
Bercerita tentang Tara Vikrama, seorang duda satu anak, yang tiba-tiba saja ragu menjelang pernikahannya.
H-7 pernikahan Tara dan Zanitha akan dilaksanakan, dua insan ini tengah menanti hari terbaik di tempat masing-masing setelah sudah dua minggu tidak bertemu. Sejak Darren—adik Tara—menangkap basah sang kakak bersama calon istrinya bercumbu mesra, pasangan ini jadi lebih hati-hati dan sepakat untuk mengurangi intensitas bertemu. Selain ada larangan untuk calon pengantin, mereka pun sadar tidak mampu lagi menahan diri jika berdekatan dan akan membahayakan prinsip yang dipegang sampai hari pernikahan tiba.
Selama memaksimalkan persiapan, Charity selalu jadi penghubung yang akan membeberkan informasi terkait Zanitha pada Tara, begitu juga sebaliknya. Informasi yang diizinkan, tentu saja. Meski kadang Charity sering iseng melebih-lebihkan tiap kali membeberkan soal Tara yang jelas sekali merindukan Zanitha. Charity juga habiskan waktu berdua bersama Zanitha selama seminggu terakhir sampai menginap di indekos wanita itu, sengaja untuk makin mendekatkan diri sebelum resmi menjadi keluarga inti. Tak kelu pula lidah Charity kala memanggil Zanitha mama di beberapa kesempatan, bahkan kini sudah jadi kebiasaan setiap kali mereka sedang berdua.
Sekarang setelah puas menghabiskan waktu bersama calon mamanya, giliran Tara dan Charity yang menghabiskan waktu bersama. Di rumah saja, sebab rumah adalah tempat pulang ternyaman bagi mereka untuk menghilangkan penat setelah menghirup udara di luar.
“Ayah, kemarin Randu ngucapin makasih karena udah dikasih seragam. Katanya pas,” ucap Charity sembari memotong wortel untuk cream soup buatan Tara. “Sama Randu pede banget karena ngerasa udah dikasih restu kita pacaran.”
Tara yang tengah menyiapkan bahan lain di kitchen island tertawa pelan karena keinginan Randu rupanya masih belum berubah hingga sekarang. “Terus Chaca jawab apa?”
“Chaca jawab aja buat bilang ke Ayah soal pacaran. Terus Randu malah kayak ketakutan. Dia tuh bener nggak sih ngajak pacaran?”
“Emang Chaca udah mau pacaran?” tanya Tara tenang, padahal hatinya terbakar karena tidak mampu membayangkan sang putri sudah memiliki pasangan—mau itu di usia muda atau sudah matang.
“Randu pernah nolak Chaca karena ngerasa kami masih kecil. Sekarang Chaca pikir emang nggak sebaiknya kami pacaran di umur segini. Jadi nanti dulu, deh. Entar pasti Ayah ngomel kalau Chaca pacaran sekarang.”
“Enggak, lah,” bantah Tara yang merasa dituduh sebagai orang tua kejam. “Ayah nggak akan ngomel, paling banyakin ceramah.”
“Nah! Chaca nggak mau. Mending nggak usah pacaran daripada diceramahin terus.”
Ada lega bercampur gemas mendengar jawaban Charity yang sesuai harapan. Bukannya Tara ingin membatasi hidup Charity yang usianya makin bertambah, dia hanya tidak mau putrinya mengenal sesuatu yang bisa ditunda sampai siap mengalami beragam cerita di dalamnya.
Seperti Tara sekarang, mengenal cinta saat duduk di perguruan tinggi, lalu kini mau memulai lagi setelah lama mengemban status sebagai ayah tunggal. Pernah hancur akibat kehilangan, sampai Tuhan menyinari hidupnya lagi dengan cinta baru yang tak kalah indah. Namun, di hari-hari menjelang pernikahan yang akan segera terlaksana, ada keraguan yang mengusik hati Tara hingga tidak bisa duduk tenang tiap kali sedang diam. Semua itu akan makin berantakan tiap dia di dekat Charity seperti sekarang.
Tidak, Charity tidak pernah mengomentari apa-apa tentang pernikahan selain ingin semuanya dipercepat agar segera mendapatkan seorang mama. Semua ini murni dari Tara seorang yang tiba-tiba takut membuat keputusan salah. Tara tahu pikiran ini hanya sesaat, tetapi begitu mengganggu hingga hatinya goyah dan ingin mundur. Tara menggeleng pelan, mengenyahkan berbagai pikiran buruk yang hanya merugikan dia dan banyak orang. Memilih kembali fokus bersama Charity yang baru saja selesai memotong wortel untuk meringankan tugasnya.
*
Selepas makan siang dengan cream soup kesukaan Charity sebagai hidangan pembuka, ayah-anak ini duduk bersantai di ruang tengah ditemani televisi yang dibiarkan menyala. Sesekali mereka menonton untuk mengganti channel dan mengamati sejenak film yang menarik, lalu tidak lama kembali diabaikan karena lebih nyaman berbincang tentang rutinitas masing-masing setelah enam hari hanya bertemu saat malam. Ya, karena Tara mengajukan cuti menikah, dia harus bekerja ekstra agar pekerjaannya bisa selesai H-5 pernikahan. Agar setelahnya Tara fokus pada hidup baru yang diam-diam makin membuatnya takut.
“Nih, biar Ayah nggak terlalu kangen sama Tante. Fotonya bagus-bagus, ‘kan? Chaca nih yang bantu fotoin. Sengaja buat dikasih ke Ayah.”
Charity menunjukkan beberapa foto Zanitha di ponselnya yang diambil hari Sabtu kemarin ketika mereka pergi berdua ke Dunia Fantasi. Foto itu berhasil membuat Tara tidak mampu menahan senyum, sebab Zanitha tampak makin cantik seakan aura calon pengantin begitu kuat menghipnotis. Ada pula foto Zanitha bersama Charity di depan gerbang Dunia Fantasi, tampak menggemaskan layaknya ibu dan anak yang sedang menghabiskan waktu berdua, meyakinkan banyak orang bahwa mereka memang layak menjadi keluarga.
Charity menjauhkan ponselnya dari wajah Tara, kembali menggeser satu per satu foto di galeri yang betah dipandang sebab makin tidak sabar akan memiliki mama. Setelah itu layar ponsel dikunci dan Charity meletakkannya di meja, kemudian berkata, “Semoga Ayah nggak ragu-ragu ya setelah Chaca lihatin foto Tante.”
Tara yang akan meraih remot untuk mengganti channel lagi mendadak diam mendengar ucapan menohok dari sang putri. Entah ada sindiran tersirat atau sekadar ucapan asal, Tara jelas tidak bisa mengabaikan kata ragu-ragu yang sedang dia rasakan sekarang. Tara kembali duduk tegak tanpa sempat meraih remot, kemudian menatap Charity yang seketika grogi karena mendapat pertanyaan melalui tatapan ayahnya.
“Maksudnya, Nak?” tanya Tara hati-hati, memastikan dia tidak salah dengar apalagi sampai salah mengerti.
Charity membisu sejenak dengan mata yang hanya fokus pada televisi, sampai akhirnya mau menatap ayahnya yang masih menunggu jawaban. Charity mengubah posisi agar menghadap Tara dan menyilangkan kaki, diikuti sang ayah agar konversasi siang ini berjalan santai dan berakhir sepaham. Setelah yakin suaranya akan didengar, Charity pun berkata,
“Chaca mau ingetin Ayah dulu kalau sekarang Chaca bukan anak kecil lagi. Jadi, Chaca udah bisa peka sama suasana hati orang dekat yang tiba-tiba beda atau lagi banyak pikiran.”
Tara mengangguk dan dengan sabar menunggu kelanjutan maksud putrinya. Charity menghela napas dan mengembuskannya perlahan, merangkai kata demi kata di kepala agar tidak salah bicara di depan ayahnya. Pun berharap Tara tidak akan tersinggung atau menyangkal karena bagi Charity itu hanya akan menambah beban.
“Chaca ngerasa Ayah lagi ragu buat nikah. Ini bukan pikiran tiba-tiba, tapi Chaca udah ngerasain ini dari minggu lalu. Tiap Chaca bilang nggak sabar Ayah nikah, pasti Ayah cari topik lain. Terus tadi waktu Chaca lihatin foto Tante, Ayah cuma senyum, tapi senyumnya aneh. Kayak … Ayah seneng, cuma kelihatan takut juga. Chaca sih mikirnya Ayah takut dicuekin karena Chaca jadi lebih deket sama Tante. Takut juga kayak nggak disayang lagi sama Chaca. Enggak tahu pikiran Chaca ini bener atau salah, jadi boleh tolong Ayah jelasin kenapa tiba-tiba berubah? Tolong jawab jujur ya, Ayah.”
Kalimat di ujung lidah harus tertahan akibat kelu mendengar pemaparan Charity yang tepat sasaran. Jika sudah begini, Tara tidak bisa menyangkal lagi bahwa Charity bukan lagi anak kecil yang ingin selalu dimengerti, kini dia justru lebih peka dengan sekitar dan berani menyuarakan itu untuk meluruskan pikiran buruknya. Perubahan baik dari anak yang manis, tetapi membuat Tara tidak bisa bersembunyi di balik kebohongan manis. Mau tidak mau Tara harus jujur seperti permintaan Charity yang sedang membantunya mengenyahkan segala siksaan di dada.
“Ayah nggak takut dicuekin atau nggak disayang lagi setelah ada Tante,” jawab Tara setelah suaranya terkumpul. “Justru Ayah takut nggak bisa adil setelah nikah.”
Charity memiringkan kepalanya sebab belum paham maksud adil yang Tara katakan. Pasalnya selama proses pacaran yang terhitung cukup lama, Tara selalu di posisi tengah. Tidak dominan pada Zanitha yang statusnya masih pacar dan selalu mengedepankan Charity sebagai anak. Oleh karena itu Charity merasa ganjil dengan ketakutan yang ayahnya rasakan, seolah caranya bertindak selama ini bukanlah dia yang melakukan.
Tara membasahi bibirnya yang tiba-tiba kering ketika akan bicara serius pada Charity. Sesuatu yang ingin Tara hindari karena Charity terlalu peka dan pasti pandai membalas ucapannya dengan kalimat lembut tapi menohok menohok.
“Ada yang harus Chaca tahu soal pernikahan.”
Charity manggut-manggut antusias mendengar, membuat Tara makin gugup sebab khawatir ada kalimat yang salah.
“Tante bakal tinggal di sini setelah nikah dan Ayah harus lebih adil lagi sama kalian. Enggak kayak pas pacaran yang mana Ayah masih bisa lebih milih Chaca dibanding Tante. Nantinya Ayah nggak bisa condong ke satu pihak aja, apalagi Tante juga baru di rumah, pasti Ayah harus fokus bikin Tante nyaman selain dibantu sama Chaca. Terus Chaca juga tahu kita udah belasan tahun cuma berdua. Ayah udah lupa gimana caranya jadi suami, Ayah bahkan nggak tahu apa bisa jadi kepala rumah tangga yang adil buat Chaca sama Tante. Selama ini Ayah selalu prioritasin Chaca, makanya Ayah takut kalau nanti nggak bisa adil ke kalian. Ayah juga takut Chaca ngerasa nggak disayang lagi karena Ayah terlalu nikmatin waktu berdua sama istri baru. Jadi, Ayah bukan ragu sama Tante, justru ragu sama diri sendiri.”
Situasi yang rumit untuk Charity cerna di usianya sekarang, sebab adil dalam pernikahan merupakan konsep batiniah dan hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah menikah saja. Charity tentu bisa adil dalam menyayangi, jadi dia tidak bisa beranggapan sama dengan Tara yang situasinya lebih kompleks dari sekadar menyayangi. Ini juga pertama kalinya Charity memiliki ibu, karena itu dia tidak bisa memberi tips seperti orang ahli selain menghilangkan segala perasaan negatif yang mengurung Tara sekarang.
Charity meraih tangan kanan ayahnya, meremas lembut untuk membagikan energi pada Tara yang terkuras oleh rasa takut dan ragu.
“Ayah pernah bilang manusia itu suka takut sama sesuatu yang belum terjadi,” tutur Charity seraya tersenyum samar. “Apa yang Ayah rasain sekarang juga sama dan Chaca yakin itu normal. Chaca juga baru pertama kali punya mau punya mama, takut juga Chaca nggak bisa adil sama Ayah karena terlalu sibuk sayang-sayangan sama Tante, tapi yaudah, Chaca harus optimis dan buang pikiran jelek itu kayak yang sering Ayah bilang. Chaca tahu kok situasi Ayah sekarang lebih susah, tapi pasti caranya juga sama. Ayah juga pernah bilang manusia suka takut sama hasil dan akhirnya takut juga buat mencoba. Chaca yakin Ayah juga gitu.
“Ayah takut buat mencoba lagi, makanya sering kepikiran hasil yang belum pasti. Padahal Chaca percaya banget lho Ayah bisa jadi orang tua dan suami yang super baik. Ayah nggak pernah salah tiap bikin keputusan, nggak pernah ingkar janji, tahu harus mihak siapa, makanya Chaca yakin Ayah pun bakal begitu setelah nikah. Tante aja yakin banget Ayah bakal jadi suami dan orang tua yang bijak, berarti Ayah juga harus percaya diri, ya. Jangan minder. Chaca bakal ingetin kalau Ayah kelepasan. Janji.”
Petuah yang Charity sampaikan sangat sesuai usianya; hati-hati, selalu mencontohkan diri sendiri, tidak terdengar seperti ahli, hebatnya berhasil menampar Tara yang terlalu banyak berpikir. Benar, Tara pernah mengatakan itu, tapi sialnya malah termakan omongan diri sendiri alih-alih bisa mengatasi masalahnya tanpa bantuan orang lain.
Tara menunduk malu setelah ditampar oleh kata-kata yang mengoyak hatinya agar bersih dari segala rasa takut. Malu karena Charity bisa berpikir positif tentang dirinya, sedangkan Tara malah meragukan kemampuan dengan alasan sudah lama menduda. Charity tidak pernah ragu, anehnya malah Tara yang merasakan itu. Akibatnya Tara jadi sadar dia bukan dihantui oleh keadilan yang mungkin sulit untuk dilakukan saja, tapi juga oleh hal lain yang mengusik keyakinan awalnya. Tanpa gengsi pada Charity yang lebih muda,
Tara kembali mengangkat pandang untuk mengungkapkan seluruh beban di hatinya. “Ayah juga ragu buat maju, Cha.”
Lagi-lagi Charity dibuat mengernyit ketika sejumput perasaan negatif kembali diungkapkan oleh ayahnya. Kendati begitu, Charity tidak mau berkomentar atau mengorek terlalu dalam sebelum Tara sendiri yang menumpahkannya. Tara ikut meremas punggung tangan putrinya, menyalurkan rasa dingin akibat beragam emosi yang membelenggu hati.
“Bertahun-tahun Ayah nikmatin waktu berdua sama Chaca di sini. Terus tiap bayangin bakal ada orang baru yang jadi keluarga, Ayah jadi sering nanya apa dia orang yang tepat buat kita. Ayah bukannya nggak seneng waktu sama Tante, Chaca tahu sendiri gimana kami. Tapi Ayah juga ngerasa berat buat keluar dari zona nyaman ini. Nanti gimana sama Chaca, gimana kalau Chaca tiba-tiba ngerasa sendirian, gimana kalau Chaca ngerasa nggak jadi satu-satunya lagi di mata Ayah, gimana kalau … Ayah juga nggak bisa bikin Chaca seneng walaupun udah nikah. Makanya pernikahan ini kayak tantangan banget. Ayah selalu ngerasa kurang dan perasaan itu makin kuat karena nggak mau bikin Chaca kecewa, Nak.”
Rupanya keadaan Tara jauh lebih rumit dari yang Charity bayangkan untuk usianya, jauh lebih sulit dimengerti untuk dia yang terlampau santai dengan keadaan. Selama ini Charity berpikir sederhana; keluarganya akan makin lengkap berkat hadirnya Zanitha. Namun, Tara memikirkan hal lain karena sang ayah selalu melibatkan Charity sebagai satu-satunya dunia yang belasan tahun dicintai. Sebagai karunia terbesar dari-Nya, Tara jadi sulit menerima karunia baru yang digariskan sebagai pelengkap hidupnya.
“Chaca udah yakin Tante yang terbaik buat kita setelah bantu Chaca pas haid pertama. Makanya Chaca nggak mikirin dua kali buat ngenalin kalian. Chaca nggak pernah berharap banyak, tapi hebatnya kalian jadi saling tertarik dan deket sampai bisa kayak sekarang. Sejak saat itu Chaca nggak pernah ragu sama kalian. Makanya Ayah juga nggak perlu ragu buat maju, karena dari awal Chaca udah kasih restu.”
Bokong Charity maju perlahan hingga lututnya menempel dengan lutut Tara lalu melanjutkan, “Ayah jangan terlalu mikirin Chaca. Sesekali mikirin diri sendiri. Ayah juga butuh bahagia dan itu nggak selalu sama Chaca. Jangan takut Chaca ngerasa itu itu. Chaca cuma mau Ayah seneng sama orang lain. Bisa, ‘kan?”
Dua kata terakhir berhasil memecahkan kekuatan Charity dan melelehkan air mata hingga membasahi pipi. Tara buru-buru menarik putrinya, mengurung dalam dekapan dan memberikan Charity waktu untuk menangis. Tara usap puncak kepala Charity yang sudah penuh oleh curahan hatinya hari ini, jadi dia biarkan sang putri untuk mengeluarkan semuanya agar tidak menjadi pikiran panjang tanpa akhir.
“Maafin Ayah udah bikin Chaca ngerasa berat. Ayah selalu seneng setiap bareng Chaca.”
Charity menggeleng seraya meremas ujung kaus Tara. “Ayah juga harus seneng tiap bareng Tante. Jangan sama Chaca aja.”
Tara mengangguk, kali ini tanpa pikiran buruk yang mengganggu. Katanya ada waktu orang tua bisa belajar dari anak yang pengalamannya sering disepelekan. Hari ini Tara membuktikan itu karena berkat kata-kata sederhana Charity yang belum mengenal asam garam kehidupan, pria itu bisa belajar menghargai banyak hal yang Tuhan turunkan untuknya. Bukan saja Charity yang jadi separuh hidup, ada Zanitha yang mengenalkannya pada cinta setelah cukup lama tamannya layu, dan garis-Nya yang membawa Tara menuju hidup baru.
Semua ketakutan dan keraguan yang hinggap di dada Tara telah sirna, diganti oleh rasa syukur yang digumamkan pada Tuhan dengan segala kebaikan-Nya; bersyukur memiliki anak seperti Charity, bersyukur telah diberikan jodoh terbaik, dan bersyukur bertemu waktu yang tepat untuk memulai lagi. Tara eratkan pelukannya, membiarkan air mata Charity membasahi kausnya, sesekali mengecup puncak kepala sang putri yang senantiasa menemani di saat-saat terbaiknya.
Cha, jangan terlalu cepat dewasa. Ayah masih ingin memanjakanmu layaknya anak kecil. Tapi terima kasih, ya, Cha, sudah mengajarkan Ayah untuk menghilangkan semua perasaan negatif ini. Ayah bangga karena kamu bisa lebih hebat dari Ayah. Ayah bangga karena kamu bisa lebih pintar dari Ayah. Sampai sekarang Ayah masih kurang, tapi berkat Chaca, Ayah bisa merasa lengkap. Cha, sebentar lagi status Ayah bertambah menjadi suami orang bersama perempuan yang kamu kenalkan. Dia itu pelengkap sepertimu, juara di hati Ayah, dan akan menjadi dunia Ayah. Terima kasih restunya, ya, Cha. Berkat restu itu, Ayah tidak ragu lagi untuk maju. Jadi kita maju bersama, ya, Nak. Kali ini bertiga, mungkin berempat, atau bahkan berlima. Berapa pun itu, percaya saja pada Ayah, Chaca selalu jadi bagian di dalamnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
