KIRANA #1-10

0
0
Deskripsi

FREE BAB 1 - BAB 10

BAB 1

Gundukan tanah dengan bertabur bunga yang masih segar, tak kuasa rasanya Kiran meninggalkan tempat ini. Tempat di mana jasad orang yang dia sayangi telah disemayamkan.

"Kiran ...." Sebuah tepukan dibahu membuat Kiran mendongak. Wanita lima puluh lima tahun itu dengan wajah sendunya berdiri disamping Kiran.

"Ayo kita pulang," ajak wanita itu lagi.

"Tapi, Bun ... Kiran masih ingin di sini bersama Ayah." Kiran kembali terisak. Bagaimana tidak sedih jika ayah yang sangat ia cintai telah tiada dan meninggalkan dia untuk selama-lamanya.

"Mendung, Nduk. Mau hujan. Ayo, kita pulang." Wanita yang dipanggil Bunda oleh Kiran masih berusaha membujuk putrinya.

Kiran menatap langit, tampak awan hitam bergelung, sebentar lagi pasti akan turun hujan. Kiran berdiri, sekali lagi melihat pusara sang ayah. Air mata kembali membasahi pipi mulusnya. Bunda merangkul bahu Kiran dan membawanya meninggalkan pusara sang suami.

***

Tak terasa tujuh hari sudah lelaki yang Kiran sebut Ayah meninggalkan mereka semua. Rasanya seperti mimpi, lelaki yang selalu ada untuk keluarganya sekarang telah pergi untuk selama-lamanya. Andai saja waktu bisa diputar kembali pasti Kiran akan menjaga ayahnya dan tidak akan memilih untuk meninggalkan lelaki yang ia cinta demi sebuah karir. Kiran baru tahu jika ayahnya menderita paru-paru kronis sekitar empat bulan lalu. Pantas saja selama ini ayahnya selalu meminta padanya agar tak pergi ke Ibukota. Tapi Kiran dengan segala keegoisannya lebih memilih karir ketimbang keluarga.

Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Kiran tak bisa lagi mengembalikan Ayahnya ke dunia ini. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah mendoakan agar ayahnya tenang di surga.

"Nduk ... sejak tadi Bunda perhatikan kamu melamun terus.” Kiran segera mengusap air mata yang entah kenapa tiada habisnya. Sejak seminggu yang lalu air mata itu tak henti mengalir. Terlalu sedih dan seolah tak bisa menerima kenyataan hidup.

"Bunda ... Kiran rindu Ayah," ucapnya kembali terisak di pelukan Bunda.

Bunda ikut menangis bersama sang putri tercinta.

"Nduk, ikhlaskan kepergian ayahmu. Beliau sudah tenang di surga-Nya."

Kiran salut dengan Bunda, meski ia juga tahu jika beliau sangat bersedih dan merasa kehilangan sosok pendamping hidup, tapi beliau mampu tegar menghadapi cobaan terberat dalam hidup mereka.

"Iya, Bun. Kiran berusaha ikhlas. Kiran sadar hidup dan mati di tangan Allah. Bunda ... Kiran sayang Ayah dan Bunda. Maafkan Kiran karena selama ini belum mampu membahagiakan kalian."

"Hush, tidak boleh berkata begitu. Kamu itu kebahagiaan Ayah dan Bunda.

Kiran kembali memeluk Bunda.

"Nduk, ayo kita ke luar." Kiran mendongak menatap Bunda.

Lalu Bunda melanjutkan berbicara, "Ada yang ingin bertemu dengan kamu." Kali ini Kiran mengernyit.

"Bertemu Kiran? Siapa, Bun?" tanyanya dengan wajah bingung.

"Ayo kita ke luar dulu. Nanti kamu pasti tahu."

Kiran menuruti Bunda. Berjalan keluar dari kamar. Tiba di ruang tamu tampak sepasang suami istri yang Kiran perkirakan usianya tak jauh beda dari Bunda dan almarhum ayahnya. Kiran ingat pernah bertemu mereka. Tepatnya saat acara tahlil tiga hari meninggalnya sang ayah. Waktu itu Kiran tak sempat berbincang banyak. Hanya sekedar menyapa mereka. Kala itu Bunda mengatakan jika mereka berdua adalah sahabat mediang ayahnya.

"Kiran! Ayo duduklah."

Kiran yang sedari tadi berdiri tersenyum kikuk ke arah mereka, setelahnya ia ikut duduk di samping Bunda.

"Kiran masih ingat kan dengan om Arman dan tante Rania?" Ucapan Bunda yang ia tanggapi dengan seulas senyuman. Oh, jadi namanya Om Arman dan Tante Rania, batin Kiran dalam hati.

"Iya, Bun. Kiran masih ingat."

"Kiran ...." Suara berat lelaki paruh baya itu menarik perhatian Kiran. Dia menatap lelaki bernama Arman yang tersenyum sebelum melanjutkan ucapannya.

"Dulu saya dan mendiang ayahmu adalah teman satu office. Mungkin kamu sudah lupa pada kami berdua karena usiamu saat itu kalau tidak salah baru sekitar ... eum... satu tahun kalau tak salah. Benar begitu Mbak Risma?" Arman menatap Risma yang tak lain adalah nama dari bundanya Kiran, meminta pembenaran atas ucapannya. Risma mengangguk.

"Iya, benar sekali Mas Arman. Kala itu Kiran baru satu tahun saat Mas Arman dan Mbak Rania pindah."

"Kiran ... kami dulu suka sekali membawamu ke rumah kami. Apalagi jika Bundamu sedang bepergian pasti Tante dengan senang hati akan menjemputmu." Rania tersenyum mungkin sedang mengingat masa lampau.

"Kiran tidak ingat. Maaf ," jawab Kiran yang memang benar-benar tak ingat kejadian masa kecilnya dulu.

"Wajar jika Kiran tidak ingat. Satu tahun itu kan masih kecil sekali. Tante tak menyangka jika sekarang Kiran tumbuh menjadi wanita yang sangat cantik. Seandainya Anya masih hidup pasti sekarang sama cantiknya dengan Kiran." Wajah Rania berubah sendu. Kiran bertanya dalam hati, siapa Anya itu.

 

"Kiran .... " Kiran menoleh kembali pada Arman.

"Dulu kami punya anak perempuan. Namanya Anya. Usianya lebih tua satu tahun dari kamu. Tapi Tuhan lebih sayang pada anak perempuan kami. Karena tepat saat usia Anya satu tahun, Tuhan memanggilnya."

Kiran terkejut mendengar penuturan Arman. Risma mengelus pundak putrinya. Kiran meolehkan kepala ke samping, tampak wajah sendu bundanya. Pasti saat itu Arman sangat sedih. Sama seperti apa yang Kiran rasakan saat ini. Kehilangan orang yang sangat kita cintai.

"Anya terkena demam berdarah. Kami sebagai orangtuanya dan dokter sebagai tenaga medis sudah berusaha, tapi nyawa Anya tidak dapat tertolong. Anya meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Tepat satu bulan pasca meninggalnya Anya, bundamu melahirkan seorang putri yang sangat cantik. Dulunya kami ini tinggal bersebelahan. Seolah Tuhan tahu jika kami sangat kehilangan Anya. Pada akhirnya Tuhan mengirimkan seorang Kirana Larasati. Gadis kecil yang sangat cantik tidak hanya sebagai kebahagian bagi keluarga Mas Rafli dan Mbak Risma, tapi juga sebagai kebahagian kami berdua." Arman tampak berkaca-kaca saat menceritakan masa lalunya. Tangannya menggenggam erat tangan Rania, sang istri tercita.

"Dengan kehadiranmu mampu menghilangkan sedikit kesedihan kami karena ditinggalkan oleh Anya. Namun, ternyata hanya satu tahun kami diberi kesempatan untuk berbahagia dengan kehadiranmu. Saat itu Om mendapat tugas pindah keluar pulau. Om tak dapat mengelak dan harus menerima. Akhirnya kami berdua pindah meninggalkanmu dan kedua orangtuamu. Pada awal awal kepindahan, kami masih sering berkirim kabar lewat surat. Maklumlah jaman dahulu belum ada handphone seperti sekarang." Arman terkekeh.

"Tapi lama kelamaan hubungan kita merenggang karena kesibukan masing-masing. Apalagi sejak Om memutuskan resign dari pekerjaan dan memilih untuk memulai bisnis sendiri, Om sudah tak sempat berkirim kabar dengan keluargamu karena Om terlalu sibuk mengurus bisnis baru. Hingga tak terasa sudah dua puluh enam tahun kami tak pernah lagi bertemu. Namun, ada satu hal yang masih menjadi ganjalan bagi kami." Setelah mengatakan itu Arman menoleh pada istrinya sebelum melanjutkan apa yang ingin beliau sampaikan.

"Dulu kami sempat berjanji pada Ayah dan bundamu, jika Om mempunyai anak lelaki maka Om akan menjodohkannya denganmu Kiran."

Kiran terdiam berusaha mencerna perkataan Arman. ‘Tunggu! Apa yang Om Arman tadi katakan. Perjodohan.’ Tanya dalam benak Kiran.

"Doa Tante dan Om terkabul. Pada akhirnya kami mempunyai seorang anak lelaki." Kini Kiran melihat pada Rania. Wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik itu tersenyum kepadanya.

"Kiran ... Om pernah sekali datang ke rumah lama Om yang dulu bersebelahan dengan rumah kalian. Tapi hasilnya nihil. Ternyata kalian sudah pindah juga.”

"Mas Arman, maafkan kami dulu tak sempat memberitahu kalian tentang kepindahan kami. Waktu itu mas Rafli di mutasi ke daerah. Jadi rumah lama itu kami jual," ucap Risma pada Arman dan Rania.

"Risma, mungkin ini sudah takdir kita untuk dipertemukan kembali. Jika saja aku tak berada di kota ini untuk mengantar klien-ku yang terkena serangan jantung, mungkin saat ini kita belum bertemu kembali."

"Iya, Mas Arman benar sekali. Semua ini karena kuasa-Nya. Setelah sekian lama akhirnya kita dapat dipertemukan kembali." Risma menimpali.

"Kiran!"

"Iya, Om."

"Kamu bersedia mengabulkan semua janji Om pada almarhum ayahmu?"

Kiran tergagap. Apa yang harus ia jawab. Menikah? Memang umur Kiran sudah dua puluh tujuh tahun dan sudah saatnya ia untuk menikah. Namun, entahlah hingga detik ini belum ada keinginan Kiran ke arah sana. Bukan dia tidak laku, saat ini Kiran memang enggan dekat dengan seorang lelaki. Juga belum terbersit di benaknya untuk menjalin hubungan yang lebih serius ke jenjang pernikahan. Kiran masih ingin berkarir. Targetnya menikah paling tidak diusia dua puluh sembilan tahun atau selambatnya tiga puluh tahun. Itu pun jika hatinya bisa berdamai dengan keadaan. Namun, sekarang apa? Dia akan dijodohkan dengan anak lelaki Arman. Dan ini melibatkan janji Arman pada ayahnya.Kiran pusing. Ia pun juga bingung. Bagaimana Kiran bisa menolaknya.

‘Ayah ... apa yang harus Kiran lakukan sekarang?’ batin Kiran berteriak.


 

BAB 2

Memarkir motor sport merah kesayangannya di dalam garasi rumah. Baru juga menginjakkan kaki di ruang tamu, Papa dan Mama sudah menatapnya tajam. Beberapa hari ini Elang memang sering pulang terlambat apalagi sejak beberapa hari lalu papa dan mamanya tidak ada di rumah. Jadilah Elang merasa bebas tanpa harus dicerca berbagai macam pertanyaan terutama dengan papanya. Airlangga Putra Pradipta, pemuda berusia dua puluh dua tahun anak tunggal Arman dan Rania. Biasa disapa Elang oleh teman dan keluarganya.

"Malam, Pa ... malam, Ma." Elang menyapa kedua orang tuanya lalu duduk di sebelah Rania dan mencium pipi wanita yang telah melahirkannya dua puluh dua tahun yang lalu.

 

"Dari mana saja kamu? Kenapa baru pulang. Kamu tahu sudah jam berapa ini?" Arman menatap tajam putranya.

Memang sekarang sudah lewat dari jam sebelas malam. Seperti biasa Elang terlalu lalai jika sudah berkumpul bersama dengan teman-temannya. Elang adalah pemuda yang hobi clubbing juga terkadang ikut balap liar. Jika saja Arman tahu hobi putranya yang satu ini sudah bisa ia pastikan beliau akan sangat murka. Untung saja selama ini Elang bisa menyembunyikannya dengan rapi semua yang sering ia lakukan dari Papa dan mamanya.

Elang tahu apa yang dia lakukan itu tidak benar, tapi bagaimana pun juga itu sudah menjadi salah satu hobinya. Touring keliling daerah hingga berhari-hari tak pulang juga sering Elang lakukan. Ah, namanya masa muda harus dinikmati sepenuhnya. Jika tidak Elang bisa menyesal nantinya. Karena jika sudah menikah dan berkeluarga mana mungkin dia bisa seperti ini.

"Elang! Kenapa diam. Jawab Papa. Dari mana kamu?" tanya Arman dengan nada sedikit meninggi karena sedari tadi putranya hanya terdiam larut dengan pemikiran sendiri.

"Aku hanya pergi ke rumah teman, Pa," jawabnya acuh.

"Rumah teman? Heh!" Arman mencibir.

"Nge-trek lagi? Clubbing? Balap liar, apalagi hah!"

Bagaimana papanya bisa tahu semua kelakuannya. Pikir Elang dalam hati. Elang hanya bisa mengangguk menjawab apa yang Arman tanyakan.

"Astaga, Elang! Kapan akan lulus kuliah jika kau masih saja suka bersenang-senang. Papa ini sudah tua. Sudah saatnya kau menjadi penerus papa."

"Papa! Elang itu masih ingin menikmati masa muda. Elang masih ingin bersosialisasi dengan teman-teman Elang."

"Ya, Tuhan Elang! Mau sampai kapan, hah?!"

"Elang masih dua puluh dua tahun, Pa."

"Lalu ...."

"Masih banyak waktu untuk Elang."

"Tidak! Papa tidak akan lagi memberikan kamu dispensasi. Seharusnya tahun ini kamu bisa lulus. Tapi apa? Skripsi saja kamu telantarkan."

"Beri aku waktu, Pa."

"Sekali Papa katakan tidak ya tidak. Dengarkan Papa, Elang! Ada sesuatu yang harus Papa sampaikan padamu."

Elang mengernyit. Sepertinya hal serius yang ingin papanya sampaikan.

"Elang ... satu minggu yang lalu saat Papa dan Mama bertemu dengan klien di luar kota, tiba-tiba klien Papa terkena serangan jantung. Papa dan Mama membawanya ke rumah sakit. Dan di Rumah Sakit itu Papa tak sengaja bertemu dengan kawan lama Papa. Namanya Rafli."

Arman menjeda ucapannya. Mengembuskan napas berat.  Elang masih menanti kelanjutan cerita papanya.

"Rafli adalah sahabat baik Papa. Dulu rumah kita bertetangga. Tapi sejak Papa pindah ke kota, Papa sudah tidak pernah bertemu kembali dengan Rafli. Lebih dari dua puluh lima tahun kami berpisah. Dan kemarin saat Papa bertemu dengannya, kondisi Rafli sangat memprihatinkan. Rafli mengidap penyakit paru-paru kronis. Kondisinya sudah memburuk." Arman sempat meneteskan air mata sebelum mengusapnya dan kembali melanjutkan ceritanya.

"Papa sempat berbincang sedikit dengannya karena kondisi Rafli yang sudah kritis. Dan kamu tahu Elang. Dulu Papa pernah mepunyai janji pada Rafli. Janji yang harus Papa tepati. Tapi sayangnya Tuhan lebih sayang pada sahabat papa itu karena pada akhirnya Rafli tak bisa bertahan hidup. Dia meninggal disaat Papa dan Mama sedang bersamanya."

"Sabar, Pa.” Rania mengusap pundak suaminya. Terlihat sekali jika Arman sangat bersedih.

"Elang. Dulu mamamu sangat terpukul sejak kepergian kakakmu, Anya. Dan berkat Rafli perlahan kesedihan kami terobati karena kehadiran Kirana, anak perempuan Rafli dan Risma. Hingga pada saat Papa harus pindah dan meninggalkan keluarga Rafli, Papa dan Mama berjanji jika kelak mempunyai anak lelaki maka kami akan menjodohkannya dengan Kirana.

Mengenai Anya, Arman dan Rania memang pernah menceritakan pada Elang. Anak perempuan mereka yang meninggal di saat masih berusia satu tahun. Dan mereka harus menunggu lima tahun lamanya barulah mendapatkan Elang. Anak lelaki satu-satunya di keluarga mereka. Elang berpikir sejenak. Berarti yang dimaksud oleh papanya adalah dia sendiri. Airlangga Putra Pradipta yang akan dijodohkan dengan anak sahabat papanya.

"Pa ... apa sebenarnya maksud Papa?" tanya Elang penasaran.

"Elang, anak perempuan Rafli itu kerja di kota. Sebenarnya almarhum Rafli sangat khawatir melepas anak perempuan satu-satunya untuk hidup di Ibukota seorang diri. Namun, nyatanya Kiran tetap keukeh dengan pendiriannya. Meski ayahnya khawatir karena anak gadis satu-satunya harus hidup terpisah dengan kedua orangtuanya, tanpa pengawasan. Dan sebelum Rafli menutup mata untuk selama-lamanya, Papa berjanji padanya untuk menjaga anaknya. Sekaligus Papa ingin mewujudkan janji Papa dulu untuk menikahkan Kiran dengan kamu, Elang. Anak lelakiku."

"Tidak, Pa. Menikah? Papa jangan bercanda."

"Elang, kamu adalah anak Papa satu-satunya. Jadi Papa mohon sama kamu untuk membantu Papa menepati janji pada almarhum Rafli. Jangan jadikan Papa sebagai orang munafik yang mengingkari janjinya sendiri."

"Pa ... apa Papa lupa jika Elang masih kuliah. Elang masih sangat muda untuk menikah. Biarlah Elang menikmati masa muda Elang dulu, Pa. Jangan paksa Elang dengan janji konyol Papa itu."

"Janji konyol kamu bilang? Heh! ... Oke baiklah. Jadi kamu menolaknya?"

"Iya,Pa. Elang tidak bisa."

"Jika kamu menolaknya maka dengan berat hati Papa akan mencoretmu dari daftar ahli waris tunggal keluarga."

"Apa? Papa jangan bercanda."

"Papa tidak bercanda. Papa serius. Sangat serius, Elang."

"Lalu ... kenapa Papa tega mencoret nama Elang dari keluarga."

"Elang, Papa tega karena kamu juga tega pada Papa."

"Oh, Papa balas dendam pada Elang hanya karena sebuah perjanjian perjodohan."

"Bagi Papa janji adalah hutang yang wajib Papa bayar."

"Dan Elang lah alat untuk Papa membayar hutang. Begitu?"

"Iya."

"Pa ... Argh .... " Elang beranjak berdiri dan berlalu meninggalkan papa dan mamanya.

Demi sebuah perjanjian konyol, papanya harus mengorbankannya. Anak kandungnya sendiri.

Mana bisa papanya berbuat seperti itu, akan mencoret dia dari daftar ahli waris tunggal. Huft, bukannya Elang takut tidak mendapatkan harta warisan papanya. Toh, meskipun tanpa harta warisan Elang yakin masih bisa hidup dari usahanya. Meski usahanya terbilang masih kecil, hanya bengkel modifikasi yang ia dirikan bersama teman-temannya, tapi Elang yakin mampu menutupi biaya hidupnya sendiri.

Yang membuat Elang khawatir hanya satu, Bagaimana jika sampai harta warisan papanya jatuh pada orang yang tidak tepat. Semisal pada wanita anak sahabatnya itu yang akan dijodohkan dengan dia. Sungguh Elang tidak rela.

Berpikir sejenak dan mungkin menerima perjodohan yang telah dirancang papanya tak ada salahnya. Hanya menikahi gadis anak sahabatnya itu saja. Setelahnya Elang masih bisa bebas menjalani hidup seperti biasa. Dan jangan salahkan jika Elang akan membuat hidup gadis itu menderita bagai di neraka. Salah sendiri kenapa mau-mau saja dijodohkan dengannya. Dipikirnya ini jaman Siti Nurbaya yang apa-apa harus ikut kata orang tua.


 

BAB 3

Mata Kiran membulat sempurna mendapati lelaki yang telah melafalkan ijab qabul untuknya lima menit lalu. Jauh dari pemikirannya. Kiran sedang dituntun oleh Mira, saudara sepupu dari bundanya. Baru melihat punggungnya saja Kiran sudah bisa menebak jika lelaki yang telah menikahinya ini sangatlah jauh dari lelaki impiannya.

Dulu Kiran sering bermimpi akan dinikahi oleh seorang pria mapan, rupawan dengan postur tinggi, punggung tegap dan wajah yang tampan. Sama persis seperti kisah yang sering ia baca di novel romance. Namun, kenyataannya sangatlah jauh dari kriteria yang Kiran inginkan. Terlebih saat Kiran telah berhasil duduk di sebelah lelaki itu. Berusaha menelan ludah dengan susah payah saat Kiran harus mencium punggung tangan lelaki untuk yang pertama kali. Astaga, Kiran harus menerima kenyataan dinikahi oleh bocah ingusan seperti ini.

Meski Kiran akui lelaki yang telah sah menyandang gelar suaminya ini memiliki wajah yang tampan, tapi tetap saja dia merasa seolah tengah bersanding dengan adiknya sendiri. Wajah suaminya jelas menunjukkan jika usianya masih sangat muda. Tubuhnya tinggi dan sedikit kurus.

Berusaha memaksakan senyum kala beberapa tamu undangan satu persatu memberikan ucapan selamat.

"Ecie ... dapat daun muda," bisik Mira di telinga Kiran membuatnya mendelik tidak suka. Pasti saudara sepupunya itu sedang menertawainya. Mira itu usianya dua tahun di bawah Kiran dan bulan depan dia juga akan menikah.

"Sialan, kaj! Awas saja, ya." Kiran menggeram akan candaan sang sepupu.

Mira terkekeh dan meninggalkan Kiran begitu saja. Tidak tega juga jika terus menerus menggoda Kiran.

Memang salah Kiran juga yang tidak mengenali calon suami sendiri. Bahkan fotonya pun ia tak pernah melihat sebelumnya. Dan di hari pernikahannya ini adalah di mana untuk pertama kali Kiran bertemu dengan Airlangga Putra Pradipta. Anak lelaki satu-satunya dari Arman dan Rania.

Teringat seminggu yang lalu kala Arman meminta untuk memenuhi janji pada mendiang ayahnya. Tak kuasa Kiran menolak. Dan demi ayahnya pula Kiran mengiyakan semua perjodohan yang telah dirancang oleh Arman. Hanya dalam waktu satu minggu pula kini status Kiran telah berganti. Bukan single lagi melainkan seorang istri dari bocah bernama Airlangga atau Arman sering menyebut namanya Elang.

***

Kiran terjengit kaget karena tiba-tiba bocah itu sudah masuk ke dalam kamar tanpa izin pula. Dan dengan santainya duduk di atas ranjang miliknya. Kiran yang sedang membersihkan make-up di wajah hanya meliriknya sekilas melalui ekor mata. Acara pernikahan sudah selesai dua jam yang lalu. Hanya acara sederhana mengingat keluarga Kiran masih berduka karena kepergian ayahnya.

Berusaha mengacuhkan kehadiran Elang saat dengan santai pria itu melepas kemejanya. Kiran masih bisa melihat pantulan diri pria itu dari cermin di hadapannya. Huft, untung saja bocah itu masih memakai kaos di balik kemeja putihnya, kata dalam benak Kiran. Dan tanpa permisi Elang sudah berbaring tengkurap di atas ranjang milik Kiran.

Astaga, dasar bocah. Tak hanya wajahnya saja yang terlihat muda tapi kelakuannya juga sangat kekanak-kanakan. Seharusnya sebelum menguasai ranjang, dia minta izin dulu padanya sebagai pemilik. Tapi ini apa, main tidur sembarangan di ranjang orang. Tanpa izin juga. Kiran terus saja menggerutu akan sikap dan tingkah laku Elang.

Kiran terpaksa mengalah, keluar dari dalam kamar mendapati Bunda yang masih membereskan beberapa barang.

“Belum tidur kamu, Nduk?" Risma sedikit kaget yang melihat Kiran sudah berada di sampingnya.

"Belum, Bun. Belum ngantuk. Bunda sebaiknya segera istirahat. Ini biar besok kita bereskan lagi," pinta Kiran pada Risma.

"Ya, sudah kalau begitu Bunda ke kamar dulu. Capek juga ternyata." Risma terkekeh dan beranjak berdiri.

"Bun!" Kiran memanggil.

Risma menoleh mendengar panggilan Kiran.

"Ada apa?" tanya Risma mendapati anaknya menggigit bibir ingin berkata sesuatu tapi tampak ragu.

"Eum ... Kiran ... Kiran boleh tidak untuk malam ini tidur dengan Bunda."

"Tidur dengan Bunda? Loh, mana bisa begitu. Lha ... terus suamimu?"

"Bocah itu sudah tidur, Bun."

"Hush, sembarangan. Bocah itu suamimu, Nduk. Lagian jangan manggil gitu, tidak baik. Meski masih muda, tapi Elang itu sudah sah menjadi suamimu. Suami yang harus Kiran hormati karena bagaimana pun seorang suami itu lebih tinggi derajatnya dibanding istri."

"Iya, Bunda. Kiran tahu. Tapi, malam ini saja, ya, Bun. Kiran boleh tidur bareng Bunda?"

"Sudah menikah kok ya masih manja sama Bunda. Yo, wis malam ini saja. Hanya satu malam ini saja. Selanjutnya kamu tetap harus tidur bareng suamimu. Dosa nanti meninggalkan suami tidur seorang diri."

"Habisnya satu ranjang dipakai sendiri. Salah siapa coba Kiran tak disisain tempat."

"Oalah, Nduk. Ya, sudah ayo tidur di kamar Bunda."

"Terima kasih, Bunda. Kiran sayang Bunda." Kiran mengecup pipi Bunda sekilas sebelum merangkul lengannya masuk ke dalam kamar.

Malam ini setelah beberapa malam Kiran tak dapat memejamkan mata. Bayangan ayah selalu saja berada dalam benak Kiran. Kini, tinggal dia berdua bersama bundanya. Tak lagi ada Ayah yang menemani.

Kiran membaringkan tubuh di samping bundanya. "Nanti jika Kiran kembali ... Bunda tidak ada teman di rumah ini. Bunda ikut Kiran saja tinggal di kota."

Risma menghadap pada Kiran. Mengusap lembut kepala putrinya. "Tidak usah, Nduk. Biarlah Bunda tetap tinggal di sini. Menemani almarhum ayah di sini."

"Bunda ... jika Bunda di sini sendiri bagaimana? Bunda tidak ada teman nantinya."

"Nduk ... meskipun Ayah sudah tak lagi hidup di dunia, tapi Ayah selalu ada di samping kita berdua. Di rumah ini banyak sekali kenangan Bunda bersama Ayah. Jika Bunda ikut Kiran ... rumah ini tidak ada yang menempati dan menjaganya. Ayah pasti sedih jika tahu rumah yang banyak kenangan ini akan kosong nantinya."

Mendengar apa yang bundanya sampaikan membuat Kiran sesenggukan. Perempuan itu menumpahkan tangis di dalam pelukan Risma. Dua orang wanita yang sama-sama merasa kehilangan pahlawan mereka.

"Kiran jangan lagi bersedih. Jangan juga mengkhawatirkan Bunda di sini. Bunda akan baik-baik saja. Kamu juga ... harus baik-baik ketika nanti kembali ke kota. Ingat! Sekarang ada suami yang akan menemani Kiran. Ada Om Arman dan Tante Rani juga yang telah menjadi keluarga baru kita."

"Iya, Bunda. Kiran paham. Maaf, karena Kiran harus meninggalkan Bunda. Kiran janji akan sering pulang ke rumah ini mengunjungi Bunda. Jika ada apa-apa Bunda harus segera menghubungi Kiran."

"Iya, Bunda janji. Sekarang sebaiknya kita segera tidur. Besok Kiran harus kembali. Jadi sekarang segera istirahat."

Kiran menganggukkan kepala. Memeluk erat bundanya berusaha memejamkan mata. Esok hari hidup barunya akan segera dimulai.


 

BAB 4

Pagi harinya seusai sarapan Kiran segera berkemas karena Arman telah meminta padanya untuk ikut kembali ke kota bersama. Sementara itu, Elang entah ke mana perginya Kiran pun tak tahu.

"Kiran, sudah selesai packingnya? Boleh mama masuk?" Rania, wanita yang kini telah menjadi mertua Kiran sudah berdiri di ambang pintu kamar.

"Oh, ini tinggal sedikit lagi, Tan. Silahkan masuk." Kiran yang menyadari kehadiran wanita itu mengulas senyuman.

"Jangan panggil Tante. Panggil Mama karena sekarang kami adalah orang tua kedua buat Kiran." Rania masuk ke dalam kamar dan duduk di atas ranjang.

"Kiran, mama minta maaf, ya. Mungkin Kiran merasa terpaksa menikah dengan Elang. Dan Mama juga minta maaf, mungkin Elang ini jauh dari kriteria suami idaman buat Kiran. Tapi percayalah, meski usia Elang lebih muda dari Kiran, tapi Mama yakin Elang adalah pria baik yang kelak mampu memberi kebahagiaan buat Kiran. Mama harap Kiran bisa sedikit bersabar menghadapi Elang."

"Iya, Ma. Kiran sudah ikhlas. Dan Kiran berjanji akan berusaha menjadi istri yang baik buat Elang dan juga menantu yang baik buat Mama dan Om Arman."

"Jangan panggil Om Arman. Panggil ... Papa. Sama seperti Kiran memanggil Mama. Terima kasih banyak sebab Kiran bisa menerima kehadiran Elang. Kalau begitu ... Mama tunggu diluar. Silahkan Kiran lanjutkan berkemasnya. "

Begitu Rania keluar dari dalam kamarnya, Kiran termenung berusaha menyelami perasaannya sendiri. Apakah benar dia sudah ikhlas menerima takdir hidupnya. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Keputusannya kali ini sudah tak dapat lagi diubah dan tetap harus ia jalani.

***

Setelah menempuh beberapa jam perjalanan, pada akhirnya tiba juga Kiran di rumah Arman dan Rania. Ada dua minggu Kiran meninggalkan kota padat penduduk, tempatnya bekerja mengais rejeki selama beberapa waktu terakhir. Sebenarnya Kiran tak tega harus meninggalkan bundanya seorang diri setelah sang ayah meninggal. Namun, pekerjaan sudah kembali menantinya. Tak mungkin juga Kiran terus terlarut dalam kesedihan.

"Kiran! " Panggilan Rania memutus lamunan Kiran.

Kiran menoleh pada wanita paruh baya yang kini sudah bergelar menjadi mama mertuanya.

"Kenapa berdiri di situ? Ayo masuk, Sayang."

"Eh, iya, Ma."

Sedari tadi Kiran memang sibuk mengamati rumah mertuanya. Arman dan Rania membawanya pulang ke rumah mereka.

Kiran menarik koper miliknya. Sebenarnya tak banyak barang yang ia bawa dari rumah bundanya tadi. Masuk ke dalam rumah mewah itu membuat Kiran sedikit canggung. Bagaimana pun juga ini adalah tempat baru yang masih asing baginya.

"Kiran pasti capek. Sebaiknya Kiran istirahat dulu. Kamarnya ada di lantai atas. Kopernya taruh di sini saja biar Mang Ujang yang nanti membawanya ke atas."

"Iya, Ma. Terima kasih."

Dengan langkah pelan Kiran mulai menapaki anak tangga satu per satu. Menoleh kembali ke belakang mendapati mama mertuanya sedang tersenyum masih menatap padanya.

"Kamar Elang ada di sebelah kiri tangga." Teriak Rani memberitahu menantunya. Kiran mengangguk lalu kembali melanjutkan langkah.

Ketika kaki jenjangnya menapaki lantai dua rumah mertuanya, Kiran mengedarkan pandangan mengamati seluruh penjuru ruang rumah ini. Di sebelah kiri tangga hanya terdapat satu kamar dengan pintu tertutup yang ia yakini adalah kamar bocah tengil yang tak lain adalah suami berondongnya. Di sebelah kanan tangga ada dua ruang berpintu yang Kiran tak tahu itu ruang apa. Dan selebihnya adalah ruang santai dengan satu single sofa dan sebuah piano yang bertengger manis di sana.

Kiran bingung harus berbuat apa sekarang. Masuk ke dalam kamar Elang bukanlah ide yang bagus. Di mana bocah itu? Batin Kiran bertanya. Sejak mereka sampai di rumah ini, bocah itu sudah menghilang. Mungkin saja ada di dalam kamar.

Huft, sebenarnya Kiran merasa sangat lelah setelah melakukan perjalanan panjang dari rumah orang tuanya sampai ke rumah ini, dan sekarang ia pun ingin segera merebahkan tubuhnya. Namun, ada keengganan untuknya masuk ke dalam kamar Elang. Ia berjalan menuju sofa dan memilih untuk merebahkan tubuh di sana. Luar biasa lega rasanya menemukan sofa yang sangat empuk.

Mungkin karena Kiran terlalu capek, tanpa sadar kantuk pun menyerang dan dia tertidur. Hingga sebuah tepukan ringan di bahu, membangunkannya dari tidur yang lelap. Mengerjabkan mata, tampak olehnya jika Rani tersenyum lembut kepadanya.

"Kiran kenapa tidur di sini?"

Wanita itu tergagap, bangun dari posisi berbaringnya dan segera menegakkan punggung pada sandaran sofa.

"Maaf, Ma. Kiran tertidur tadi."

"Jangan tidur di sini. Nanti pinggang Kiran sakit. Ayo tidur di kamar. Jangan sungkan begitu. Sekarang rumah ini juga sudah menjadi rumah Kiran."

Mendapat sambutan hangat dari Rani, membuat hati Kiran menghangat.

Mendapati sang menantu tersenyum kikuk, Rani pun berkata. "Oh ya, Sayang. Tadi koper milik Kiran sudah Mang Ujang masukkan ke dalam kamar. Sebaiknya Kiran mandi dulu. Lalu kita makan malam."

"Terima kasih, Ma. Kalau begitu Kiran mandi dulu."

Rani mengangguk. Menepuk pelan lengan Kiran lalu meninggalkan menantunya untuk kembali turun ke lantai satu. Kira memutuskan berjalan mendekat ke arah kamar. Mengetuk pintunya, akan tetapi tak ada yang menjawab. Ia memberanikan diri membuka pintu dan melongokkan kepala ke dalam. Kosong, sepi tak ada siapa-siapa. Ke mana perginya bocah itu? Kiran menggumam. Dan memilih masuk ke dalam kamar karena dia sudah gerah dan ingin segera membersihkan dirinya.

Melihat koper miliknya yang sudah berada di pojok ruangan. Membukanya dan mengambil satu setel baju rumahan. Mencari keberadaan kamar mandi dalam kamar ini. Begitu melihat sebuah berpintu, Kinan tersenyum. Dia yakin itu adalah kamar mandi. Tanpa berniat melihat-lihat isi kamar Elang, ia pun sudah berjalan membawa baju ganti menuju kamar mandi.

Ada tiga puluh menit perempuan itu mendekam di kamar mandi. Merasa segar kembali setelah seharian terasa penat berada di jalanan. Setelahnya Kiran memilih untuk keluar kamar dan turun ke lantai bawah menuju meja makan. Arman dan Rani sudah menunggunya. Namun, tak nampak Elang di sana.

"Kiran ... Ayo duduklah. Kita makan bersama."

Kiran mengangguk, menarik salah satu kursi ikut bergabung bersama mereka yang ada di ruang makan. Berbasa-basi dengan obrolan kecil mengiringi makan malam mereka. Sungguh tak disangka oleh Kiran sebelumnya jika papa dan mama mertuanya adalah orang yang sangat baik. Kiran bersyukur berada di tengah keluarga ini.

Usai acara makan malam, Kiran bersama Rani dan Arman melanjutkan acara mengobrolkan banyak hal di ruang keluarga sambil menonton televisi.

"Kalau Kiran capek tidur saja. Istirahat." Rani yang melihat Kiran menguap meminta padanya untuk tidur.

Jujur, Kiran memang sangat lelah dan mengantuk padahal belum ada jam sembilan malam. Mungkin karena beberapa hari ini Kiran susah memejamkan mata akibat terlarut kesedihan ditinggalkan oleh sang ayah tercinta.

"Baik, Ma. Eum ... Kiran ke atas dulu, ya. Selamat malam."

Setelah berpamitan, Kiran bergegas naik ke lantai atas menuju kamar milik Elang. Sebelum tidur, tak lupa melakukan ritual malam. Mengganti baju dengan piyama, menggosok gigi juga mencuci wajah dan kaki.

Saat keluar dari dalam kamar mandi Kiran dikejutkan akan keberadaan si bocah tengil Elang yang sudah duduk di atas sofa sembari memainkan ponsel di tangan. Tanpa kata, Kiran mengabaikan keberadaan bocah itu dan naik begitu saja ke atas ranjang.

Kiran hanya butuh tidur saat ini. Semoga bocah itu tidak membuat masalah dengannya hingga dia bisa menikmati tidur nyenyak malam ini.


 

BAB 5

Melalui lirikan mata, Elang mengamati perempuan yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Perempuan yang baru sehari lalu ia nikahi karena paksaan kedua orang tuanya. Jujur, Elang sedikit shock saat melihat perempuan itu untuk pertama kali. Bagaimana tidak jika ternyata perempuan yang telah menjadi istrinya itu memiliki usia jauh lebih tua darinya. Ah, sebenarnya Elang sudah pernah mengira jika perempuan yang akan papa nikahkan dengannya pastilah seumuran dengan almarhum kakak perempuannya yang bernama Anya. Usia Elang dengan almarhum Anya terpaut enam tahun.

Meski sudah menduga, tapi hal itu tak terlalu Elang ambil pusing. Toh, pernikahan ini hanyalah status karena Elang tak akan pernah memberitahukan mengenai hal ini pada orang lain, terutama pada teman-temannya. Bisa-bisa Elang akan menjadi bahan godaan habis-habisan jika seandainya teman-temannya tahu jika dia telah memilih menikah di usia yang sangat muda. Apalagi menikahi perempuan yang usianya jauh lebih tua di atasnya. Mereka pasti akan mengira jika Elang adalah penyuka spesies tante-tante.

Sekali lagi Elang memperhatikan semua pergerakan Kiran. Mulai dari keluar kamar mandi lengkap dengan baju tidur berlengan pendek sepanjang atas paha. Lalu perempuan itu begitu saja menaiki ranjang miliknya. Elang meradang, jangan harap dia akan tidur satu ranjang dengannya. Bisa Elang pastikan jika Kiran tak akan selamat jika berani memilih tidur seranjang dengannya. Ibarat singa kelaparan diberi mangsa makanan yang menggiurkan. Mana mungkin bisa ditolak.

Elang beranjak dari sofa dan segera menaiki ranjang miliknya, membuat Kiran menoleh sekilas. Diluar prediksi Elang, rupanya Kiran tak jadi merebahkan diri. Justru mengambil satu buah bantal dan berjalan menuju sofa yang tadi ia duduki. Tanpa kata meski ekor mata Elang masih mengawasi.

Perempuan itu kini telah merebahkan tubuhnya di sana, di atas sofa. Bahkan Kiran tak menghiraukan keberadaan Elang sama sekali. Padahal jelas-jelas Kiran melihat Elang yang sebesar ini tapi mulutnya tak mau mengeluarkan sepatah katapun untuknya. Oke baiklah, selamat menikmati tidur di sofa. Batin Elang mengejek akan keberadaan perempuan yang telah resmi menjadi istrinya.

Tak lagi menghiraukan Kiran yang sudah lelap dan tampak nyaman. Elang pun memilih menarik selimut dan membungkus tubuhnya. Berbaring miring membelakangi Kiran, lelaki itu pun kini juga mulai berusaha memejamkan mata. Berharap dengan keberadaan Kiran di dalam kamar tak akan mengganggu tidurnya malam ini.

***

Antara mimpi atau nyata, Elang merasakan ada seseorang yang menggoyang pundaknya. Semakin lama bukan lagi tepukan melainkan pukulan ringan. Mau tak mau ia mulai berusaha membuka mata. Dengan sedikit memicingkan mata hal pertama yang Elang lihat adalah seorang bidadari yang sedang berdiri di hadapannya menatapnya dengan penuh kelembutan.

"Hei ... bangunlah. Mama memintaku membangunkanmu. Turun dan sarapan." Kiran berucap sebal, pasalnya Elang ini susah sekali dibangunkan. Andai bukan karena Mama mertuanya yang minta, sudah pasti Kiran enggan melakukannya. Biarkan saja bocah tengil itu tetap bersenang-senang dalam mimpi.

Elang ... Bibir lelaki itu menyunggingkan senyuman. Nyawa seolah belum kembali sepenuhnya karena bidadari yang ia lihat masih berdiri di hadapannya. Astaga! cantik sekali perempuan ini. Dalam hati Elang bergumam.

"Malah senyum-senyum. Dasar bocah aneh." Tingkah Elang membuat Kiran makin kesal. Memilih membalikkan badan berniat meninggalkan bocah itu.

Namun, sebuah hal tak disangka terjadi. Elang menarik pergelangan tangan Kiran hingga tubuh wanita itu sedikit oleng dan terduduk di tepi ranjang.

"Aduh!" Kiran menepis kasar tangan Elang. Lalu berdiri lagi sambil berkacak pinggang. Wajah sangar ketika marah. Elang mengamati penampilan Kiran pagi ini. Nyawa sudah terkumpul sepenuhnya ketika Kiran memukul lengannya barusan. Cantik dan ... wangi. Dua kata untuk menggambarkan wanita yang masih berdiri di depannya saat ini. Mendapati Kiran yang sudah serapi ini menimbulkan tanya dalam benaknya.

"Mau pergi ke mana pagi-pagi seperti ini," kata menyerupai sebuah tanya.

"Kerja. Lagian ini sudah siang bukan pagi-pagi buta. Cepatlah bangun. Semua sudah menunggumu untuk sarapan." Kiran berkata seperti itu sambil berlalu meninggalkan Elang keluar dari dalam kamar.

Elang melirik jam yang ada di atas nakas. Enam empat puluh menit. Segera ia beranjak bangun karena pagi ini ada kelas pagi. Dan tunggu sebentar, Elang menyadari sesuatu jika dia tadi memuji Kiran cantik. Sepertinya ada kelainan dalam otaknya. Bagaimana mungkin hanya dalam waktu semalam otaknya langsung konslet. Menggeleng-gelengkan kepala sembari ngeloyor pergi ke dalam kamar mandi. Ia tak boleh telat lagi pagi ini.

Mandi kilat juga dandan cepat. Menuruni tangga sedikit berlari bahkan dua undakan dia turuni sekaligus. Memasuki ruang makan dan mendaratkan pantat di salah satu kursi kosong sebelah perempuan itu.

"Pagi, Ma ... Pa." Elang menyapa kedua orang tuanya mengabaikan keberadaan Kiran yang duduk di sebelahnya. Mulai meminum susu dan mengambil sandwich, menu sarapan wajib yang harus Elang konsumsi. Pria muda itu memang gemar meminum susu. Bukan susu seperti yang anak-anak sering minum, melainkan susu khusus pria dewasa yang berfungsi untuk menambah masa otot. Dan sandwich yang selalu Elang makan untuk sarapan pagi juga bukan sandwich sembarangan karena kandungan yang terdapat di dalamnya benar-benar harus sesuai dengan takaran gizi seimbang. Roti tawar gandum, dada ayam tanpa lemak, aneka sayuran seperti selada, tomat dan mentimun. Hanya dia saja yang selalu memakan sarapan dengan menu berbeda. Sementara yang lain sarapan sesuai dengan yang dibuat Mbak Tutik, asisten rumah tangga di rumah ini.

"Elang! " Suara berat Arman mengalihkan fokus Elang yang sedang menikmati sarapan.

"Ya, Pa." Jawaban singkat terlontar dari mulut Elang yang masih sibuk mengunyah makanan.

"Hari ini kamu antar Kiran pergi kerja, ya?" Pinta Arman sukses menghentikan aktifitas yang Elang lakukan. Menatap sang Papa dengan kernyitan di dahi.

Ia protes seketika. "Kenapa harus Elang. Dia kan bisa pergi kerja sendiri." Kata-kata sarkas yang Elang lontarkan membuat Arman tidak suka dan tidak enak hati pada Kiran.

"Kiran tidak membawa mobil. Jadi bagaimana bisa dia pergi kerja kalau kamu tidak mau mengantarnya." Arman masih berusaha membujuk.

Namun, perempuan bernama Kiran menyela obrolan Elang dengan Arman. "Eum Om ... eh, Pa. Kiran naik ojek online saja," ucapnya dan hal itu pula yang membuat Elang menolehkan kepala ke samping. Melihat Kiran yang tersenyum manis pada Arman. Dalam hati Elang mencebik kesal. Pantas saja papanya menyukai perempuan itu. Pandai bersikap manis rupanya.

"Kiran tidak boleh naik ojek online. Perempuan bahaya naik ojek," ucap Rania mencela dan melarang Kiran. Memandang putranya dan kembali berkata, "Sudahlah Elang, antar Kiran sebentar saja. Nanti Elang pakai saja mobil Mama. Jangan bawa motor."

"Tapi, Ma!" Masih berusaha mengelak dan mendapati pelototan mata dari Rania membuat Elang berdecak. Tak ada bantahan jika mamanya sudah berucap.

***

Meskipun dengan sangat terpaksa Elang mengantar Kiran juga pergi bekerja. Kalau tidak karena mamanya pasti Elang juga tak akan mau repot-repot mengantar, apalagi tempat Kiran bekerja dan tempat Elang kuliah beda arah. Dalam hati masih saja menggerutu karena Elang akan telat di jam pertama kuliah.

Menghentikan mobil tepat di pelataran parkir sebuah gedung perkantoran. Perempuan itu membuka seat belt-nya lalu membuka pintu mobil.

"Terima kasih sudah mengantarku." Hanya kata itu yang Kiran ucapkan sebelum benar-benar keluar dari dalam mobil.

Elang yang masih saja acuh dan berusaha tak peduli, nyatanya melirik juga begitu Kiran pergi meninggalkannya. "Untung saja dia masih mau berterimakasih padaku. Jika tidak ... jangan harap aku mau dia repotkan kembali dengan hal-hal seperti ini. Aku ini menikahinya untuk jadi suami, bukan sopir pribadi yang harus mengantar jemputnya." Gerutuan Elang sembari menjalankan kembali mobil meninggalkan kantor Kiran. Melirik arloji yang melingkar di tangan kanannya. Dua puluh menit lagi kelas akan dimulai. Semoga saja tidak terlambat nanti.

Dengan kecepatan penuh Elang melajukan mobil. Lima belas menit berlalu dan Elang berhasil juga memasuki area kampus tempat ia mengenyam pendidikan selama empat tahun ini.

"Woy, Bro! Tumben lu bawa mobil. Mana motor lu."

Baru juga Elang memarkirkan mobil di pelataran parkiran kampus, Reza dan Dimas, dua orang sahabatnya sudah mencerca dengan pertanyaan seputar mobil milik mamanya yang kini dia pakai. Maklum saja, Elang memang tak terbiasa pergi kuliah dengan membawa mobil. Ke mana pun dia pergi pasti selalu bersama motor kesayangannya. Jadi tak heran jika dua sahabatnya terheran-heran melihat Elang keluar dari dalam mobil.

"Mobil Mama," jawab Elang singkat.

"Tumben. Memang habis antar Mama lu ke mana?"

Tanpa menjawab, Elang hanya mengedikkan bahu tak acuh berjalan meninggalkan mereka berdua.

"Woi ... Kita ditinggal!"

Reza dan Dimas menyusul Elang, lima menit lagi kelas akan dimulai. Dan mereka harus bergegas meninggalkan pelataran parkir jika tidak ingin terlambat.


 

BAB 6

Kiran merasa beruntung karena Elang mau mengantarnya pagi ini. Jika tidak, mungkin saja dia bisa terlambat masuk kantor. Dua minggu lamanya Kiran cuti dari pekerjaan. Rasanya akan aneh saja di saat selama itu ijin tidak bekerja, sekalinya masuk harus terlambat. Dedikasi Kiran sebagai karyawan rajin dan teladan bisa tercoreng nantinya.

Wanita itu berjalan tergesa menuju lift karena lima menit lagi sudah jam masuk kantor. Namun, langkahnya harus terhenti karena indera pendengarannya merekam panggilan seseorang yang begitu nyaring.

"Kiran!"

Suara yang sangat familiar oleh Kiran. Tak perlu menebaknya karena dia sudah tahu siapa gerangan pria yang kini telah berhasil membuatnya menoleh ke belakang. Benar saja. Hans berlari kecil mendekat dan kini telah berdiri menjulang di hadapan Kiran.

"Hai, Hans!" Kiran menyapa sembari mendongakkan sedikit kepala karena tinggi tubuhnya hanya sebatas bahu pria itu.

"Apa kabarmu? Maafkan aku tak bisa datang ke rumahmu untuk berbela sungkawa atas meninggalnya ayahmu." Wajah sendu serta raut bersalah Hans berikan.

Kiran mengulas senyuman. "Tidak masalah, Hans," jawabnya.

Kiran paham kenapa Hans tidak datang untuk memberikan bela sungkawa atas kepergian sang ayah tercinta. Semua karena dua sebab. Pertama karena rumah keluarga Kiran berada di kampung yang lumayan jauh jaraknya dari kota. Kedua, karena Kiran juga tahu jika selama tiga minggu Hans tengah berada di Jepang untuk mengunjungi seminar sekaligus menangani proyek besar di sana. Menggantikan sang owner perusahaan yang tidak bisa bepergian jauh karena suatu sebab yaitu harus menunggui sang istri yang bersiap melahirkan anak keduanya. Yup. Tuan Hiro tentunya si pemilik perusahaan besar Ichiro Company, tempat di mana Kiran juga Hans bekerja.

"Kamu harus sabar. Semoga almarhum ayahmu diterima di surga-Nya."

"Terima kasih."

"Kamu mau naik?"

"Hem." Kiran mengangguk.

"Ayo!" Hans menggandeng lengan Kiran masuk ke dalam lift.

Hans Anthony, lelaki yang menjabat sebagai tangan kanan sekaligus orang kepercayaan pemilik perusahaan, yang juga sebagai atasan Kiran. Lelaki yang sejak Kiran bekerja di kantor ini sekitar dua tahun lalu, selalu memberikan perhatian lebih padanya. Hans adalah lelaki yang baik, wajahnya yang tampan serta postur tubuhnya yang mendekati kata sempurna, mampu membuat perhatian wanita hanya tertuju kepadanya. Tapi anehnya sejak pertemuan pertama mereka, Hans tak henti memberikan perhatian lebih untuk Kiran membuat wanita itu terbawa perasaan. Bahkan tanpa segan Hans juga pernah mengungkapkan perasaannya pada Kiran dan sampai tahap mengajak wanita itu menikah.

Kiran tahu jika Hans adalah lelaki yang bertanggung jawab, tapi Kiran tak dapat memberikan harapan lebih pada pria itu. Kiran terlalu takut bersanding dengan Hans. Selain karena rasa kerdil jika berdekatan dengan pria itu, juga suatu sebab hanya Kiran sendiri yang tahu. Menolak secara halus ajakan Hans yang ingin menikahinya waktu itu. Namun, bukannya marah dan menjauhinya, justru Hans tak mempermasalahkan hal itu. Hans masih setia memberikan Kiran waktu hingga suatu ketika Kiran mau menerima dirinya. Ah, Hans. Kenapa masih ada lelaki baik sepertinya. Batin Kiran selalu berkata.

Ting

Pintu lift terbuka menyadarkan Kiran dari semua lamunan. Hans menyentuh lembut tangan wanita itu. Membuat Kiran terjengit kaget.

"Kiran, aku tahu kamu masih berduka. Dan jika kamu masih memerlukan waktu untuk menenangkan diri, aku akan memberikanmu tambahan cuti untuk beberapa hari." Hans seolah paham akan kesedihan yang Kiran tunjukkan karena sejak mereka masuk ke dalam lift, Kiran hanya diam melamun. Bahkan Hans sendiri tak berani mengganggu dan membiarkan Kiran menata hatinya agar kembali membaik seperti sedia kala.

"Tidak, Hans. Aku sudah terlalu lama meninggalkan pekerjaan. Percayalah, aku sudah lebih baik sekarang."

"Tapi jika kuperhatikan, sedari tadi kamu hanya diam melamun."

"Maafkan aku. Yah ... Kamu tau sendiri semua serba mendadak dan ini sangat sulit aku terima. Tapi percayalah aku sudah berusaha ikhlas. Dan aku sudah lebih baik sekarang. Jadi ... Kamu tak perlu khawatir. Oke." Kiran berusaha meyakinkan Hans bahwa dia baik-baik saja. Sungguh, Kiran tidak ingin Hans mengkhawatirkannya. Dia bukan siapa-siapa yang pantas mendapat perhatian lebih dari Hans. Juga tidak ingin menjerumuskan Hans semakin dalam akan pesona dan kedekatan mereka selama ini. Tiba-tiba saja Kiran teringat akan pernikahannya dengan Elang. Detik itu juga rasa bersalahnya pada Hans semakin menjadi. Sanggupkah Kiran membuat kecewa Hans suatu hari nanti andai pria di sebelahnya ini mengetahui semuanya.

"Oke. Baiklah kalau begitu. Jika kamu butuh sesuatu jangan sungkan bilang padaku. Aku akan selalu ada untukmu." Senyum Hans tak pernah habis setiap kali pria itu bersama Kiran. Wanita yang berhasil menggetarkan hatinya sejak pertemuan pertama mereka. Gadis yang usinya beberapa tahun dibawahnya, tapi memang sengaja Hans yang meminta pada Kiran untuk memangilnya nama saja jika sedang berdua karena Hans merasa geli sendiri ketika hanya berduaan saja dan Kiran memanggilnya dengan sebutan Pak. Berasa semakin tua saja dirinya.

"Terima kasih, Hans."

"Sama-sama."

Mereka berdua berpisah di depan lift karena Hans harus menuju ruang sang atasan, sementara Kiran harus menuju ke ruangannya sendiri.

***

Waktu delapan jam yang dihabiskan dengan bekerja di depan layar komputer sepertinya masih saja kurang karena pekerjaan Kiran tetap saja tak berkurang sedikit pun. Dua minggu ditinggalkan membuat tugasnya semakin menumpuk. Bahkan hingga Kiran sampai melewatkan jam makan siang. Biasanya ada Hans yang dengan setia membawakan makanan jika Kiran tak sempat pergi ke kantin. Tapi hari ini lelaki itu sedang keluar kantor karena urusan pekerjaan.

Perut Kiran sudah terasa melilit dan bisa dipastikan jika dia sedang kelaparan sekarang. Gegas membereskan berkas-berkas yang belum selesai ia kerjakan. Tak sanggup rasanya jika Kiran harus meneruskan semua pekerjaannya hari ini. Tubuhnya sudah cukup lelah. Waktu sudah hampir pukul enam petang.

Saat Kiran berdiri dari duduknya, sudah banyak kubikel yang kosong ditinggalkan penghuninya. Hanya ada satu dua orang yang masih setia menekuri pekerjaan masing-masing. Wanita itu meninggalkan ruang kerjanya dan berjalan menuju lift. Berpikir sejenak dan menimbang-nimbang, dia harus pulang ke mana malam ini. Pulang ke rumah mertuanya yaitu Mama Rania atau pulang ke rumah sewanya. Selama Kiran bekerja di kota, wanita itu memang memutuskan untuk menyewa sebuah rumah minimalis yang lokasinya tidak jauh dari gedung perkantoran. Hanya membutuhkan waktu sekitar tujuh sampai sepuluh menit perjalanan. Sementara itu untuk sarana transportasi, Kiran mendapatkan fasilitas mobil dari kantor. Oleh sebab itulah kenapa dulu Kiran tergiur untuk bekerja di kota. Karena meskipun jauh dari rumah, akan tetapi banyak hal yang bisa di dapat olehnya. Selain pengalaman dan teman baru juga banyak fasilitas dan tunjangan yang Kiran dapatkan. Gajinya pun menggiurkan. Bisa beberapa kali lipat dari upah kerja minimum di kampungnya. Dengan bekerja di kota pula Kiran berharap dapat menabung lebih banyak demi mewujudkan mimpi dan keinginannya. Menjadi wanita karir yang sukses dan membanggakan bagi kedua orangtuanya karena mereka telah banyak mengeluarkan biaya demi bisa menyekolahkan dirinya.

Kiran masuk ke dalam lift, sepi tak ada siapa-siapa. Sampai di lobi, pintu lift terbuka bertepatan dengan Hans yang juga sedang berdiri di depan lift. Sepertinya lelaki itu akan menaiki lift menuju ruangannya berada. Begitulah kinerja Hans. Tak ada jam kerja pasti selayaknya karyawan pada umumnya. Hans yang menjadi tangan kanan serta orang kepercayaan Tuan Hiro diwajibkan mampu menghandel apapun yang biasa Tuan Hiro kerjakan. Jadi tidak heran jika Hans akan sering keluar kantor untuk menemani sang atasan ataupun menangani proyek besar yang atasannya berikan.

"Hai, Hans!" sapa Kiran terkejut mendapati lelaki itu juga tengah menatap padanya.

"Ki ... benar sekali dugaanku. Pasti kamu belum pulang."

Kiran mengernyit, lalu terkekeh mendengar perkataan Hans.

"Tadi aku mau ke atas melihatmu. Dan ternyata bertemu di sini. Ayo, aku antarkan kamu pulang. Tinggalkan saja mobilmu di sini. Besok pagi aku jemput kamu lagi." Tawaran Hans yang disambut Kiran dengan perasaan kebingungan. Kiran hanya bisa tersenyum kikuk. Merutuki dalam hati kenapa Hans begitu perhatian padanya. Pantaskah laki-laki sebaik Hans harus ia sia-siakan. Pemikiran yang memenuhi otak Kiran membuat gadis itu menggelengkan kepala tanpa terasa. Siapa sangka jika semua pergerakan Kiran tak luput dari perhatian Hans dan menimbulkan tanya dalam benak laki-laki itu.

"Hei, kamu kenapa. Are you okay?" tanya Hans khawatir melihat ekspresi wajah Kiran yang tak mampu ia prediksi.

"Aku oke," jawab Kiran cepat dan singkat.

"Jadi, ayo kita pulang." Hans bersiap menggandeng lengan Kiran. Namun, segera dicegah oleh gadis itu. Dengan gugup Kiran berusaha mencari alasan agar Hans tidak perlu mengantarkannya pulang.

"Aku naik taksi saja."

"Kamu nggak bawa mobil?" Hans bertanya karena tidak biasanya Kiran akan menaiki sebuah taksi. Setiap hari memang Kiran akan membawa mobil milik perusahaan sebagai alat transportasi pulang pergi dari kantor ke rumah sewanya.

Kiran menggelengkan kepalanya sebagai jawaban bahwa dia memang tidak membawa mobil hari ini.

"Berarti nggak ada alasan lagi buat menolak niat baikku. Ayo aku antar pulang."

Hans berusaha kembali menarik lengan Kiran dan wanita itu hanya bisa pasrah mengikuti lelaki keluar dari lobi kantor.

"Kiran!"

Sebuah panggilan tak hanya menghentikan langkah Kiran tapi juga Hans. Keduanya sama-sama menoleh pada asal sumber suara. Dan mata Kiran melotot begitu melihat siapa gerangan yang tadi memanggilnya. Rupanya bocah itu juga sedang menunggunya di depan lobi dengan bersandar di samping mobil milik Mama Rania yang tadi pagi digunakan untuk mengantarnya juga.

'Untuk apa bocah itu ada di sini?' pikiran Kiran bertanya.

Hans yang juga ikut berhenti dan berdiri di samping Kiran, melihat Elang lalu beralih menatap wanita di sampingnya.

"Siapa?" tanyanya pada Kiran.

Gugup? Tentu saja. Bagaimana Kiran tidak gugup jika dihadapkan pada situasi seperti ini. Berusaha menjawab dengan kebingungan. "Eum ... itu ..."

"Kiran! Sudah malam, buruan!" teriak Elang sekali lagi karena kesal mendapati Kiran yang justru hanya diam mematung menatapnya. Bahkan wanita yang resmi menjadi istrinya itu tidak sendiri melainkan sedang bergandengan tangan dengan seorang pria.

"Hans, maaf sepertinya aku tak bisa ikut denganmu. Aku pulang duluan, ya!"

"Kiran. Siapa dia?" Hans tak berhenti bertanya demi ingin mengetahui siapa gerangan pemuda yang sedang menjemput wanita pujaan hatinya.

"Besok aku ceritakan padamu. Sekarang aku pulang dulu. Bye!" Dengan cepat Kiran melangkah menghampiri Elang. Bocah itu justru sudah masuk ke dalam mobil lebih dulu Kiran buka pintu mobil.

Kiran merasa lega bisa lepas dari cercaan Hans. Baru juga mendaratkan tubuh di atas jok mobil, Kiran sudah harus mendengar ocehan Elang, suami berondongnya.

"Ditungguin juga ternyata malah pacaran. Tahu gitu males aku nungguin hampir sejam."

Mobil melaju meninggalkan pelataran lobi kantor. Tak menanggapi gerutuan Elang justru Kiran sibuk mengamati Hans melalui kaca spion. Tampak dimatanya bagaimana Hans yang kini sedang melambaikan tangannya.

Hingga mobil melesat menjauh sampai bayangan Hans tak lagi terlihat, barulah Kiran menyadari sesuatu. Sebuah ucapan yang tadi keluar dari mulut Elang dan mirip sebuah gerutuan.

'Sebentar, apa yang bocah tadi katakan? Menungguku hampir sejam. Benarkah dia mau menungguku selama itu.'

Tidak percaya dengan pendengarannya sendiri, Kiran menolehkan kepalanya ke samping melihat wajah kesal Elang. Hal itu justru membuat wanita itu tersenyum simpul. Merasakan kebaikan Elang kepadanya. Di luar dari wajah menyebalkan suami berondongnya, rupanya tersimpan sebuah perhatian.

 


 

BAB 7

'Ck, rupa-rupanya wanita itu punya pacar. Lalu buat apa dia mau saja dijodohkan denganku. Benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran wanita. Harusnya dia menolak perjodohan sialan itu dan memilih pacarnya, bukannya malah setuju dan pada akhirnya aku juga yang menjadi korban,' gerutuan Elang hanya berani dia suarakan di dalam hati saja.

Selama perjalanan tak sekali pun Elang membuka suara. Siapa juga yang tidak kesal jika harus berlama-lama menunggu seperti orang bodohh, kiranya yang ditunggu enak-enakan pacaran. Yang lebih menyebalkannya lagi Kiran sama sekali tak merasa bersalah. Kalau tidak karena mamanya yang mendesak Elang dan meminta padanya untuk menjemput wanita itu, Elang juga tak akan mau repot-repot seperti ini.

"Eum ... maaf. Aku tadi tidak tahu kalau kamu menungguku," ucapan permintaan maaf Kiran ditengah keheningan perjalanan mereka berdua.

Elang mengernyit mendengarnya, menoleh sekilas pada Kiran. Merasa aneh saja karena Kiran mau meminta maaf juga rupanya. Elang kembali fokus pada kemudi. Hingga tiba di rumah tak ada pembicaraan lagi diantara mereka berdua.

Elang keluar dari dalam mobil tanpa menghiraukan Kiran.

"Elang!"

Baru juga Elang akan membuka pintu, Kiran memanggilnya membuat pemuda itu menoleh ke belakang.

"Terima kasih sudah mau menjemputku," ucap Kiran lagi.

Elang mendengus lalu menjawab sarkas. "Jika tidak karena Mama yang memaksaku, aku juga tidak akan mau repot-repot menjemputmu." Setelah mengucapkan kata menyakitkan itu, Elang berlalu masuk ke dalam rumah meninggalkan Kiran begitu saja.

Mendapati sang mama yang sedang menyiapkan makanan di meja makan. Wanita paruh baya itu menoleh seraya mengulas senyuman.

"Elang sudah pulang?" tanya Rania menyambut kedatangan putranya.

Elang hanya menjawab dengan anggukan kepala saja.

"Elang ke atas dulu, Ma." Pamitnya pada Rania, setelah itu langsung menaiki anak tangga dengan tergesa menuju kamarnya. Membuat Rania hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah laku putranya.

Tak lama berselang, Kiran menyusul masuk. Tak lupa memberikan salam pada mama mertuanya.

"Kiran mandi dulu saja. Setelah itu kita makan malam." Rania berucap yang langsung dituruti oleh Kiran.

Perempuan itu meninggalkan Rania menaiki anak tangga menuju kamar milik Elang. Baru juga Kiran membuka pintu kamar, tampak dimatanya jika Elang tengah meraih jaket kulit dari dalam lemari dan memakainya cepat tanpa menoleh sedikit pun padanya. Kiran hanya mengawasi saja gerak gerik Elang. Kini yang Elang lakukan adalah menyambar kunci motor yabg tergeletak di atas nakas. Sebelum lelaki itu berlalu keluar meninggalkan kamar, Kiran sempat bertanya. "Mau ke mana?"

"Bukan urusanmu," jawab Elang sinis, membuka pintu kamar, keluar dan kembali menutup pintunya dengan sedikit bantingan.

Kiran hanya bisa mengusap dadanya sabar akan perilaku buruk yang suaminya tunjukkan. Meski lebih muda tidak pantas jika Elang bersikap demikian. Elang adalah pria dewasa yang tidak seharusnya bersikap labil. Daripada mengurusi Elang, lebih baik Kiran mandi saja. Masa bodo dengan apa yang akan Elang lakukan di luaran sana.

Elang sendiri tidak paham kenapa mood nya mendadak buruk seperti ini. Dia perlu melarikan diri berkumpul bersama teman-temannya. 

Turun ke lantai bawah langsung mendapat tatapan menelisik dari Rania.

"Elang, kamu mau ke mana?"

"Aku keluar sebentar, Ma. Ada urusan." Sebelum sang mama mencerca dengan berbagai macam pertanyaan, Elang segera berlalu menuju garasi. Memacu motor sport merahnya keluar dari garasi.

Setelah kepergian Elang, Rania terduduk di atas kursi makan. Tidak tahu lagi bagaimana caranya mendidik Elang. Rania pikir dengan menikah maka perilaku Elang akan berubah. Memiliki rasa tanggung jawab pada istrinya. Nyatanya apa? Elang masih saja sesuka hatinya. Jika seperti ini, Rania jadi tak enak hati sendiri pada Kiran. Semoga menantunya itu bisa mengerti akan sikap dan perilaku Elang. Rania tak pernah berhenti berharap agar putra semata wayangnya bisa berubah suatu hari nanti.

***

Seperti biasa, di sebuah tempat perkumpulan anak-anak motor teman-teman Elang telah berkumpul ketika pemuda itu datang. Reza, Dimas dan beberapa teman satu geng mengalihkan perhatian akan kedatangan Elang. Karena beberapa hari lelaki itu tidak datang menampakkan batang hidungnya di hadapan mereka. Baru pagi tadi mereka bertemu kembali dengan Elang setelah sekian hari.

"Woi, Bro. Datang juga lo." Ber-higt five dengan mereka satu persatu, begitu Elang mendekat. Padahal hanya dua malam dia tidak datang ke tempat in, tapi sudah mendapat cercaan pertanyaan dari mereka.

"Sorry, gue harus nemenin bokap dan nyokap ke kampung." Jujur Elang pada teman-temannya. Dia memang benar pergi ke kampung tempat tinggal keluarga Kiran. Untuk dinikahkan pula. Mangsedih, ya.

"Kampung?" Dimas mengernyit karena merasa aneh.

"Sejak kapan lo doyan pergi ke kampung. Tumben." Kembali Dimas mengajukan pertanyaan yang hanya dijawab Elang dengan mengedikkan bahu. Tidak mungkin juga dia bercerita pada mereka semua jika perginya ke kampung karena dipaksa harus menikahi seorang wanita. Bisa-bisa Elang akan menjadi bahan olokan mereka semua.

Menghabiskan waktu hingga tengah malam berada di markas bersama anggota gengnya membuat Elang sedikit melupakan semua masalah. Ditambah dengan satu putaran balapan membuat kepenatan juga kekesalannya menguap sudah. Jujur Elang katakan jika dia merasa sangat terbebani dengan pernikahan yang papanya rancang ini. Elang merasa masih terlalu muda dan ingin hidup bebas tanpa kekangan siapa pun juga. Selama ini dia cukup stres karena cercaan papanya. Dan sekarang ditambah lagi dengan kehadiran seorang perempuan yang bergelar istri. Elang rasa ia tak akan lagi bisa menikmati masa muda yang tidak mungkin datang dua kali dalam hidupnya.

Argh sial ... bisa gilaa lama-lama jika hidupnya selalu saja direcoki oleh keluarganya.

"Bro!" Tepukan di bahunya membuat Elang terjengit karena kaget. Dimas lah pelakunya. Bahkan pemuda itu hanya nyengir tak sedikit pun merasa bersalah.

"Lo kenapa? Gue lihat dari tadi lo bengong aja."

Sial, rupanya Dimas menyadari. Elang merutuki kebodohannya yang justru banyak melamun malam ini.

"I'm okay."

"Serius?" Dimas duduk di atas motor yang ditopang dengan standar tengah. Saling berhadapan bersama Elang.

"Ya."

"Nggak biasanya lo banyak diem begitu."

"Lagi capek aja. Ya, udah sih, gue balik dulu." Elang meloncat turun dari atas motor. Memakai jaket yang tadi sempat ia lepas.

"Jam berapa sudah mau balik aja."

"Capek gue."

Helm susah terpasang di kepala. Lalu menaiki motornya. Sebelum pergi, Elang berteriak pada rekan-rekannya untuk pamitan. "Gue cabut dulu!"

"Hati-hati."

"Hmm."

Memacu motornya meninggalkan mereka semua. Sebenarnya Elang enggan pulang ke rumah malam ini, tapi bagaimana pun juga pasti papa akan bertanya macam-macam padanya jika pulang lewat tengah malam. Bukannya Elang takut pada papanya, tapi dia sudah malas terus saja ribut dengan orang tuanya.

Entahlah, Elang tak paham. Apakah memang dia yang salah atau papanya yang tak pernah bisa mengerti akan dirinya. Yang pasti tiap kali bertemu dengan sang papa yang ada hanya ribut dan ribut. Jarang sekali Elang bisa akur dengan papanya, padahal dia adalah anak satu-satunya yang dipunya oleh kedua orang tuanya. Beruntung masih ada Rania yang selalu menjadi penengah acapkali Elang dan Arman adu mulut.

***

Rumah sudah tampak sepi. Mungkin semua penghuninya sudah pada tidur. Setelah memarkir motor di garasi, dengan mengendap-endap Elang masuk ke dalam rumah. Menaiki anak tangga sepelan mungkin agar tidak membangunkan siapa pun juga.

Lega akhirnya sampai juga dia di depan kamarnya. Memutar handel pintu, masuk ke dalam kamar dan melepas jaket yang membungkus badan. Seperti biasa Elang akan langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang.

Namun, ingatan akan keberadaan seseorang yang menghuni kamarnya, membuat pandangan Elang tertumbuk pada wanita yang telah ia nikahi dua hari lalu tengah meringkuk di atas ranjangnya dengan berbalut selimut tebal membungkus sampai batas dadaa.

Elang naik dengan perlahan ke atas ranjang. Mengamati wajah Kiran yang dengan santai meniduri ranjangnya.

"Cantik," gumamnya. Tanpa sadar diam-diam Elang mengagumi Kiran. Tak dapat dipungkiri jika Kiran memang memiliki wajah yang cantik alami. Kulitnya putih bersih tanpa noda. Dan Kiran sama sekali tak terlihat tua atau terlihat berusia dua puluh tujuh tahun. Wajahnya terlihat sangat polos.

Seulas senyum tersungging di bibir Elang. Memberanikan diri mengusap rambut panjang Kiran yang tergerai di atas bantal. Sangat lembut dan wangi. Perlahan Elang mendekatkan wajahnya dan mencium untaian rambut yang berada di telapak tangannya. Mata Elang mulai menelusuri lekuk leher Kiran yang jenjang dan mulus.

Glek dengan susah payah Elang menelan air liurnya. Ini sudah gilaa, kenapa juga Elang begitu tertarik pada wanita yang telah resmi menjadi istrinya. Tentu saja, karena Elang adalah lelaki dewasa. Kini tangan Elang juga telah berani menyentuh serta mengusap pelan pipi mulus Kiran. Sangat hati-hati agar tak sampai membangunkan si empunya.

Beruntung karena detik itu juga Elang tersadar jika dia tak boleh bersikap lebih. Elang harus sanggup mengontrol naluri lelakinya. Dan sepertinya Kiran mulai merasa terusik dalam tidurnya akan semua perlakuan Elang. Kiran mulai menggeliat dan menggerakkan tubuhnya.

Mata indah dengan bulu mata yang lentik mulai terbuka. Terang saja Kiran terkejut karena jarak wajah mereka berdua yang begitu dekat.

"Mau apa kamu?" tanya Kiran panik mendapati wajah Elang yang tak juga beralih.

"Harusnya aku yang bertanya. Ngapain kamu tidur di ranjangku?" Shit! Elang harus bersikap pura-pura jika tidak ingin malu karena beberapa detik lalu sempat mengagumi Kiran. Berlagak galak di depan Kiran.

Dengan tergesa Kiran bangun dari berbaringnya, menyingkap selimut juga mengambil bantal dan berlalu menuju sofa. Membaringkan dirinya di sana karena tidak ingin berurusan dengan Elang. Tidak masalah jika pagi nanti tubuh Kiran akan merasakan pegal-pegal asal dia tidak banyak terlibat fisik dengan bocah tengil itu. Merutuki kesialannya karena harus memiliki suami bocah yang sikap dan tingkah lakunya sangat tidak sopan.

Sementara itu, Elang tersenyum simpul merasa menang berhasil mengintimidasi Kiran. Sebenarnya tidak ada masalah juga seandainya Kiran tidur di atas anjang yang sama dengannya. Sama sekali Elang tidak keberatan. Karena nantinya Elang dapat memeluk dan mendapatkan kehangatan dari Kiran. Ingin rasanya Elang menggeplek kepalanya sendiri ketika kini dirinya menyadari suatu hal. Bukankah sejak awal dia sudah berniat ingin mengacuhkan keberadaan Kiran. Tapi kenapa justru sebaliknya. Elang yang diacuhkan oleh perempuan itu.

Argh ... Sial. Memilih merebahkan tubuhnya berusaha mengusir bayangan Kiran yang mulai berani bergentayangan di otak dan pikirannya.

'Sialan kau, Kiran!' umpat Elang dalam hatinya sebelum ia mulai memejamkan mata. Tidur miring membelakangi di mana posisi Kiran yang berada di atas sofa. .

 


 

BAB 8

Pagi ini Kiran sudah berencana untuk berbicara pada mama dan papa mertuanya. Tidak mungkin rasanya jika dia harus tetap tinggal di rumah mereka. Selain jauh dari kantor, Kiran juga tidak ingin hidup dan tidur sekamar dengan bocah sableng itu. Baru dua malam dia ada di rumah ini, tapi harus sabar menerima kenyataan di mana Kiran harus tidur di sofa sempit. Badannya pegal semua tiap kali bangun tidur. Tak sanggup lagi jika harus berlama-lama berada di rumah ini.

Saat turun ke ruang makan, mama dan papa mertuanya, serta bocah tengil itu sudah berada di sana.

"Kiran. Ayo sarapan dulu," ucap Rania.

"Baik, Ma."

Kiran duduk di samping Elang. Tak berniat juga memperhatikan bocah itu. Dan lebih memilih menikmati sarapannya.

"Eum ... Ma, Pa. Ada yang ingin Kiran sampaikan," ujar Kiran begitu dia selesai menyantap sarapannya. Mengalihkan perhatian juga fokus Rania serta Arman pada anak menantunya.

"Apa ada hal penting yang ingin Kiran sampaikan?" tanya Arman menatap serius pada Kiran.

Wanita itu mengangguk. "Iya, Pa. Kiran ingin meminta ijin pada Papa dan Mama. Mulai hari ini, Kiran akan kembali tinggal di rumah sewa." Enggan dan juga sungkan sebenarnya Kiran berkata. Namun, dia harus memberanikan diri untuk jujur.

"Kenapa begitu? Kiran tidak betah tinggal di sini?" tanya Rania khawatir andai Kiran memang tidak mau tinggal di rumah mereka.

"Bukan seperti itu, Ma. Kiran betah, kok, tinggal di sini." Kiran menjawab, sedikit berbohong. Mana mungkin Kiran bisa betah tinggal di rumah ini jika putra mereka saja berlaku tak adil padanya. Tetap saja Kiran akan merasa nyaman tinggal di rumah sewanya sendiri daripada harus seatap bersama bocah tengil bernama Elang.

"Lalu? Kenapa Kiran mau pindah?" Kini giliran Arman yang bertanya karena penasaran.

"Kiran hanya merasa kejauhan jika pulang ke rumah ini, Pa. Lagipula sayang sekali rumah yang sudah disewa jika tidak ditempati." Kiran memberikan alasan yang sangat tepat. Alasan yang sudah ia pikirkan sejak semalam. Dan alasan masuk akal yang ia berikan.

"Tapi Kiran ... di sana nanti kamu akan sendirian. Kalau di sini masih ada kami yang bisa menjagamu, Kiran." Dengan lembut Rania mengungkap keberatannya.

"Mama jangan khawatir. Kiran pasti bisa menjaga diri. Lagipula sudah satu tahun juga Kiran tinggal sendiri di sana dan syukurlah tidak pernah terjadi apapun pada Kiran, Ma." Kiran berusaha meyakinkan mama mertuanya agar tidak khawatir berlebihan karena memang selama ini Kiran sudah terbiasa tinggal seorang diri.

"Kiran ... Papa sudah berjanji pada almarhum ayahmu yang akan menjagamu. Jadi sekarang Kiran adalah tanggung jawab kami," ucap Arman membuat Kiran harus kembali teringat akan ayah yang telah tiada.

"Pa ... maafkan Kiran. Tapi Kiran janji tiap weekend, Kiran akan pulang ke rumah ini. Bagaimana? Papa dan Mama mengizinkan Kiran?"

Arman dan Rania saling tatap, berbicara melalui pandangan mata keduanya.

"Ya, sudah jika itu sudah menjadi keputusan Kiran. Papa dan mama mengizinkan. Jaga diri Kiran baik-baik. Jika butuh apa-apa jangan sungkan bicara sama kami. Kami ini adalah keluarga Kiran sekarang."

Kiran menyunggingkan senyuman merasa lega karena permintaannya dikabulkan. "Terima kasih, Pa ... Ma. Jika begitu ... Kiran berangkat dulu. Sudah siang, takut telat." Wanita itu beranjak berdiri dan berpamitan pada Arman juga Rania dengan mencium punggung tangan keduanya. Hanya Elang yang Kiran abaikan, karena bocah itu pun sejak tadi sama sekali tak menimpali obrolan mereka dan masih saja sibuk dengan makanan.

"Biar diantar Elang," ucap Rania membuat Elang menatap mamanya tidak terima.

"Kenapa aku lagi? Tidak bisa, Ma. Aku ada kuliah pagi." Protes yang Elang lontarkan diikuti dengan tubuh yang juga beranjak berdiri sembari berkata, "Aku pergi dulu."

Bocah tengil itu segera menyambar tas dan berlalu meninggalkan meja makan. Kiran yang melihatnya hanya bisa bersungut-sungut juga mengumpati Elang dalam hati

'Hei ... apa dia pikir aku senang diantar olehnya. Sampai segitunya dia berlaku padaku.'

Tak berselang lama terdengar suara motornya yang meraung meninggalkan rumah. Membuat Arman dan Rania berbarengan menghela napas.

"Kiran ... maafkan Elang, ya?" Ucapan lembut Rania yang dijawab Kiran dengan senyum yang dipaksakan karena hati Kiran masih dongkol saja mengingat perilaku tidak sopan suami berondongnya.

"Tidak apa-apa, Ma. Kiran bisa naik ojek online nanti. Mana jangan khawatir."

Kiran menuju sofa untuk mengambil tas miliknya yang tadi dia letakkan di sana. Lalu membuka tas tersebut dan mengeluarkan ponsel dari dalamnya. Tujuannya adalah membuka aplikasi ojek online yang sudah menjadi langganannya.

"Jangan naik ojek, bahaya. Biar Mama saja yang antar," tawar Rania yang tentu saja tidak akan membiarkan menantu kesayangannya menaiki sebuah ojek.

"Tidak perlu, Ma. Kiran sudah biasa naik ojek."

Apa yang dikatakan Kiran itu memang benar. Dia sudah terbiasa menaiki sebuah ojek online jika bepergian untuk urusan pribadi, diluar dari masalah yang berkaitan dengan pekerjaan. Misal pergi ke mall atau hang out bareng teman-temannya. Mobil perusahaan yang dipinjamkan padanya hanya akan Kiran pergunakan sebagai mana mestinya.

"Mama free, kok, hari ini. Jadi bisa antar Kiran pergi kantor." Rania masih terus saja berusaha memaksa.

"Kiran serius, Ma. Tidak apa. Lagipula kantor Kiran jauh. Kiran naik ojek saja. Mama jangan khawatir, oke."

Tidak enak didengar mendapati perdebatan istri dan menantunya, pada akhirnya Arman angkat bicara sebagai penengah dan memberikan solusi bagi keduanya yang sama-sama keukeh dengan keinginan masing-masing.

"Ma ... biarkan Kiran bareng Papa saja."

Rania menolehkan kepala pada suaminya. Wajahnya berbinar dengan senyuman lebar menemukan sebuah solusi yang tepat.

Namun, lain halnya dengan Kiran. Tentu saja wanita itu merasa tidak enak hati karena merepotkan papa mertuanya. Kiran rasa, memang keberadaannya di rumah ini kurang tepat. Yang ada hanya merepotkan semua orang saja.

"Tapi, Pa ...." Kiran mengajukan protesnya.

"Jangan merasa sungkan begitu. Sudah, ayo Kiran ikut papa. Nanti Papa antar sampai kantor Kiran." Seolah tahu yang menjadi ganjalan hati Kiran, Arman kembali meyakinkan jika dia berbuat hal ini tidak ada keterpaksaan. Benar-benar tidak ada masalah jika dia harus mengantar Kiran terlebih dahulu ke kantor wanita itu.

Dengan ragu Kiran mengikuti papa mertuanya keluar rumah. Tak lupa berpamitan kembali pada Rania sebelum dia berangkat.

"Jadi, malam ini Kiran tidak pulang ke rumah ini?" tanya Rania setelah Kiram mencium pipi wanita itu.

Kiran mengangguk. "Iya, Ma. Kiran janji, weekend nanti akan pulang ke rumah ini."

Lalu Rania memeluk menantunya. Selama ini Rania ingin sekali memiliki seorang putri yang dapat menggantikan sosok almarhum Anya. Namun, rupanya takdir berkata lain karena dirinya tak diijinkan hamil lagi sehingga harus berpuas diri hanya memiliki Elang seorang. Kini begitu Rania mendapati kembali Kiran telah menjadi menantunya, luar biasa bahagia hatinya. Sayangnya Kiran tidak mau tinggal bersamanya. Membuat Rania sedikit merasa kecewa. Meski pun demikian wanita itu tetap berusaha berlapang dadaa mengerti akan kesulitan Kirana.

***

Arman mengantarkan Kira sampai di depan lobi kantor tempat sang menantu bekerja. Padahal sejak tadi Kiran sudah meminta agar menurunkannya di jalan dan Kiran berencana naik taksi menuju kantor. Namun, mana Arman tega. Dia sudah berjanji akan mengantarkan Kirana. Tanggung jawab Arman yang begitu besar demi untuk mengambil alih tanggung jawab Rafli menjaga seorang Kirana Larasati.

"Pa, terima kasih sudah mengantar Kiran." Dengan seulas senyuman baru juga bahagia, tak lupa mengucap terima kasih atas kebaikan papa mertuanya.

"Sama-sama. Kiran ini sudah Oapa anggap seperti anak kandung sendiri. Andaikan Anya masih hidup, mungkin sekarang sudah sebesar Kiran. Ah, ya sudah, masuklah. Papa ke kantor dulu."

Kiran mengangguk, mencium punggung tangan Arman sebelum keluar dari dalam mobil. Melambaikan tangan ketika Arman kembali melajukan kendaraan meninggalkannya yang masih berdiri dalam diam sampai mobil Arman tak terlihat lagi.

Jujur, melihat papa mertuanya yang begitu perhatian padanya seperti ini membuat Kiran kembali teringat almarhum ayahnya. Mengusap buliran bening yang tiba-tiba saja menetes di pipi. Kiran tak boleh seperti ini. Harus ikhlas dengan kepergian ayahnya. Beliau sudah tenang di Surga.

Dengan langkah gontai Kiran masuk ke dalam kantor dan langsung menuju lift yang akan membawanya pada tempat di mana ruangannya berada.

"Kiran!" seruan Hans saat Kiran masih berdiri menunggu pintu lift terbuka. Wanita itu menoleh ke belakang mendapati Hans yang tengah menghampirinya.

"Are you okay? Matamu merah." Kata tanya yang begitu saja Hans lontarkan karena mendapati kesedihan yang nampak di wajah cantik Kiran.

"Aku nggak apa-apa. Aku baik."

Pintu lift terbuka mendorong Kiran segera masuk ke dalamnya hingga memutus pembicaraannya bersama Hans. Kiran tidak ingin Hans khawatir padanya karena dia tidak berhak mendapat perhatian lebih dari lelaki sebaik Hans.

Kiran memilih diam ketika Hans juga ikut masuk ke dalamnya. Beruntungnya lagi mereka tidak hanya berdua karena beberapa karyawan juga ikut bersama mereka. Tak lagi ada obrolan spesial karena keduanya memilih bungkam dalam keheningan di dalam lift. Sampai pintu lift yang kembali terbuka di lantai yang Kiran tuju, wanita itu dengan diikuti oleh Hans keluar.

"Aku ke ruanganku dulu," pamit Kiran berlalu meninggalkan Hans menuju kubikelnya. Tidak ingin Hans mencercanya dengan berbagai pertanyaan yang penuh kekhawatiran.

Lelaki itu paling tahu dan selalu tahu suasana hati Kiran. Buktinya tiba-tiba saja satu cup coffe sudah terulur di depan wajah Kiran yang tengah fokus menyalakan komputer. Wanita itu mendongak mendapati Hans adalah pelakunya.

"Kamu pasti butuh ini. Agar suasana hatimu kembali membaik." Hans tersenyum masih dengan menyodorkan kopi untuk Kiran.

"Thanks, Hans."

"You are welcome. Ah, ya. Nanti siang kita lunch bareng." Ajakan Hans yang tak mungkin Kiran tolak dan anggukan kepala adalah sebagai jawabannya.

***

Hans membawa Kiran makan siang di sebuah resto tak jauh dari kantor. Resto yang sangat terkenal dengan aneka makanan yang menggugah selera. Di jam makan siang seperti ini resto selalu tampak ramai. Tak hanya hari ini saja Hans membawa Kiran ke tempat ini, tapi sudah seringkali pria itu membawanya makan di tempat ini. Yang Kiran tahu, owner restauran ini juga kenal dengan Hans dan Tuan Hiro. Sempat dua atau tiga kali Kiran bertemu dengan owner resto ini karena lelaki itu seringkali berada di meja kasir khususnya jika malam hari.

"Hai, Pak Hans!" sapa ramah seorang lelaki yang sedang berdiri di sebelah meja counter.

Lelaki itulah pemilik resto ini. Tumben sekali di jam makan siang lelaki itu ada di sini.

"Hai Pak Dito." Mereka berdua saling sapa dan Kiran hanya senyum-senyum saja.

Lelaki bernama Dito menoleh pada Kiran dan satu senyuman di tujukan kepadanya.

"Hai Kiran. Apa kabar?" Rupanya Dito pun juga menyapa Kiran.

Hubungan baik Dito dengan istri Tuan Hiro, mengantarkan mereka menjadi saling kenal.

"Kabar baik, Mas Dito."

"Kalian pasti sudah lapar, ayo silahkan pesan makanannya."

"Baiklah. Kami ke sana dulu." Hans menunjuk meja paling pojok yang kebetulan kosong.

Kiran hanya mengikuti Hans, lelaki itu menarik kursi untuknya. Setelah Kiran duduk, barulah Hans ikut duduk di hadapan wanitanya. Selalu seperti itu. Hans selalu memperlakukan Kiran dengan sangat baik. Dan hal itu selalu membuat wanita itu terharu.

"Mau makan apa?" Hans bertanya.

"Apa saja. Samakan saja dengan pesananmu," jawab Kiran sekenanya.

Sejak kepergian ayahnya, nafsu makan Kiran turun drastis. Seenak apapun makanannya, Kiran tak berselera. Jika saja Kiran tak berpikir aktifitasnya yang banyak dan membutuhkan asupan energi, mungkin saja Kiran memilih untuk tidak makan. Tapi kembali lagi, dia tetap harus makan meskipun selalu susah saat menelan makanan. Kiran masih sangat terpukul dengan meninggalnya sang ayah, dan tak dapat dipungkiri jika kesedihannya ini masih belum bisa dienyahkan begitu saja.


 

BAB 9

Hans itu selalu tau apa yang Kiran mau, karena kini wanita itu melihat makanan yang terhidang di atas meja adalah soup asparagus, gurami bakar dengan orange juice sebagai minumannya. Karena Kiran tak ada nafsu makan akhir-akhir ini, dengan melihat gurami yang sangat menggiurkan dengan berbalut bumbu, Kiran yakin bisa sedikit membuatnya berselera. Ditambah soup asparagus yang masih mengepulkan asap dengan aroma wangi yang menusuk indera penciumannya. "Mari makan." Kiran mengangguk, mengambil mangkuk dan mulai mengaduk soup-nya. Baru satu suap yang masuk ke dalam mulutnya, panggilan si owner pemilik resto pada Hans membuat Kiran ikut mendongak. Lelaki itu merangkul pinggang wanita muda berperut buncit. Kiran langsung menebak jika wanita hamil itu istrinya. Mereka terlihat bahagia. Dan itu mampu membuat hati Kiran merasa tercubit. Mengingat saat ini statusnya adalah seorang istri. Akankah dia nanti bisa menjalani pernikahan yang bahagia dengan bocah tengil itu. Sendok yang Kiran pakai masih menggantung di sudut bibirnya karena tiba-tiba saja pikirannya terbang melayang ke mana-mana. "Kiran ...." Panggilan Hans harus menyadarkan Kiran dari lamunan. Pria itu sedang menatap Kiran penuh tanya. "Iya. Kenapa?" "Apa kamu ada masalah. Atau ada yang sedang kamu pikirkan?" Hans bertanya juga. Sejak mereka datang, sampai saat ini sedang menyantap makanan, seolah Kiran tidak fokus dan banyak melamun. Kiran buru-buru menggelengkan kepalanya tidak ingin Hans cemas juga khawatir padanya. "Tidak ada," jawabnya singkat. "Ya, sudah. Makanlah." Kiran kembali menunduk menekuri makanannya. Dan Hans pun melakukan hal yang sama tanpa bertanya apapun lagi pada Kiran. Membiarkan wanitanya menikmati makanan yang telah dia pesan. Dua minggu tidak berjumpa, Hans rada tubuh Kiran semakin kurus saja. *** Setelah acara makan siang bersama Kiran, Hans harus keluar kantor bertemu dengan klien hingga jam pulang kerja berakhir lelaki itu tidak kembali. Hanya satu pesan WhatsApp yang Kiran terima darinya. "Take care. Maaf aku tidak bisa mengantar pulang." Kiran menghela napas, entahlah kenapa Hans selalu saja bersikap baik kepadanya. Kiran tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Menjauh dari Hans pun percuma. Sudah sering Kiran melakukannya. Namun, lagi-lagi Hans berhasil membuatnya nyaman. Meski pria itu pernah mengutarakan isi hatinya dan berakhir Kiran tolak, nyatanya Hans masih saja bersikap baik. Selalu sopan memperlakukannya. Hanya pada Hans pula Kiran bisa dekat dengan lawan jenis. Bagi Kiran, berdekatan dengan Hans ia merasa aman. Tak ada tampang mesumm juga mata yang jelalatan. Sesekali memang Hans bersentuhan fisik dengannya seperti menyentuh tangan atau pundaknya. Semua masih dalam batas wajar. Oleh sebab itulah kenapa Kiran masih bisa menjalin hubungan dekat dengannya. Jujur, sebenarnya Kiran tidak ingin menyakiti hati Hans. Kiran sadar jika sebenarnya ada sedikit rasa cinta untuk Hans. Siapa yang tak akan menyukai lelaki sebaik Hans. Namun, Kiran berusaha mengelak karena rasa ketakutan pada diri sendiri. Kiran terlalu takut karena ajakan menikah dari pria itu. Kiran takut menikah sejak dulu. Andai tak ada drama perjodohan dengan bocah tengil itu, mungkin sampai hari ini Kiran masih berstatus wanita lajang karena sama sekali tidak terlintas di benak Kiran keinginan untuk menikah. Semua juga karena masa lalu yang masih begitu membekas di dalam hati Kiran. Namun, sekarang, kondisi sudah berubah. Dia telah menikah saat ini. Dan bagaimana Kiran bisa menjelaskan semua ini pada Hans. Akankah Kiran nanti sanggup mengecewakan Hans untuk yang kesekian kali. Gegas Kiran membereskan barang-barang yang ada di atas meja kerjanya. Memasukkan ke dalam laci. Lalu dia ambil ponsel dan membuka aplikasi ojek online. Hari ini Kiran sedikit lega karena akan kembali ke rumah yang sudah dua minggu dia tinggalkan. Beranjak berdiri meninggalkan ruangan dan buru-buru menuju lobi karena ojek yang dia pesan akan menunggu di sana. Tak sampai tiga puluh menit lamanya, Kiran tiba juga di rumah yang sudah lama tak ia singgahi. Rasanya sangat rindu sekali. Selama satu tahun berada di kota ini, rumah adalah yang menjadi tempat ternyaman bagi Kiran. Sebelum masuk ke dalam rumah, ia sempatkan menengok mobil yang masih aman terparkir di garasi. Senyum juga helaan napas keluar hampir bersamaan dari bibir Kiran. Sepertinya malam ini dia akan menghabiskan waktu untuk bersih-bersih karena rumah tampak kotor sekali. Benar saja dugaannya, lantai yang kini ia jejak sangat berdebu. Belum lagi perabot seperti sofa juga dalam kamar tidurnya yang harus ia sapu dan hilangkan kotorannya. Menyimpan tas dan mengganti bajunya. Kini, Kiran siap dengan semua alat tempurnya. Baru sekitar jam sembilan malam pada akhirnya Kiran selesai menyapu serta mengepel lantai. Rumah ini sebenarnya juga tidak terlalu besar. Jika tidak salah menebak, ini adalah rumah type 36. Terdapat dua kamar tidur yang saling berdampingan. Kamar tidur utama yang ukurannya lebih luas serta dilengkapi dengan kamar mandi dalam. Dan kamar tamu yang ukurannya lebih kecil dari kamar utama. Satu ruang tamu yang menyatu dengan tempat menonton televisi. Di ruang ini Kiran hanya memberikan satu buah sofa bed yang multifungsi. Selain untuk tempat menerima tamu juga sebagai tempatnya bersantai sambil menonton televisi. Lalu ada satu dapur mungil yang bersebelahan dengan kamar mandi. Di dalam dapur minimalis ini juga dilengkapi dengan meja dan kursi mini bar yang bisa digunakan sebagai tempat makan. Rumah ini disewa oleh Kiran ketika dia awal tinggal di kota ini. Dan lokasinya pun di kawasan perumahan tak jauh dari kantor, sehingga memudahkan Kiran untuk pulang dan pergi bekerja. Saat ini Kiran yang kelelahan seusai membersihkan rumah, sudah mandi dan wangi sedang menunggu ojek online mengantar makan malamnya. Ya, delivery order sangat memudahkan pekerja seperti dirinya yang capek sepulang kerja atau malas memasak sendiri. Dan memesan makanan via online adalah solusi. Sambil menonton televisi dan berselonjor kaki, Kiran masih menanti makanannya datang dengan penuh kesabaran. Terdengar suara pintu pagar depan yang diketuk. Senyum wanita itu merekah karena sedari tadi perutnya sudah keroncongan minta segera di isi. Bergegas dia bangkit dari sofa empuk yang diduduki. Pintu rumah dia buka dan betapa terkejutnya tatkala bukan ojek online yang tiba. Melainkan bocah tengil itu yang sedang berdiri angkuh di depan pintu pagar. "Cepat buka pagarnya!" Perintah Elang yang tak ada sopan santunnya sama sekali pada Kiran yang notabene adalah pemilik rumah merangkap sebagai istrinya. Kiran yang melotot masih berdiri mematung di ambang pintu. Tentu saja dia terkejut karena tiba-tiba saja bocah tengil itu sudah ada di rumahnya. Bagaimana bisa? Batin Kiran berdecak juga berteriak tidak suka. Seorang Elang yang akan menyulitkan hidupnya. Padahal wanita itu merasa lega bisa jauh-jauh dari bocah yang selalu membuatnya tidak suka. "Malah bengong lagi." Elang sudah menggoyang pintu pagar hingga menimbulkan suara yang sangat mengganggu pendengaran. Tidak ingin para tetangga terganggu, membuatnya buru-buru memakai sandal. "Iya, iya sebentar." Gegas Kiran menuju pagar. Sesaat setelah pintu pagar terbuka, Elang berlalu begitu saja melewati Kiran dengan menyeret kopernya. Mata wanita itu terbelalak mendapati apa yang bocah itu bawa. Dalam hati Kiran hanya bisa bertanya, apa tujuan Elang datang ke rumahnya malam-malam begini sembari membawa koper besar. Seperti orang mau pindahan saja. Kiran hanya melihat Elang yang sedang melepas sepatunya lalu menyimpan di rak yang ada di samping pintu. Setelahnya pemuda itu masuk begitu saja ke dalam rumah tanpa mau menunggu atau meminta ijin pada si pemilik rumah. Dengan menahan perasaan dongkol dan kesal Kiran pun mengikuti Elang masuk ke dalam rumah. Elang sudah duduk dengan santainya di atas sofa. Memencet remot televisi dan mengganti chanel secara asal. Berasa sedang di rumah sendiri. Kiran yang masih berdiri di ambang pintu, berdecak sebal juga kesal mendapati tingkah laku pria itu. "Kamarku di mana?" tanya Elang angkuh tanpa mau menatap Kiran. Dengan tangan bersadekap di depan dadaa, Kiran menatap lurus pada Elang. Tidak mengerti dengan arah pertanyaan Elang yang tanpa basa basi. Tatapan tajam juga Kiran berikan. "Kamu ngapain ke mari dan bagaimana bisa ada di sini. Pakai tanya segala di mana letak kamar. Kamu sedang tidak bermimpi atau salah alamat, kan?" Elang hanya mengedikkan bahunya. Menjawab dengan entengnya. "Tanyakan saja pada Mama. Sudahlah, Kiran. Aku malas berdebat. Aku ngantuk, mau tidur. Di mana kamarku?" Jujur, Kiran masih kebingungan juga sedikit heran dengan kedatangan Elang yang tiba-tiba. Bahkan sedari tadi pun dia tak mendengar suara mobil atau sejenisnya. Lantas bocah itu datang dengan siapa dan menggunakan apa? Apalagi Elang juga berkata jika Mama yang menyuruhnya. Apa iya, Mama Rania yang meminta pada Elang untuk datang menemuinya. Tiba-tiba saja Kiran mengingat sesuatu. Tadi sore sebelum dia pulang kerja, Mama mertuanya sempat bertanya di mana alamat tempat tinggalnya. Kiran sama sekali tak menyangka jika pada akhirnya Mama Rania justru mengirim putranya untuk datang. Tidak mendapat jawaban dari Kiran karena justru wanita itu tengah melamun, membuat Elang yang tidak sabar memilih beranjak dari duduknya dan mencari sendiri letak kamar yang akan dia tiduri malam ini "Hei! Itu kamarku. Ngapain kamu masuk ke situ!" teriak Kiran melotot melihat Elang membuka pintu kamarnya dengan sesuka hati tanpa permisi. Kiran menyusul Elang yang sudah melenggang masuk ke dalam kamarnya. Dan dengan seenak hati juga bocah itu sudah merebahkan tubuhnya di atas ranjang milik Kiran. Baru saja Kiran akan mengomel dan mengusir pemuda yang juga suaminya itu, suara denting pagar kembali terdengar. Menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Mencoba mengontrol emosi yang sudah di ubun-ubun. Lebih baik Kiran keluar dan makan malam sebelum Elang yang dia makan habis-habisan. 'Dasar bocah tengil yang suka membuatku kesal,' gerutu Kiran keluar kamar menuju pintu depan. .


 

BAB 10

Merasa menang karena berhasil menguasai ranjang empuk yang kini ia tiduri, Elang merebah sembari memejamkan mata. Rasanya sungguh berat sekali cobaan yang ia hadapi akhir-akhir ini. Dipaksa menikah dengan wanita yang bahkan baru dia kenal. Untung cantik. Kalau tidak ... entahlah mungkin Elang memilih untuk merelakan harta warisannya jatuh di tangan orang lain karena ancaman sang papa waktu itu tidaklah main-main. Menolak menikah, maka ia harus siap dicoret dari daftar keluarga.

Dan sekarang, lihat saja bagaimana mamanya yang justru ikut-ikutan mengusirnya dari rumah agar Elang mau tinggal bersama Kirana. Alasan klise dan sangat tidak masuk akal bagi Elang kala mamanya berkata, "Yang namanya suami istri itu harus tinggal satu rumah. Lagipula kamu juga harus tanggung jawab untuk menjaga istrimu."

Bulshit! Semua seolah berkerjasama mengerjainya sampai di titik ini. Koper besar yang sudah mamanya siapkan sempat Elang bawa ke rumah temannya karena tidak mungkin juga dia membawa koper dengan mengendarai motor sport miliknya. Namun, sialnya lagi-lagi si teman yang bernama Dima tidak tahu diri sekali karena menolak menampungnya. Alasannya pun karena dikira Elang sedang kabur dari rumah dengan membawa koper besar segala. Tidak mau berurusan dengan papanya Elang yang akan berujung masalah besar. Dan well, dengan diantar oleh salah satu temannya pada akhirnya Elang mengalah untuk menuju rumah Kiran. Ya, di sinilah tempatnya saat ini sampai entah kapan nanti.

Huft ... mendesah lelah dan memilih memejamkan mata daripada memikirkan kerumitan hidupnya. Namun, belum juga matanya memejam ia mencium aroma khas pizza, dan kedua matanya langsung terbuka seketika. Jika mengingat akan makanan maka perut pun seolah mendapat sinyal karena langsung keroncongan. Sial bukan. Ah, mengesampingkan rasa malu. Yang penting perutnya mendapat ganjalan malam ini karena seingat Elang, ia terakhir makan adalah tadi pagi. Gegas bangkit dari berbaringnya dan berjalan keluar kamar. Benar saja karena netranya yang masih tajam mendapati Kiran tengah sibuk sendiri menikmati satu box Pizza. Tentu Elang tidak terima. Bisa-bisanya wanita itu makan tak memberikan ia tawaran. Sangat disayangkan. Cantik-cantik tapi tak punya hati. Menyumpahi Kiran dalam hati lalu ia berdehem dengan tujuan agar Kiran menyadari akan keberadaannya.

"Kau sedang menikmati makanan tanpa mau repot-repot menawariku?" Elang berdiri bersandar di pintu kamar dengan tangan bersadekap di dadaa.

Kiran mendongak menatapnya tanpa ekspresi hingga decak sebal keluar dari sela bibir Elang.

"Kukira kamu sudah tidur. Mana aku tahu kalau kamu belum makan," jawab Kiran dengan entengnya.

Elang yang sudah meneguk ludah saat melihat Kiran menggigit satu slice pizza, membuat perutnya semakin keroncongan dan tanpa diminta pemuda itu sudah duduk di sebelah Kiran, mencomot satu slice pizza dan ikut menikmati makanan tersebut hingga tandas tak bersisa.

"Banyak juga makanmu. Bahkan aku hanya memakan 3 potong dan sisanya kamu semua yang menghabiskan," protes Kiran tidak terima. Elang yang notabene adalah lelaki dengan kecepatan maksimal mengambil slice demi slice hingga tak memberikan celah bagi Kiran untuk menikmati lebih banyak lagi makanan yang dia beli.

"Kau ini perhitungan sekali, Kiran."

Kiran berdecak sebal lalu meninggalkan Elang masuk ke dalam dapur. Tak lama, dia datang kembali dengan membawa air dingin dalam botol. Diserahkannya pada Elang dan dengan senyuman Elang menerimanya penuh suka cita. Ternyata Kiran perhatian juga. Segera Elang meneguk isinya hingga separoh botol. Merasa perutnya kenyang sekarang.

Namun, tatapan tajam Kiran membuat Elang harus menautkan kedua alisnya bingung. "Kenapa kau menatapku seperti itu?"

"Sekarang coba katakan. Apa yang membuatmu bisa nyasar ke tempatku?" tanya wanita itu setelah Elang meletakkan botol air minum di atas meja. Kiran menelisik wajah Elang berusaha mencari kejujuran dari jawaban yang akan bocah itu berikan.

"Kalau bukan karena Mama, tak mungkin juga aku mau diminta tinggal di sini bersamamu."

Jawaban jujur Elang justru membuat Kiran melotot karena terkejutnya. "Apa? Kamu mau tinggal di sini. Oh, tidak ... tidak ... tidak bisa."

"Kau protes saja pada Mama. Jangan padaku karena sekarang aku sudah mengantuk. Ingin TIDUR." Elang menekan kata tidur pada kalimat yang ia utarakan. Selanjutnya bocah itu sudah berdiri dan hendak masuk ke dalam kamar, tapi Kiran buru-buru mencegahnya.

"Elang ... kamarmu bukan di situ," ucap Kiran, tapi Elang tak peduli dan tetap melenggang pergi hingga pemuda itu tersentak kaget saat baru memasuki kamar, tapi Kiran sudah menarik lengannya dan menyeret keluar untuk masuk ke kamar sebelah.

"Ini kamarmu. Dan kamu akan tidur di situ. Awas! jangan berani kamu masuk ke dalam kamarku." Dengan jati telunjuknya Kiran menuding di depan wajah Elang dan tentunya disertai dengan tatapan tajam nan mematikan. Elang ingin protes tapi tak ia lakukan. Mengalah sedikit saja pada wanita itu tak jadi soal. Ini sudah malam. Tak baik juga jika bertengkar hanya karena berebut kamar.

Tak berselang lama, Kiran kembali menghampiri Elang dengan menyerahkan bantal yang ada di tangan. Elang menerima bantal tersebut dengan wajah memelas. Pasalnya kamar sebelah yang sekarang ia masuki ukurannya lebih kecil. Tak ada ranjang dan hanya terdapat kasur lipat. Memang Kiran hanya memberikan ranjang di kamar utama yang ia huni. Sementara kamar yang ditempati oleh Elang hanya disediakan kasur lipat untuk jaga-jaga saja jika ada saudara atau keluarganya yang datang dan ingin menginap.

"Hei ... Kiran! Kau tega sekali meyuruhku tidur di kamar sempit ini. Bahkan ranjangnya pun tak ada. Dan ... ah, apa iya aku harus tidur di lantai," protes Elang pada wanita yang telah sah menjadi istrinya.

"Sudahlah, Elang. Jangan banyak protes. Adanya hanya ini, ya, kamu terima saja." Mengatakan itu sembari berlalu keluar kamar meninggalkan Elang yang masih tidak percaya akan tragisnya nasib yang dia derita hari ini.

Elang memperhatikan sekeliling kamar sempit ini. Hanya ada sebuah kasur busa yang digelar di atas lantai. Sial, kenapa nasibnya semakin memburuk karena kehadiran Kiran. Umpatan Elang yang hanya bisa ia suarakan untuk dirinya sendiri.

Mencoba berdamai dengan keadaan. Melempar bantal di atas kasur dan ia pun mulai mencoba merebah di sana. Sangat buruk memang. Namun, apa yang bisa ia perbuat sekarang. Tidak ada juga, kan, selain menerima ini semua.

***

Elang tergagap karena suara gedoran pintu. Matanya mengerjab berkali-kali berusaha untuk mengumpulkan separoh nyawa yang belum kembali. Masih terdengar gedoran di pintu dengan suara nyaring Kiran yang memanggil namanya. Ingin rasanya Elang menyumpal telinganya agar tak mendengar suara bising itu. Tak tahukah orang di luar sana jika dia batu bisa tertidur subuh tadi akibat tidak nyamannya kasur yang ia tiduri sehingga membuat badannya pegal di sana sini. Alhasil semalaman Elang hanya bisa membolak balikkan badan tanpa bisa memejamkan mata.

Dengan penuh keterpaksaan akhirnya Elang bangun juga. Berjalan gontai membuka pintu dengan kekesalan.

" Kau ini kenapa mengganggu tidurku saja," sembur Elang begitu daun pintu terbuka. Mendapati sosok Kiran yang sedang berdiri di depan kamarnya.

Harum parfum yang Kiran pakai langsung menusuk indera penciuman bocah itu dan untuk sesaat Elang terpana menatap Kiran yang sudah tampil rapi dan cantik dengan setelan baju kerjanya.

Kiran menyodorkan sesuatu pada suami berondongnya. "Ini kunci cadangan rumah ini."

Dengan ragu dan masih berusaha mencerna semua kata yang Kiran utarakan, Elang mengulurkan tangannya untuk menerima benda kecil itu dari tangan Kiran.

"Kau mau ke mana?" Pertanyaan asal dan hanya basa basi saja dari Elang untuk Kiran. Padahal bocah itu tahu betul jika Kiran adalah seorang pekerja.

"Kerja, lah."

"Lalu aku bagaimana?"

Kiran tampak mengernyit. "Bagaimana apanya?" tanyanya balik.

"Aku harus ke kampus. Dan bagaimana caranya aku pergi. Motorku masih di rumah Mama." Yup, memang Elang tidak ada kendaraan dan ia pasti akan kebingungan jika ingin bepergian. Terbiasa ke mana-mana dengan ditemani motor sportnya dan kini Elang bagai orang bodohh yang tidak dapat berpikir apa pun juga.

Kiran berdecak. "Dasar bocah tengil. Bukankah semalam kamu datang dengan taksi online. Ya, kamu ke kampus bisa naik ojek atau taksi lagi. Dasar," ucap Kiran sarkas sebelum melenggang pergi meninggalkan Elang dengan muka bantal dan rambut acak-acakan.

"Hei ... Kiran! Aku lapar!" Elang berteriak hanya karena ingin mencuri perhatian wanita itu.

"Urus sendiri perutmu. Aku sudah telat." Kiran pun menjawab dengan teriakan.

Astaga, istri macam apa dia. Tega-teganya menelantarkan suaminya seperti ini. Gerutuan Elang yang langsung disadari olehnya. Ya, istri ... suami. Elang menggelengkan kepalanya tak ingin mengingat akan pernikahan yang telah ia jalani bersama Kiran. Belum yakin apakah dia sudah bisa menerima pernikahan itu.

Sibuk berpikir dan melamun sampai ia lupa jika ada kelas jam sembilan pagi ini. Elang harus memperbaiki semua nilai agar dia bisa melanjutkan skripsi lalu ikut wisuda tahun depan. Jika tidak ... maka siap-siap saja Arman akan memecatnya sebagai anak tunggal.

Gegas berjalan cepat menuju kamar mandi karena dia sudah tak lagi memiliki banyak waktu. Sangat buru-buru sekali yang penting tubuhnya terguyur oleh air. Selesai mandi, dengan handuk kecil Elang mengeringkan rambutnya yang basah. Di dalam kamar yang sempit ini tidak terdapat kamar mandi. Jadi Elang terpaksa harus mandi di kamar mandi kecil yang ada di sebelah dapur. Tanpa sengaja ekor matanya melirik meja mini bar yang terdapat sebuah piring di atasnya.

Elang mendekat lalu membuka penutupnya dan mata itu langsung berbinar melihatnya. Dua potong sandwich dan segelas jus jambu. Tanpa banyak kata, pemuda itu menarik kursi dan duduk menikmati sandwich yang dia yakin memang disiapkan Kiran untuknya. Padahal tadi Elang sempat mengira jika di rumah ini dia akan kelaparan karena Kiran tidak mengurusnya dengan baik. Ternyata pikiran Elang salah. Semoga saja Kiran masih mau menyiapkan makan dan minum setiap hari selama dia tinggal di rumah ini. Begitu doa Elang dalam hati masih dengan mengunyah sandwich lalu meneguk jus jambu.

***

Kiran tak habis pikir dengan mama mertuanya. Kenapa juga harus menyuruh Elang untuk tinggal serumah dengannya. Kiran memang belum menelepon beliau, tapi saat baru saja tiba di kantor tadi pagi, Mama Rania yang justru meneleponnya lebih dulu. Menanyakan tentang anak lelaki satu-satunya yang dikirimkan untuk menjaganya. Padahal selama ini Kiran sudah terbiasa hidup sendiri tanpa dijaga siapa pun juga. Mama Rania ini memang terlalu berlebihan. Kiran sudah menolak keinginan beliau dan meminta agar Elang kembali ke rumah saja. Namun, tetap saja dia yang kalah jika harus berdebat dengan mama mertuanya. Hanya bisa pasrah menerima kehadiran bocah tengil itu. Entah akan seperti apa hari-harinya harus tinggal seatap dengan Elang.

"Kiran!" Suara panggilan membuatnya tersentak.

"Ya," jawabnya singkat. Kiran melihat Hans sudah berdiri depan meja kerjanya.

"Mau makan siang?" tawarnya.

Sudah jam makan siang rupanya dan Kiran tidak merasa sama sekali. Mungkin karena terlalu banyak pekerjaan dan pikirannya juga sedang kacau. Jadi sedari tadi dia sampai tak memperhatikan waktu.

"Boleh." Kiran mengangguk.

Hans tersenyum sumringah menyambut wanita yang sudah berdiri menghampirinya.

Mereka berdua berjalanan bersisihan keluar ruangan. Hans, lelaki itu begitu baik dan selalu perhatian dengannya. Lihatlah, beberapa karyawan yang sedang berpapasan pasti mengarah pada mereka. Kiran tahu mereka pasti bertanya-tanya kenapa sosok Hans harus selalu menempel pada Kiran. Namun, wanita itu tak mau ambil pusing. Ingin menyuruh Hans menjauh darinya juga tidak mungkin ia lakukan. Gunjingan dari beberapa rekan kerja yang sering tak sengaja Kiran dengar terkadang juga membuat telinga sakit. Tapi kembali lagi, dia masa bodohh dengan semua itu. Hidupnya bukan orang lain yang menentukan.

"Kiran, mau makan di mana?" Hans bertanya dan Kiran mulai berpikir ingin makan apa kali ini. Semalam ia hanya makan pizza dan pagi tadi juga hanya sandwich yang masuk ke dalam perutnya. Siang ini Kiran harus makan nasi.

"Bagaimana jika kita makan di kantin saja." Usulnya dan Hans mengangguk setuju.

"Baiklah Tuan Putri."

Kiran terkekeh mendengarnya. Hans ini ada-ada saja. Selalu bisa membuatnya tertawa.

Memasuki kantin kantor yang tampak ramai di jam istirahat, seperti biasa mereka berdua selalu menjadi pusat perhatian. Lebih tepatnya mungkin Hans yang menyedot perhatian beberapa perempuan penghuni kantor. Usia Hans yang cukup matang sebagai lelaki memiliki pesona yang semakin meresahkan saja.

"Mau makan apa?" kembali Hans menawari Kiran.

"Eum ... samakan saja dengan pesananmu."

"Kamu ini. Selalu saja tak punya pendirian." Setelah mengatakan itu Hans terkekeh. Kiran sendiri selalu kebingungan menentukan menu makannya. Akan lebih mudah jika dia menyamakan dengan pesanan orang lain.

Kiran duduk di salah satu bangku kosong, tak berselang lama Hans pun menghampiri dengan dua piring berada di tangan pria itu. Satu piring dia sodorkan dihadapan Kiran. Setelahnya Hans ikut duduk.

"Terima kasih."

"Makan yang banyak, Kiran. Lihatlah badanmu kurus sekali."

"Apa begitu terlihat."

"Tentu saja. Seperti tak ada daging yang melekat di tubuhmu. Hanya tulang saja yang kulihat."

"Benarkah segitu kurusnya aku. Bahkan aku tak merasa. Kamu ini ada-ada saja, Hans!"

"Menikahlah denganku, maka aku akan membuatmu lebih gemoy dan berisi."

Kiran tersedak makanannya demi mendengar ucapan yang keluar dari mulut Hans. Wanita itu masih terbatuk-batuk saat Hans menyodorkan botol air mineral yang memang disediakan di setiap meja kantin. Diterima dan dibuka penutup botolnya oleh Kiran. Setelahnya ia meneguknya dengan tergesa karena tenggorokan yang terasa panas.

"Hati-hati kalau makan." Hans mengucapkan itu dan meraih botol air dari tangan Kiran. Menutupnya kembali sebelum meletakkan di atas meja.

"Maaf jika ucapanku mengagetkanmu. Tapi apa yang kukatakan itu tulus dari hatiku, Kiran." Hans merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada Kiran barusan. Namun, permintaannya tadi memang bukan sebuah permainan. Ini sudah kali sekian Hans melamar Kiran. Hanya saja dia belum ada rejeki berhasil membawa wanita itu ke pelaminan. Godaan Tuan Hiro terkadang yang membuatnya terus semangat pantang menyerah mengejar cinta Kirana Larasati.

"Hans, please! Bisakah jika kita tak membahas masalah ini."

Hans menghela napas lalu mengangguk. Kiran tersenyum meski sejatinya dalam hati ia merasa sangat bersalah. Mengabaikan pria sebaik Hans. Berawal dari sebuah ketakutan menjalin sebuah hubungan pernikahan dan berakhir dia yang justru menikah karena dijodohkan

Kiran memilih kembali melanjutkan makannya. Kiran tahu jika Hans masih memperhatikannya, membuat wanita itu tidak berani mendongak demi menghindari bersitatap dengan Hans.

***

Hari ini Kiran pulang telat, hampir jam delapan malam saat mobilnya berhenti di carport depan rumah. Kiran mengernyit mendapati motor sport merah yang terparkir dengan gagahnya di halaman depan. Itu motor milik Elang. Dan artinya bocah tengil itu sudah ada di dalam rumah. Begitu Kiran menduga.

Kiran masuk begitu saja karena pintu rumah tidak terkunci. Mendapati Elang yang tertidur di atas sofa. Wanita itu melenggang pergi tanpa menghiraukan keberadaan suaminya. Tapi begitu Kiran membuka pintu kamarnya, wanita itu sudah dikejutkan dengan teriakan bocah tengil bernama Airlangga.

"Kiran! Aku lapar."

Kiran menoleh melewati bahu agar bisa menatap Elang. Bahkan bocah itu masih dengan posisinya semula dengan mata terpejam. Pura-pura tidur rupanya. Kiran berdecak tak berniat menyahut ucapan bocah itu. Dan lebih memilih masuk ke dalam kamar. Tubuhnya sangat lelah jika hanya meladeni bocah tengil yang kelakuannya hanya membuat sakit kepala.

Bahkan dia ini hidup di jaman serba canggih. Kalau dia lapar, tinggal order makanan online saja. Kenapa harus repot-repot merengek seperti tadi. Memang dasar bocah. 


 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Kirana
Selanjutnya KIRANA #11-20
0
0
ISI 1O BAB
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan