Hope Ch. 1

1
0
Deskripsi

Marisa adalah seorang ibu dari satu anak laki-laki yang berusia 7 tahun bernama Kahfi, hasil pernikahannya dengan Hasan. Marisa baru saja ditinggal suaminya yang meninggal karena kecelakaan. Beruntung anaknya masih bisa diselamatkan walau sempat dalam keadaan kritis. Tapi, semenjak kejadian itu, Marisa seringkali digunjing bahkan dijauhi oleh tetangga-tetangganya. Ada apa sebenarnya?

*suara alarm berbunyi

Aku terperanjat saat mendengar suara alarm itu, tidak seperti biasanya. Mungkin karena aku sedang lelah. Bagaimana tidak, aku harus mengerjakan “PR” dari kantorku yang begitu banyak. Bahkan, aku baru tidur pukul 2 pagi tadi. 

“Udah mau subuh ternyata..”, ucapku setengah sadar. 

Jujur, menjadi single mom adalah hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Di usiaku yang baru menginjak angka 31 tahun, aku harus memenuhi kebutuhan keluarga kecilku sendirian. Sejak 3 bulan yang lalu, setelah kepergian Mas Hasan, seisi rumah tidak seramai dulu ketika Kahfi sangat senang bermain-main dengannya. Sekarang, kehangatan itu hanya tinggal memori saja.

Setelah termenung cukup lama, aku disadarkan oleh suara azan subuh yang berkumandang. Aku pun bergegas untuk mandi, berwudhu, kemudian shalat subuh dan tak lupa mendoakan mendiang suamiku tersayang. “…semoga kau tenang bersama kasih sayang Allah yang tiada putusnya…”, tak sadar aku kembali menitikkan air mata yang sudah kuusap beribu kali di waktu yang sama kembali. 

Kulangkahkan kakiku ke kamar anakku, Kahfi, satu-satunya permata hidup yang aku miliki saat ini. Masih teringat jelas, Kahfi selalu memanggil-manggil ayahnya pada masa-masa awal kepergian Mas Hasan. Kuketuk kamar tidurnya, 

*tok tok tok 

“Kahfi? Udah bangun belum, sayang?”. 

Tak kudengar suara lembutnya, akhirnya aku pun masuk ke kamarnya. Rupanya sang pangeran masih terlelap dalam tidurnya. Kudekati tempat tidurnya, kuusap lembut rambutnya, lalu kupanggil dengan suara pelan, 

“Kahfi.. Ayo bangun, hari ini kan sekolah”. 

Sang empunya kamar ini akhirnya membuka matanya kecilnya, “masih ngantuk~”, ucapnya sambil menggeliat dan menguap. 

“Ayo cepet mandi dulu, nanti mamah masakin nasi goreng.” 

Akhirnya, ia pun bangun dari tempat tidurnya karena nasi goreng adalah makanan kesukaannya, sama seperti ayahnya dulu.

Keluargaku bisa dibilang sangat berkecukupan. Aku tinggal di rumah peninggalan Mas Hasan di Bandung. Tempatnya nyaman dan sejuk, walaupun ada sedikit di tengah kota. Semenjak Mas Hasan tiada, kami berdua ditemani oleh adik kandung dari Mas Hasan, Namanya Chika. Ia sering membantuku mengerjakan pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci, dll. Chika sudah kuanggap seperti adikku sendiri mengingat kami dari dulu sangat akrab, pada saat itu  aku dan Mas Hasan masih berpacaran.

*

“Hmmm… wangi banget, jadi pengen nih”, tiba-tiba saja Chika masuk ke dapur membuat aku sedikit terkejut. 

“Chika ah kamu mah kebiasaan suka bikin kaget wae”, protesku. 

Ia hanya menyengirkan giginya, “Teteh aja we itu mah kagetan, hehe”.

Aku pun melanjutkan kegiatan masakku, 

“Ka, tolong liatin Kahfi, mandinya udah beres atau belum”, teriakku dari dapur setelah melihat Chika sedang berjalan ke ruang tengah. 

“Iya, Teh”, jawabnya setengah teriak.

Tak lama kemudian, Kahfi pun menghampiriku yang sudah menyiapkan sepiring nasi goreng kesukaannya. 

“Eh udah ganteng gini, sini makan dulu”. Ia pun memakannya dengan lahap. 

Selagi Kahfi makan, aku bergegas ke kamarku untuk menyiapkan berkas yang baru aku kerjakan semalam agar tidak ketinggalan. Aku sendiri jarang sarapan pagi di rumah, jadi aku hanya membawa air minum saja dan sesampainya di kantor nanti barulah aku makan sesuatu agar terlihat lebih bertenaga.

Setelah Kahfi selesai makan, kami pun bersiap untuk berangkat. 

“Ka, itu masih ada nasi goreng di meja makan bisi kamu lapar yah. Teteh sama Kahfi mau berangkat dulu, takut macet di jalan”, ucapku sedikit terburu-buru karena jam sudah menunjukkan pukul 06.40. Tak biasanya aku berangkat seterlambat ini. 

Lokasi sekolah Kahfi memang tidak jauh dari sini. Tapi, lokasi kantor tempat aku bekerja cukup memakan waktu untuk sampai di sana. Terlebih karena aku mengendarai mobil dan kalau sudah dihadang macet pasti was-was takut terlambat.

Akhirnya sampailah aku di kantor setelah tadi mengantarkan Kahfi ke sekolahnya dan membeli nasi kuning di samping kantor. 

Euleuh, kabiasaan ieu mah tara sarapan di imah”, omel Ayu, karyawan di kantor ini. 

“Biasa atuh, Yu”, jawabku dibarengi tawa kami berdua.

Pada masa awal-awal kepergian Mas Hasan, sosok Ayu inilah yang membuatku semangat kembali untuk bekerja. Usianya lebih muda 2 tahun dariku. Ia seorang yang periang dan berisik sehingga tak heran banyak orang yang bekerja di sini pun menyukainya.

**

Jam makan siang pun tiba. Aku dan Ayu bergegas untuk ke kedai kopi di ujung jalan dengan menaiki motor milik Ayu. Tempat ini menjadi tempat favorit kami berdua untuk menghabiskan waktu makan siang.

“Teh Risa, mau pesen apa sok?”, tanya Ayu dengan semangat.

“Kayak biasa we, Yu. Americano sama kue tiramisu yang kecil aja.”

Dengan segera, Ayu berlari ke kasir untuk memesan. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat dia berlari sambil diperhatikan oleh orang-orang di kedai tersebut. Tak lama kemudian, Ayu sudah kembali duduk di depanku.

“Teh, naha tadi tumben rada buru-buru gitu datang ke kantor?”, tanya Ayu sambil mengunyah permen karet.

“Tadi si Kahfi bangunnya rada telat, Yu. Jaba Teteh kudu masak nasi goreng buat si Kahfi. Gitu we rariweuh nyiapin berkas yang dibawa ke rumah.”, jawabku apa adanya.

Kulihat ekspresi Ayu berubah menjadi iba, “Teteh pasti cape, nya?”

“Yaa mau gimana lagi, Yu. Untung ini juga ada yang bantuin di rumah.”, jawabku pasrah.

Tak lama pesanan kami datang dan waktu makan siang pun berakhir. Sepertinya hari ini aku bisa pulang lebih awal, mengingat hari ini tidak ada agenda penting dan kerjaanku sudah selesai. 

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Hope
Sebelumnya Adagio
1
0
“gata bagaskara”Sebuah karya puisi dari tangan insan muda.. Menunggu sang cinta yang Agung pulang ke pelukanku, kembali menyatu dengan bait-bait puisiku. Meski lara kian membunuh perlahan, suatu saat akan labas sirna tak bersisa. Walaupun menunggu seperti pisau bermata dua, entah akhirnya ekspektasi yang benar terjadi atau penantian angan yang tiada berujung. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan