; 166—Kakak dan Kamu, Kita.

29
0
Deskripsi
  • Free akses
  • 2.000 words
  • Please ignore typo yg menyilaukan mata

;166—Kakak dan Kamu, Kita.

Wajah Kinan sudah sepenuhnya poker face ketika pintu diketuk pelan. Kinan langsung pura-pura fokus dengan laptop di depannya, berlagak tidak peduli padahal jantungnya berdebar keras lantaran tidak yakin bisa menahan diri. Sebetulnya amarah Kinan sudah reda banyak, tidak mendidih seperi dua hari yang lalu. Belum lagi sikap baik Abi yang memperlakukannya seperti tuan putri walau Kinan sedikit bertindak tidak tahu diri kemarin. Kesabaran Abi pantas disebut seluas stadion Wembley, tidak seperti kesabaran Kinan yang hanya seluas matras yoga. Pernah dulu ketika Alan marah padanya, Kinan hanya sanggup membujuk Alan dua jam. Setelahnya Kinan balik marah pada Alan karena kesal maafnya tak kunjung digubris. Luar biasa memang.

Abi masuk ke dalam ruangan tanpa menunggu dipersilakan. Pria itu membawa nampan berisi potongan apel berbentuk kelinci dan segelas earl grey milk tea yang dibelinya sore tadi. Abi mendatangi café Olivia dan meminta teman karib Kinan itu memberikan minuman yang paling sering Kinan pesan dalam ukuran 1 liter. Tentu saja Abi memberikan tip yang lebih besar dari harga pesanannya.

Dengan bangga Abi meletakkan piring dan gelas ke meja belajar Kinan dan berkata, “Earl Grey milk tea no sugar, pakai stevia 2 tetes. Betul? Kakak juga udah potongin apel. Dimakan ya, manis.”

Duh, aduh. Kinan dipanggil manis. Dalam hati Kinan merapalkan kalimat ‘Jangan Blushing!’ pada dirinya sendiri karena merasakan pipinya mulai panas.

Sebenarnya Abi hendak membuatkan Kinan makanan, tapi dia takut hasilnya malah membuat Kinan keracunan. Daripada menjadi yang tertuduh dalam kasus pembunuhan tidak sengaja, Abi pun mengurungkan niat mulianya. Sebenarnya bisa saja dia membelikan makanan lain yang Kinan suka, tapi rasanya itu tidak cukup tulus. Abi memang tak mahir memasak, tapi setidaknya tangannya cukup terampil untuk sekedar bermain dengan pisau. Berbekal tutorial singkat dari youtube, Abi dapat memotong Apel dalam bentuk kelinci menggemaskan. Baginya ini tampak cukup tulus, maka dia puas. 

Kinan hanya memberikan anggukan malas sebagai respon. Abi lantas mengambil salah satu buku di rak pojok ruangan. Ada banyak macam buku disana. Mulai dari koleksi komik one piece, buku-buku motivasi, textbook arsitektur, dan masih banyak lagi. Buku yang Abi ambil asal adalah buku berjudul arsitektur romawi kuno dengan sampul kulit berwarna merah yang entah kapan dibelinya. Abi membaringkan dirinya pada sofa dengan posisi kepala mempermudah pandangan matanya menjangkau eksistensi Kinan. Bukunya tidak dibuka, hanya diletakkan di atas perut dan mata bulannya menatap Kinan terang-terangan. Membuat yang ditatap mendelik galak karena takut ketahuan salah tingkah.

“Apasih?!”

“Nggak ada apa-apa, sayang. Kakak kan cuma duduk aja, gak gangguin kamu,” balas Abi santai, masih dengan senyum. Ekspresinya usil, menyebalkan sekali.

Kinan memberikan tatapan yang sekarang ramai disebut sebagai bombastic side eye, criminal offensive side eye pada Abi yang tentu tak gentar dengan pandangan tersebut. Di mata Abi, Kinan malah terlihat Quacker, bebek kecil berwarna kuning dalam serial kartun Tom and Jerry. Menggemaskan.

“Kakak keluar sana. Inan terganggu kalau kakak disini.”

“Kakak gak ngapa-ngapain loh?”

“Kakak napas aja disitu udah mengganggu Inan,”

Abi menarik sudut bibirnya. “Salah fokus ke bibir kakak ya? Keinget mwah wleowleo-nya? Nanti ya, manis. Kalau tugas kamu udah selesai baru kakak kasih. Plus pukpuk kayak biasanya.”

