Teaser Captain Casanova

0
0
Deskripsi

Found me on wattpad hazelianata for more stories.

Lionel Juno seorang kapten pilot yang casanova, dipertemukan kembali dengan Iliana Jung, seorang juniornya yang banting setir menjadi seorang selebgram. Dalam romantisnya malam Maldives, hubungan keduanya dimulai. Seiring terkuaknya cara kerja takdir dalam mempersatukan lewat pertemuan kedua. Trauma, penolakan keluarga dan cerita tentang masa lalu, akan dihadapi sekali lagi.

Bab 1

Lionel Juno
 

Bandar Udara Incheon, ruang kokpit pesawat.

ATC crew : Before take off check list. Flight control?

Co-pilot : Checked.

ATC crew : Intrument?

Co-pilot : Checked

ATC crew : Briefing

Co-pilot : Confirm

Sambil tetap menyesap kopinya dengan santai, kapten Lionel Juno mendengarkan David, rekan co-pilot di sisinya yang sedang berkomunikasi dengan kru air traffic controller untuk penerbangan pesawat Cessna miliknya yang rencananya akan ia terbangkan dari Jepang menuju ke Seoul

Melalui pemantauan dari cockpit view, pagi itu cuaca kota Tokyo terlihat cukup cerah, sedikit berawan namun terkonfirmasi tidak ada petir di atas sana. Beberapa waktu ke depan percakapan dengan kru ATC terus terdengar sembari menunggu lalu lintas udara aman untuk terbang.

Lee Ji-Hun atau yang kerap disapa Lionel Juno adalah seorang kapten pilot lulusan terbaik Hanseo University. Ia wujudkan mimpi-mimpi masa kecilnya itu dengan masuk ke akademi penerbangan setelah lulus SMA, mengorbankan dua tahun yang sangat keras untuk memenuhi 1500 jam terbang pertamanya hingga berhasil melakukan check ride (test terbang) tepat waktu.

Kegigihannya terbukti mengantarkan Lionel Juno resmi menjadi kapten pilot di sebuah maskapai penerbangan Asiana Airlines, tepat di usia ke 25, setelah dirinya dinyatakan lolos mengikuti ujian ATPL license.

Lima tahun pertamanya, ia habiskan dengan membawa boeing dan airbus dengan rute jarak jauh, sebelum akhirnya ia membuka bisnis charter-nya sendiri dengan membeli beberapa private jet dan helikopter. Beberapa untuk disewakan, beberapa ia gunakan untuk kesenangannya sendiri pergi berkeliling dunia seperti yang ia lakukan saat ini.

"Tower east, Cessna ASGX, cleared to take off runaway 321. Departure to Seoul approved." ijin menerbangkan pesawat akhirnya terdengar.

"321 cleared for take off, cesna ASGX. Thank you." balas David .

Perlahan tangan sang kapten mendorong tuas kendali. Memacu pesawat agar berjalan di lapangan landas dengan kecepatan sedang, tinggi, hingga perlahan rodanya meninggalkan landasan pacu. Pesawat berhasil take off, melayang setinggi awan menuju ke Seoul.

"Roger, continue climbing passing by altitude 5000 direct. Nice..." David memonitor ketinggian pesawat yang perlahan naik menuju ribuan kaki seraya menekan beberapa tombol equipment di depannya

Saling mengenal sejak masih di akademi, persabanatan David dan Lionel begitu erat bak saudara kembar yang tak bisa berpisah. Betapa tidak, David bisa dipastikan akan selalu ikut kemanapun Lionel pergi. Saat Lionel bekerja di maskapai Asiana airlines hingga Kanada, dia ikut. Lionel mengikuti pelatihan helikopter di US, dia ikut serta. Sampai Lionel resign dan memilih mendirikan perusahaan charter pun dia tetap selalu menemani jatuh bangunnya.

Sampai-sampai Lee Young-Ae, ibu kandung Lionel pernah mengaku was-was dengan hubungan anaknya yang terlalu intim dengan David Kim itu. Ibunya hanya tidak tahu bagaimana seorang Lionel yang tampak manis dan pendiam di dalam rumah, sesungguhnya menyimpan aib yang mengerikan di luaran sana. Ada saja wanita yang ia miliki tiap kali mendarat di berbagai belahan bumi hanya untuk sekedar bermain-main.

Setelah pesawat lebih stabil, David Kim melepas sejenak headset-nya untuk memulai obrolan. "Akankah Naomi Osaka dan teman modelnya yang setinggi tiang bendera itu mengejar kita sampai ke Seoul?" tanyanya sedikit khawatir. "Aku takut sekali. Dia sudah menangis di telepon tadi saat kukatakan kita akan pulang lebih awal dari rencana."

Begitu pesawat masuk awan, Lionel memundurkan tuasnya untuk mengurangi power seraya menggerutu pelan. "Sejak tadi hanya itu saja yang kau pikirkan."

"Memang seharusnya kau yang membereskan masalahmu sendiri. Kenapa malah menyerahkan telepon itu padaku? Sekarang aku merasa sangat amat bersalah tahu. Sebenarnya kau telah menjanjikan apa pada gadis itu? Apakah hubungan yang lebih serius seperti pernikahan? Atau cincin berlian dan bunga bank?" David berbicara secepat kereta ekspres dan sama sekali tak mempedulikan Lionel yang semakin terganggu dengan ocehannya.

"Pernikahan apanya? Itu tidak mungkin terjadi. Kita cuma bertemu satu kali di High Five dan mengobrol seben—"

"Jangan lupakan kalau Naomi juga datang ke hotel untuk menemanimu sarapan dan keliling kota." sambar David sekali lagi. "Apakah hal seperti itu tidak makin menambah kesalahpahaman?"

"Tidak. Jujur saja kita berdua tidak seserius itu, Dave. Kau saja yang berlebihan. Ada apa sebenarnya? Kau cemburu kalau aku punya wanita lain?"

David melotot marah karena jelas candaannya yang tidak bermutu itu terekam ke tower ATC dan tersimpan selamanya dalam rekaman black box.

Ia menggembungkan kedua pipinya lalu meniupkan udara penuh emosi itu dengan kesal. "Aku lelah menjadi pionmu, tahu. Bukan satu dua kali lagi kau berulah dan aku terus yang membereskan carut-marut ini. Apalagi saat kau diduga menjadi orang ketiga dalam kasus perceraian penyanyi Song-Yi hanya karena kalian terbukti pernah bertemu di lobi hotel. Kau ingat tidak, aku yang paling duluan maju untuk memberi klarifikasi pada para wartawan sialan itu agar kasus skandalmu tidak makin naik dan heboh."

Lionel mendadak terbahak mendengar kasus konyol yang pernah dialaminya enam bulan lalu hingga membuat namanya menjadi topik utama perbincangan di Naver. "Memangnya itu salahku? Mereka saja yang selalu berpikiran ketika dua insan bertemu pastinya sedang terjalin hubungan romansa. Padahal aku hanya menyukai simbiosis mutualisme. Aku memberikan tiket pesawat gratis dan sebagai gantinya dia promosikan bisnisku. Itu yang dinamakan win-win solution. Kau mengerti tidak?"

"Sama seperti Naomi. Aku sama sekali tidak ingin menjalin hubungan dengannya. Malam itu kita hanya sama-sama kesepian dan saling menemani, bukan? Aku yakin dia juga memahami maksudku. Karena itu..." Lionel merubah mimik mukanya menjadi lebih serius. "Jangan lagi menghubunginya begitu mendarat. Blokir nomornya. Selesai."

Mendengar hal itu bukannya tenang, David makin memijit pelipisnya yang mendadak migrain. "Kalau saja bekerja denganmu tidak sesantai dan senyaman ini, aku sudah menyerah menjadi partnermu sebelum dinosaurus sempat punah."

"Oh man.. Aku tahu bebanmu menjadi kawanku sebenarnya cukup berat. I am so sorry. Sekarang katakan, tempat mana yang ingin kau kunjungi setelah ini, i grant your wish. Jangan jauh-jauh, sekitar Asia Pasific saja."

Setelah menekan tombol autopilot 2, David kembali berkutat menulis laporan di depannya. "Mungkin rencana jalan-jalanmu dalam waktu dekat hanya tinggal mimpi karena aku baru ingat semalam ada beberapa invoice yang masuk untuk charter minggu depan."

"Kemana?"

"Maldives."

"Maldives?" Mata Lionel sontak melebar dengan binar mata senang setelahnya. "Sudah lama kita tidak ke sana, kan? Kapan itu jadwal tepatnya? Apakah kita membawa seorang artis?"

"Aku tidak akan menjawabnya." David menatapnya tajam bak sembilu dengan aura yang sangat misterius. "Karena bisa dipastikan itu semakin membuatmu kesenangan."

Alis Lionel seketika bertaut. Perasaannya menjadi tidak enak. "Apa? Kau tidak mau mengatakannya? Dia bukan mantanku, kan? Tolong cari kapten lain untuk menemanimu jika dia memang mantanku! Hey, Dave? Jawab sekarang atau kujatuhkan kau dari sini!"

 

✈✈✈✈✈
 

Tujuh tahun silam

Hujan deras, badai, serta petir menyambar di siang itu membuat ujian ATPL yang sudah direncanakan jauh-jauh hari menjadi mundur jamnya atau bahkan dibatalkan.

Sambil memandang ke arah hanggar kosong yang kini telah basah oleh air hujan, Lee Ji-Hun duduk melamun di kursi paling ujung di antara beberapa rekannya yang juga berkumpul tengah membicarakan cuaca dan mengeluhkan hujan. Padahal momen ini adalah yang paling dinantikan sejak lama agar setidaknya mereka bisa dengan segera bernapas lega. Karena begitu dinyatakan lulus ATPL, mereka bisa langsung mengantongi lisensi tertinggi dalam dunia penerbangan sekaligus melengkapi satu balok keemasan di lengan menjadi lengkap berjumlah empat—sebagai tanda resminya naik pangkat menjadi seorang kapten.

Masih ada hari esok, pikir Ji-Hun. Dia juga sangat menantikan hari ini tapi bukan berarti ini menjadi pertanda hari yang buruk.

Pandangannya tiba-tiba teralih pada seorang gadis yang tidak ia kenal yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Dengan rambut basah kuyup dia mengambil tempat di sebelah Ji-Hun lalu membuka tasnya di atas meja dengan cepat.

"Sudah kehujanan, tugasku belum selesai pula. Mati aku mati!" Ji-Hun mendengarnya menggerutu sambil mengeluarkan selembar kertas tugas, pensil dan penggaris. Detik berikutnya, dia mulai sibuk menulis dan menggaris sesuatu di sana.

Seolah sangat penasaran hal apa yang sedang dikerjakan, Ji-Hun memperhatikan dengan seksama dan mendapati dia sedang menghitung jarak landing distance dengan perumpamaan kejadian sedang ada perbaikan di runaway-nya.

Dia ikut menghitung rumus di kepalanya sambil mengernyit dan memiringkan kepala. "Run away 25R sampai abeam taxiway N6 itu jaraknya..." Kalimatnya meluncur begitu saja tanpa bisa ia kendalikan sampai membuat gadis itu terkejut dan menoleh padanya.

Dia sendiri tidak tahu ada apa dengan dirinya dan kenapa harus ikut campur masalah tugas seseorang yang tidak dikenalnya? Tiba-tiba dia menjadi gugup ditatap begitu. "Ehm... Mana airport info chartnya?"

Gadis itu mengerjab beberapa kali lalu seperti baru ingat, dia kembali mengaduk tasnya. "Apa yang kakak maksud yang ini?" dia menunjukkan sebundel kertas yang terjilid rapi.

Lelaki itu berdeham demi mengusir gugupnya. "Betul. Coba baca bagian Preffered Exit Taxiway - Arrival."

Dengan cepat tangannya bergerak untuk menemukan halamannya. "Lalu?"

"Tinggal lihat saja datanya."

"7080'/2158M. Hanya begini?" dia bertanya takjub. "Bukan dihitung manual dengan penggaris dan skala peta?"

"Bisa saja tetapi sedikit kurang tepat. Sertakan saja kedua jawaban itu. Hitungannya lebih presisi dan akurat dengan melihat airport info chart-nya."

"Begitu ya." senyum lebar langsung terlukis manis di bibirnya. "Terimakasih banyak sunbae." Dia membungkuk berkali-kali dengan ramah.

"Sama-sama." Ji-Hun baru saja menyadari kalau dia lupa bernapas sejak mereka mengobrol dan kini dadanya sesak.

Dia ini... Namanya siapa?

 

✈✈✈✈✈
 

2. Iliana Jung Have Some Trust Issues
 


POV Jung Il-Lee

Bukannya berganti baju setelah menyelesaikan foto sesi pakaian dalam terbaru milik Young Curves, aku memilih duduk melamun di wardrobe sambil menimang kotak perhiasan Van Cleef and Arpels yang hanya bisa kubuka-tutup dengan tanpa minat. Ada dua perhiasan indah di sana yang bukannya membuatku terkagum-kagum, malah membuatku merinding disko tiap kali aku merenunginya. Dua tahun menjadi single sementara tiga tahun lagi usia dua puluhanku berakhir, seharusnya aku malah senang ada seseorang yang datang melamarku. Bukannya goyah, menghindar dan ingin kabur seperti ini.

Park Hyun-Sang bukanlah orang sembarangan. Dia seorang dewan penasehat startup terkemuka di negeri ini dan menjadi sosok mentor favorit anak muda karena dedikasinya. Kami menjadi banyak bertemu saat aku ditunjuk sebagai brand ambassador StockIt, aplikasi saham terbaru miliknya yang baru diluncurkan.

Lalu kotak ini diserahkannya padaku setelah perayaan satu juta users beberapa hari silam. Tanpa sepengetahuan lainnya, diam-diam dia mengajak ke balkon hotel tempat pesta dan mengatakan segalanya. Tentang ketertarikannya padaku sekaligus keinginannya menjadikanku istri sekaligus ibu satu putrinya. Yes, dia duda anak satu yang aku akui masih sangat amat mampu membuat gerah. 

Tanpa pernah melalui tahap mengenal lebih dalam, aku terkejut dan tidak bisa menjawab apa-apa bahkan sampai satu minggu sudah berlalu. Aku sengaja pergi dan menghindari pekerjaan dengan StockIt karena belum menemukan jawaban penolakan yang sopan dan tidak terkesan kurang ajar.

Apa yang diharapkan dengan gadis tidak bermutu sepertiku—yang punya keluarga berantakan, hidup sebatang kara, mantan pilot yang tidak becus menerbangkan pesawat, serta hal-hal traumatis di masa lalu yang banyak mempengaruhi trust pada hubungan percintaanku saat ini?

Rasanya tidak adil. Aku hanya tidak mau Park Hyun-Sang menyesal sudah memilihku.

"Iliana Jung!!"

Aku terlonjak kaget saat kepala asistenku melongok lewat selambu ruang ganti. Sialan! Untung aku masih mengenakan kimono. Meski dia setengah tulen, tetap saja aku tidak mau dia melihat onderdil berhargaku.

Matanya otomatis melotot begitu melihatku masih belum berganti baju sejak aku masuk ke sini satu jam lalu. "Kau berencana siaran langsung dengan pakaian dalam?"

"Bukankah itu cara tercepat untuk populer?" timpalku tak mau kalah gila dengannya. "Bagaimana kalau kita coba saja? Mana tahu penontonnya makin meningkat?"

Julio memutar bola matanya dengan jengah. "Pinkiss barusan meneleponku untuk mengingatkan kalau siaran peluncuran produknya di G-Market dilakukan lima belas menit lagi."

Aku baru ingat dan segera bangkit meraih baju yang akan kukenakan. Gara-gara memikirkan jawaban lamaran itu aku jadi lumpuh otak dan tidak bisa berpikir dengan benar. "Oke. Tinggalkan aku. Bagaimana bisa aku ganti baju kalau kau terus nyerocos seperti ini?"

"Di sini aku juga ingin mengingatkanmu kalau kau harus banyak-banyak bersyukur karena telah memilikiku selama ini. Aku rajin, pandai mengatur jadwal dan keuanganmu, bahkan, semua kopermu buat penerbangan besok pagi sudah siap kukirim ke bandara. Tolong pertimbangkan kapan kau mau menaikkan gajiku, setidaknya 10 persen saja dari biasanya."

Aku tidak mengacuhkan permintaan naik gaji terselubungnya karena perutku mendadak bergejolak saat kembali diingatkan kalau besok adalah jadwalku terbang ke Maldives untuk syuting iklan di sana. "Sebenarnya aku lebih bersyukur kalau kita naik kapal laut saja." ucapku lirih dengan tersenyum pedih.

Semenjak insiden bird strike tiga tahun lalu yang hampir merenggut nyawaku, aku sudah tidak lagi berani naik pesawat karena trauma. Perutku juga selalu mulas jika mendengar benda melayang itu disebut-sebut.

Tiga tahun lalu, helikopter Sikorsky S-76 yang kubawa diserang sekawanan burung gagak hitam yang menghantam kaca depan serta menyerang mesin hingga terbakar dan kehilangan daya sebelum sengaja aku jatuhkan ke tengah laut.

Aku hampir mati konyol. Tapi setelah kecelakaan itu, namaku malah menjadi bulan-bulanan seluruh negeri.

Lisensi pilot helikopterku dicabut. 

Teman-teman seprofesi menghinaku dengan sebutan Gagak Hitam.

Sudah kubilang aku payah. Keberuntunganku sepertinya sudah kuhabiskan dalam kehidupan sebelumnya.

"Kau ini mantan pilot, Ily. Jangan berlebihan! Aku yakin kau bahkan masih bisa parkour di badan pesawat yang sedang terbang. Oke, kita hentikan topik tentang penerbangan sampai sini. Kuberi waktu lima menit untuk ganti baju. Kalau kau masih belum siap dan malah berniat kabur, aku bersumpah akan segera menyeretmu ke liang kuburan almarhum ibuku!"

Kepalanya menghilang. Selambunya kembali tertutup.

Aku tidak punya jalan ninja untuk kabur kemana-mana selain menghadapi penerbangan esok hari. Juga jawaban yang harus aku berikan pada Park Hyun-Sang begitu kembali dari Maldives nanti.

✈✈✈✈✈
 

3. Everlasting Love
 

Jung Il-Lee.

Ji-Hun tahu nama gadis itu dari David yang memberitahunya setelah dia bercerita tentang pertemuan itu. Senang karena akhirnya kawannya itu punya gebetan, David sampai banyak mengorek informasi tentang Il-Lee untuk dibagikan pada Ji-Hun. Ia mendapat info kalau Il-Lee baru lulus tes tahap pertama dan kini sedang belajar mengejar lisensi komersial.

Walaupun hanya memiliki keberanian sebatas mengamatinya tertawa dengan teman-teman prianya di kafetaria; mencuri pandang saat bertugas menjadi pembicara di salah satu kelasnya; atau saat berkesempatan melihat gadis itu menyelesaikan terbang solo pertamanya dari kejauhan—dengan bonus melihatnya jejingkrakan dengan wajah gembira begitu turun dari pesawat, rasanya sudah cukup mengisi energi Ji-Hun selama satu bulan ke depan.

Hari ini dia kembali ke kampus—setelah baru saja menyelesaikan penerbangan dari Shanghai—masih dengan alasan yang sama. Mencari gadis energik bermata ekspresif itu. Namun sayangnya sampai ia berjalan mengelilingi ruang demi ruang akademi, yang ia cari masih belum ketemu. Entah pergi kemana, tapi Ji-Hun sangat berharap hari ini dia bisa melihat Il-Lee. Kali ini ia berjanji akan memberanikan diri untuk menyapa dan mendekatinya.

Ji-Hun yang menyerah akhirnya bergabung dengan teman-temannya berkumpul di depan asrama, sambil minum, merokok serta membicarakan banyak hal.

"Aku lebih baik mati daripada didrop out dari akademi. Orangtuaku pasti sangat kecewa jika tahu aku belum juga lulus tes junior first officer." Seung-Ho tampak frustasi dan hendak meminum alkoholnya untuk meredakan stresnya namun dirampas dengan cepat oleh Ji-Hun.

"Kalau kau terus menerus minum, performa kesehatanmu ikut menurun. Itu berpengaruh pada tesmu nanti. Sudahlah, belajar saja lebih keras!"

David Kim yang tertawa pertama kali menonjok dada kawannya itu seraya menguatkannya. "Santai bro... Santai tapi fokus. Katakan saja pada instruktur kalau kau butuh pelajaran ekstra. Dia pasti akan membantumu melalui kesulitanmu."

"Aku sudah membuat janji siang nanti. Tapi tetap saja pikiran ini membuatku tidak tenang. Rokok, please... mana rokok!!" teriaknya pada kawanan lain yang sibuk memandang gawainya.

Semuanya langsung kompak melemparinya rokok dari segala arah. Total ada belasan rokok yang berhasil dipungutnya.

"Meski aku gagal, setidaknya aku punya teman-teman yang setia seperti kalian begini." Seung-Ho berhasil tersenyum dan mengalihkan pikiran beratnya dengan hal lain. Sambil menyalakan satu rokoknya, dia bertanya pada rekan yang kini sudah jarang ia temui. "Ji-Hun-ah. Kau jadi pindah airlines? Apa sudah ada panggilan lagi?"

"Sudah. Baru minggu lalu aku resmi bekerja di Asiana."

Seung-Ho seketika mencibirnya. "Semudah itu dia mengikuti tes. Mungkin aku sudah bermasalah sejak tes bahasa inggrisnya."

"Kau bisa. Pasti bisa. Datanglah ke tempatku kalau kau butuh bertanya sesuatu." jawab Ji-Hun berusaha menyemangatinya.

Tiba-tiba sekawanan pria yang semula asyik main game di ponsel, kasak-kusuk membicarakan makhluk tak biasa yang tiba-tiba hadir di markas mereka.

"Ya Tuhan... Siapa itu?!"

"Perempuan."

"Sudah tahu kalau dia betina. Maksudku... bagaimana bisa ia berani masuk asrama pria?"

"Cantik. Boleh juga digangbang."

Siulan tinggi rendah terdengar bersahutan.

Melihat hal itu, David menyikut rusuk Ji-Hun berulang kali agar laki-laki itu segera sadar dan melihat sosok apa yang sedang dibicarakan teman-temannya. "Hey.. Here she is."

Rokoknya ia gantung begitu saja dimulut, seiring pandangannya melihat ke arah yang ditunjuk David. Terperanjat dan setengah tidak percaya dengan matanya sendiri, dia mengerjab berharap visual hanya mimpinya dan segera berganti.

Tapi tetap saja yang dia lihat adalah Jung Il-Lee yang tengah berjalan cepat melintasi lapangan asrama sambil menekuk wajah dan mengerutkan dahi seolah ada amarah hampir meledak yang sedang ditahannya. Sepanjang gadis itu berjalan mendekat, Ji-Hun tidak melakukan apapun dan cuma bisa terkesima sampai akhirnya langkahnya berhenti tepat di hadapan geng pria itu.

Gadis itu lantas berteriak dengan lantang. "Banci kaleng Lee Ji-Hun. Keluarlah!!"

Para pejantan itu langsung menoleh ke belakang tepat dimana Ji-Hun selama ini bersemayam.

"Siapa cewek itu?"

"Pacarmu?"

Tanya teman-temannya.

Ji-Hun menggeleng sebelum akhirnya dia bangkit dan berjalan mendekatinya. Senyuman bahagia terus terkembang di bibirnya mendapati gadis itu dengan suka rela jauh-jauh mencari dirinya sampai ke asrama pria. Memang kemana saja dia ketika Ji-Hun mencarinya seharian tadi?

Saat Lee Ji-Hun bergerak menghampiri, tiba-tiba saja Jung Il-Lee menyerang dengan mencengkram kuat seragamnya sambil berteriak marah. "Kau apakan temanku sampai dia menangis begitu? Kalau kau tidak suka padanya tolong tolak dia dengan sopan!!"

Bukkk!

Ditonjoknya tulang pipi Ji-Hun sekuat tenaga hingga membuat lelaki itu otomatis terhuyung ke belakang. Memang sedikit linu tapi ini sama sekali tidak ada artinya dibanding luka tawuran yang biasa dia dapatkan ketika berkelahi dengan sesama penghuni asrama.

Masih dengan memegangi pipinya, ingatannya langsung kembali pada beberapa silam, saat dia membakar secarik surat cinta seorang gadis yang tidak ia kenal dengan korek api elektrik hingga menjadi abu sebelum ia injak dengan sepatu tepat di depannya. Ji-Hun memang tidak mengatakan apapun, tapi jelas dia sudah menyakiti.

Baku hantam kecil itu langsung memicu reaksi dari kawanan jantannya. Dua belas pria itu mendadak bangkit dan mendekati Il-Lee dengan emosi tersulut.

"Hei, berani-beraninya anak kecil memukul kakak kelas. Belum pernah diperkosa ya kau!"

"Segera minta maaf dan membungkuk padanya!"

"Atau kami adukan kelakuanmu barusan ke instruktur disiplin!"

Melihat kesalahpahaman teman-temannya, Lee Ji-Hun buru-buru menengahi. "Hei guys please stop! Aku tidak apa. Ini hanya masalah kecil antara dia denganku."

Tapi gadis itu tidak menunjukkan ketakutan sama sekali. Dia justru tetap membusungkan dadanya dengan semakin menantang. "Apa? Apa? Kalian mau menghukumku dengan apa? Menyekap? Membully? Melecehkan? Kenapa menjadi senior membuat kalian jadi merasa bisa menindas dan memperlakukan adik kelas dengan semena-mena? Kalian pikir aku takut pada kalian semua, hei para senior yang jelek, sok jagoan, impoten dan t*titnya kecil!"

Seperti menyiram minyak tanah ke arah kobaran api, gerombolan itu semakin menunjukkan kemarahan, apalagi dengan terang-terangan cewek itu menunjukkan penghinaan ke aset paling berharga mereka yang tidak berdosa.

Dengan kompak mereka menyerang gadis itu kalau saja Ji-Hun tidak segera mendorongnya ke dinding dan melindungi tubuh Il-Lee dari berbagai serangan di belakangnya. Lelaki itu merelakan punggungnya terkena lemparan batu, kaleng, dan tonjokan tak sengaja dari belasan teman-temannya.

Ji-Hun memejamkan mata bukan karena segala kesakitan yang kini sedang diterima punggungnya. Terlebih karena dalam posisi sedekat ini, dia memilih diam untuk menetralkan jantungnya yang berdebar jauh melebihi batas normal, serta desiran tidak biasa yang hampir membuat dadanya meledak apalagi saat napas gadis itu hangat membelai dadanya. Kalau boleh diijinkan, dia ingin terus bisa memeluk Jung Il-Lee seperti ini dan melindunginya dari segala kejahatan dan kerasnya dunia.

Saat itu perasaannya hanya sebatas ingin. Dia tidak pernah tahu, kalau membuktikan dan meyakinkan terkadang menjadi hal yang paling sulit untuk dilakukan.

Dekapannya pada gadis itu semakin mengerat saat kemudian sebuah botol kaca terlempar ke dinding namun beberapa pecahannya sempat mampir jatuh ke tengkuk dan kepala Ji-Hun.

Dalam kungkungan dan perlindungan lelaki yang baru saja ditonjoknya, Il-Lee mendongak menatap Ji-Hun dengan mata melebar dan sorot tidak percaya.

Kenapa laki-laki ini malah melindunginya?

✈✈✈✈✈
 


 

Naomi Osaka memanggil...

Napas Lionel terhembus berat saat lagi-lagi melihat nama gadis itu muncul di layarnya.

Ponselnya ia balik. Dia sudah bosan dicari seolah dirinya punya kuasa dan tanggung jawab sebagai penyebab segala rasa cinta yang tumbuh.

Dia sudah muak.

Kenapa tidak ada satu saja gadis yang tidak menggunakan perasaannya saat ia dekati?

Dia butuh satu yang seperti itu dan ia jamin hidupnya akan lebih mudah.

"Jangan lupa besok!" tiba-tiba muncul, dengan kejamnya Hyun-Sang langsung membahas pekerjaan pada Lionel yang baru saja bisa meluruskan kaki di sofa usai satu minggu jadwal terbangnya tanpa jeda.

Dia memilih pura-pura tidak dengar dan malah asyik mengganti-ganti saluran tv.

"Ya nam-dongsaeng?" Hyun-Sang berteriak sekali lagi dengan lebih keras dari dapur.

"Iya iya. Of course. Kau pikir aku anak kemarin sore yang lupa jadwal terbang apa?" jawabnya kemudian.

Hyun-Sang membawa segelas susunya lalu menjatuhkan diri di sofa single di dekat Lionel seraya menampilkan wajah yang lebih serius. "Maaf kalau aku cerewet, tapi penumpang ini spesial. Aku yang merekomendasikan manajemennya untuk memilih pesawatmu." ceritanya dengan wajah berseri-seri.

"Hmm? Pacarmu?" tanyanya berusaha terlihat antusias.

Hyun-Sang termangu sesaat sebelum akhirnya ia tersenyum. "Tidak ada yang tahu pasti, aku hanya bisa berusaha. Di sini aku hanya ingin pastikan kalau kau kapten pilotnya. Karena kudengar... dia ini punya pengalaman yang membuatnya trauma naik pesawat. Lalu kupikir, kau tidak pernah mengalami hal yang serius dalam penerbangan selama ini, bukan?"

"Yup. Okay."

"Serius, kau kapten pilotnya, kan?" tanyanya kembali memastikan karena merasa adik tirinya itu sedikit tak acuh.

"Yes, i am. Kau punya passengers identity-nya? Aku mau lihat."

Giliran Hyun-Sang yang malah terkaget-kaget. "Hei, sepertinya manajemennya sudah memberikan detailnya pada David. Dia tidak memberikan padamu?"

"Belum. Okay, biar aku cek emailnya nanti." Lionel tak lagi peduli dan kembali melirik ponselnya yang sudah tidak bergetar oleh panggilan Naomi. Tampak di layar jamnya menunjuk angka 03.55, ia menerka sekitar lima menit lagi siaran langsung gadis favoritnya akan dimulai. Meski kebanyakan obrolannya cuma seputar make-up dan jalan-jalan, setiap hari minggu pukul 4 sore Lionel selalu menantikannya. Karena cuma dengan cara ini dia bisa mengobati rindu.

"Tapi aku punya fotonya di tablet. Sebentar."

Seperti tidak peduli dengan segala laporan tidak penting kakaknya, Lionel diam tak menjawab dan memilih melamun menatap layar ponsel yang belum memunculkan tanda-tanda akun itu akan siaran. Apakah dibatalkan, atau hanya terlambat?

"Nah ini... ketemu. Aku sempat berfoto dengannya saat seminar minggu lalu. Kuyakin kau mengenalnya karena kurasa dia adalah gadis termanis yang pernah kulihat." ponsel Hyun-Sang yang terletak di kamar pribadinya tiba-tiba berdering nyaring dan sedikit membuatnya panik. "Biar kuletakkan di sini. Sepertinya itu telepon Mom dan aku harus pergi."

Sepeninggalnya, Lionel meletakkan ponsel, lalu meraih tablet yang diletakkan kakaknya di atas meja tak jauh darinya.

Bukannya penasaran dengan calon pacar Hyun-Sang atau wanita pujaannya yang diceritakan tadi, dia hanya memastikan penumpangnya itu bukan salah satu dari ratusan 'teman wanitanya' yang pernah ia campakkan. Lionel tidak sedang menghindarinya, hanya saja, setidaknya dia sudah harus siap dengan kecanggungan yang akan muncul sebelum bertemu dengan mereka.

Saat layar menyala karena tersentuh oleh jemarinya, matanya tertuju pada seorang gadis yang langsung menyita perhatiannya. Gadis yang sangat ia kenal.

Dia merasakan waktu di sekelilingnya mendadak berhenti. Tubuhnya kelu. Napasnya tersendat di kerongkongan. Lama ia habiskan waktu hanya untuk menatap foto itu dan mengulang-ulang namanya dalam hati.

Bukan salah satu dari mantannya. Karena sungguh dia tidak akan pernah rela menjadikannya mantan kekasih apalagi sampai jatuh ke pelukan Hyun-Sang, atau lelaki manapun—ia harus segera melakukan sesuatu agar itu tidak terjadi.

Ponselnya sudah memutar siaran langsung yang ia tunggu. Gadis berwajah sama dengan yang ada di tablet yang ia pegang, sedang serius mengatur kameranya namun berakhir terjatuh di lantai.

Terdengar suaranya tertawa, sebelum ia memungut dan wajahnya kembali muncul di layar. Dia tersenyum.

"Annyeong... Sudah lama menungguku?"

Seperti gerak reflek, lelaki itu mengangguk seolah menjawab pertanyaannya. "Tujuh tahun. Apa itu belum cukup?"

Iliana Jung tertawa.

"Maaf aku terlambat dan sudah membuat kalian menunggu. Mari, kita berdoa agar bisa bertemu di dunia nyata dan jangan sungkan untuk menyapaku jika bertemu. Hari ini aku akan berkolaborasi dengan Pinkiss dan mengobrol tentang produk terbarunya."

Dadanya bergemuruh. Sepenggal memori usang diputar seperti sebuah film yang mundur cepat ke masa itu.

Alasan kenapa mereka berpisah di masa lalu. Sebab apa yang membuatnya masih bertahan tak melakukan apapun di masa ini. Dia tidak pernah tahu mengingat hal yang dulu bisa terasa sesesak ini.

Waktu yang sudah terarung lama bisa jadi penyebab ketidakyakinannya mengulang hal yang sama seperti dulu bisa berhasil. Sudah sejak lama diputuskan ia bengkalaikan perasaannya di belakang, tak mau lagi diungkit meski masih sering wajah itu ia tatap dari layar seperti sekarang ini.

Dia yang menyerahkan jalan hidupnya pada kehendak bebas semesta, semakin terlalaikan mengejar kesemuan tiada akhir sebagai seorang casanova. Sebuah semu yang sia-sia karena tak ada yang ia dapat dengan segala pengejaran itu selain rasa lelah dan bosan.

Tahu-tahu sekarang dia memegang foto ini di tangannya. Bukan mereka yang menginginkan pertemuan namun takdir sudah menarik garisnya, mengantarkannya kembali pada seseorang yang pernah ia ingin jadikan tujuan akhir, namun juga yang tidak pernah dia usahakan.

Sekarang dia percaya, kesempatan kedua akan selalu ada untuk memperbaiki semuanya.

"Jung Il-Lee. Mari kita bertemu sekali lagi."

✈✈✈✈✈
 


 

4. Second Meet, Second Chance


 

"Ini masih jam 6 dan kau bilang sudah sampai di bandara?? Mau membantu cleaning service menyapu hanggar??!!"

Sambil mendengarkan suara David yang memekik melalui earbuds, Lionel mematut dirinya di depan cermin restroom, memastikan rambutnya tertata rapi, dan tak ada yang mengganggu penampilannya.

"Iya. Kenapa memangnya?"

"Jadwal berangkatnya jam 8, Capt. Sadarlah!"

"Bukankah lebih cepat lebih baik." gumamnya kemudian. "Kau masih di rumah? Tidak ingin berangkat juga menemaniku di sini?"

Seketika terdengar helaan napas dari seberang. "Itulah kenapa aku tidak mau memberitahumu soal penumpang ini. Benar bukan? Sudah kukatakan kau akan kesenangan dan kuyakin semalaman kau tidak bisa tidur!"

"Sejak kapan David Kim banting setir jadi cenayang?" dia beralih ke dasinya yang sedikit miring ke kiri untuk kemudian ia rapikan. Dagunya licin, kulit wajahnya segar dan bersih, dia sudah yakin ini penampilan terbaiknya.

"Jujur saja. Apakah salah satu penumpang itu yang membuatmu bertingkah aneh begini?"

"Tidak ada. Bukan siapapun. Sudahlah, aku mau telepon kru untuk segera siapkan pesawatnya. Bye."

Setelah panggilan terputus, kacamata hitamnya terpasang. Senyumnya terkembang wajar sepanjang ia berjalan menuju hanggar, dengan sama sekali tidak mengusahakan pesonanya menguar namun masih sangat sanggup membuat terkesima orang yang melihatnya.

✈✈✈✈✈
 


Di salah satu kedai kopi bandara, Ily duduk menyedot lime juice, menunggu Julio dengan bosan setengah mati.

Sebenarnya ini salahnya sendiri, jadwal keberangkatan masih satu jam lagi namun ia sudah berada di sini demi bisa mengobati kegugupannya menghadapi penerbangan.

Bukan gugup yang menyiksa. Dia sudah cukup tenang setelah berkonsultasi dengan psikolog selama beberapa hari sebelum jadwal keberangkatannya. Tapi tetap saja ia butuh persiapan lebih panjang sebelum masuk  kabin dibanding dengan orang normal.

Ponsel dengan soft case squishy pisang di atas mejanya tiba-tiba berdering nyaring. Dia sungguh berpikir itu panggilan penting dari Julio namun setelah tahu siapa yang menelepon, ia meraih ponsel dengan ogah-ogahan.

"Ya... Eomma. Ada apa?" tanyanya begitu panggilan terhubung.

"Kapan jadwal terbangmu ke Macau? Ingat, kau harus sarapan dengan baik sebelum berangkat."

"Maldives, Bu. Iya. Aku sudah makan banyak sebelum berangkat tadi." bohongnya.

"Julio ikut, kan? Ibu sudah titip pesan agar dia membawa obat-obatan dan snack untukmu. Jam berapa kau berangkat?"

"Satu jam lagi. Tenang saja, semuanya akan lancar. Aku ini bukan anak SD yang mau karyawisata."

"Bagaimanapun juga ini kali pertamanya kau terbang setelah kecelakaan itu. Ibu jadi ikut khawatir. Oh, ya, minggu depan Ibu akan ke Seoul selama beberapa hari sebelum ke Daegu menjenguk nenek. Kudengar dari Julio, pacarmu baru saja membelikan satu set perhiasan mahal? Benarkah itu? Apakah itu artinya dia sudah menunjukkan keseriusan dan ingin segera menikahimu dalam waktu dekat?...."

Demi setan-setan di neraka, sejak kapan ember bocor itu jadi mata-mata ibu?!

"Kupikir belum sejauh itu, Bu." timpal Ily setelah rentetan pertanyaan ibunya selesai. "Dia hanya rekan kerja yang memberikanku hadiah dan tidak punya maksud lain."

Ily sudah tidak mau membantahnya lagi dan memilih mendengarkan ceramah ibunya yang mengatakan kalau sudah saatnya ia membuka hati untuk seseorang agar ia memiliki teman dekat yang bisa menemaninya kemana-mana. Padahal Ily sudah punya Julio yang multifungsi dalam kehidupannya sehingga ia merasa tak perlu lagi punya kekasih. Sampai sepuluh menit kemudian, telepon itu terputus, kalimat ibunya membuat Ily terpekur cukup lama.

Ia merogoh tas dan menemukan kotak Van Cleef and Arpels lalu membukanya perlahan.  Kalung dengan liontin matahari, dan cincin berbentuk clover  langsung menyapa dan berkelip manis padanya.

Ily tersenyum. Mungkin benar kata ibunya. Dia seharusnya membuka lembar hidup yang baru.

Maksudnya bukan membuka hati untuk seseorang baru, namun membuat fase baru dalam dunianya menjadi lebih mutakhir dan challenging. Baru memikirkannya saja, dada Ily seperti akan meledak karena terdengar sangat menyenangkan.

Setelah memasang kalung dan cincin itu satu persatu, Ily berjalan dengan percaya diri menuju boarding gates dengan koper kecilnya, tanpa perlu lagi menunggu Julio.
 


 

✈✈✈✈✈
 


Kaki Lionel bergerak-gerak gusar. Ia mengawasi sekitar yang masih belum memunculkan tanda-tanda kedatangan air crew satupun hingga memicu geraman marah di tenggorokannya. Betapa kurang ajarnya mereka semua membiarkan seorang kapten berjaga di dalam pesawat sendirian sementara mereka masih asyik bercanda-canda ria di lounge airport usai briefing tadi.

Merasa tidak mampu lagi menunggu lebih lama, Lionel menekan angka 2 di ponselnya sebagai panggilan darurat ke nomor David Kim yang tidak perlu menunggu lama untuk segera dijawab. "Kau sedang dimana?.... Sudah selesai tertawanya?.... Apa sopan meninggalkanku sendirian begini?... Membelikan roti panggang untukku? Tidak usah aku sudah kenyang!... Just go straight to the place you were belong... Aku akan terbang sendiri meninggalkan kalian semua. Cepat sedikit!! Jangan banyak membantah!.... Why do you taking so fucking long?! Three-toed sloth!"

Kopinya hampir tumpah mengotori seragam di akhir makiannya, saat tiba-tiba ia melihat gadis yang ditunggunya berjalan menggeret kopernya melintasi apron melalui kaca kokpit.

Buru-buru dia letakkan ponsel dan kopi sebelum sukses merusak penampilannya, kemudian bergegas melangkah ke ambang pintu menyambut penumpang pertamanya sekaligus yang paling ia tunggu-tunggu.

Hari ini adalah harinya. Dia sudah siap menyambut gadis itu yang sebentar lagi hadir di depan pelupuk matanya.

Menyempatkan menata rambut dan berdeham agar suaranya lebih stabil, Lionel lantas menunjukkan senyum terbaiknya. Gadis itu sedang fokus menaiki tangga sementara ia tengah menanti dengan sabar.

"Selamat datang di penerbangan Embraer Legacy 500. Apa kabar Jung Il-Lee? Senang bertemu lagi denganmu di sini!"

Ily memang terkejut, tapi tak sampai melotot dan syok kembali bertemu dengannya selama 7 tahun tidak bertemu. Lionel tidak tahu seberubah apa sifat gadis ini, Mungkin saja dia sudah menjelma menjadi sosok lain yang tidak ia kenal.

Namun degup dan hangat di dadanya adalah yang paling jelas masih terasa sama meski beberapa tahun terakhir terlewati tanpanya.

Ily tetap cantik dan semakin mempesona membuat seluruh objek dalam pandangannya selain gadis itu seolah memburam. Lionel tidak akan merasa keberatan berlama-lama memandanginya.

✈✈✈✈✈
 


Tanpa sadar Ily menyentuh jantungnya sendiri kala melihat sebuah pesawat jet tak jauh darinya dengan suara mesinnya yang berderu hingga memekakkan telinga.

Mungkin ini bukan trauma atau ketakutan. Mungkin ini hanya reaksi gugup menghadapi penerbangan pertamanya setelah kecelakaan itu.

Ditariknya udara di sekelilingnya ke dalam paru-paru sebelum ia hembuskan perlahan. Dia bisa menghadapi ini. Dia pasti bisa. Mustahil Ily terus menerus menghindari traumanya karena pesawat adalah bagian dari mimpinya selama total ia hidup di dunia.

Langkahnya terayun dengan yakin namun menjadi sedikit gugup saat menaiki satu persatu anak tangga pesawat. Setiap derapnya semakin mempercepat kerja jantungnya hingga ia memutuskan untuk berhenti di anak tangga teratas karena pandangannya tiba-tiba mengabur.

Bayangan serangan gagak itu teringat lagi.

Bayangan dirinya jatuh ke laut lepas terulang lagi.

Sepertinya dia butuh waktu untuk memulihkan diri lebih lama lagi.

Saat Ily hampir berbalik karena menyerah dan berniat menelepon Julio untuk membatalkan penerbangannya, seketika suara berat seorang laki-laki tiba-tiba datang menyapa dan menahan gerakannya.

"Selamat datang di penerbangan Embraer Legacy 500. Apa kabar Jung Il-Lee? Senang bertemu lagi denganmu di sini!"

Perlahan tapi pasti, Ily menoleh ke asal suara yang cukup familiar di telinganya itu.

Seorang pria bertubuh tegap dengan balutan uniform warna navy dengan empat bar di bagian pergelangan tangannya—yang secara jelas menunjukkan seberapa tinggi kedudukan pangkatnya—sedang tersenyum manis, memandang Ily dengan sorot terpana yang selalu ia kedipkan setiap kali ia terbius terlalu dalam.

Sementara Ily yang tidak cukup siap untuk menghadapinya kembali, menelan ludah susah payah dengan tubuh goyah hampir roboh dan menggelinding konyol kalau saja keseimbangannya tidak berfungsi dengan baik.

Dengan cepat ingatannya terputar di masa lalu saat ia masih bodoh, polos dan berapi-api. Memang tidak begitu banyak memori kebersamaan dengan seniornya ini, namun entah mengapa, sudut hatinya selalu terasa nyeri setiap kali mengingatnya.

Oke, ini bukan waktu yang tepat untuk membahas masa yang telah lalu apalagi mengadakan reuni kecil-kecilan di depan pintu pesawat seperti ini. Ily harus fokus dan segera selesaikan pertemuan ini tanpa basa-basi lagi.

Setelah memperbaiki posturnya kembali menjadi tegak dan percaya diri karena ia tidak mau menunjukkan ketakutan yang mengganggunya sejak tadi, Ily berujar santai dengan ekpresi terkejut yang dibuat-buat.

"Ahh... Aku sangat tidak menyangka kita akan bertemu lagi di sini. Apa kabar sunbae-nim? Jadi kau kapten pilotnya?"

"Hm-mm... seperti yang kau lihat saat ini. Saya kaptennya." senyuman lelaki itu menghilang karena ia sedang memperhatikan detail garis wajah Ily yang sama sekali tidak berubah bila dibandingkan dengan saat terakhir kali Lionel melihatnya. Foto yang kemarin ia pandangi telah menjadi nyata berdiri di hadapannya kini.

"Aku mendengar banyak kabar tentangmu. Seperti... melepas seragam pilot dan memilih menjadi seorang model dan punya banyak fans. You're better than ever, Iliana Jung."

Ily tidak tahu apakah Lionel sedang menuturkan kalimat sarkas atau benaran tulus melontarkan pujian. Namun, ia memilih menduga kalau lelaki itu tengah berujar sinis padanya.

Tangannya otomatis terlipat di depan dada sebagai tanda self defense dan ia harus segera melakukan perlawanan.

"Resign dari maskapai Kanada dan memilih mendirikan perusahan charter sendiri... Itu lebih hebat kalau hanya dibandingkan denganku." tandas Ily. Ujung bibirnya lantas terangkat naik. "Kupikir setelah waktu berjalan cukup lama dengan banyaknya wanita yang mampir di hidupmu, kau akan dengan mudah melupakan juniormu yang terlalu biasa ini, sunbae. Oh, ternyata aku salah duga. Cukup mudah ya mengingatku setelah sekian lama?"

Lionel tertawa renyah sambil mengusap rambutnya yang berkilau rapi oleh styling hair gel. "Bagaimana bisa aku melupakan gadis bar-bar yang pernah menonjokku saat di akademi dulu. Percayalah... Aku terus mengawasi kehidupanmu meski kita tidak pernah bertemu dan dengan kenyataan kau jauh dariku."

Ily membungkuk dengan menutup bagian dadanya yang berpotongan rendah. "Merupakan suatu kehormatan seorang kapten bisa dengan sudi mengikuti segala kabar tentang saya. Terimakasih banyak. Serius dan jujur, saya sangat tersanjung." koper di tangannya tiba-tiba ia dorong sampai berada di hadapan pria itu. "Dan ini... koper. Aku penasaran apakah kau sungguh tidak punya satu pun pramugari untuk menyambut tamu di depan pintu sampai kau sendiri yang harus melakukannya? Tapi kupikir tenagamu cukup kuat untuk membereskannya, kan?" dengan santainya Ily menerobos masuk dan sengaja menabrak bahu Lionel yang mau tak mau ikut tersulut emosinya.

"Hei kau!!!" lelaki itu meneriakinya dengan keras. "Apakah aku lebih tampak seperti petugas porter daripada seorang kapten pesawat?!"

Meski kesal begitu, Lionel tetap saja menggeret koper pink electric itu masuk ke dalam dan menghampiri Ily yang sudah memantul-mantulkan pantatnya di atas sofa sambil mengamati interiornya yang cozy. "Kenapa sepi sekali? Jadi cuma ada aku dan kau saja di pesawat ini?"

"Kau tidak sadar ya kalau berangkat terlalu pagi? Ini bahkan belum pukul 7, tahu." koper itu diletakkannya di sisi tempat duduk Ily sebelum ia berujar lagi. "Dan tolong urus barang bawaanmu sendiri mulai sekarang. Kau bisa letakkan kopermu di sembarang tempat kalau kau mau."

Ily seketika mendengus jengah. "Mana ada penumpang yang tidak dilayani dengan baik bahkan datang lebih dulu dari pada awak kabinnya? Kau yakin mereka crew yang bisa diandalkan? Kenapa malah kau yang datang duluan? Oh, apakah kau sebenarnya juga merangkap teknisi mesin yang harus berangkat pagi-pagi?"

Lionel menarik napas panjang berusaha sabar. "Aku telah terbiasa mengecek segalanya sendiri saat pengecekan mesin. Bukankah yang aneh seharusnya kau? Sudah kubilang kalau kau datang kepagian. Jadwal masuk kabin pukul 7.30. Kenapa belum pukul 7 kau sudah muncul di sini? Apakah kau sungguh tidak sabar bertemu denganku setelah mencari tahu siapa kapten pilot penerbanganmu kali ini?"

Seringaian lelaki itu seketika membuat mulut Ily semakin menganga lebar. "Apa? Kau sungguh mengira aku telah tahu pertemuan ini hingga ingin segera bertemu denganmu?" Ily mencebik. "Yang benar saja. Aku bahkan telah melupakan kau pernah hidup kalau saja kita tidak bertemu pagi ini! Daripada kau terus menghalusinasikan hal-hal yang tidak mungkin terjadi, lebih baik panggil seluruh kru kabinmu sekarang juga. Aku lapar dan ingin pesan sarapan!"

Ujung hidung lelaki itu berkedut menahan kesal. Kalau saja gadis itu bukan seseorang dari masa lalunya yang sangat ingin ia temui, ia bersumpah akan bersikeras meladeni ocehannya.

"Ayo. Sampai kapan kau terus berdiri mengagumiku di situ?" ujar Ily sekali lagi saat melihat Lionel sama sekali tidak mau beranjak dari tempatnya dan malah melamun.

Egonya seketika runtuh. Lelaki itu mengalah dan beranjak pergi untuk menelepon salah satu krunya karena perintah penumpang tidak beradabnya ini.

"Kalian dimana? Tolong segera masuk! Kita bersiap berangkat sekarang."

✈✈✈✈✈
 


"Selamat pagi penumpang yang terhormat. Kapten Lionel Juno berbicara di sini." terdengar suara pria dari interkom yang memperkenalkan diri sebagai kapten pilot. "Selamat datang di penerbangan Embraer Legacy 500 dengan tujuan Maldives. Jarak tempuh udara 6718 km, dengan waktu 7 jam perjalanan..."

Tak mempedulikan cuap-cuap sang kapten yang kemudian dilanjutkan oleh seorang pramugari memperagakan sebuah alat keselamatan di hadapan penumpang—yang sudah ia hafal di luar kepala—Ily tetap sibuk mengunyah sepotong cheesecake yang tadi ia pesan.

"Kau lapar karena letih mengatasi kegugupanmu naik pesawat atau kau benaran lapar? Aku tahu kau bukan pencinta makan di pagi hari, Ily." Julio meletakkan satu botol yoghurt di meja lalu menumpukan dagu dengan jemari lentiknya memperhatikan gadis itu makan.

"Memang tidak semuanya. Aku tidak gugup pun tidak lapar. Hanya ingin menilai masakannya dan semua pelayanan yang ada di sini. Kalau buruk, serius... akan kutandai maskapai ini dengan rating terburuk yang pernah ada." tandasnya sambil menghujamkan garpu dan melahap potongan terakhir.

"Oh... Lalu kenapa kapten pesawat masih berdiri sambil tetap memperhatikanmu alih-alih menutup pintu kokpitnya? Kau mengenalnya?" Julio menunjuk dengan santai karena sejak tadi, dia sudah mengendus tingkah dan gelagat aneh dari kedua insan ini.

Seketika mengangkat wajah dari piringnya, Ily dan Lionel seketika saling bertatapan dari kejauhan dan membuat Ily bertanya-tanya sejak kapan pria itu memperhatikannya? Apakah sejak dia makan tadi? Atau saat dia masuk ke toilet sebelum pintu pesawat ditutup?

Rasa kesalnya tersulut dan kembali terbit semakin menjadi. Diacungkan tinggi-tinggi jari tengahnya, meski dengan sigap Julio menariknya cepat agar gadis itu tidak melakukan hal yang lebih parah lalu membekap mulut Ily yang hampir akan mengeluarkan sumpah serapah.

✈✈✈✈✈
 


David Kim yang sedari tadi memperhatikan partner-nya yang baru masuk ke kabin kokpit, hanya bisa menggelengkan kepala dengan heran. "Apa yang baru saja kau lakukan di luar sana? Menghitung jumlah penumpang? Atau mengawasi salah satunya?"

"Menurutmu?" Lelaki itu malah balik bertanya.

"Aku tidak tahu. Sejak tadi aku juga bertanya-tanya kenapa langit tiba-tiba berawan. Namun rupanya sang matahari sekarang telah berpindah ke wajahmu."

Lionel tertawa kecil seraya menekan dan memutar beberapa panel di atas kepalanya. "Apakah kau baru menyadari kalau penampilanku selalu prima dan cerah seperti ini setiap harinya? Dan tolong pakai kacamata hitammu jika kau merasa pemandangan ini terlalu menyilaukan."

Merasa tidak bisa lagi melampau kenarsisan rekannya yang telah kronis menahun, David kembali mencatat laporannya sambil berujar. "Seriuslah sedikit. Penumpang bisa tidak percaya denganmu dan mengira kau mabuk kalau kau terus senyum seperti itu."

"Is it obvious? Sorry. Aku hanya... Terlalu bahagia." Lionel sudah berusaha untuk menahan agar senyumnya tidak terkembang namun tetap saja tawa-tawa kecilnya terus terdengar.

Seperti sudah jengah melihat hal itu, David tidak peduli lagi dan kembali memasang headset untuk menjawab komunikasi dari kru ATC barusan.

"Take off from Incheon at 7.30 a.m. Let's go flying."

✈✈✈✈✈
 


5. Maldives

"Benji...? Ron...? Dae? Siapa yang ada di sebelahku ini?"

Ji-Hun yang baru saja mendaratkan pantatnya di kafe internet, tiba-tiba mendengar suara gadis—yang cukup familar di telinganya—dari bilik sebelah. Laki-laki itu seketika menahan senyumnya setelah diam-diam mengintip siapa yang sedang duduk di sana, 

Jung Il-Lee? Apa yang gadis itu lakukan di sini?

"Kau sudah selesai mengirim tugasnya? Tolong bantu aku mengerjakan soal yang terakhir. Aku lupa rumus menghitung wind correction angle."

Karena sudah kepalang tanggung, Ji-Hun berdeham sebentar untuk menyetabilkan suaranya. "Apa soalnya? Bacakan."

"Kau tidak punya soalnya? Apakah setiap soal dibuat berbeda? Bajingan sekali memang penggemar manhwa mesum satu itu!" Il-Lee berdecak kesal sambil memaki instruktur pengampunya. "Oke, dengarkan baik-baik. Pesawat 100 knots sedang berjalan menuju 360 derajat ke utara. Sementara angin dari arah 330 derajat kecepatannya 20 knots. Bagaimana cara mengatasi drift dengan menghitung WCA?"

"Pakai saja rumus SIN. Tapi cari hypotenuse, opposite dan adjacent-nya dulu."

"Okay sebentar."

Rencana Ji-Hun yang semula ingin bermain game online karena bosan menunggu antrian simulator pesawat jenis baru, menjadi urung ia lakukan karena kini ia sibuk mengamati Il-Lee yang sedang menghitung lewat sela-sela bilik yang bisa dijangkaunya.

"Apakah sudah ketemu?" tanya Ji-Hun tidak sabar. "Setelah itu invers SIN-nya. Kau bawa kalkulator, kan?"

"Iya. Aku bawa. Okay. Aku sudah menemukan jawabannya. 5,7."

"Bulatkan saja menjadi 6. Sudah?"

"Hm... Oke. Sudah selesai. Terima kasih.... Aku sedang mengirim tugasnya sekarang..... Apa kau sudah? Mari aku traktir makan siang setelah ini."

Tiba-tiba Ji-Hun segera berdiri lalu mencondongkan tubuhnya ke bilik sebelah. "Okay. Sekarang saja. Kebetulan aku sedang lapar."

Il-Lee yang baru akan berdiri dari duduknya seketika menoleh pada laki-laki itu, membelalak dan hampir terjengkang karena syok.

Jadi... orang yang duduk di bilik sebelah selama aksi mencontek tadi sama sekali bukan teman kelasnya?

Melainkan kakak kelas yang telah ia tonjok beberapa hari lalu?

Tenggorokan Il-Lee tercekat. Dia gelagapan. "K... kau lagi?"

✈✈✈✈✈
 


Maldives merupakan negara dengan ribuan pulau koral kecil yang terbentang di sepanjang garis khatulistiwa. Setelah menempuh waktu 7 jam perjalanan, untuk sampai ke tujuan pulau resort, mereka harus naik seaplane lagi selama 10 menit via pelabuhan yang terletak tak jauh dari bandar udara Velana.

Begitu pesawat amfibi itu mendarat, rasa lelah seketika langsung terbayarkan begitu melihat pemandangan indah nan eksotis terhampar di sana. Pasir putih pantai yang lembut, menyatu kontras dengan air laut jernih bewarna biru toska. Didukung dengan cuaca yang cerah tanpa awan di atas kepala, membuat sinaran matahari yang sedang tinggi terasa hangat dan menyilaukan.

Resortnya berupa bungalow yang berdiri di atas air dengan jembatan yang menghubungkan ke setiap kamarnya.

Seluruh penumpang—yang terdiri dari kru produksi, dan pelaksana—tak dapat lagi membendung kehebohannya segera turun dan berlari-larian di sepanjang pantai, berusaha mengabadikan momen indah itu sebanyak-banyaknya.


 


Di antara kehebohan itu, seorang gadis berambut honey blonde panjang tampak layu, diduga karena mabuk udara parah yang sedang dia alami. Lain dengan penumpang lain yang sudah menyebar ke segala arah, dia berjalan seperti keong, membiarkan kopernya tergeletak begitu saja.

Oke, sebetulnya dia sendiri tidak menyangka akan mabuk seperti ini mengingat berapa jam terbang yang dulu harus ia lalui untuk menjadi first officer. Dia sama sekali tidak pernah mabuk perjalanan dan ini adalah pertama kalinya. Oh, sial. Apakah ini termasuk ke dalam tanda-tanda penuaan dini?

Tak peduli lagi dengan sekitar dan dress biru selutut yang sedang ia kenakan, Ily jongkok di atas hamparan pasir begitu saja sambil memijat pelipisnya. Jangan tanya Julio dimana dan kenapa ia tidak merawat Ily yang sedang sakit begini. Ikan pesut itu mungkin sudah berenang mencari kembarannya di laut lepas sana.

Lama ia berada di posisi itu berusaha untuk memulihkan tenaganya kembali, sampai beberapa saat kemudian dia melihat sepasang Salvator Ferragamo berhenti tepat di hadapannya. Ily mendongak pada pemilik sepatu yang bertubuh menjulang itu lalu berdecak.

"Kau kenapa?" tanya Lionel tanpa basa-basi.

Ily menggeleng. "Tidak apa. Aku baik-baik saja hanya tidak mau diganggu. Pergilah!"

Tidak mau begitu saja menuruti keinginan gadis itu, dia malah menyodorkan tangan. "Mari aku bantu berdiri. Apakah kau sedikit mabuk?"

Rasanya gengsi sekali kalau mantan pilot tangguh seperti dirinya mengaku mabuk udara. Apa kata dunia? Bisa-bisa dia kembali diperolok teman-temannya. Maka dari itu Ily hanya bergeming.

"Lobby-nya masih jauh. Masih sekitar satu kilometer lagi dari sini. Apakah kau bersedia aku gendong saja? Punggungku lebar dan tanganku cukup kuat menggendong bayi gajah. Kau tidak percaya? Mau membuktikannya?"

Tanpa merasa perlu meraih tangan Lionel, Ily tiba-tiba berdiri dan langsung bergerak memeluknya sekaligus menyandarkan kepala di dada lebar pria itu.

Kejadiannya begitu cepat dan tiba-tiba sampai-sampai Lionel yakin, jantungnya lepas detaknya sepersekian detik karena sentuhan yang kini melingkari pinggangnya itu.

Tak butuh waktu lama untuk menemukan dirinya kembali. Senyum seketika menghiasi bibirnya sebelum kemudian ia membalas pelukan. "Are you okay?.... Apakah kau sudah merasa lebih baik sekarang?.... Mmm, okay.... By the way, karena ini merupakan kali ketiga kedatanganku ke sini, aku menjadi sedikit tahu tempat bagus di sekitar sini. Kau mau... hmm... Maksudku begini. Kalau kau sedang free... Apakah kau mau makan malam denganku? Nanti. Tapi kalau kau tidak setuju, aku bisa menemanimu jalan-jalan. Akan aku pastikan kau tidak akan sendiri di sini. Kita bisa..."

Tak disangka-sangka hal yang selanjutnya terjadi adalah....

"Hueeeeekkk!!" dengan gagah beraninya Ily memuntahkan isi perut hingga basah menodai baju seragam seorang kapten tanpa bisa ia tahan lebih lama lagi.

Pria yang menjadi objek muntahan seketika terhenyak. Ia membelalakkan mata, syok, tidak bisa melakukan apapun kecuali berteriak sejadi-jadinya. "Jung Il-Leeeeee!!"

✈✈✈✈✈
 

BRUKK!!

Lionel langsung menghempaskan Ily di atas ranjang kamar dengan perasaan dongkol berat setelah menggendongnya sejauh satu kilometer, dengan hanya mengenakan dalaman t-shirt polos akibat serangan muntah yang sukses total membasahi seragamnya.

Dia lebih mirip petani yang menggendong hasil panennya ketimbang pilot yang check in di resort Maldives.

Sama sekali tidak keren.

Mengatur kembali napasnya yang terengah-engah, lelaki itu rebah di sisi Ily sambil menatap ke langit-langit kamar sampai beberapa saat, sebelum menoleh, mengamatinya wajah terlelap tanpa dosa itu dari dekat.

Meskipun Lionel tengah diliputi lelah dan kesal akibat ulahnya, tetap saja rasa itu langsung cepat menguap begitu melihat makhluk menggemaskan itu.

"Apa yang kau lihat?" tiba-tiba Ily menggumam dengan mata terpejam. Bagaimana bisa gadis ini mengetahui sekitarnya meski dalam kondisi pingsan begitu?

Tidak perlu merasa canggung, Lionel kemudian membalas. "Memandangmu."

Tangan Ily mengibas lemah sambil tetap memejamkan mata seolah mengusirnya. "Pergi saja. Tidak ada manfaatnya mengamatiku tidur."

"Aku tidak sedang memperhatikan apa-apa darimu. Di sini aku hanya memastikan kau benar-benar mau bertanggung jawab mencuci baju seragamku yang kotor karena ulahmu!"

"Hmm..." dia mengunyah sesuatu dalam tidurnya. "Okay."

Demi mengusir keinginan menyingkirkan anak-anak rambut Ily yang menutupi wajah, Lionel memilih merogoh saku celana dan mengeluarkan obat anti mabuk yang kemudian ia letakkan di atas meja nakas. "Tolong minum obatmu, kuletakkan di sini... Dan jangan sakit lagi!" langkahnya sudah hampir menyentuh pintu ketika Lionel teringat sesuatu dan memutuskan berhenti untuk kembali melemparkan pandang pada putri tidur itu.

"Dan tentang hal yang kubicarakan soal rencana nanti malam... Lupakan saja. Aku tidak benar-benar serius mengatakannya."

✈✈✈✈✈
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 37-38 Captain Casanova
1
0
The new beginning. Kehidupan Ily dan Lionel pasca berpisah. Enjoy the ride!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan