
Lagi … Mikaela berjuang antara hidup dan mati.
Baby Han 19. Akan kujaga
Eulji Hospital.
Ruangan IGD masih tertutup rapat, di dalamnya para perawat dan beberapa dokter kandungan yang dipimpin oleh Dokter Tan Avelia tengah berjuang menyelamatkan sang pasien.
Sementara kesadaran Mikaela belum seratus persen, namun dokter tidak menyerah, kalimat-kalimat penggugah terus dia ucapkan dengan tenang.
"Apa yang terjadi sesaat lalu? Mikaela, buka matamu!"Dia kembali memaksanya untuk sadar. Mikaela tampak berusaha membuka mata dan mulai mengerang.
"Lian!"Mikaela berusaha mengatakan di antara erangan tertahan.
"Kenapa dengan Lian? Kau terjatuh? Bagaimana posisinya? Kumohon Mikaela, ini belum saatnya untuk tidur!"Dokter Tan kembali bertanya.
Sementara para perawat tengah memasang alat penunjang kehidupannya, salah satu dokter menghampirinya. Namun kembali Mikaela berusaha berbicara sebelum akhirnya mengerang kesakitan sesaat sebelum kesadarannya lumpuh.
"Saya rasa dia mengalami Abortus Imminens,"kata salah satu dokter.
"Kita lakukan pemeriksaan panggul, USG Transvaginal, dan tes darah,"kata Dokter Tan.
"Baik, Dok,"jawab dokter tersebut. Semua tampak sibuk memulai pemeriksaan.
Di luar IGD.
Tampak Judith sedang duduk, pikirannya tengah mengembara entah ke mana. Mungkin masih tertambat pada kejadian beberapa menit lalu ketika Mikaela mengatakan bahwa dia tidak ingin melihatnya.
Saat ini tubuh Judith dapat disentuh, dadanya masih berdegub karena organ vitalnya masih memompa darah untuk menunjang kehidupannya. Bahkan hidungnya masih bernapas dengan normal, namun tidak dengan hatinya. Yeoja tangguh ini bagai daging tanpa nyawa.
Hanya sebuah kalimat penolakan dari sang kekasih rupanya telah membuat dunianya seperti berhenti berputar.
Sebuah kalimat yang mencabik jantungnya, sebuah kalimat yang menyayat paru-parunya, hingga membuatnya merasakan nyeri tiap kali menarik napas. Membuatnya merasakan sakit ketika jantungnya berdegub memompa darah. Sebuah rasa sakit yang tak dapat di deteksi oleh alat kedokteran, rasa sakit yang tak dapat diobati oleh obat apapun. Karena ini tentang psikis, di mana hatinya terkoyak oleh kalimat, yang sekali lagi keluar dari bibir kesayangannya--yang bahkan dia tidak tahu kesalahan apa yang telah dia perbuat.
Ini bukan tentang Baby Han, namun tentang Mikaela, ada atau tidak bayi tersebut di antara mereka cinta tetaplah cinta.
Lalu kenapa sepertinya pondasi hubungan ini terasa sangat rapuh?
Haruskah Judith setiap saat meyakinkan pada Mikaela bahwa hati dan jiwanya telah tertambat dan berlabuh padanya?
Judith bukanlah seseorang yang bisa berkata manis, atau mungkin berlaku lembut, namun setidaknya selama ini dia telah berusaha keras untuk menunjukkan rasanya. Untuk Mikaela dia telah membuang semua benteng pertahanan yang dia miliki.
Tidak ada kata cinta setiap waktu bukan berarti rasa itu telah luntur, tidak ada rayuan manis bukan berarti rasa tersebut tidak nyata.
Judith bukan pribadi yang dapat bermanja-manja. Lalu bukankah telah lebih dari beberapa bulan mereka bersama?
Apakah Mikaela masih belum juga melihat ketulusan dan kesungguhannya.
Saat ini begitu banyak pertanyaan berkutat dalam pikiran Judith Han, semua menuntut jawaban yang hanya dapat diberikan oleh seseorang yang tengah berjuang di dalam sana--yang menolak keberadaanya.
Judith terdiam mematung, setiap pemikiran yang berebut maju--yang menjadikannya tidak bersalah seolah terpukul mundur oleh ingatan akan kalimat penolakan Mikaela.
Judith POV.
Kalimat yang terucap dari mulutnya masih berputar di dalam kepalaku, kalimat yang memukul mundur setiap asumsi yang menjadikanku benar dan berpikir bahwa dia hanya salah paham. Juga ... kalimat yang tidak kusangka akan keluar dari mulutnya.
Apa yang telah dia alami sesaat sebelum aku datang?
Dia bahkan tidak mengijinkanku untuk bertanya lebih lanjut. Gadisku, apakah hormon kehamilan begitu sangat mempengaruhimu pagi ini?
Iya, aku diam dan mungkin terlihat tenang. Namun sesungguhnya begitu banyak hal yang tengah berebut meminta perhatianku untuk berpikir lebih. Lalu ingatanku terlempar pada kalimat Ave yang bertanya tentang Lian.
Mungkinkah ini ada hubungannya dengan teman Minwo yang sejak datang sedikit berlaku aneh tersebut?
Kurasa ada sesuatu yang dia sembunyikan. Memang, saat di Kanada tempo hari dia sedikit bertingkah dengan merayuku. Tapi bukankah selama ini dia lebih tertarik dengan adikku?
Lagi pula aku tidak memiliki dan tidak akan memiliki perasaan khusus padanya.
Saat ini aku kembali berusaha mengingat setiap hal yang mungkin berhubungan dengan kejadian yang terjadi begitu cepat ini. Otakku mulai sibuk memilah file yang berisi rekaman ingatan hingga saat Mikaela terjatuh dengan bersimbah darah.
"Gauri!"Aku memanggilnya lirih. Dia tampak tenang, namun saat menatapnya, dari manik mata legam itu tersirat kepanikan.
"Ye, Miss,"jawabnya.
"Cari tahu tentang Lian! Di mana dia saat Mikaela masuk ke ruanganku! Juga, pesankan tiket untuknya agar kembali ke Kanada!"pintaku. Hatiku mengatakan bahwa ini semua terhubung dengan yeoja itu.
"Ye, Miss,"jawabnya.
_________
"Bagaimana dengan Mikaela?"Suara Minwo memecah keheningan di antara kami. Aku menoleh menatap wajahnya.
"Dari mana saja kau?"tanyaku.
"Membereskan sesuatu. Ini tentang Mikaela dan Lian,"jawab adikku. Aku terkesiap mendengar ucapannya, rupanya benar mereka berkaitan.
"Kau tahu dari mana Mikaela ada di sini?"
"Saya, Miss."Gauri menyahut. Aku menatapnya.
"Tunggu! Jangan bilang kalau kalian sering berkomunikasi di belakangku!"Aku bertanya--yang mendapat anggukan dari keduanya.
"Kalian ... tidak sedang menjalin hubungan, 'kan?"Aku menatap tajam.
"Oh, ayolah Noona. Ini bukan saatnya membahas kami."Minwo menawar. Aku beralih menatap Gauri. Dia menunduk malu. Oh, Tuhan. Baru kali ini aku menatap ekspresi lain dari wajahnya. Dia benar-benar terlihat tersipu malu.
Minwo berjalan menuju sebelah Gauri untuk duduk dan melingkarkan lengannya meraih pinggang asistenku, menarik tubuhnya hingga merapat pada tubuh adikku. Lalu tidak terlihat penolakan dari gadis yang sepanjang waktu bersamaku tersebut, dia terlihat pasrah.
Rasanya aku sulit menelan ludah. Tiba-tiba tenggorokanku tercekat ketika menatap interaksi mereka. Tunggu, lalu Lian?
"Tunggu!"ucapku yang membuat kedua orang di sampingku menoleh kaget.
"Lian. Kalau kau tidak menyukainya, lalu siapa yang dia tuju?"Aku kembali bertanya.
"Anda."Gauri menjawab. Aku menjatuhkan rahangku. Sulit kupercayai.
"Dia memaksa ikut aku pulang karena ingin bertemu denganmu, Noona,"jawab Minwo.
"Dan kau dengan bodohnya menuruti,"sambungku dengan sedikit emosi, "lalu di mana dia sekarang?"lanjutku bertanya.
"Pulang ke Kanada."Minwo menjawab. Aku kembali terkejut.
"Mwoya?"Aku bertanya penasaran.
"Atau masuk penjara ..., itu pilihannya. Karena Gauri telah menceritakan keadaan Mikaela. Maka kupaksa dia mengaku, dan ternyata benar dia telah membanting tubuh ibu dari bayiku tanpa ampun hingga jatuh tersungkur. Itulah alasan Mikaela menampar yeoja sialan itu, aku telah salah paham terhadap Kae."Minwo berkata sambil menunduk.
"Dasar bajingan kecil! Putus kontrak kerja sama J.H Fashion dengan perusahaan milik orang tuanya!"Aku berbicara sembari mengepalkan tangan. Ada rasa emosi yang seketika menyeruak dan kini melingkupi hatiku. Kurasa bukan hanya fisik Mikaela yang telah dia sakiti, tapi juga psikisnya.
Minwo mengangguk.
"Mikaela menolak keberadaan Miss Judith."Gauri berkata sambil menatap Minwo dengan perasaan bersalah. Tersirat rasa sedih dari matanya. Kurasa Gauri benar-benar telah memasuki kehidupan adikku. Dan sialnya tanpa aku sadari.
"Unnie! Bukankah seharusnya kau memanggilku seperti itu?"Aku menyela.
"Ye, Unnie,"jawabnya sembari mengalihkan pandangan matanya padaku. Tatapan penuh hormat.
"Sepertinya dia telah membuat kesalahpahaman di antara kami, Ave mengatakan bahwa Mikaela pergi dari rumah sakit pagi tadi dengan menangis setelah menelponku. Sialnya ponselku tertinggal di kantor,"imbuhku. Hatiku masih sakit.
"Oh-ini ponsel Noona, Lian yang memegangnya tadi."Minwo merogoh saku jasnya untuk mendapatkan benda pipih tersebut dan mengembalikannya padaku.
Jelas, ini adalah ulah Lian lagi.
Pembicaraan kami terhenti sampai di situ, selanjutnya yang tersisa hanya keheningan karena sibuk dengan pikiran kami sendiri. Hingga tak terasa waktu telah lebih dari 2 jam kami lewatkan dalam diam.
Pintu ruang IGD terbuka, nampak beberapa perawat mendorong brankar di mana Mikaela tertidur atau tidak sadarkan diri tepatnya. Mereka berjalan menuju ruang VVIP, sementara Ave mengajak kami berbicara di ruangannya.
"Saya yang akan menemani Kae,"kata Gauri yang mendapat balasan anggukan dariku.
Untuk sesaat tatapan Gauri dan Minwo beradu, adikku mengangguk--yang dibalas senyuman olehnya. Kembali aku menyaksikan hal yang membuat tenggorokanku tercekat, bahkan aku terlalu bodoh untuk menyadari percikan di antara mereka. Sejak kapan?
"Noona, ayo!"suara Minwo membangunkan lamunanku. Kami berjalan mengikuti perawat dan Dokter Tan menuju ruangannya.
"Mari! Duduklah!"kata Dokter Tan.
"Gomawo,"jawabku. Kami duduk berhadapan, otakku telah penuh ..., dipenuhi oleh berbagai kalimat tanya. Sementara Dokter Tan dengan tenangnya mulai mengeluarkan setumpuk berkas hasil tes dan laporan kesehatan gadisku. Kembali hatiku berdesir. Aku takut.
"Baiklah, akan kujelaskan perihal kondisi Mikaela. Saat ini dia mengalami Abortus Imminens, sebuah kondisi pendarahan hebat yang memungkinkan ibu hamil mengalami keguguran dan kehilangan kandungannya."
Hatiku bergetar, meski sejak mengetahui pendarahan yang dia alami tadi aku telah siap dengan kemungkinan terburuk. Tapi, tak dapat kubohongi diriku, bahwa jauh di dalam benakku ada rasa sakit yang menyeruak. Rasa sakit yang mencengkeramku erat tanpa jeda untuk memberiku ruang bernapas lega.
"Jangan katakan jika dia mengalami keguguran!"Aku berkata, bahkan bibirku mulai bergetar. Hatiku terasa sangat sakit.
"Tidak. Abortus imminens adalah ancaman abortus. Memang telah ada perdarahan dari vag*na yang diiringi kram perut, namun beruntung mulut rahim Mikaela belum membuka. Jadi, janin masih viable dan ada kemungkinan untuk mempertahankan kehamilannya,"lanjutnya--yang membuat hatiku sedikit lega.
"Sepertinya dia mengalami trauma atau benturan keras di sekitar perut karena jatuh. Juga ... dia menyebut nama Lian--"Dokter Tan menghentikan dari berbicara. Hatiku kembali memanas. Emosiku kembali tersulut, hingga tanpa sadar aku mengepalkan tangan erat. Jemari Minwo mengusap lembut punggung tanganku, dia mencoba menenangkanku.
"Lalu bagaimana kondisi dia saat ini?"Minwo bertanya.
"Kami berharap Mikaela tetap bisa melahirkan bayi yang sehat, karena leher rahimnya belum melebar dan juga ... Baby Han masih berada di dinding rahim dengan aman. Mikaela masih dilindungi oleh Tuhan."
"Apa yang harus kami lakukan?"tanyaku. Rasa penasaran masih menyergapku.
"Biarkan dia dirawat untuk beberapa hari kedepan. Setelah berada di rumah, Mikaela harus istirahat total. Cara ini memang tidak dapat mencegah keguguran, namun dapat membantu untuk menurunkan stress dengan tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga,"ucap Dokter yang biasa kupanggil Ave menjelaskan.
"Kemudian, hindari memasukkan apapun ke dalam vag*na! Hindari berhubungan seks*al hingga paling tidak gejala hilang selama lebih dari 1 minggu,"lanjutnya sembari menatap tajam padaku. Sontak membuatku berdehem membersihkan tenggorokan.
Minwo menatapku tajam, matanya seakan menghakimiku. Aku berkata dengan gerakan bibir, "Mian!"
"Hmm ... aku akan meresepkan suplemen untuk meningkatkan hormon progesteron, suplemen ini dapat membantu untuk mencegah keguguran. Meski harus sangat berhati-hati mengingat riwayat pembengkakan ovarium di awal kehamilannya,"pungkasnya.
Kami bernapas sedikit lega, meski setelah ini akan menghadapi emosi Mikaela atas kesalahpahaman di antara kami.
Aku tidak berharap lebih, setiap sikap yang mewakili rasa kesalnya akan kuterima. Bahkan jika itu bukan atas kesalahan yang kuperbuat. Akan kubiarkan dia meluahkan rasa kesalnya, akan kuberikan dadaku untuk dia pukul, akan kuberikan pipiku untuk dia tampar--jika itu dapat membuatnya merasa lebih baik.
Dia Mikaela, gadis yang harus kujaga saat ini dan kedepannya.
Bersambung.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