Mata Kinan membola. Apa yang salah dengan Abi. Kenapa seperti sedang tertular tingkah tengil Kinan? “Dih kepedean banget.”

“Kamu sampai sambat pengen ciuman di twitter begitu, pede dong kakak.”

Entah sudah seperti apa warna wajah Kinan. Dia harap Abi yang duduk di sofa tidak dapat melihatnya. Kinan melepas ikatan rambut, berharap rambutnya yang digerai dapat menutupi semburat merah di telinga, wajah, dan lehernya.

“Emang ciumannya mesti sama kakak? Kan engga,” kata Kinan sewot. Tapi memang selain ciuman dengan Abi, dia bisa ciuman dengan siapa lagi? Kinan tak minat dengan bibir selain milik Abi.

“Oh? Kok nakal kamu ngomongnya, sayang?”

Kinan menusuk sepotong apel dengan garpu dan mengigitnya. Sembari mengunyah potongan apel yang renyah dan manis itu Kinan berkata lagi, “Memangnya cuma kak Abi yang bisa ciuman sama orang lain? Inan juga bisa kali.”

Tatapan meremehkan Abi keluarkan. Saat masih belum menikah saja Kinan tak pernah pacaran. “Memangnya mau ngajakin siapa sih? Ada partnernya?”

“Ada Abel, gampang. Tinggal Inan hap aja.”

“Heh, Abel kan punya Oliv.” Ya walaupun mereka tidak terikat dalam sebuah status, tapi Abel dan Olivia kan masih terikat perasaan.

“Olip ga keberatan berbagi kalau sama Inan mah.” Agak menyimpang memang pikiran Kinan kali ini.

Tapi mendengar itu Abi sedikit lega karena itu artinya, Kinan memang tak punya nyali untuk merentangkan sayap di kelab ataupun bar guna mencari laki-laki asing yang dapat diajak lanjut part dua.

“Mending sama kakak aja, manis. Udah di depan sini, nungguin kamu selesai. Ready to use pokoknya. Boleh digigit-gigit juga bibir kakak, asal kamu gak diemin kakak lagi.”

Kapan lagi Kinan bisa melihat Abi jual murah? Biasanya hanya Kinan yang terus mengobral diri. Sungguh itu adalah penawaran yang sangat menggiurkan, rasanya rugi jika ditolak. Tapi Kinan gengsi! Dia masih dalam posisi ingin mempertahankan marah yang sejatinya sudah lama raib itu.

Kinan berusaha menjaga dirinya untuk tetap sadar, tak terbuai rayuan manis Abi. “Harusnya Kak Abi seneng kalau Inan diemin kakak. Gak nempel lagi, gak bikin kakak sesak. Gaada yang gangguin.”

Sejenak Abi termangu. Jika dipikir, memang harusnya benar kata Kinan. Awalnya Abi memang merasa sedikit tertekan, sampai dia berusaha menjaga jarak di awal-awal pernikahan. Agaknya sekarang Abi sudah terbiasa ditempeli Kinan. Dua hari ini Kinan yang banyak diam membuat Abi terganggu. Sedikit banyak Abi rasa Kinan dengan mode clingy jauh lebih baik daripada Kinan silent mode.

Berbeda dengan Kinan yang kebanyakan gengsi, Abi memilih jujur. “Harusnya sih begitu. Tapi kayaknya usaha kamu deketin kakak gak sia-sia deh. Sekarang kakak malah lebih seneng denger kamu ngomel daripada jaga jarak. Dua hari ini kakak tertekan, lebih daripada rasa tertekan kakak di awal nikah.”

Sifat Abi yang cenderung jujur ini salah salah satu dari banyak hal yang membuat Kinan jatuh cinta. “…mungkin kak Abi ngerasa tertekan cuma karena merasa bersalah? Kakak kan gitu orangnya, gak enakan.”

Abi tersenyum simpul lalu mengubah posisinya menjadi duduk tengak di atas sofa. “Ya itu juga sih, tapi sekitar 30% doang. Sisanya murni karena hal lain. Mungkin karena udah mulai nyaman sama kamu?”

“Sebagai Adek, kan?” Kinan tak mudah percaya. Dia sedang tidak ingin terbang dengan mudah karena ketika jatuh rasanya begitu menyakitkan.

Yang ditanya tak langsung menjawab. Lama dia berpikir sebelum memutuskan untuk menggelengkan kepalanya. Dengan senyum tipis Abi berkata, “Mulai sekarang kakak gak mau nganggep kamu kayak adek lagi. Bener kata kamu, apanya yang adek kalau dikasih deep kiss dan handjob?”

“Terus kalau bukan adek apa? Istri beneran juga belum, kan?” Tentu saja Kinan menuntut ketegasan hubungan mereka. Kalau dia sudah terbebas dari zona adik-kakak, maka berada di zona apa dia sekarang?

“Teman… tapi mesra?” Abi berujar tak yakin. “Kita mulai dari situ dulu, boleh? Pelan-pelan. Kayak yang kamu minta dulu, kakak bakal usaha buka hati.”

“Teman tapi mesra ya…” Kinan menimbang-nimbang. Kepalanya mengangguk paham. Posisi yang tidak buruk. Lebih baik dibanding menjadi adik. Lantaran teman masih bisa dicintai sebagai lawan jenis seperti Olivia dan Abel, tapi tidak dengan adik. Namun sebelum setuju, lagi-lagi Kinan ingin lebih memastikan hal yang lain. “Kalau TTM boleh ciuman kan?”

“Boleh, sayang…”

Tatapan mereka terkunci. “… Kalau TTM boleh mesraan di kasur?”

“Boleh.”

Kinan menggigit bibirnya. “Boleh having sex?”

“…” Tenggorokan Abi mendadak kering. “...boleh, kalau sama-sama udah siap. Boleh semua kalau TTM, kan kita mesra.”

Rasanya malam ini Kinan resmi naik pangkat. Usai diberikan cobaan berkali-kali, akhirnya Kinan keluar dari zona adik-kakak yang menyesakkan ruang geraknya.

“Bener ya? Awas aja kalau kak Abi nipu. Inan gigit hidung kak Abi sampai jadi belang nanti.”

Mendapati anggukan Abi yang disertai senyuman, Kinan lantas menutup laptopnya. Segera dia bangkit sambil membawa piring berisi apel dan gelas minuman ke sofa tempat Abi duduk. Selesai sudah acara marah-marahan Kinan. Babak baru sudah dimulai, untuk apa menyimpan dendam? Dendam hanya akan membuat kita terjebak dalam lingkar masa lalu tanpa bisa berjuang untuk maju.

Ketika pantatnya menapaki sofa di sebelah Abi, Kinan lekas bersandar dan disambut baik dengan laki-laki itu. Kinan memberikan sepotong apel pada Abi, lalu mengambil satu untuk dirinya sendiri.

“Apelnya lucu banget. Kok kakak kepikiran potong begini?” tanya Kinan sambil mengamati apelnya.

Sudah Abi bilang, kan. Dia cukup percaya diri dengan kreativitas tangannya. Buktinya Kinan saja mengakui betapa lucunya kelinci merah yang terbentuk dari apel itu. “Kakak lihat di youtube, sogokan biar marahnya kamu bisa diusir pergi sama kelinci imut-imut.”

“Makasih loh, kak Abi. Inan foto boleh ya?”

“Boleh, sayang.”

Abi menurut saja ketika Kinan menata potongan apel tersebut agar terlihat bagus di dalam kamera. Setelah puas mengambil beberapa foto, Kinan pun lanjut mengunyah dengan senang. Tiba-tiba Abi teringat sesuatu.

“Tugas kamu udah selesai?”

“Oh?” Kinan melirik ke arah laptop yang sudah ditutup. “Inan gak lagi ngerjain tugas. Tadi cuma nonton karena bosen.”

“Mau ciuman sekarang?”

Kinan tak menjawab, masih sedikit gengsi. Laki-laki yang ada disebelah Kinan ini sepertinya paham, Abi lantas menangkup pipi Kinan tanpa permisi, lalu bibir Kinan dicium pelan, lembut. Kinan tidak lekas membalas. Ada jeda beberapa detik sampai perempuan itu mengalungkan tangannya pada leher Abi sembari pindah duduk ke atas pangkuan laki-laki itu. Kinan mulai memimpin alur ciuman menjadi satu tingkat lebih dalam dan Abi tak keberatan untuk ikut dalam alur baru yang Kinan buat.

Bibir Abi digigit pelan, berkali-kali digesek dengan gigi dan lidah Kinan. Tak cukup rasanya dengan bibir, lantas mereka menggesekkan lidah untuk mencari sensasi yang lebih nikmat. Ciuman itu kian dalam, tapi masih dalam kontrol pikiran. Tidak ada yang terpancing untuk melewati batas, hanya sekedar melampiaskan ciuman yang sudah tak dilakukan lebih dari empat puluh delapan jam lamanya.

Tengah bibir Abi sedikit perih ketika Kinan mengisapnya kuat. Sepertinya mulai luka lagi karena terlalu lama diemut. Abi tak serta merta melepaskan ciuman, dia sendiri yang memperbolehkan Kinan menggigit bibirnya kali ini. Jadi Abi biarkan saja Kinan bereksplorasi. Ketika perempuan itu merasa cukup, ciuman tersebut dilepas. Napas mereka saling beradu, kening mereka menyatu, dan puncak hidung mereka bertemu.

Baik Kinan maupun Abi sama sama tertawa kecil. Lalu Kinan menyandarkan diri ke pelukan Abi, memeluk pria yang sebenarnya sangat dia rindukan. Dihirupnya aroma tubuh Abi dalam-dalam, memuaskan kehausannya atas eksistensi Abi dalam dekapan.

Tak tinggal diam, Abi memainkan rambut Kinan. Kebiasaan yang sering dia lakukan. Sekitar lima menit lamanya setelah mereka berdiam diri, Abi memulai percakapan. “Kakak udah boleh bobo di kasur sama kamu?”

“Kasihannya suami Inan bobo di sofa dua malam. Udah boleh kok bobo bareng Inan. Nanti Inan kasih nen sekalian.”

“Waduh, kalau itu sih gak nolak,” balas Abi setengah bercanda.

Kinan ikut tertawa kecil. Nyaman sekali dengan jari Abi yang menari-nari disela rambutnya. Sementara tangan lainnya memberikan tepukan konstan pada punggungnya. Dengan posisi seperti itu, lama mereka berbicara santai. Menukar hal-hal yang tak sempat dibicarakan selama Kinan mendeklarkan perang dingin secara sepihak. Abi hanya membahas seputar kantor—karena memang sebagian besar waktunya dihabiskan di kantor, sementara Kinan menceritakan ajakan Mamanya untuk pergi ke opening Villa baru.

“Jadi kamu gak bisa ikutan ya,” gumam Abi sebagai respon di akhir cerita Kinan. “Gak apa-apa, nanti kita kesana belakangan.”

“Kesana? Ngapain?”

“Nyobain villa baru mamah lah. Ganti camping kemarin, kita pergi berdua mau?”

“Tapi kan jauh, kak. Gak bisa kalau cuma sabtu minggu perginya,” kata Kinan mencoba logis. Mereka sedang sama-sama sibuk, jadi untuk menempuh perjalanan yang lumayan jauh hanya akan menyiksa diri saja.

“Perginya kalau udah lowong aja. Kamu UTS kapan? Udah mau deket kan? Habis UTS aja mau ga? Biasanya habis UTS ada hari tenang gitu sehari dua hari. Bisa ambil libur aja, nyambung weekend biar agak lamaan. Kakak juga sempat ngurus cuti dulu.”

Kinan sedikit skeptis dengan rencana kali ini. Takut jika dia terlalu bersemangat nanti akan berbalik seperti yang sudah-sudah. “Ini dibuat janjinya untuk ditepatin kan?”

“Iya, sayang. Gak bakal kakak batalin, janji. Gak bakal ada yang ngekor juga. Kakak dan kamu—kita. Kita berdua aja yang bakal pergi kesana. Habiskan waktu berdua. Anggap aja perjalanan pra-honeymoon.

“Buat apa tuh pra-honeymoon?

“Simulasi honeymoon beneran,” balas Abi cepat.

Entah itu adalah sebuah candaan atau bukan, tapi itu cukup lucu hingga membuat Kinan tertawa.

Sebagai penutup malam, ketika itu cukup manis untuk mereka berdua yang tengah memulai babak yang baru. Kinan dibuai mimpi yang begitu lembut, pun Abi yang nyaman tertidur tanpa mimpi dengan wajah berada diantara dua buah dada Kinan. Malam-malam damai sudah kembali, entah akan bertahan berapa lama. Tak ada yang tahu. []

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya ; 172—Sisi lain; Agha dan Camelia.
19
0
Free AksesPendek, <1.000 wordsOchi tunggu pesan kesannya di kolom twt!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan