
Sebenarnya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk jatuh cinta? Pangeran Harry mengatakan bahwa dia jatuh cinta secepat kilat dengan Meghan Markle. Sebaliknya, bagi Pangeran William, dia justru mengenal Kate Middleton lebih dulu sebagai teman sebelum akhirnya jatuh cinta--atau tidak? Well, bukankah pernikahan tetap bisa terjadi sekalipun di antara teman?
Sebenarnya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk jatuh cinta? Pangeran Harry mengatakan bahwa dia jatuh cinta secepat kilat dengan Meghan Markle. Sebaliknya, bagi Pangeran William, dia justru mengenal Kate Middleton lebih dulu sebagai teman sebelum akhirnya jatuh cinta--atau tidak? Well, bukankah pernikahan tetap bisa terjadi sekalipun di antara teman?
Lalu, apakah harus bertemu untuk memungkinkan seseorang jatuh cinta? Sepertinya tidak. Aku pernah iseng melihat hasil survey di sebuah aplikasi kencan online. Hasilnya 67% persen target survey mengaku pernah jatuh cinta meski belum pernah bertemu langsung dengan sosok yang mereka "cintai". Aku tahu, kalian bisa saja mencibir hasil survey itu dan bilang data di atas tidak valid karena semua bisa berubah ketika dua orang yang pernah berkencan secara virtual akhirnya bertemu. Berakhir ditipu, korban catfishing, atau berujung cuma jadi selingkuhan karena orang yang mereka cintai ternyata sudah menikah.Tapi, meskipun cinta bisa berubah, perasaan suka, bahagia, berdebar-debar yang timbul tetap saja cinta bukan?
Lalu apa hubungannya denganku? Yah, di sinilah letak masalah sebenarnya. Aku sedang menunggu supaya bisa jatuh cinta. Aku juga mau seperti orang-orang di luar sana yang bak disengat panah cupid dan jatuh cinta semena-mena. Dengan pipi merah semringah kencan di keramaian, bergandengan tangan, lalu malamnya bergelut dan menendang selimut karena cemas orang yang kita jatuhi cinta tidak kunjung membalas pesan. Hal-hal sederhana bagi banyak orang, tapi bagiku amatlah mahal. Berapa lama sih sebenarnya waktu yang dibutuhkan supaya bisa jatuh cinta? Apa tidak bisa sekarang saja?
"Rik, kamu mau Indomie rebus apa Indomie goreng?" tanya Karin, cewek yang sekarang berstatus sebagai pacarku.
"Rebus aja, Rin... Cuacanya mendung dan mau hujan, kayaknya enak buat ngusir dingin. Rawitnya banyakin ya," pintaku dengan suara manja. Lihat betapa pintarnya aku bersandiwara.
"Dasar kamu! Sakit perut nanti nggak bisa pulang."
"Nggak apa-apa. Kan ada kamu yang mijitin perutku kalo beneran nanti sakit perut," tukasku, mengerling genit. Sebagai bagian dari kesan yang kuciptakan sebagai pacar yang asyik, meski kenyataannya itu menggelikan.
Sebenarnya aku tidak tahu bagaimana aku bisa terjebak di rumah kos Karin. Seingatku, kami cuma bertemu biasa untuk makan dan nonton di akhir pekan, selayaknya yang dilakukan orang pacaran. Seperti yang sudah-sudah, aku menjemput pacarku, membawanya kencan, lalu pulang. Seperti rutinitas bangun pagi, mandi, lalu berangkat kerja. Lalu saat seharusnya aku sudah berpamitan pulang, Karin justru bertanya:
"Rik, kamu masih lapar nggak?"
Dengan sehabis nonton tadi aku menghabiskan satu piring nasi goreng gila yang super pedas, dua burger, satu bungkus kentang goreng, akan sangat terlalu kalau ada yang menanyaiku apa aku masih lapar. Tentu saja aku luar biasa LAPAR!
Ah sayangnya aku tidak bisa mengatakan itu di depan pacarku.
"Kenapa emangnya? Kamu masih lapar?" tanyaku.
"Makan mi di apartemenku yuk?"
Aku menelan ludah.
Dulu sekali aku pernah dengar obrolan staf perempuan yang penggila drama korea. Mereka mendiskusikan adegan dalam korea yang disimbolkan dalam adegan si tokoh mengajak gebetan atau pasangannya makan ramyun di rumahnya. Konon, jika pasangan mengajak makan mi di rumahnya, artinya dia sedang memberikan kode sebuah ajakan melakukan sesuatu yang intim. Dan mendengar tawaran Karin, secara otomatis pikiranku langsung ke sana. Ini... beneran ajakan?
Kami sudah berpacaran selama sebulan. Dan selama sebulan itu, aku belum jatuh cinta dengan pacarku.
Tunggu dulu, jangan keburu menghakimiku. Aku bukan orang yang pintar mempermainkan hati perempuan. Suatu pagi sebulan lalu, Karin yang kata staf yang lain adalah wanita paling cantik di kantor, menyatakan perasaan dan mau jadi pacarku. Ya, dia tiba-tiba bilang "Aku mau jadi pacarmu" bukannya "Maukah kamu jadi pacarku?"
Terdengar seperti perintah ketimbang sebuah pernyataan cinta. Untunglah Karin cantik. Tubuh langsing, wajah blasteran, kaki jenjang, dan penampilan selalu sempurna. Terlalu menawan untuk dihadiahi jawaban penolakan. Jadilah aku setuju berpacaran dengannya berharap dengan sendirinya aku jatuh cinta. Kenyataannya, sampai detik ini aku cuma pura-pura cinta saja.
Hei, tapi aku ini tetap laki-laki. Sekalipun tidak cinta, aku masih punya nafsu. Itu saja mungkin cukup untuk melewati malam ini andai Karin berharap lebih. Jika tidak, semangkuk Indomie rasa kari ayam saja sudah bagus untuk menemani obrolan kami.
Tadinya aku berpikir Indomie yang disajikan Karin adalah seporsi Indomie polos yang hanya ditemani telur mata sapi, atau mentok-mentoknya daun bawang. Nyatanya yang tersaji di depanku persis seperti yang terpampang di bungkusnya. Mi-nya tampak mewah dengan irisan daging ayam, potongan selada, daun seledri dengan telur setengah matang yang digoreng hingga memiliki bulatan sempurna.
Ah, sialan... Aku hampir menangis karena terharu. Ini bukan sajian yang bisa dimasak tanpa cinta. Aku merasa jadi pecundang, yang mengandalkan nafsu ketimbang perasaan cinta.
"Kenapa? Dimakan dong, nanti keburu dingin," ucap Karin. Dia menatapku dengan ekspresi lembut. Persis sorot mata Ibu yang ingin menyaksikan anaknya makan dengan lahap.
Aku terdiam. Menatap hidangan di depanku dengan sumpit dan sendok yang siap mencecap kuahnya yang aku yakin akan sedap. Lalu, sebuah dorongan membuatku meletakkan semua alat makanku.
"Kok gitu? Kamu nggak nafsu makan?" tanyanya lagi.
"Aku masih punya nafsu makan dan asal kamu tahu aku juga punya nafsu yang lain," ucapku lirih. Karin tersipu mendengarnya. Mungkin ia membayangkan setelah ini akan ada adegan rating dewasa yang membuat kami tidak tidur sampai pagi.
"Sayangnya, aku nggak punya cinta buat kamu, Rin."
"Apa?" Karin terlihat tidak suka.
"Maaf, Rin... Aku berusaha banget supaya bisa jatuh cinta sama kamu selama sebulan ini, tapi... Aku nggak bisa."
"Kenapa? Aku kurang apa? Nggak ada laki-laki yang nggak jatuh cinta sama aku di kantor. Yah, kecuali kamu gay."
Aku mengernyit. Belum lama ini aku mengira Karin sangat tulus padaku, tapi kata-katanya tidak mengesankan ketulusan. Justru arogan.
"Sebentar, sebentar... Aku mau meluruskan, alasan aku nggak bisa jatuh cinta sama kamu memang ada di aku, bukan di kamu. Kamu nggak punya masalah apa-apa dan nggak ada kurangnya di mataku. Tapi, kamu sadar kan kamu terlalu percaya diri saat kamu ngajak aku pacaran? Dan, bukan... Aku bukan gay."
"Kalau gitu kenapa kamu mau kita pacaran?"
"Hey... Jangan dibolak-balik dong. Kamu yang tiba-tiba datang ke aku dan bilang kamu mau jadi pacarku."
"Ya karena aku memang mau."
"Terus kamu nggak nanya apa aku mau?" todongku.
"Buat apa? Udah bagus aku mau nembak duluan ngajak kamu pacaran. Selama ini nggak ada yang berani nolak aku."
Hah! Perdebatan macam apa ini? Aku seperti menghadapi remaja SMP manja yang tidak tahu kejamnya dunia. Mengira semua orang akan mengagumi dan selalu mencintainya.
Terlalu kehabisan kata-kata, aku memilih makan sampai habis semangkuk Indomie di hadapanku. Anehnya, rasanya justru lebih enak ketika semua kekacauan di kepalaku sudah kukeluarkan.
"Rin, kamu punya masalah serius dengan harga dirimu itu. Kamu nggak bisa menganggap semua orang bakal selalu suka sama kamu."
"Kamu yang punya masalah karena terlalu buta dan nggak melihat betapa beruntungnya kamu jadi pacarku. Nggak ada yang pernah bilang "nggak cinta" sama aku setelah aku masakin Indomie seperti yang kamu makan itu. Aku masih yakin kamu bukan laki-laki normal." Karin tidak mau kalah.
"Si--"
Ah, aku nggak ingin mengucapkan kalimat kotor saat sedang menyuap makanan. Seketika aku menahan diri dan memilih melahap mi sampai habis, lalu meminum kuahnya serampangan. Jadi begitu? Karin sudah sering menghidangkan Indomie mewah ini untuk laki-laki lain? Jadi ini rahasia popularitasnya?
"Makasih mi-nya, tapi mulai hari ini kita harus putus."
"Dengan alasan apa? Kalau teman-teman kantor tahu kita putus aku harus bilang apa? Kamu udah bohongin aku sebulan. Aku akan bilang ke orang-orang kantor kalau kamu selingkuhin aku," ancamnya.
"Kamu--"
Ya itu tidak salah sih. Aku sudah sebulan berpura-pura mencintainya.
"Rin, nggak bisa apa kamu bilang ke mereka kalau kita putus baik-baik?" pintaku.
"Norak. Mana ada putus baik-baik. Nggak dengan perempuan sebaik aku."
Entah apa yang membuatku meraih mangkuk mie yang kosong dan melemparnya ke lantai. Bunyi pecahannya cukup memekakkan telinga, bahkan membuatku berjengit. Sesaat kami berdua terdiam.
"Ini alasannya. Kamu putusin aku karena aku udah berbuat kurang ajar dan nggak menghargai makanan yang udah kamu masakin buat aku. Cukup???" seruku.
Karin masih terdiam. Mungkin terlalu syok dan dia pun mengangguk lemah. "Cu-cukup."
Aku pun melenggang keluar dari kamar kosnya. Aku akui aku memang agak keterlaluan karena memecahkan mangkuk mi-nya. Aku sudah jadi laki-laki berengsek. Apabila besok Karin mengumumkan kalau kami sudah putus karena aku berengsek, aku jelas tidak akan mengelak. Yah, aku memang berengsek. Hanya saja malam ini aku jadi laki-laki berengsek yang merasa lega karena putus sama pacarnya.
Mungkin aku harus berterima kasih pada semangkuk Indomie itu. Berkat itu, kami berhenti jadi pacar yang saling menyakiti satu sama lain. Dua kutub negatif tidak pantas saling berdekatan. Jika aku terlambat bilang, mungkin kami sudah saling bunuh di masa depan.
Masalahnya sekarang, laki-laki macam apa yang sudah merasakan putus cinta, tapi belum pernah jatuh cinta?
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
