
Sudut ruangan Luna cukup sederhana—sebuah karpet yoga tergelar rapi di dekat jendela, tepat di tempat cahaya matahari pagi sering masuk. Cahayanya tidak terlalu terang, hanya pantulan lembut dari matahari yang baru naik, cukup untuk menghangatkan lantai dan membuat suasana terasa segar.
Di atas karpet, Luna duduk bersila. Ia menyalakan laptop kecilnya yang sudah tersambung ke speaker bluetooth. Di layar, seorang instruktur pilates muncul dengan suara lembut dan gerakan yang pelan namun terarah.
“Take a deep inhale through the nose. Hold... and exhale slowly through the mouth.”
Luna mengikuti instruksi itu perlahan. Bahunya terangkat sedikit saat menarik napas, lalu turun saat ia mengembuskannya. Gerakannya tenang, seperti sudah biasa melakukannya.
“Relax your face. Soften your jaw, and drop your shoulders. You’re safe.”
Mata Luna masih terpejam. Ia membiarkan tubuhnya menyesuaikan ritme, tidak memaksakan apa-apa. Latihan ini bukan tentang membentuk tubuh, tapi memberi ruang sedikit untuk dirinya sendiri sebelum hari dimulai.
“Now, reach your arms up. Lengthen your spine... and twist gently to the right.”
Luna mengikuti perlahan, napasnya teratur. Udara pagi masuk ke paru-parunya, menyapu sisa kantuk yang masih tertinggal.
Akhir pekan. Tidak ada perkuliahan pagi yang melelahkan, dan kafe baru buka pukul sembilan. Bagi Luna, ini adalah pagi yang langka—penuh jeda dan tanpa terburu-buru. Ia bisa melakukan rutinitasnya yang rapi dan tenang. Dibandingkan olahraga lain—yoga, workout, pilates rumahan jadi pilihannya. Tak perlu tempat luas, cukup karpet yoga, ruang yang tenang, dan instruktur virtual dari YouTube yang ia putar lewat laptop.
Ding dong.
Bel unitnya berbunyi nyaring. Luna baru saja menggulung karpet yoga. Ia bisa tebak siapa itu, tapi tetap membuka pintu besi yang sedikit berderit.
“Hai,” sapa Diaz, berdiri di depan pintu dengan senyum sumringah. Rambutnya masih sedikit basah, sisa dari mandi pagi .., mungkin. Ia mengenakan kaos putih polos yang jatuh ringan di tubuhnya, dipadukan dengan celana bahan gelap dan kalung tipis di leher—tidak mencolok, tapi cukup menandai kepribadiannya yang tidak suka ramai tapi juga tidak ingin sepenuhnya menghilang.
Aroma tubuhnya samar tercium, maskulin segar dengan sentuhan woody yang hangat dan sedikit spicy. Bukan wangi yang menyolok, tapi yang justru tertinggal dalam ingatan—halus, bersih, tapi punya karakter.
Luna hanya mengangkat satu sisi bibir. Senyum kecil, bukan karena terpaksa, tapi juga belum cukup hangat untuk disebut akrab.
Beberapa hari terakhir, pertemuan mereka selalu terasa tiba-tiba. Kali pertama, dia terlalu lelah untuk sekadar basa-basi. Kali kedua, semalam, pun begitu—energi sosialnya sudah terkuras habis. Luna sadar betul kalau dirinya mungkin terlihat menyebalkan, bahkan terlalu tertutup. Saat dia menyebut Diaz seperti stalker, itu sebenarnya cuma bercanda. Tapi, ya… masuk akal juga. Baru pindah sebagai tetangga, besoknya langsung muncul di tempat kerja yang sama.
“Gue bikin salad wrap,” ujar Diaz sambil menyodorkan thinwall bening yang masih hangat. “Kalau ada yang nggak pas, bilang aja ya.”
Luna tidak langsung menerima. Matanya mengamati—bukan menilai, hanya mencari alasan. Diaz tidak menjelaskan dari mana ia datang atau kenapa membagi makanan. Tidak ada embel-embel klasik seperti "gue kebanyakan bikin." Justru karena itu, Luna sedikit tertegun.
“Thanks,” ucapnya singkat, ia menerima wadah itu, lalu menutup pintu perlahan.
Diaz tidak kecewa. Dia bahkan tersenyum kecil pada pintu yang tertutup. Luna tidak menolaknya, bahkan bicara. Itu cukup. Proses—kata yang terus Diaz ulang dalam pikirannya.
Di dalam, Luna meletakkan thinwall di atas meja kecil di samping sink dapur. Ia belum menyentuhnya. Pilihannya sekarang adalah mandi dan menyegarkan diri.
Aroma sampo mint dan sabun green tea memenuhi ruangan dari ventilasi kecil di kamar mandi. Harumnya ringan, menenangkan. Hari ini dia mengenakan kaus hitam fit body, kardigan abu terang, rok selutut, dan sneakers senada. Wajahnya dipoles tipis—hanya bagian mata yang dibuat lebih kontras, seperti biasa lentik dengan sentuhan eyeshadow muted pink yang samar. Pipinya diberi sedikit perona, dan bibirnya hanya dilapisi lip balm transparan.
Saat keluar dari unitnya, Luna melirik ke samping. Sepi. Unit sebelah sudah terkunci. Pemiliknya sudah berangkat lebih dulu.
--
Di sisi lain kota, langkah kaki Diaz terdengar cepat menuruni trotoar. Ia setengah berlari. Tujuannya: motor Husqvarna-nya yang semalam ditinggalkan di samping kafe. Bukan karena dia ceroboh. Hanya terlalu canggung untuk menawarkan tumpangan ke Luna, lalu akhirnya memilih berjalan kaki dan meninggalkan segalanya. Termasuk helm barunya.
Setibanya di pelataran kafe, Diaz langsung menoleh ke arah tempat parkir. Motornya masih ada.
“Thank God,” gumamnya, tetapi senyumnya hanya separuh. Karena helmnya—hilang.
“Shit… helm gue…” tangannya menyapu belakang kepala. Helm itu baru dia beli dua hari lalu, bahkan lecet pun belum. Dia memeriksa gembok. Ada bekas congkelan. Seseorang sempat mencoba, tapi gagal. Hanya helm yang berhasil dibawa kabur.
“Diaz?”
Dia menoleh. Mas Jo keluar dari pintu samping dengan tatapan curiga.
“Mas, gue boleh lihat CCTV?” tanya Diaz buru-buru.
Mas Jo melipat tangan. “Lo tinggalin motor lo semalem?”
“Bodohnya, iya.”
“Ada yang hilang?”
Diaz mengangguk. Mas Jo menghela napas. “Ayo masuk.”
Mereka masuk ke ruang kecil di balik dapur, tempat monitor CCTV dipasang. Mas Jo memutar rekaman dini hari.
“Itu,” tunjuk Diaz. Dua pengendara motor terlihat bolak-balik sebelum akhirnya mendekat dan mengambil helm. Terlihat jelas mereka mengamati sekitar dan bergerak cepat.
“Mau dilaporin?” tanya Mas Jo.
Diaz menggeleng. “Ribet. Jadi pelajaran aja buat gue. Tapi itu plat-nya kerekam, kan? Kalau suatu saat gue ketemu... nggak akan gue lepas juga.”
Mas Jo menepuk bahunya. “Ambil hikmahnya. Lain kali lebih hati-hati.”
Diaz mengangguk pelan, matanya masih tertuju ke layar.
Pagi belum benar-benar cerah. Tapi langkahnya terasa sedikit lebih berat dari biasanya.
Diaz keluar dari dapur bersama Mas Jo. Di pantry, Elmi dan Luna sudah bersiap menyambut hari.
“Pagi, Mas Jo. Pagi, Kak Diaz—eh, kok mukanya ditekuk begitu?” seru Elmi sambil menyipitkan mata ke arah Diaz, mencoba membaca ekspresinya.
“Helmnya hilang,” celetuk Mas Jo, menjawab tanpa ragu. Diaz hanya menghela napas kecil, enggan membahas lebih lanjut. Sebenarnya dia masih kesal—bukan hanya karena helmnya baru dibeli, tapi juga karena dirinya tahu persis kenapa benda itu bisa hilang. Tapi menjelaskannya? Terlalu rumit. Luna tidak perlu tahu. Dia tidak ingin membuat gadis itu merasa perlu bertanggung jawab atas sesuatu yang bahkan bukan salah siapa-siapa.
“OMG, taruh di mana? Kok bisa, Kak?” Elmi refleks bertanya, nadanya heboh seperti biasa.
“El,” tegur Luna pelan, cukup satu kata. Ia melirik Elmi sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke arah Diaz yang tampak enggan menjawab.
Elmi, menyadari nada Luna, membentuk mulutnya menjadi huruf O, lalu segera menutupnya rapat-rapat.
--
“Semoga hari ini berjalan lancar, kita mulai hari dengan berdoa.”
Seperti biasa, Mas Jo memimpin. Semuanya berdiri dalam diam, membentuk setengah lingkaran kecil di depan bar. Suara-suara dari luar—mesin motor, bunyi sapu jalan, langkah kaki pejalan pagi—terasa jauh, seolah ruangan itu memiliki gelembungnya sendiri selama beberapa detik.
Aroma espresso pertama pagi itu langsung menyebar dari balik bar. Suara denting sendok, mesin grinder, dan lagu dari speaker kecil di sudut langit-langit mulai membentuk ritme khas Brew & Bite setiap pagi. Lagu yang diputar pelan—lembut dengan beat lo-fi—membuat ruangan terasa hangat meski matahari masih enggan menembus kaca depan yang agak berkabut.
Luna memeriksa stok di pantry sambil mencoret daftar di clipboard kecil. Tangannya rapi dan cepat, nyaris tanpa suara, seperti gerakan seorang yang sudah hapal detail. Ia tidak banyak bicara sejak doa tadi. Tapi bukan berarti dia diam karena canggung—memang begitulah dia, apalagi di pagi hari.
“Elmi, minta tolong ambil menu yang udah dicetak Mbak Tari di rak belakang ya,” seru Mas Jo dari dapur.
“Siap, komandan!” sahut Elmi ceria, kemudian berbisik pada Luna sambil berjalan melewatinya, “Kalau Mas Jo lagi serius gitu, auranya agak beda ya. Dikit lagi mirip aktor film Korea—tapi yang udah jadi bapak-bapak gitu loh.”
Luna tersenyum kecil—bukan karena setuju, tapi karena Elmi memang selalu punya cara unik dalam melihat sesuatu. Ia kembali fokus pada daftar bahan yang belum diisi, menahan tawa agar tak terlalu terlihat.
Sementara itu, Diaz sedang membersihkan mesin espresso, matanya sempat melirik ke arah Luna. Gerakan gadis itu begitu konsisten, bahkan tanpa ekspresi pun tetap memancarkan ketenangan. Tapi, buat Diaz, justru itu yang bikin penasaran—apa yang sedang dia pikirkan, apa yang sebenarnya ia rasakan. Pagi ini, Luna tampak lebih terbuka—atau mungkin hanya sedang dalam mood yang baik. Apa pun itu, Diaz bersyukur suasananya tak seasing kemarin.
“Diaz,” panggil Mas Jo, muncul dari balik pintu dapur, “Mau bantu fotoin menu baru buat stories? Sekalian pake lighting di sini aja.”
Diaz mengangguk, meletakkan kain lap di sisi mesin lalu meraih ponselnya. Saat ia bergerak ke meja kecil dekat jendela, Luna sudah lebih dulu ada di sana—meletakkan sebotol sirup vanilla yang barusan ia ambil dari lemari bahan.
Gerakan mereka hampir bersinggungan.
“Sorry,” ujar Diaz cepat, agak mundur memberi ruang.
Luna bergeser sedikit, menatap singkat. “Gue taruh di sini aja ya.” Nadanya ringan, tidak tajam seperti malam kemarin.
“Oke.” Diaz mengangguk.
Ada jeda sunyi, singkat. Tapi cukup buat Diaz menoleh sekali lagi sebelum Luna kembali ke pantry.
“You look… less cold today,” ucap Diaz pelan, setengah bercanda.
Luna berhenti sejenak, lalu menoleh, menyipitkan mata sebentar. “Pagi belum waktunya dingin.” Jawabannya terdengar seperti lelucon, tapi netral.
Diaz menahan senyum. “Gue setuju.”
Mereka kembali diam. Tapi keheningan itu tidak canggung. Lebih seperti… hening yang tidak perlu dijelaskan. Masing-masing kembali ke tugasnya.
Dari meja kasir, Elmi mencuri pandang. Mulutnya membentuk gumaman tanpa suara: interesting.
–
Setengah jam pertama setelah kafe dibuka selalu jadi waktu paling sibuk—pesanan kopi bertubi-tubi, pelanggan masuk bergantian, dan suara mesin espresso seperti detak jantung ruangan.
Luna sudah terbiasa dengan ritme ini. Dia tahu saat harus fokus, kapan harus gesit, dan kapan harus cukup senyum tanpa harus bicara. Sementara Diaz, meski masih terhitung baru, mulai mengikuti iramanya—tanpa banyak bicara, tapi gerakannya sigap.
“Lun, ada yang nanya minuman yang Lo racik semalam. Yang ada cream cheese-nya. Lo inget komposisinya?” tanya Diaz tanpa mengangkat suara, berdiri tak jauh dari meja bar.
Luna menoleh sebentar. “Strawberry base, matcha, sedikit madu. Cream cheese-nya Gue campur heavy cream dikit biar teksturnya lebih lembut.”
Diaz mengangguk, mencatat cepat di buku kecil. “Thanks.”
Tak ada balasan, tapi Luna tetap di tempat, memastikan dia menangkap semuanya. Percakapan mereka singkat, tapi tidak terputus—cukup. Kadang, kenyamanan memang dibangun dari hal yang tidak perlu diulang.
Elmi muncul dari dapur membawa dua baki kue dan satu cerita baru. “Guys, tebak. Tadi ada pelanggan yang nanya, ‘Mbak, ini tiramisunya vegan?’ terus sebelum gue jawab, dia bilang, ‘Soalnya gue takut dosa.’”
Luna dan Diaz saling pandang sekilas, lalu tersenyum hampir bersamaan.
Elmi meletakkan baki di etalase. “Demi Tuhan, kadang kafe ini lebih mirip pos ronda.”
Di luar, hujan semalam menyisakan genangan kecil yang kini menguap perlahan. Aroma kopi bercampur udara lembap menyelubungi ruangan. Dari speaker di pojok langit-langit, playlist pagi otomatis berganti lagu.
Denting gitar pelan terdengar. Intro yang familiar—terlalu familiar, sampai Diaz sempat berpikir salah dengar.
“Fly across the sky tonight. Discovering the brightest light…”
Lagu itu. Lagu Iqbaal Ramadhan yang populer beberapa waktu lalu—Hello you—cukup sering diputar di radio atau reels Instagram. Ringan, catchy, dan… bukan tipe yang Diaz kira bakal disukai Luna.
Tapi nyatanya, Luna—masih berdiri di depan etalase, sedang menyusun croissant—ikut menyenandungkan sepenggal liriknya. Sangat pelan, hampir seperti gumaman, namun cukup terdengar bagi Diaz yang sedang menyusun cup di sisi mesin kopi.
“Wish I was here with someone to hold tight.”
Nadanya pas. Tidak dibuat-buat. Tidak sadar diri diamati.
Diaz nyaris tersenyum. Satu hal baru lagi tentang Luna: dia tidak serumit yang dia pikir. Bukan hal besar—tapi tetap saja menempel di pikirannya lebih lama dari seharusnya.
Diaz kembali ke pekerjaannya, tapi bagian kecil dari pikirannya masih mengulang lirik tadi.
Dan entah kenapa, pagi itu terasa lebih hangat.
–
Jam makan siang.
Luna duduk sendirian di dapur, membuka thinwall bening berisi salad wrap pemberian tetangganya pagi tadi. Ia tidak berniat sembunyi. Kalau pun Diaz melihatnya sedang makan pemberiannya, ya biar saja.
Ia membagi wrap itu jadi dua bagian. Daunnya masih segar, tidak layu, dan isian di dalamnya cukup lengkap: potongan dada ayam yang dipanggang, selada romaine, irisan kyuri—timun Jepang yang rasanya agak pahit dan berair, jagung manis, potongan alpukat, sedikit irisan wortel serta saus creamy berwarna terang—sepertinya perpaduan yogurt dan mustard ringan. Semua dibalut rapi dalam tortilla gandum tipis yang sedikit hangat karena suhu ruang.
Dia mengambil pinset kecil dari rak, lalu menyisihkan irisan wortel ke piring kecil. Bukan karena iseng. Memang tidak suka saja—teksturnya, rasanya. Tapi setelahnya, ia tetap mengambil suapan pertama dari bagian yang bersih. Diam-diam ia mengangguk kecil, rasanya lumayan.
Tak lama, Luna menggoyangkan kepalanya pelan ke kiri dan kanan. Bukan menari. Hanya kebiasaan refleks kalau makanan terasa cocok di lidah. Gerakan kecil yang mungkin tidak akan disadari siapa pun, tadinya Diaz hendak makan siang. Tapi langkahnya terhenti. Melihat Luna menikmati salad buatan tangannya—tanpa kamera, tanpa gimmick, tanpa tahu sedang diperhatikan—membuatnya urung. Dia takut merusak momen yang tenang itu.
Akhirnya Diaz berbalik arah.
“El, gajadi. Lo duluan aja yang lunch, gue jaga,” ucapnya saat bertemu Elmi yang baru selesai dari bar.
“Eh? Gapapa, Kak? Gue juga tadi nyuri waktu buat ngemil, sih. Jadi masih kenyang-kenyang dikit.”
“Nggakpapa. Gue aja.”
“Okaayy~ Thanks, Kak! Gue ke belakang dulu, ya,” jawab Elmi dengan nada ceria, melepas apron dan berlari kecil menuju dapur.
Diaz bersandar sebentar di pinggiran pantry setelah Elmi berlalu. Pandangannya sempat melirik ke dapur, ke arah Luna.
Tadi dia lihat jelas—pinset kecil, potongan wortel yang disingkirkan rapi. “Hm… noted. Wortel, out of the list.” gumamnya pelan, lalu balik badan sambil senyum tipis.
Langkah Luna terdengar ringan saat ia keluar dari dapur. Elmi masih sibuk di dalam, jadi hanya Diaz yang ada di pantry.
Diaz sedang menyeka permukaan meja bar ketika Luna mendekat. Ia reflek menoleh, tidak menyangka Luna akan langsung menghampirinya.
“Gue gantian, lo makan aja dulu,” ujar Luna singkat.
Diaz hendak mengangguk, tapi Luna lebih dulu menambahkan—nada suaranya datar tapi bukan dingin, sekadar menyampaikan apa adanya.
“Tadi saladnya gue makan… tapi wortel nya gue sisihin. Gue kurang suka, maaf ya.”
Diaz sempat terdiam satu detik, agak kaget karena Luna justru bicara duluan. Padahal dia berniat menyimpan observasinya sendiri tanpa komentar.
Dia akhirnya tersenyum tipis. “Noted. Makasih udah nyoba.”
Luna hanya mengangguk kecil, lalu melangkah ke balik bar. Di sana, ia kembali pada posisinya semula, menyambut antrean pelanggan yang mulai berdatangan. Gerakannya sigap, wajahnya tenang—seolah percakapan barusan hanyalah jeda kecil di antara rutinitas yang terus berjalan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
