Baby Han (GxG) : 18. Drama

2
0
Deskripsi

Ternyata Lian …

Baby Han 18. Drama


Mikaela POV.


Untuk mengejar cinta butuh usaha, kadang mudah, namun tak jarang orang harus jungkir balik dalam prosesnya. Proses panjang demi sebuah pengakuan, bahwa segala upaya yang kita lakukan berbuah hasil, bahwa dia juga akhirnya memiliki perasaan yang sama untuk kita. Meski mungkin karena terpaksa.

It's true.

Ketika aku memasuki kehidupannya yang lurus dan sempurna--yang jauh dari kata kurang. Ketika jiwa ringkihku menyeret rasa simpatinya hingga memaksa atensinya agar memperhatikanku. Tidak ..., tapi peduli padaku.

Setiap sikapku yang apa adanya ketika berada di sekitarnya--yang selalu identik dengan kata ceroboh, menyeret jiwa kokohnya hingga tanpa sadar telah membuatnya mendudukkan diri untuk melihatku.

Untuk menatapiku yang seolah tengah menari. Sebuah tarian sederhana dengan baju kemiskinan, gerakan tubuh yang jauh dari kata lemah gemulai. Mungkin akan terlihat mirip sikap yang konyol disertai gelak tawa renyah.

Dia yang selalu berpikir serius mulai terbiasa atau mungkin terpaksa untuk mau mendengarkan cerita-cerita sederhana dengan kalimat tanpa filter dariku. Tak jarang aku menarikan sebuah alur yang berisi tangisan atas jiwa lelahku akan ketakutan yang tidak semestinya.

Perlahan aku mulai melihat diriku yang mirip anak ayam bertemu seekor naga--yang memiliki jiwa kuat namun berhati lembut, juga penuh kasih.

Judith memiliki tatapan matanya tajam untuk orang lain, namun berbeda saat berada di sekitarku.

Entah sejak kapan atau karena apa, yang pasti aku telah melihat ego tingginya menunduk atau mungkin terpaksa tertunduk di depanku.

Aku sangat tahu dan sadar, bahkan berulang kali pikiranku membahas hal ini lagi, lagi, dan lagi.

Di dalam hubungan mustahil kami, aku tidak hanya seperti seekor anak ayam yang berharap memeluk naga. Benar ..., karena aku tidak seimut itu.

Aku berpikir lebih mirip seekor katak hina yang berharap dapat memeluk bulan, atau seorang fakir yang berharap bisa tidur dalam pelukan seorang CEO.

Terlepas dari alasan apapun, Judith telah berada di dekatku kini, dan mau untuk.

Lalu bukankah itu sah?

Dia mengakui memiliki perasaan yang sama untukku. Meski aku tidak cukup yakin untuk tahu apakah ada ragu akan arti rasanya padaku.

Namun, aku cukup tahu bahwa rasa kasihannya sangat besar atas keterpurukanku. Mungkin dia kasihan atas jiwa ringkihku--di mana aku terlalu bodoh untuk sendirian demi impianku sebagai seorang desainer, meski tengah hamil.

Aku bahagia meski hatiku setiap saat diliputi ketakutan akan kehilangannya, bahkan saat tubuhku semakin hari menjadi semakin gemuk dan jelas akan semakin jauh dari kata cantik. Aku takut dia akan berpaling dan menjauh, atau kemungkinan terburuk dia akan membuangku.

Hal yang sangat mungkin terjadi ketika Judith telah sangat bosan dengan keterpurukanku--yang hanya menghambat langkah kakinya untuk berjalan.

Seperti sesaat lalu, aku telah menyadari sesuatu.

Kembali aku merasa sebagai seseorang yang penuh percaya diri, telah lupa diri ..., lupa siapa diriku, serta lupa siapa mereka.

Faktanya, mereka memiliki lingkup kehidupan sebelum bersamaku. Lingkaran sebelum aku menerobos dan memaksa masuk dengan memaksa menyeret atensinya, untuk memalingkan wajahnya hingga hanya menatapku sepenuhnya.

Berpikir bahwa aku yang bergantung sepenuhnya padanya tentu akan berbalas hal serupa. Aku bodoh ..., aku terlalu bodoh untuk bisa mengingat dan menyadari apa dan siapa diriku di matanya.

Bermodal wajah cantik? Aku tidak.

Ataukah bermodal tubuh tinggi langsing? Aku juga tidak.

Atau ... karena Baby Han yang tengah kubawa di dalam rahimku?

Pemikiran terakhir ini yang menjadikanku terduduk untuk saat ini.

Sikapnya telah membuatku lupa diri.

Mungkinkah dia akan selalu berada di belakangku ketika Baby telah lahir nanti?

Di sini aku harus menanyakan sekali lagi. Tidak ..., tapi berkali-kali. Apa yang membuatku begitu memujanya, bahkan dari awal kami bertemu.

Apakah karena wajahnya? Aku tidak.

Apakah karena tubuhnya? Aku tidak melihatnya dengan mataku.

Ataukah karena uangnya?

Apakah aku masih akan mengatakan cinta dengan lantang jika dia kehilangan semua hal yang melekat pada tubuh dan namanya--uang, kekayaan, jabatan, bahkan perusahaannya?

Hai, hatiku ... apakah kau pikir aku melihat dia berdasar segala sesuatu yang membungkus tubuhnya?

Persetan dengan semua itu. Jika aku diijinkan dan dia mau akan kuculik dirinya untuk hidup bersamaku sebagai rakyat jelata atau petani sayur di desa.

Lalu kenapa aku merasa Lian adalah bagian dari masa lalunya?

Apakah pengakuan cinta Judith hanya salah satu koleksi dari sederet kisah cintanya?

Apakah aku hanya akan menjadi masa kininya?

Tidakkah dia ingin masa depan bersama denganku?

Dia tidak pernah membahas hal itu. Hatiku merasa sakit ketika terabaikan saat mereka bertiga bersenda gurau dengan topik yang hanya mereka tau. Aku merasa sebagai orang luar.

Haruskah aku mempertahankan seseorang yang jelas tidak memberi kepastian padaku?

Apakah aku harus menyingkir saat ini?

Tuhan, aku semakin tengggelam dalam pemikiranku sendiri.

"Kenapa kondisi kesehatanmu menurun? Apakah kau kelelahan?"Suara Dokter Tan membangunkanku dari pikiranku.

Aku tersenyum tipis antara resah di hatiku dan rasa malu atas pertanyaannya yang mengacu pada kegiatan seks kami. Kurasakan wajahku tiba-tiba memanas. Mungkin saat ini bersemu merah.

"Aku ... Judith. Ah-tidak, tapi kami--"Aku tergagap sulit mengutarakannya.

"Making love?"tanyanya pelan. Aku mengangguk tersipu. Sementara tatapan mataku beralih menatap perawat yang tengah membantuku beranjak dan berjalan menuju kursi di depan meja dokter.

Dia masih menatapiku lekat. Aku malu.

"Unnie~"rengekku kesal.

Dia terkekeh kemudian mengusak rambutku gemas. Wajahku kembali tertunduk, ada rasa perih ketika kembali mengingat kejadian tadi pagi.

"Waeyo? Ada yang membuat hatimu resah saat ini?"tanyanya. Aku menggeleng pelan.

"Kau boleh sharing about everything, just like with Cloe!"Dia berkata lembut. Saat aku mendongak untuk menatapnya, dari sorot mata itu terlihat keteduhan.

"Mmm ... ada Lian. Sepertinya dia seseorang dari masa lalunya ..., kurasa saat ini aku hanya terlalu sensitif,"jawabku. Tanpa sadar air mataku menetes. Tangannya terulur untuk mengusap punggung tanganku, berusakan menenangkan.

"Menangislah, setelah itu bangkit! Pertahankan milikmu! Don't play victim!"Ucapannya tenang tapi tegas, membuat mataku mengerjap perlahan untuk tersadar.

"Mempertahankan?"tanyaku.

"Nde. Kalau kau merasa memilikinya, maka pertahankan! Jadilah Mikaela yang kuat! Pilihannya hanya ada 2, yaitu berjuang atau menyerah yang berarti kau mundur. Tapi setahuku bukankah kau membutuhkan bau tubuhnya?"Dia bertanya dengan tersenyum teduh. Sungguh, aku merasa beruntung berada dalam lingkaran di mana orang-orang begitu menyayangiku.

"Uhm, kurasa aku akan menelpon Judith untuk menjemputku,"kataku. Hatiku kembali menghangat.

Aku : "Judith ..., aku--"

Judith: "Ah-Mikaela. Aku Lian. Uhm ... Judith sedang di kamar mandi untuk membersihkan diri. Kami baru saja. Kau tahu, 'kan?"

Aku : "Oh-Okay."

Klik.

Wajahku berubah muram, ada rasa sakit yang mencekat di tenggorokanku. Wajahku memanas seketika, namun tubuhku dingin di saat yang sama. Jemariku mengepal erat, tanpa saar air mataku terjatuh. Mulutku mulai terisak lirih.

"Waeyo?"Doktr Tan bertanya.

Aku menggeleng ribut, mulutku tercekat, sulit untuk mengeluarkan kata-kata.

"Lian ..., Judith. Maksudku, mereka. Tidak-aku harus bertanya sendiri padanya,"jawabku tergagap. Tanganku meraih tas dan segera berpamitan untuk menuju kantor dengan menggunakan taksi.

Hatiku saat ini terkoyak.

Bukankah ini terlalu frontal?

Jika memang Lian ingin merebut wanitaku, tentu butuh setidaknya waktu beberapa lama untuk menghadapi jiwa keras Judith. Kenapa?

Ini hanya hitungan jam. Dan mereka telah tidur bersama. Rasanya aku bisa gila karena cemburu.

Judith, bukankah dia tampak menikmati saat-saat bersamaku?

Dia sungguh seorang dominan sejati buatku, selama ini.

Dan bukankah baru kemarin kami menghabiskan hari dengan seks yang luar biasa?

Tunggu! Apakah aku baru saja melihat pribadi aslinya?

Apakah dia maniak seks?

Di balik sikap angkuhnya?

Tuhan, aku makin tertekan karena asumsiku sendiri. Hingga tanpa terasa telah sampai di kantornya. Langkah kakiku semakin cepat berjalan memasuki lift menuju lantai atas, pikiranku hanya di penuhi adegan-adegan vulgar yang sesaat lalu mereka lakukan, aku harus bertanya sendiri.

Saat ini aku butuh kepastian. Dan aku akan mundur untuk kembali ke Bangkok. Pulang, itu pasti dan telah menjadi keputusanku, tapi aku butuh satu jawaban.

Apa arti diriku untuknya?

"Ssshhh!"Aku mendesis tipis saat pintu lift terbuka, perutku tiba-tiba mengeras. Kurasa ini hanya kontraksi palsu karena stress. Aku berjalan sedikit cepat dengan menyangga perutku, sementara dadaku berdegub kencang, kurasa aku dapat mendengarnya, dan semakin bertalu-talu saat langkah kakiku sampai di depan pintu ruangannya.

Jemariku meraih knop pintu dan menariknya. Hanya ada Lian yang tengah duduk di sofa. Dia tersenyum menatapku.

"Di mana dia?"Aku bertanya. Wajahku kaku, ada rasa benci tersirat dari nada bicaraku. Dia beranjak menghampiriku. Aku memajukan tubuhku untuk menuju kamar mandi, namun dia menghalangiku.

"Kau! Berpikir akan menjadi masa depannya?"ucapnya lembut, tubuhnya berjalan mengitariku. Aku tertegun, bahkan ini belum sehari, tapi dia telah menampakkan wajah aslinya.

Ataukah aku?

Aku yang sebenarnya perebut milik orang lain?

"Maksudmu?"tanyaku. Mataku menatapnya tajam.

"Minwo setiap hari bercerita tentang kalian, aku membencinya. Tidak ..., tapi kamu dan juga bayi itu."Tatapan matanya terlempar pada perut bulatku--yang seketika kurengkuh erat seolah dia ingin menyakiti buah hatiku. Aku masih menatapnya tajam.

"Judith mencintaiku,"sahutku.

"Tapi aku mencintainya jauh sebelum kau. Dia milikku."Dia berbicara dengan seringai seolah anjing liar yang akan menerkamku.

"Ambil! Kau bisa mengambilnya ..., jika dia mau!"Aku berkata dengan tegas.

Tubuhku terasa panas dan dingin bersama, dadaku mulai berdebar dengan berantakan hingga napasku sedikit memburu dan terdengar berat--yang membuat Baby Han bergerak gelisah di dalam sana. Jari-jariku meremat pinggiran jaketku. Lian tersenyum sinis sambil menatapku yang emosi.

"Kami bercinta ..., seperti biasa saat bertemu dan tinggal bersama di Kanada. Judith begitu liar, dan buas ketika di atas ranjang. Membuatku merintih dan merengek tiada henti, dan aku selalu sukses membuatnya mengerang dengan mendesahkan namaku berkali-kali. Kami bermandi keringat."Dia berbicara dengan suara berbisik namun penuh penekanan seolah menunjukkan bahwa sang pemilik telah pulang untuk mengambil barangnya. 
Iya ..., miliknya.

Tubuhku tergerak mundur selangkah, dadaku berdesir, ada rasa sakit yang menyeruak dengan sangat hingga mirip mencabik dan menyayat hatiku.

"Katakan di mana dia!!"perintahku.

"Sstt! Dia sedang tidur karena lelah. Seks di kantor. Kau tahu, 'kan bagaimana sensasinya? Karena di rumah ada kamu,"Dia berbicara tepat di telingaku. Sontak tanganku menepisnya, namun dia memegang kuat tanganku, aku meronta dengan penuh amarah.

Mulutku mendesis tipis ketika tiba-tiba dia meraih untuk membanting tubuhku tanpa ampun hingga jatuh tersungkur. Semua terjadi di luar nalarku, hanya berusaha bangun dan melindungi perutku dari terbentur sofa.

Aku berusaha berdiri untuk menjauh darinya--psikopat gila, yang bahkan tersenyum puas saat ini.

Bagaimana wanitaku bisa meniduri yeoja sepertinya?

"Kau gila!"ucapku sambil berusaha berdiri.

"Karena kau ..., kau memasuki kehidupan kami. Dan bayi sialan itu, aku membencinya!"Kini dia berbicara dengan wajah emosi.

Berjalan mendekatiku, lalu tangannya meraih tanganku, kupikir Lian telah kehilangan dirinya.

Ini bukan waktunya untuk menjadi lemah, karena aku seorang ibu yang harus melindungi bayi dalam rahimku. Apa yang akan Lian lakukan dengan kegilaanya, hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Karena, ini bukan drama--di mana tokoh utamanya selalu mengalah atas penganiayaan dan hanya menerima takdir dengan derai air mata. Aku adalah ibu, pelindung bagi bayiku.

Tanganku menamparnya keras. Namun, dia tidak melawan, hanya terisak lirih. Jangan bilang ini adalah adegan drama--yang mana di belakangku ada seseorang yang menganggap bahwa aku bajingan jahatnya

Kubawa wajahku menatap pintu yang terbuka, di sana Minwo tengah berdiri menatap kami. Dia diam, tanpa kata-kata, tanpa kalimat memarahiku ... hanya berjalan mendekat. Mendekati Lian tepatnya.

Tatapan mata Lian menyadarkanku bahwa dia bermuka dua.

Untuk sesaat dia menjatuhkan diri pada pelukan Minwo. Tubuhku membeku, kurasakan otakku mampat seketika, tertegun seakan tak percaya, ini benar-benar sebuah adegan drama. Dan aku semakin merasa muak dengan semua ini.

Rasa nyeri di perut bagian bawahku semakin tak tertahan bahkan menjalar ke belahan bawahku. Aku berjalan pelan untuk keluar, meninggalkan dua insan yang jelas kucoret dari daftar hidupku. Bahkan jika itu ayah biologis dari Baby Han.

Mungkin ini kekuatan terakhirku, tanganku membanting pintu ruangan karena kesal. Atau ... sebuah ekspresi terakhirku kurasa. Sebelum tubuhku merosot ke bawah dengan erangan dari mulutku. Rasa nyeri yang hebat menghantam perut bagian bawahku, kontraksi yang kuat disertai darah yang mengalir membasahi kakiku. Napasku tersengal, antara menahan nyeri dan rasa takut. Baby dalam bahaya. Kuremat kuat dinding meski tahu tidak mungkin dapat menopang tubuhku, pandanganku kabur. Hanya erangan yang mampu kuucapkan. Samar kudengar dua yeoja memanggil namaku.

Tuhan, selamatkan dia.


_________

Mataku terasa berat, namun samar kudengar beberapa orang mengerubungiku, kurasa seseorang tengah membawa tubuhku di atas brankar.

Samar suara serak basah terdengar di antara mereka. Aku, cukup mengenalinya. Kubawa wajahku menatapnya.

Mataku mengabur, kesadaranku hilang timbul, rasa sakit yang menyergap ini menyeretku untuk ikut tenggelam dalam gelap, namun mulutku masih berusaha memanggil namanya meski kurasa tak jelas.

"Nde, baby! Tenanglah! Semua akan baik-baik saja!"Samar dia berbicara dengan suara terbata, kurasa dia panik. Tapi untuk apa?

Ini hanya bagian dari dramanya. Toh aku hanya pemuas nafsu saat Lian tak ada di sisinya. Air mataku mengalir.

"Go away! I ... don't-AKH! I don't wanna see you! GOD, AKH!"Aku berbicara di antara erangan. Sekilas aku menatap ekspresi kagetnya. Air matanya menetes. Lalu semua mengabur, rasa sakit dan putus asa terlalu manis dengan memberiku janji sebuah nyaman yang abadi.

Aku menyerah.


Bersambung.

side story.


30 minutes before.


Pembicaraan ponsel antara Ave dan Gauri.

Gauri : "Yeoboseyo,"

Dr. Tan : "Judith bersamamu?"

Gauri : "Ye, Dokter Tan. Anda ingin berbicara dengan Bos?"

Dr. Tan : "Nde."

Judith : "Nde, Ave. Ada sesuatu?"

Dr. Tan : "Di mana ponselmu?"

Judith : "Tertinggal di kantor, dari mana kau tahu?"

Dr. Tan : "Ah-Mikaela pagi ini melakukan pemeriksaan, dia datang sendiri. Kondisi kesehatannya menurun. Hasil tes Hcg-nya juga. Aku khawatir akan berpengaruh terhadap kehamilannya. Jika kuberi terapi hormon, akan beresiko terhadap pembengkakan ovariumnya. Jaga dia, jangan terlalu bersemangat. Hmm ... Mikaela sedang tidak sendiri, ada Baby Han di dalam perutnya."

Judith : "Hmm ... aku mengerti, di mana dia?"

Dr. Tan : "Setelah menelponmu ... kurasa dia menyebut nama Lian. Dia terburu-buru pergi. Tapi--"

Judith : "Katakan!"

Dr. Tan: "Mikaela sepertinya sedang cemburu terhadap yeoja tersebut. Sia pergi dengan menangis. Susul dia!"

Judith : "Aku mengerti."

Klik.

"Kita kembali ke kantor, cepat!"

"Ye. Miss."

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Baby Han (GxG) : 19. Akan kujaga
2
0
 Lagi … Mikaela berjuang antara hidup dan mati.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan