003 - WOLULIKUR - KAMBING TENGKORAK

0
0
Deskripsi

Rumah Bos Cina ramai digeruduk warga. Kebanyakan dari mereka baru saja beranjak dari sekitaran rel stasiun kecil Tobo, dekat hutan pohon jati milik perhutani, tempat seorang korban tak dikenal kehilangan kakinya akibat terlindas kereta api. Korban itu masih hidup, meraung sengsara mengetahui kehilangan satu kaki. Petugas stasiun berinisiatif memanggilkan mobil ambulans untuk membawa si korban ke rumah sakit Bojonegoro demi penanganan lebih lanjut. Orang-orang menyusuri rel berharap menemukan...

Kembali ke rumah Bos Cina, yang datang semakin banyak. Terutama semenjak Bos Cina secara gegabah mengumumkan  kenaikan hadiah menjadi dua puluh juta bagi siapa pun yang dapat menangkap pelaku penyembelihan semena-mena ini. Nominal yang cukup besar itu mengundang polisi kecamatan Purwosari dan kepala desa turut bertandang.

Sependengaran Rudi dan Jarwo, Pak Kades dan polisi membujuk Bos Cina agar merelakan kambing etawanya dan menarik sayembara dua puluh juta itu. Kepolisian yang akan ambil alih kasus ini supaya tidak terjadi hal yang tak diinginkan di masyarakat. Bos Cina tidak terbujuk. Dia malah menaikkan hadiah menjadi tiga puluh juta. Orang-orang yang mendengar itu makin melongo saling tukar pandang. Pertanyaan mereka sama, ulah siapa ini sebenarnya dan kenapa Bos Cina sampai rela menggelontorkan uang segitu banyaknya? Selama ini dia dikenal medit.

Bos Cina akhirnya menguliti kambing kesayangannya yang tanpa kepala itu dibantu oleh tukang jagal pasar. Sisa tubuh kambing kemudian dikubur di halaman belakang rumah dengan ritual tabur kembang dan senampan sembako. Kambing-kambing etawanya yang lain kini dimasukkan ke kandang dengan pengamanan berlipat: teralis baja tinggi dan gembok dengan kunci kustomisasi.

Orang-orang tampak enggan mengikuti sayembara mencari siapa pelaku penjagalan kambing etawa bertanduk unik. Dari sejak diumumkan kenaikan jadi tiga puluh juta, tak ada satu pun yang angkat tangan mengajukan diri. Bukan karena mereka tak mampu atau tak tergiur hadiahnya, hanya saja, mistis dan klenik yang menghantui kasus ini lebih menggetarkan lutut. Mereka tak bisa menepis ingatan tentang teror drakula jadi-jadian yang memangsa hewan ternak belasan tahun silam. Ternak yang diserang kebanyakan adalah sapi. Ada bekas gigitan serupa isapan vampir di leher. Mungkin kini drakula jadi-jadian itu tengah bangkit kembali dan mencoba melakukan pembaruan atas modus operandinya. 

“Menurutmu bagaimana, Wo?” tanya Rudi, meminta tanggapan atas isu drakula itu. Rudi menyaksikan tukang jagal pasar memperlakukan sisa jasad kambing etawa tanpa kepala. Kulitnya diambil lalu dibentangkan untuk dijemur.

“Semuanya cocok, kalau mau dicocok-cocokkan,” kata Jarwo. Ia terkenang sesuatu. “Seandainya kita punya detektif.”

“Detektif itu bernama Jabil.” Yogo Keling datang menyusul.

“Eh, Yog. Dari mana saja?” tanya Rudi.

“Habis nganter Nur Samsina ke pasar.”

“Jabil si pemilik warnet itu yang kamu maksud?” tanya Jarwo, tertarik.

“Siapa lagi. Kalau ada yang bisa memenangkan tiga puluh juta itu, aku yakin Jabil orangnya.” Tapi, apakah mungkin Jabil akan terdorong menuntaskan kasus ini dengan imbalan uang? Pikir Yogo. Dikirimi ratusan surel tentang kejadian-kejadian di Purwosari yang menyerempet mistis selama ini saja tidak membuat Jabil menampakkan batang hidungnya. 

“Menarik. Ya sudah, kamu kasih tahu Jabil, Yog,” Usul Rudi.

“Sudah. Masalahnya, sudah dua tahun ini dia tidak kelihatan.” 

“Kita saja kalau begitu,” usul Rudi lagi. “Kita ajak Joni Damput. Dia pasti mau.”

Boleh juga, Yogo pikir. Kalau orang yang kau cari untuk memecahkan masalah tidak ketemu-ketemu, lebih baik pecahkan sendiri. Berbekal urun rembug yang sering dia lakukan bersama Jabil waktu dulu bisa jadi modal awal penyelidikan ini.

Semangate rek. Demi tiga puluh juta, ya?” Jarwo mengacungkan tiga jari tanda tiga puluh juta dan juga tanda ikut.

“Yang penting bukan tiga puluh jutanya, Wo. Tapi pengungkapan kebenarannya. Tiga puluh juta hanya sebagai bonus,” kata Rudi. 

“Halah, bukannya butuh buat ngelamar Nyarmini, Rud?” tegur Jarwo, memicingkan mata. Rudi mengedipkan mata.

Yogo tampak berpikir, mengusap-usap dagu. “Teman-teman. Kalau kita melakukan ini, ingat, yang kita hadapi adalah pembunuh.” Yogo Keling mengingatkan. “Taruhannya bisa-bisa nyawa kita sendiri.” 

“Makanya kita butuh Joni Damput,” tanggap Rudi. “Si tukang pukul. Aku yakin, demit takut kok sama dia. Toh, dia kan juru kunci SMK Pojok.”

“Masalahnya, dia mau nggak? Kan dia lagi sibuk-sibuknya sama si Bulus Kondang,” kata Jarwo.

“Nanti aku tanya pas ngopi-ngopi.” Joni Damput dan Rudi memang sahabat karib. Mereka tetanggaan di dusun Ngrejeng.

Mereka bertiga beranjak dari rumah Bos Cina menuju tempat tongkrongan biasa. Di sana Yogo baru mengungkapkan apa yang dilihatnya kemarin sore. Di antara teman-temannya, Yogo dari dulu memang terkadang bisa melihat hal yang tak kasat mata, tapi dia lebih sering memilih diam saja, tak mau menghebohkan hal itu. Ada alasan kenapa dulu waktu diajak Jabil mengusir setan malam-malam dia tidak ikut. Setan-setan di sekolahan di waktu malam, sangat banyak, seperti pasar, seperti pemukiman sendiri. Penampakan mereka membuat Yogo tak nyaman. Kadang di siang bolong pun, mereka ada yang nekat menampakkan diri. Itu sering dialaminya ketika sibuk sendirian di lab komputer. Untunglah akhir-akhir ini ada Nur Samsina yang menemani. Suara mengajinya mampu mengusir demit-demit pengganggu.

“Serius, Yog?” Rudi meniupi cangkir kopi.

“Aku harap itu halusinasi. Tapi, mengingat apa yang ditemukan pagi tadi, rasanya apa yang kulihat itu ada hubungannya.” 

Sosok manusia berkepala kambing itu kembali terbayang di sudut mata Yogo. Dari jauh, berjalan dengan menyeret kaki di bantalan rel kereta. Sosok itu menyeret seonggok badan si calon korban, tak memedulikan kepala dan tubuh korban tergores batu. Di tangan yang satunya, celurit melengkung memantulkan cahaya matahari sore, mata tajam bilah celuritnya berlumuran darah kental menetes-netes. Yogo bergidik, mengapa gambaran ini makin terlihat nyata di kepalanya daripada melihat langsung kemarin?

Edan. Geger tenan!” seru Jarwo, menggeleng kepala tak habis pikir. “Manusia sirah wedus?”

“Tengkorak kambing tepatnya. Seperti topeng.”

“Kita belum ngapa-ngapain, tapi ini sudah berasa ngeri saja,” kata Rudi. 

“Mau mundur?” sentil Jarwo. “Sayang ntar Nyarmini keburu direbut calon Perwira lho.”

“Sampean berani, Wo? Di padepokan diajari melawan demit-demit juga nggak?” tantang Rudi.

Jarwo tertohok lemparan pertanyaan Rudi. Rudi sendiri tengah memperhitungkan masa depannya. Pertaruhannya memang besar, benar kata Yogo.

Setelah beberapa saat, “Kalau dalang dari penjagalan kambing etawa Bos Cina adalah apa yang kulihat kemarin sore. Berarti, apa yang kita hadapi bukan sekadar pembunuh. Kita berhadapan dengan setan,” ungkap Yogo. Ucapannya mengirimkan kengerian yang menegakkan bulu kuduk Rudi dan Jarwo.

“Atau pengikut setan, Yog,” kata Jarwo.

Mereka lama terdiam. Tidak saling bertukar pandang. Ketiganya tengah membayangkan sosok laki-laki bertopeng tengkorak kambing, berkeliaran di rel sore hari menandai mangsa. 

“Apakah kita akan senekat itu berhadapan dengan setan ini?” tanya Yogo, mencoba mengukuhkan keberanian timnya. Urusan seperti ini bukan bahan bercandaan atau seru-seruan. Apalah arti tiga puluh juta kalau nyawa melayang. Siapa yang mau menikmati? 

Lama tak ada yang bersuara. Yogo tak bisa memaksa teman-temannya langsung menyetujui rencana ini. “Yawis, kita pikirkan dulu masak-masak. Ini bukan persoalan gampang.”

Akhirnya mereka minum kopi, tenggelam dengan ketakutannya masing-masing.

 

******

 

Tiga hari berlalu. Ada korban baru. Di rel yang sama. Seratus meter lebih jauh dari titik sebelumnya. Korban perempuan. Tangan kanan buntung.

 

******

 

Hampir tidak ada hari di mana Rudi, Jarwo dan Yogo tidak bertemu dan ngobrol. Apalagi sekarang masa libur semester. Mereka makin lama nongkrong di cangkrukan dekat pasar. Di situ ada warung kecil yang menyediakan aneka gorengan, mie rebus, macam-macam minuman dan musik nonstop. Boleh rekues dangdut, koplo, atau campursari. Umumnya yang disetel adalah musik pop, terutama pop era sembilan puluhan sampai awal dua ribu. Warung yang dijaga oleh Mbak Yayuk itu menyediakan alat musik seadanya, tapi cukup untuk pemanasan anak band sebelum ke studio. 

Setelah ikut nimbrung penasaran di rel depan balai desa Kebonagung melihat korban perempuan bertangan buntung dievakuasi, mereka bertiga kembali ke cangkrukan. Sebut saja cangkrukan itu dengan Pos Sambong. Cangkrukan ini juga selalu ditongkrongi oleh tetua hansip setempat, yaitu Lek Narodo. Yang paling dikenal dari Hansip tua ini adalah rokok linting tidak pernah absen di bibirnya. Bahkan waktu tidur pun, selalu ada rokok linting menyelip di bibirnya, masih menyala dan mengebul seperti kereta uap. Ditawari rokok filter, Lek Narodo sudah pasti menolak. 

Tiga hari belakangan, Lek Narodo tidak setor muka di Pos Sambong. Habis sakit katanya. Jarwo yang suka menyuplai tembakau kering buat rokok linting Lek Narodo, senang ketemu hansip tua itu lagi. “Bisa sakit juga toh Lek?”

Lek Narodo batuk sebentar. “Sakit yang bisa saya,” jawaban ngawur itu membuat Jarwo, Rudi dan Yogo berpikir sejenak, baru kemudian tertawa.

“Lek, menurut Lek Narodo bagaimana tentang hilangnya kambing etawa dan korban-korban terlindas kereta?” tanya Jarwo.

“Musibah nggak ada yang tau, Le.”

Yogo Keling manggut-manggut. “Kalau sayembara tiga puluh juta dari Bos Cina?”

“Wong keblinger itu. Wong urusan wedus thok kok sampai begitu. Ra nggenah. Wong kebanyakan duwit memang aneh-aneh. Mending jadi wong kere ae, biar selalu eling.”

“Nggak minat ikutan berarti, Lek?”

“Ra urusan. Mending kalian ae yang ikut. Nanti duwitnya bagi-bagi ke saya.”

“Halah, ra urusan taek,” Rudi tertawa terbahak-bahak. 

“Yang nggak doyan duwit lho siapa.” Lek Narodo terkekeh. “Yawis, saya mau keliling dulu. Siapa tahu ada maling ayam. Biar tak jadikan rica-rica.” Lek Narodo beranjak dari Pos Sambong menuju ke pasar. 

“Sungguh menggugah,” kata Jarwo, geleng-geleng.

“Lek Narodo itu umurnya sudah melebihi Gandalf,” kata Rudi.

“Lebih tua dari Aslan, bahkan,” tambah Yogo Keling. 

“Tapi berkearifan lokal. Buktinya masih doyan duwit,” sahut Jarwo.

Yogo Keling memesan kopi ke mbak Yayuk, kemudian duduk bergabung. Dia masih gatal untuk mengukuhkan rencana pengungkapan kasus kambing ini. Kasus Tengkorak Kambing, sebutnya.

“Jadi, bagaimana, sudah pada mikir?”

“Bagaimana apanya, Yog?” tanggap Jarwo. 

“Kasus ini. Sudah memakan dua korban, lho. Jalan nggak kita?” 

Rudi masih ingat betul pemandangan tangan buntung si korban perempuan. Mereka termasuk yang cepat datang ke tempat kejadian. Kebetulan mereka bertiga sedang di sekitaran balai desa, mengunjungi teman lama yang baru pulang dari rumah sakit setelah operasi kandung kemih. Lagi asyik-asyik bertamu, si teman itu terpekik kaget. Penyebabnya adalah lengkingan suara kereta lewat kemudian disusul lolongan. Tak ada yang melihat perempuan itu melintas atau beredar sebelumnya. Tahu-tahu ada. Tahu-tahu buntung. 

“Biar ditangani polisi saja, Yog. Sepertinya itu lebih bijak. Aman buat kita dan semuanya,” kata Rudi.

“Kalau aku sih jujur masih penasaran, Yog,” kata Jarwo. “Ini memang mengerikan dan bikin resah. Dua korban ini, kalau makin bertambah, situasi pasti akan kacau balau. Korbannya bisa menimpa siapa saja. Apa yang bisa kita lakukan selain waspada? Kalau terlibat langsung, aku pikir-pikir ulang. Aku gak seberani itu, Yog.”

“Sampean, kan, dilatih sebagai pendekar, Wo, kok takut?”

“Jujur, aku nggak seberani itu, Yog,” kata Jarwo.

“Iya, tiga puluh juta, sih, bikin ngiler. Tapi, kalau nyawa taruhannya, lebih baik mundur, deh. Kemarin aku asal usul saja. Menyemarakkan kehebohan Bos Cina,” ungkap Rudi. “Lagipula kita sedang menikmati masa libur. Kalau sudah waktunya masuk dan ternyata kita tak bernyawa, kan tidak lucu. Masalah duit buat ngelamar Nyarmini, bisa cari tempat lain. Ngutang di Bulus Kondang boleh juga.”

Jarwo menoyor kepala Rudi. “Gendeng! Terjerat seumur hidup baru tau rasa, cuk.”

Alasan mereka masuk akal, pikir Yogo. Kalau bicara dengan Jabil, pemuda itu sudah pasti tidak akan berpikir dua kali. Dia akan mulai penyelidikan. 

“Yang aku takutkan adalah,” lanjut Jarwo, “kalau kita mulai menyelidiki ini, lalu si pelaku sebenarnya tahu tentang gerak-gerik kita. Bisa gawat kalau akhirnya kita atau keluarga kita yang ditandai jadi korban selanjutnya. Parahnya lagi, bisa-bisa kita disatroni demit kiriman.”

“Aku punya teori sih, Yog. Ini tuh semacam perbuatan orang-orang yang gabung di kultus sesat,” ungkap Rudi.

“Kultus sesat ya… hmm,” Yogo berpikir.

Keengganan mereka yang lebih mengarah cari aman sendiri senada dengan sikap orang-orang yang berkumpul di rumah Bos Cina waktu itu. 

“Baiklah, kita nikmati saja waktu liburan ini,” kata Yogo akhirnya, walau sedikit kecewa. Padahal tiga hari lalu mereka bersemangat demi tiga puluh juta dan pengungkapan kebenaran. Semoga salah satu ada yang berubah pikiran. Yogo tidak bisa sendirian melaksanakan salah satu rencananya terhadap kasus tengkorak kambing ini.

Adapun alasan Yogo ingin menyelidiki kasus ini adalah supaya keresahan yang dimulai dari kejadian Mat Kambing membenturkan kepala, hilangnya kambing Bos Cina, dan korban-korban terlindas kereta segera berakhir. Yogo yakin, walau ujungnya nanti setanlah yang disalahkan, semua ini ada dalang manusianya. Itu yang harus segera ditemukan. Seperti di film Scooby Doo, yang awalnya monster mengerikan, ternyata hanyalah manusia bertopeng. Dalam kasus ini, siapa manusia yang mengenakan tengkorak kambing itu? Mengapa dia tega melakukan ini semua? Kultus apa yang dia ikuti?

Sore-sore Yogo memulai sendiri rencananya. Dia perlu memergoki sekali lagi si manusia tengkorak kambing itu di rel. Kalau bisa difoto dan direkam sebagai alat bantu petunjuk. Nantinya foto itu akan Yogo serahkan ke polisi. Yogo bermotoran menyusuri pinggir sepanjang jalan dari Purwosari sampai Kebonagung di mana jalan raya berjajar dengan rel kereta. Yogo berhenti di titik yang dia kira bakal menjadi titik korban berikutnya. Ambil jarak seratus meter lagi, di sekitar itu Yogo mencari tempat aman untuk mengintai. Pilihannya jatuh pada warung kopi seberang jalan. Dia memesan secangkir kopi dan mie goreng. Selagi menikmati kopi dan mie gorengnya, mata Yogo tidak lepas dari situasi rel kereta. Sesekali ada kereta barang lewat. Dia menajamkan telinga kalau-kalau ada lolongan terdengar. Satu setengah jam lewat, belum terdengar suara apa-apa.

Yogo pindah tempat saat sudah mendekati gelap. Dia pindah ke tempat penjual es campur. Sambil menikmati semangkuk es campur, matanya mengawasi kondisi rel kereta di seberang jalan. Sampai hari berubah gelap, dia belum menemukan si tengkorak kambing. Akhirnya, Yogo putuskan akan lakukan lagi besok atau tiga hari lagi. Tindakan keji ini ada polanya. Itu yang harus dikenali.

Yang menjadi pertanyaan besar Yogo adalah sampai berapa korban lagi si manusia tengkorak kambing itu beraksi? 

Semenjak dia mulai melakukan pemantauan ini sendiri, Yogo jadi susah tidur malam. Teman-temannya lagi susah dicari buat ngobrol. Rudi pergi ke Surabaya, mencari peruntungan demi menggaet hati orangtua Nyarmini. Jarwo akan lebih sering ke Banjarjo untuk membantu Pakleknya menjemur tembakau. Baguslah, pikir Yogo. Dia bisa konsentrasi melakukan penyelidikan ini. Diam-diam dalam harap, dia masih menunggu kedatangan ajaib si Jabil. Sesekali dia lewat depan warnet, atau ikut nongkrong di warung Umi Ida. Di warung itu juga masih hangat perbincangan seputar kambing dan korban tangan kaki buntung. Beni Pariyo ada di sana. Ditanya tanggapannya mengenai kasus kambing, Beni Pariyo hanya mengedikkan bahu. “Kurang tahu aku. Nggak paham kasus ini. Kan, aku nggak ngelihat secara langsung.”

“Biasanya punya pemikiran sendiri, Mas Beni,” kata Umi Ida, memancing.

“Untuk yang satu ini, kayaknya nggak masuk di akalku, Umi. Jadi biar pihak berwajib saja yang ngusut.”

“Benar juga, Mas Beni. Nggak masuk akal. Maksudnya apa coba memenggal kepala kambing orang terus memulangkan cuma badannya saja. Apa ya nggak enak disate buat lauk, ya toh?”

“Buat hajatan saja, Umi!” sahut salah satu tukang ojek.

Orang-orang mengangguk setuju. “Memang lebih enak disate daripada disia-siakan begitu.”

“Kalau pelakunya ketemu dan dibawa ke Bos Cina, sepertinya pelakunya itu yang akan disate,” kata Umi Ida, disusul tawa pengunjung warungnya. Tak ketinggalan juga Yogo.

“Dijadikan dawet,” celetuk Beni Pariyo. Semua orang langsung menoleh dan memandangi Beni Pariyo. Pemuda itu mencoba menyengir, barulah kemudian ledakan tawa besar terjadi di warung Umi Ida. Semua sama-sama tahu, dulu beredar rumor yang menyertai misteri Toklu, bahwa Bos Cina menjadikan bola mata korban Toklu sebagai bahan campuran es dawetnya. Karena lelucon ini, Beni Pariyo ditraktir gorengan dan kopi untuk satu hari. Makin betah saja dia di warung Umi Ida.

Obrolan di warung Umi Ida sampailah pada pertanyaan tentang keberadaan Tarom Gawat. “Bocah itu ke mana ya? Lama sekali tidak terlihat.” 

“Wah iya, Bocah Gawat itu pasti sudah tahu pelaku penculikan kambing itu. Tiga puluh juta dapat langsung dia.”

“Dengar-dengar, Tarom Gawat mengikuti jejak sepupunya yang sama-sama gawat itu.”

“Sepupu yang sama-sama gawat?” tanya Yogo.

“Tamiul Krispi,” sebut Beni Pariyo. 

Yogo baru ingat. Dia pernah satu SMP dengan Tamiul Krispi. Nama aslinya Tamiul Nispi. Jago main bola dan cabang olahraga lainnya. Tamiul Nispi lebih tua satu tahun dari Yogo. Dulu waktu SMP, dia sering dikirim jadi tim inti sepak bola. Setiap ada Tamiul, timnya menang. Yang Yogo tidak tahu adalah Tamiul Nispi sama gawatnya dengan Tarom. Dia belum sempat kenal lebih dekat. Bahkan, dia tidak tahu kalau Tamiul Nispi adalah sepupu Tarom. Dia cuma satu tahun di SMP, setelah itu entah pergi ke mana. Dengar-dengar sekolah di Australia. Dengar-dengar juga malah jualan tahu di Surabaya atau Jakarta. Sempat balik lagi ke Purwosari beberapa tahun lalu untuk merintis usaha jualan tahu goreng krispi. Yogo curiga itu awal mula julukannya jadi Tamiul Krispi. Belum sempat dia mencicipi tahu krispi, kabarnya Tamiul Nispi sudah terbang ke Mesir. 

“Tamiul yang mirip Ronaldinho ya?” tanya Umi Ida.

“Mirip dan sejago Ronaldinho,” Beni Pariyo mengamini. “Mengenai urusan gaib, dia juga lebih ahli.”

Mendengar ini membuat Yogo makin penasaran dengan Tamiul. Jabil kenal tidak ya? 

“Coba ada Tamiul atau Tarom ya sekarang. Biar jelas ini ulah setan mana,” kata penikmat kopi yang lain. 

Menjelang sore, Yogo beranjak dari warung Umi Ida. Dia menjemput Nur Samsina dahulu, kemudian mereka bermotor sore-sore. Yogo melirik terus ke rel kereta sampai tidak sadar mereka sudah sampai Cepu. Karena sudah telanjur, Yogo ajak saja Nur Samsina ke Taman Seribu Lampu, makan nasi kucing di sana. 

“Mas, lihat itu, yuk.” Nur Samsina menunjuk ke arah orang ramai mengantre. “Sepertinya menarik.”

Yogo melihat ke arah yang ditunjuk. “Oh, ada Expo.” Seperti pasar malam, hanya saja tempatnya lebih bagus. “Ayo, deh, ke sana, sekalian.” Di sana antrean tiketnya cukup mengular. Di pintu masuk Yogo melihat poster yang menampilkan benda-benda mistis dan miniatur jenglot, stannya sendiri letaknya dekat kios buku. Saat masuk, Yogo menemani Nur Samsina melihat-lihat baju dulu. Baju-baju yang dijual di expo modelnya bagus-bagus. Yogo tertarik dengan kaos bergambar band Sepultura dan pernak-pernik gelang anak metal yang khas berduri. Tibalah Yogo Keling di kios benda mistik. Apa yang dilihatnya di meja kasir sebagai hiasan monitor, membuat lututnya lemas. Monitor itu ditempeli tengkorak kambing dengan tanduk melengkung. Salah satu panitia booth mistik itu berpakaian jubah hitam merah, lalu mengambil tengkorak kambing itu dan memakainya sebagai topeng. Yogo gemetaran. Dia seperti dibawa kembali ke rel kereta, tersedot ke peristiwa nahas dan menyaksikan sosok kambing tengkorak  menyeret dan melukai korban, memukulnya hingga pingsan dan membiarkannya tergeletak di rel kereta sampai kereta lewat dan melindas putus anggota tubuh, setelah itu si kambing tengkorak memungut potongan tubuh dan membawanya pulang. 

Kembali sadar, Yogo segera menarik Nur Samsina menyingkir dari tempat itu.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 004 - SONGOLIKUR - KAMBING TENGKORAK
0
0
Perjalanan pulang bermotor malam itu hening. Yogo terbayang-bayang sosok bertopeng kambing bertanduk di kios barang mistis. Ketika buru-buru pulang, Yogo berkelit kalau dia terserang pusing. Nur Samsina yang khawatir, segera menyetujui untuk pulang walau barang yang diincar buat sepupu kecilnya tidak jadi kebeli. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan