
Ini adalah bab pertama dari buku Menjadi Manusia Biasa-biasa Saja yang sedang kutulis sejak akhir Maret. Tentang melepaskan ekspektasi diri sendiri dan menanggalkan ekspektasi orang lain yang dilayangkan kepada kita.
Kita ... manusia, terbiasa fokus pada kata lebih.
“Bagus sih, tapi bagus lagi kalau lebih.”
“Kamu harus lebih daripada kami orang tuamu.”
“Masak kamu enggak bisa nyusul peringkat dia?”
“Contoh dia, dia lebih.”
Sejak kecil kita terbiasa pada kata lebih, seolah lebih adalah sesuatu yang paling baik di muka bumi ini. Kata lebih menjadi sesuatu yang akan disanjung manusia lain, sedangkan yang kurang seperti tidak tampak, tertutup kabut. Yang kurang ini selalu mendengar kalimat perbandingan, seolah kurangnya adalah suatu dosa atau aib. Sebab ketika kalimat itu terucap, entah sadar atau tidak, mereka menanggalkan rasa sayang, mereka menanggalkan kenyataan bahwa selama dua puluh empat jam yang lain si objek ini juga telah berusaha sebaik-baiknya.
Mungkin dikatakan dengan maksud baik.
Mungkin dikatakan dengan harapan yang baik.
Namun, seringnya menyakiti, ada perih yang menusuk-nusuk hati setiap kali kalimat itu mengudara dan merambat ke gendang telinga. Membuat kepala semakin ingin menunduk atau tenggelam saja ke dalam tanah. Minder. Kesal. Merasa tak berarti. Semakin bingung apa yang salah dari diri sendiri, apalagi ketika menemui diri sendiri tidak mendapat hasil yang sama meski sudah berusaha dengan cara sama seperti dia yang dipuji.
Apa yang salah?
Apa memang tidak semua manusia bisa menjadi seperti orang yang disanjung itu?
Lalu kemudian terjadilah sebuah pemikiran yang menjadi suatu kepercayaan sampai kapan pun di dalam diri setiap manusia, bahwasanya diri ini sepertinya tidak bisa menjadi lebih atau malah mengira jika manusia harus menjadi lebih untuk bisa menjadi manusia yang bahagia.
Pun dia yang dibandingkan akan terus terbayang-bayang itu, sebuah pujian sebetulnya bisa menjadi beban di pundak manusia untuk terus menjaga ekspektasi manusia lain.
Sejak kapan semua ini bermula? Racun terus menyebar ke hati-hati yang sedang bertumbuh dalam perjalanan menjadi dewasa.
Dalam perjalanan menuju ke tempat yang sejak kecil telah menjadi impiannya. Ke tempat yang karena sejak kecil menjadi khayalannya, maka dia sangat percaya bisa sampai sana, dia yakin itu hanya dihalangi oleh usia, dia yakin bahwa tempat itu bisa dicapainya hanya saja menunggunya lulus sekolah atau kuliah dulu.
Itulah satu-satunya harapan, bahwa mungkin sekarang dia belum menjadi siapa-siapa, tetapi masa depan menjadi cahayanya. Betul-betul satu-satunya penenang dari rasa mindernya di hari ini.
“Tidak apa, di masa depan nanti aku akan menjadi lebih. Akan aku perlihatkan.”
Sayangnya, dia belum tahu jika tempat itu bukan hanya dihalangi oleh usia sekolahnya. Melainkan perlu dilalui dengan usaha, kegagalan, evaluasi, keinginan menyerah, keraguan, lalu mencoba lagi kemudian hampir berhasil, tetapi nyaris saja berhasil ada satu dua yang menariknya mundur.
Saat dia telah melalui itu dan tetap tidak bisa menjadi lebih, manusia ini kemudian kecewa setengah mati, merasa bahwa mungkin saja benar bahwa dirinya ditakdirkan untuk menjadi tidak lebih. Mereka terus hidup dalam bayang-bayang kegagalan dan menjadikan kata itu sebagai identitas diri mereka.
Kemudian minder, tidak berani mencoba lagi karena takut terluka atau berpikir bahwa apa sih, pasti dia tidak akan berhasil.
Inilah yang kupikirkan ketika ditanya apa impianmu?
Kalimat itu terus saja terngiang sepanjang dua malam sebelum akhirnya siang ini aku mampu menuliskannya, empat jam sebelum diunggah menjadi konten.
“Apa impianku?”
“Apa impianku?”
“Apa impianku?”
“Benarkah aku mampu meraihnya?”
“Rasanya sinyal dari Allah seperti lampu yang berkedip-kedip, aku tidak yakin itu iya atau tidak.”
“Atau hanya harus dilalui saja? Aku betul-betul tidak tahu.”
Jadi, pertanyaan soal impian itu, aku tentu punya jawabannya. Namun, kurasa bukan jawaban itu yang penting. Iya, impian memang penting, tetapi biarlah kugantung di tempat yang selalu bisa kurasakan saja. Allah dan aku yang tahu. Menjadi jalan utama yang menjadi peta hidupku, ke mana harus melangkah, karena ini juga satu-satunya harapanku. Satu-satunya yang membuatku mampu tertidur saat malam, “Tidurlah, Ki, masa depan akan membawamu pada jawaban.”
Lebih dari itu ketika saat ini ditanya impian, aku merasa harus menjawab ini, “Aku ingin menjadi manusia biasa-biasa saja. Melepaskan pakaian ekspektasi, menghalau ekspektasi manusia lain yang mereka layangkan kepadaku. Menikmati, menikmati, menikmati.”
Aku ingin menjadi manusia yang mampu menyederhanakan bahagia, aku ingin mampu bahagia dengan cara sederhana. Aku ingin melepas rasa kecewa di masa lalu tentang kalimat lebih yang dilayangkan padaku, mereka yang berkata begitu memang membentuk rasa tidak enak di hati, tetapi aku tidak boleh membawanya sampai hari ini. Barangkali mereka juga diperlakukan dengan serupa sampai tidak bisa memperlakukan orang lain dengan baik.
Aku ingin menjadi manusia yang tidak menunggu lebih untuk tersenyum, berbagi, dan berterima kasih kepada diri sendiri. Karena itu membuatku tidak menikmati hidup ini, itu sangat melelahkan.
Bukan berarti aku harus terus merasa bahagia, tidak merasa resah sama sekali, tentu racun itu telah menjadi bagian dari diriku juga sehingga tidak seluruhnya bisa dihilangkan. Namun, ini tentang bagaimana aku bisa menarik diriku dari jurang kesedihan karena perasaan tidak lebih itu menyerap seluruh kesadaran. Bahwa setiap manusia punya jalannya sendiri, semua manusia punya latar belakang berbeda ketika pertama kali memulai, tidak semuanya memiliki pendukung di belakang punggung mereka, dan lain sebagainya.
Ini tentang menikmati hidup dengan sebaik-baiknya, karena bisa jadi masa depan yang kuresahkan tidak mencatat namaku sebagai bagian dari manusia di sana. Bisa jadi.
Namun, bukan berarti aku tidak percaya bahwa manusia bisa menjadi lebih. Bukan. Aku percaya dan kepercayaan itu terus berpendar di hatiku, aku masih mampu merasakan hangatnya seperti pertama kali melangkah keluar dari gerbang sekolah saat lulus.
Aku percaya manusia bisa melakukan semua hal, aku percaya bahwa keterbatasan tidak menghalangi langkah manusia, tetapi mungkin tidak selamanya membawa kita ke jalan yang dimau. Melainkan mengantarkan kita ke jalan yang lain, jalan yang bisa dipilih.
Jalan itu nantinya akan mengantarkan kita ke jalan yang dimau, tetapi tentu itu tergantung bagaimana keinginan kita, apakah impian itu tetap ada, apakah ternyata kita masih mau melangkah ke sana atau tidak. Atau malah ternyata kita telah menemui impian yang lebih hangat.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
