017 - POHON ANGKER LAIN - ANAK POHON

0
0
Deskripsi

Seperti semua orang yang menyaksikan kejadian itu, Djabrik masih tertegun tanpa daya tak memahami apa yang telah terjadi.

Dia berbaring di tebing tanah Bengawan Solo, melaksanakan ritualnya lagi. Dia memejamkan mata dalam keterpanaan, pipinya masih terasa hangat dan nyaman. Gelenyar menyenangkan ketika bibir manis Nuansa mengecupnya masih terasa. Sepulangnya dari balai desa, sengaja Djabrik tidak cuci muka, dia ingin bekas bibir itu abadi sampai esok hari, boleh juga sampai esok minggu, esok bulan, dan esok tahun. Ia kesengsem.

Saat dia membuka mata didapatinya Laskun sedang berbaring miring ala pose foto model, menyeringai nakal memperhatikannya. Djabrik menimpuknya dengan sandal.

Mereka berdua tergelak, lalu Djabrik bercerita tentang apa yang terjadi di balai. “Nuansa berubah, Kun. Menjadi bidadari.”

Laskun tidak ada di sana tadi. 

“Beneran?” 

Djabrik mengangguk. “Tubuhnya menjadi berisi. Tak kurus seperti dulu. Nuansa seperti melompati usia.”

Laskun berupaya membayangkannya. “Bisa jadi bunga desa kalau gitu mah.”

“Hussh!” Djabrik menegur. “Jangan berpikir yang tidak-tidak.”

 Lalu mereka memperbincangkan perihal pohon yang bergerak dua malam lalu. Djabrik berspekulasi mengenai perubahan tubuh Nuansa terkait pada apa yang ada di dalam pohon itu. 

“Tambah ngeri aja desa kita ini.” Laskun menggigil. “Pulang, ah.”

 

***

 

 

Bu Nana menitikkan air mata haru sekaligus diliputi keganjilan luar biasa. Awalnya dia tak mengenali putrinya, setelah meraba wajah Nuansa baru dia merasa yakin. Baru delapan hari tapi tubuh putrinya seperti telah melalui kehidupan sepuluh tahun kemudian. Dia takut bertanya, dia tak mampu. Kembalinya Nuansa membuatnya tak lagi bersedih hati. 

Bu Nana melepas gaun hitam sutra Nuansa lalu memandikan putrinya sampai bersih. Dua sachet sampo dia habiskan untuk mencuci rambut panjang Nuansa. 

“Nuansa, mau Ibu potong rambutnya?”

“Iya, Bu.”

Pakaian di lemari Nuansa tak ada lagi yang muat. Bu Nana mengobrak-abrik baju lamanya, yang untungnya masih dia simpan. Dipakaikannya Nuansa daster bercorak bunga. Setelah itu Bu Nana memuji dalam hati, Anakku begitu cantik.

Setelah selesai, Nuansa disuapi nasi goreng bawang dengan sosis dan irisan bakso. Bu Nana memasak menu secara kilat, lalu dia meninabobokan Nuansa. Dia menemani Nuansa sampai tidur sambil mengamati wajah putrinya. Jangan menghilang lagi, nduk...

Romo berdiri di pintu. Merenung. Lalu dia mengajak istrinya untuk tidur dan mencium kening dua perempuan yang paling dia kasihi dalam hidup. 

Mereka berdua sepakat untuk tidak mempertanyakan keganjilan ini. Kesepakatan itu tak terucap melainkan tersirat dari cara keduanya bertatapan. 

Keduanya menganggap itu sebagai kehendak Gusti Allah Yang Maha Pemurah. Bahwa yang terjadi pada Nuansa adalah anugerah, bukan kutukan.

Masalahnya adalah bagaimana mereka akan menghadapi dunia ketika esok hari tiba?

 

Pagi harinya Nuansa tak bangun-bangun sampai pukul sembilan pagi. Ia tidur pulas seperti bayi yang kenyang menyusu. 

Romo dan Ibu membiarkannya. Pagi-pagi Romo berangkat ke sekolah Nuansa untuk melampirkan surat izin dan berbicara kepada Kepala Sekolah. Mereka mengizinkan seraya mengucapkan syukur atas kembalinya Nuansa.

Nuansa membuka jendela kamar dan melihat Pohon kehidupan. Pagar bambunya benar telah dicabut dan reruntuhan sumur telah dibersihkan. Ia bersyukur. 

“Mereka mendengarkanku.”

Ibunya masuk membawakan sarapan roti dan susu hangat manis. “Bagaimana perasaanmu, nduk?”

“Luar biasa tenteram, Bu.”

“Ibu tadi ke pasar beli baju. Semoga muat sama kamu, nduk. Sehabis sarapan kamu mandi ya, nduk. Atau mau ibu potong dulu rambutnya?”

“Potong dulu, Bu.”

Nuansa menikmati selapis roti yang diolesi mentega dan meses cokelat yang melimpah. Roti itu ia celupkan ke susu. Pandanganya tak teralihkan dari pohon. 

“Romo sudah menceritakan semuanya pada Ibu tentang tadi malam di balai desa. Ibu ndak memaksa Nuansa cerita yang sebenarnya ke Ibu, karena Ibu takut ndak nyampe akalnya.”

“Iya, Bu. Nuansa juga bingung bagaimana menjelaskannya.”

Ndak apa-apa, nduk.”

Bu Nana mencium kepala Nuansa. 

Mereka kemudian ke belakang rumah untuk potong rambut. Rambut Nuansa begitu tebal dan hitam nan lembut, tak ada kesulitan untuk mengguntingnya. Awalnya Bu Nana berpikir rambut Nuansa lusuh dan sulit diatur. Rambut Nuansa dibentuk model blus. 

Setelah memotong rambut Nuansa, Ibu kembali ke dapur dan melanjutkan memasak. Nuansa pergi ke pohon manga, memanjat dan duduk di sana sambil membaca buku tebal American Gods. Ketika azan Zuhur terdengar, ia telah mencapai setengah buku.

Tiba-tiba dia mematung. Di halaman tengah itu, ada sehelai daun yang terselipkan. Itu adalah daun dari Pohon Kehidupan yang tempo hari tertiup angin.

Nuansa memegang daun itu, mengamatinya. Ia tahu perannya ada hubungannya dengan daun itu, tapi ia belum tahu apa guna daun itu selain menyembuhkan sakit kepalanya. Ia selipkan lagi daun itu lalu melanjutkan membaca.

“Nuansa.” Terdengar suara memanggil. Nuansa menemukan Djabrik berdiri di bawah pohon. 

“Brik... kamu nggak sekolah? Ayo naik sini.”

“Gak, Nu,” jawab Djabrik sambil memanjat pohon. 

“Nanti dihukum loh sama Bu Jasmin.” 

“Gak apa-apa. Kalau kamu gak masuk, aku juga gak.” Djabrik sudah sampai dan mengambil tempat di sebelah Nuansa.

“Lah nggak begitu juga, dong. Ya sudahlah. Aku mau bercerita sama kamu.”

“Oke. Kupingku siap.”

Nuansa bercerita perlahan-lahan, menjelaskan semuanya. Bagaimana ia menghilang, bagaimana ia bertemu Anak Pohon, wanita pohon, lalu juga proses metamorfosis. Ia tak memberitahu Djabrik ia berciuman dengan Anak Pohon. Yang sulit dicerna Djabrik adalah mengenai misi Pohon Kehidupan. 

“Seperti di cerita fantasi saja,” komentar Djabrik.

“Begitulah. Toh, itu nyata. Aku yang mengalaminya.”

Djabrik berusaha menelan ludah keras-keras. Repot juga jika kejadian hebat itu menimpa sahabat dekatnya. Ada kesan aneh tercipta pada hubungan ini. Entah harus bagaimana Djabrik bersikap.

“Kamu jangan menjauhiku ya, Brik.”

“Gak kok, Nu. Aku akan menemanimu.”

“Jangan menganggapku aneh.”

“Hehe, kamu kan sudah aneh dari sananya.” 

Nuansa menonjok bahu Djabrik main-main. 

Di atas dahan tertinggi itu terlihat seperti Djabrik sedang bercengkerama dengan kakak atau tantenya. Perbedaan keduanya jadi semakin jauh. Bagaikan bumi dan galaksi. 

“Aku hanya tak menyangka bakal menemui hal seperti ini dalam kehidupanku,” kata Djabrik.

“Aku juga. Tapi entah kenapa ini tidak membuatku takut. Aku bisa menerimanya.”

“Ya, mungkin itu karena memang sudah menjadi takdirmu.”

“Ya.”

Djabrik berduaan dengan Nuansa cukup lama sampai dia ikut makan siang di rumahnya. Lalu kembali lagi ke pohon mangga. Kadang hanya percakapan di udara alias saling diam. 

“Malam Senin pohon itu bergerak, aku menyaksikannya.”

“Oh, itu. Itu aku sedang bermetamorfosis jadi diriku yang sekarang ini.”

Djabrik membayangkan. “Orang-orang pada paranoid loh, Nu, gara-gara itu.”

“Sebetulnya nggak usah pada begitu. Mereka saja yang nggak pernah liat pohon bergerak. Karena bagi mereka aneh, jadinya mereka takut.”

“Namanya juga orang awam, Nu.”

“Ya, masalah orang awam.”

Mereka berbincang-bincang ringan tentang hal-hal acak sementara Djabrik memetik mangga untuk dinikmatinya bersama Nuansa.

Menjelang Asar, Djabrik pergi bersepeda mencari objek gambar. Nuansa tidak ikut dengannya. Tepat saat ia turun dari pohon, di depan rumah sudah ada Eka, Robi, Gentur, dan Sundari. Mereka datang menjenguk. 

Mereka pun kaget melihat wujud Nuansa yang baru, seolah-olah mereka telah melewatkan beberapa tahun sementara Nuansa tumbuh begitu cepat dan mereka masih membeku. 

“Hai, Teman-teman,” sapa Nuansa ramah. Ia agak heran Sundari ikut datang. Mendapat sorotan mata Eka yang berbicara menjelaskan, Nuansa menerima Sundari.  “Aku sudah kembali.” Nuansa kikuk, bagaimana ia menjelaskan semua ini?

Teman-temannya juga hanya terbengong, terutama Robi dan Gentur. Yang dilihatnya bukan seperti Nuansa yang biasanya. Gadis itu berubah total. 

“Kamu kenapa, Nuansa?” Akhirnya Eka bertanya.

Nuansa menjelaskan sekenanya. Ia ingin menjauhkan fakta sebenarnya. “Entahlah. Aku tiba-tiba tertidur di kuburan itu dan entah kenapa kalian tidak bisa menemukanku. Ketika bangun, aku sudah seperti ini.”

“Seperti cerita anak bayi yang tiba-tiba alat kelaminnya sudah disunat,” kata Gentur.

“Entahlah, mungkin begitu.”

Mereka merinding sekaligus ingin tahu, karena pada akhirnya mereka mendapati hal misterius terjadi di lingkungan mereka. Mereka jadi saksi keganjilan dunia.

“Oh ya, Nu. Tomatmu subur sekali, banyak buahnya, uang kas kelas kita bertambah dari pemasukan penjualan jus tomat,” kata Robi memberitahu.

“Wah, bagus dong.”

Nuansa bertepuk tangan.

Teman-teman Nuansa hanya mampir sebentar. Pukul lima sore mereka pulang. Nuansa melanjutkan lagi membaca setelah membantu ibunya bersih-bersih rumah. 

Ketika Romo pulang, mendekati Magrib, Ramon dan Ki Lurah datang. Mereka memasang tampang serius yang disantai-santaikan.

Nuansa ikut dalam pembicaraan itu, mendengarkan.

“Kabar baik atau kabar buruk?” tanya Romo.

“Kabar baik dulu, Sam. Afif, anak Bu Kusworo sudah ditemukan,” ucap Ramon.

“Yang benar?” Nuansa senang.

“Ya, anak itu ternyata tersasar di Desa Tembeling, seberang sungai. Ada warga yang menampungnya. Afif belum bisa bicara dengan benar, jadinya warga itu tak bisa berbuat banyak. Lagi pula warga itu tidak punya anak, datangnya Afif membuat mereka senang. Dia agak keberatan sewaktu menyerahkan Afif. Laporan ini didapat dari salah satu rekan saya di sana yang mendapati warga itu memiliki anak secara tiba-tiba. Tetangganya melapor,” Ki Lurah menjelaskan. 

“Syukurlah. Afif telah kembali kepada ibunya,” ucap Romo.

“Nah, sebagai ungkapan rasa terima kasih,           warga itu dijadikan asisten rumah tangga Bu Kusworo. Untuk membantu mengurus Afif,” Ki Lurah menambahkan. “Itu yang membuatnya ringan menyerahkan Afif.”

“Baguslah. Sekarang apa berita buruknya?”

Ki Lurah melirik Nuansa diam-diam.

“Ya, Ki Lurah?” Nuansa curiga.

“Tidak apa-apa, biarkan dia mendengarkan,” kata Romo.

“Saya mendapat laporan dan berita dari berbagai lokasi. Katanya di tempat-tempat itu tumbuh pohon besar seperti pohon di samping ini.” Maksudnya pohon angker. “Mirip sekali bentuknya.” Ki Lurah menunjukkan foto-foto pohon di ponsel pintarnya. Nuansa ikut melihat. Betul, pohonnya sama. 

“Ini di Kalitidu, ini di Nguken, ini di Cepu, ini di Purwosari.” Ki Lurah menerangkan sambil menyapu layar. 

Ramon merasakan horor melanda dirinya, dia takut-takut melihat putri kawannya. 

Romo tahu apa yang mereka pikirkan. 

“Apa yang perlu dilakukan?” Ki Lurah berkata pelan dengan maksud supaya Romo saja yang mendengarkan. 

Tapi, semenjak perubahan pada dirinya, Nuansa bisa mendengar suara sepelan apa pun. 

“Biarkan mereka tumbuh!” katanya tegas.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Anak Pohon
Selanjutnya 018 - WABAH HILANG - ANAK POHON
0
0
Hari-hari berikutnya Nuansa enggan berangkat ke sekolah. Bukan berarti ia tidak mau belajar—hanya belum ingin. Romo dan Ibu sudah membujuknya. Tidak dengan cara yang keras, karena ia putri semata wayang jadi dituruti saja keinginannya. “Nduk, masih belum mau masuk sekolah?” tanya ibunya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan