Ada apa, Lir?" Johan meletakkan pulpen dan menyandarkan punggung pada kursi belajarnya.

"Yang tadi siang ... Kakak serius?" tanya Lira setelah duduk di pinggir ranjang Johan dan menghadap ke arah kakaknya.

"Tadi siang?" Dari balik kacamatanya, Johan memicing tak mengerti.

Lira tampak gelisah. Ia menautkan jari-jari tangannya di pangkuan dan berkali-kali menggigit bibir bawahnya.

Melihat sikap adik tirinya, Johan memutar kursi belajarnya dan menghadap ke arah Lira sepenuhnya.

"Soal temanmu itu?" Johan tersenyum lebar.

Lira mengangkat wajahnya yang tadi tertunduk lalu melihat ke arah kakak tirinya yang mengenakan kacamata. Johan memang selalu mengenakan kacamata jika sedang membaca ataupun belajar karena dia mempunyai mata minus. Namun, pesonanya malah bertambah berkali-kai lipat dengan tambahan kacamata itu.

"Aku ... aku setuju Kakak dengan Anya ... berpacaran," ucap Lira lirih.

Mata Johan membulat mendengar apa yang Lira katakana. Namun, itu hanya sesaat sebelum ia terkekeh sambil memegangi perut.

Lira menggigit bibir bawahnya dengan kening yang berkerut. Sebenarnya, ia tidak yakin dengan keputusannya ini, tapi saat tadi siang bertemu Andreas, itu makin menegaskan rasa sukanya kepada lelaki berwajah oriental tersebut. Dan Anya, gadis itu satu-satunya orang yang bisa mendekatkannya pada Andreas.

"Astagaa, Lir." Johan tertawa sambil membuka kacamata dan mengusap matanya yang berair karena begitu geli.

"Kakak ... beneran, kan, nggak berpacaran dengan Kak Sonia?" Lira memastikan. Ia suka aneh dengan cara tertawa kakaknya yang bisa meremangkan bulu kuduknya. Namun, ia mengabaikan itu dan menganggap memang begitulah cara tertawa kakaknya.

"Benar," jawab Johan setelah berhenti tertawa. Dipandangi adiknya yang tampak lega. "Kau ingin aku berpacaran dengan temanmu itu?" Ia bertanya.

Kembali Lira menggigit bibir bawahnya sambil meremas-remas jari-jarinya yang saling tertaut di pangkuan.

"Ka–katanya, Kakak minta pendapatku?" Lira berkata setelah menunduk dan terdiam beberapa saat. Kini, ia mengangkat wajah dan memandang ke arah kakak lelakinya yang duduk santai sambil sesekali memutar kursi belajar.

"Itu juga benar." Johan tersenyum lebar.

"Jadi?" Lira memastikan.

"Oke, aku akan menerima temanmu itu jadi pacarku." Johan berkata ringan.

***

Sementara itu, di sebuah club malam, Andreas dan seorang teman lelakinya yang berambut pirang dengan wajah bule sedang menari dikelilingi beberapa perempuan berbaju ketat. Dengan hanya sekali lihat, mereka bukan perempuan baik-baik.

Lantai dansa itu penuh sesak dengan orang-orang yang sedang melepas stress dengan menari di bawah guyuran sorot lampu warna-warni dan alunan musik. Seorang DJ yang berdiri di atas podium, meracik musik yang mengentak dan membuat para penikmat musik ingin bergoyang. Rendy yang duduk di sofa dekat lantai dansa itu tampak memijat-mijat kening yang berdenyut pusing karena suara musik yang begitu keras menyapa telinganya.

Diperhatikan si tuan muda yang masih asyik menari dan tertawa bersama teman-temannya. Pandangan Rendy teralih pada meja yang dipenuhi minuman keras dan puntung rokok. Lelaaki itu menghela napas panjang. 

Sepertinya, malam ini aku harus menggendong orang mabuk lagi. Rendy mengeluh dalam hati.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya HUBUNGAN
0
0
Anya melompat kegirangan saat Johan datang bersama Lira dan mengatakan bahwa mulai hari ini, mereka berpacaran.Pacarkuu! Anya memeluk Johan dan mengalungkan kedua lengannya pada leher pacar barunya itu.Lira meringis melihat tingkah temannya. Namun, memamg ada untungnya Johan sekarang berpacaran dengan Anya. Kakaknya yang suka menguntit dan tidak membolehkannya ini dan itu, sekarang lebih sering bersama Anya.Ralat, Anya yang sering datang menemui Johan, sehingga mau tidak mau, lelaki itu harus menuruti kemauan manjanya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan