
“Mas tidak mencintaiku,” ucapku lirih. “Mas memeluk Lira dan kalian berhubungan di belakangku. Tidak ada cinta yang menduakan.”
Mas Galuh menatapku lamat. “Bagaimana jika aku berkata, saat itu aku memeluk Lira karena tahu ia berencana mengakhiri hidupnya?”
Itu tidak mungkin. Orang seperti Lira dilimpahi banyak keberuntungan. Bodoh jika ia menginginkan kematian. Aku menggeleng pelan karena sulit menerima informasi yang Mas Galuh berikan.
Cinta Putih
809
139
13
Berlanjut
Menikah dengan Mas Galuh seperti mimpi yang jadi nyata bagiku. Ia kembali ke desa ini dan membuka kembali bisnis usaha bambu milik ayahnya yang sempat tutup. Kami menikah karena ibu Mas Galuh yang meminta. Sayangnya, sampai tiga bulan pernikahan kami, Mas Galuh belum juga menganggapku sebagai istri. Di matanya, aku hanyalah karyawan yang kooperatif dan bekerja keras memajukan usahanya. Aku menyadari hal penting yang mungkin jadi alasan mengapa pernikahanku tak juga mengalami kemajuan. Satu, alasan Mas Galuh membuka usaha bambu dan meninggalkan kesempatan kerja di perusahaan besar ibu kota. Dua, alasan Mas Galuh belum juga menganggapku sebagai istrinya. Tiga, alasan Mas Galuh tampak tak nyaman berada di dekatku. Semua itu membuatku menyadari bahwa cinta tak bisa dipaksakan dan aku berencana untuk meninggalkan Mas Galuh demi kebahagiaanku sendiri. Aku bisa membuka hati pada pria lain yang tulus mencintaiku dan menyemangatiku untuk bisa bahagia dengan caraku sendiri. Hanya saja, dimana bahagia itu bisa kurasakan? Di samping Mas Galuh atau Mas Ibnu?
4,948 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Selanjutnya
Cinta Putih Ekstra Part 1 dan 2
78
13
“Kamu makan apa? Mie instan lagi?” Ibu berkacak pingang saat melihatku yang menikmati mie rebus dengan telur. “Pake nasi, kok,” jawabku santai seraya terus menyuap makanan itu.“Kalau kamu punya istri, kamu akan lupa rasanya mi instan. Masakan istri itu jauh lebih enak dan sehat, sesederhana apapun menunya.” Ibu membuka kulkas, mengambil apel dan melon lalu memotong dan menyajikannya di piring sambil terus bicara. “Nurma perempuan baik. Ibu yakin itu. Kita semua tahu tentang masa lalunya dan kondisi keluarganya. Namun, yang Ibu lihat bukan itu semua melainkan dirinya. Ia pintar masak, rajin, pekerja keras, loyal, dan yang paling penting, di mata Ibu dia bawa rejeki untuk kamu karena sejak ia kerja di tempatmu, bisnismu jadi maju pesat.” Aku mendengkus lirih. “Bisnisku jalan bukan karena Nurmanya, Bu, tapi karena dia memang pekerja keras dan bisa diajak kerja sama. Bisa Galuh percaya dan memang rajin.”“Lha itu maksud Ibu. Intinya sejak ada dia bisnismu maju pesat, kan?”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan