002 - PITULIKUR - KAMBING TENGKORAK

0
0
Deskripsi

Sementara orang-orang disibukkan dengan pencarian keberadaan kambing etawa bertanduk unik milik Bos Cina yang raib digondol maling, Yogo Keling mencari informasi keberadaan Jabil. Sobatnya itu tidak pernah membalas pesan yang dikirimnya selama dua tahun belakangan. Jabil seperti hilang ditelan bumi. Terakhir Yogo bertemu dengannya waktu sedang berkabung atas meninggalnya Johan Oman. Yogo Keling turut berduka. Dulu dia selalu bertiga di sekolah bareng Jabil dan Johan Oman. Kematian Johan Oman yang...

Sebenarnya apa yang mereka lakukan malam itu? 

Yogo teringat Janet, pacar Johan Oman. Dia juga menghilang bak ditelan bumi. Yogo sama sekali tidak tahu kabar dan keberadaannya sekarang. Proses mengorek ingatan ini membawa Yogo ke kasus yang dulu diselidiki Jabil, yaitu tentang Toklu dan misteri korban perempuan tanpa kepala yang dua kali muncul dalam kurun waktu tak lama. Tujuh tahun sebelumnya, Johan Oman-lah yang menemukan perempuan tanpa kepala di sungai bawah jembatan Tobo. Ada sedikit sesal di hati Yogo karena waktu itu dia menolak ikut membantu Jabil. Ingatan-ingatan ini menyeruak dan membuat Yogo hendak menangis. Dia rindu Johan Oman. Meski tidak terlalu banyak berinteraksi dengan Tarom Gawat, dia akui juga rindu kepadanya. Johan Oman meninggal, Tarom Gawat hilang, Jabil dan Janet, pergi entah ke mana. 

Selepas nongkrong bersama Jarwo dan Rudi, Yogo memutuskan untuk mendatangi warnet Jabil. Sudah tiga bulan dia belum ke sana dalam rangka perawatan rutin. Selama dua tahun terakhir ini, warnet itu dikelola Dukun Gondrong. Harus diakui, Dukun Gondrong tidak buta-buta amat dengan dunia komputer. Toh, dulu dia pernah bersekolah dengan jurusan yang sama dengan Yogo. Dukun Gondrong termasuk generasi pertama murid yang belajar jurusan komputer di SMK Pojok. Sewaktu Yogo duduk di kelas 10, Dukun Gondrong sudah di kelas 12. Yogo mengenal Dukun Gondrong sebagai pribadi urakan waktu di sekolah, tukang tidur dan langganan setrap kepala sekolah. Lulus SMK jadi juru parkir dan kerja serabutan di pasar. Yogo awalnya memandang sebelah mata Dukun Gondrong. Ternyata setelah dipasrahi warnet oleh Jabil, pemuda dengan mata selalu berurat merah dan gigi kuning itu jadi mahir jaringan internet, padahal Yogo tidak pernah banyak berbagi ilmu kepadanya. Itu bagus buat Dukung Gondrong. Mau tak mau Yogo mesti bangga. 

Tiga bulan lalu, sewaktu datang untuk pemeriksaan rutin, Yogo tidak mendapati masalah signifikan terhadap komputer di warnet Jabil. “Sudah aku cek satu-satu, tenang saja,” kata Dukun Gondrong bangga. Yang cukup membuat Yogo Keling heran adalah, Dukun Gondrong sudah tidak lagi mengusili atau pun berkata yang tak pantas kepadanya. Sebuah kemajuan. Dia jadi berpikir, orang kalau diberi tanggung jawab, mungkin akan sedikit berubah. 

Sekarang, Yogo melihat tata letak sekat setiap meja komputer masih terawat dengan baik. Baru beberapa minggu terakhir ini dia melihat adanya pintu baru di tembok belakang. Pintunya berwarna hijau, kondisinya lagi digembok. Yogo tak memusingkan keberadaan pintu itu, dia anggap pintu itu untuk menuju sisi belakang.

Pertanyaan pertama yang dilontarkan Yogo kepada Dukun Gondrong yang lagi sibuk menonton Youtube cara memaksimalkan koneksi internet adalah, “Kun, sama sekali tidak tahu ke mana Jabil?” Pertanyaan itu sudah sering dia tanyakan semenjak Jabil hilang kabar. Seperti biasa, Dukun Gondrong mengedikkan bahu tanda tidak tahu. 

“Dan tolong ya, panggil aku sekarang dengan Purnomo.” 

“Oke Pur.” Yogo tengah menyiapkan pertanyaan berikutnya, yang sebenarnya sudah dia tanyakan berulang-ulang. Sampai Dukun Gondrong, maaf, Purnomo, malas menjawab. Daripada bengong,  Yogo membuka laptop di meja admin, mengecek kembali puluhan email yang dialamatkan ke Jabil. Dia sempat mengira Jabil tengah melakukan perjalanan spiritual ke suatu lembah antah berantah di mana alat-alat elektronik dilarang dipakai. “Lagi bertapa mungkin ya si Jabil?” ucapnya setelah hening setengah jam. 

“Belajar di padepokannya Aa Gatot mungkin,” kata Purnomo sambil nyengir, menampakkan gigi putihnya.

“Aa Gatot yang Azrax itu?”

“Ya, yang legendaris itu.”

Keduanya tertawa. Dulu Yogo tidak bisa seperti ini. Dulu Dukun Gondrong, maaf, Purnomo, usil minta ampun, suka melempari Yogo pakai upil. Sekarang Purnomo sopan orangnya. 

Purnomo yang lagi asyik nonton Youtube tiba-tiba berhenti, melepaskan earphone dan menyenggol Yogo. “Itu bagaimana kok Mat Kambing bisa nubruk tiang basket?”

“Jadi…” Yogo menceritakan dari awal lagi. Purnomo memang suka mendengarkan cerita. Apalagi yang aneh-aneh macam yang dialami Mat Kambing. “Begitulah ceritanya,” Yogo Keling mengakhirkan.

“Jadi ingat si Buta dari Gua Hantu,” kata Purnomo, sambil membuka peramban dan memunculkan gambar si Buta. 

Yogo terkejut mendengar itu, dia tak kepikiran. “Kok bisa? Orang-orang mikirnya malah santet atau guna-guna.”

“Barda si Buta dari Gua Hantu, menjadi buta karena ingin mengolah ilmu kanuragan yang bisa dipakai untuk mengalahkan si Mata Malaikat. Yang aku ingat, Barda membenturkan kepalanya ke pohon, biar jadi buta. Itu syarat untuk ilmu kanuragannya.”

Yogo membuat huruf O dengan mulutnya. “Kalau kata Jarwo, Mat Kambing tidak pernah ikut silat.”

“Ya, kan, tidak ada yang tahu. Siapa tahu Mat Kambing nggak woro-woro.”

“Hmmm, kalau saja Jabil dengar cerita ini, pasti gatal pengin menguak yang sebenarnya. Apa kaitannya Mat Kambing dengan hilangnya kambing etawa punya Bos Cina.”

Purnomo menjentikkan jari lalu menunjuk Yogo. “Hah, dibikin sayembara ya? Nggak ikutan, Yog?”

“Kamu nggak ikutan, Pur?” lempar balik Yogo. “Lumayan sepuluh juta.”

“Kalau aku ikutan nyari, warnet ini siapa yang jaga?”

Yogo tersenyum. “Salut sama kamu, Pur. Amanah orangnya.”

“Ya, pelan-pelan jadi orang baik.”

“Hijrah, yo.”

“Bukan hijrah yang itu tapi.”

Mereka berdua tertawa lagi. Yogo mulai mengetik di badan email. Dia menuliskan kisah Mat Kambing dan tentang hilangnya kambing etawa bertanduk unik untuk dikirim ke Jabil. Siapa tahu, cerita ini akan sampai kepadanya dan membuatnya pulang. “Ngomong-ngomong, terakhir kamu ketemu Jabil dia lagi mau ke mana?” ini ke sekian kalinya Yogo bertanya demikian.

Purnomo mengetukkan jari ke meja. “Terakhir, ya, pas waktu dia nyerahin warnet ini. Kira-kira seminggu setelah tujuh hariannya Johan Oman. Jabil bawa koper. Kutanya mau ke mana dia nggak jawab jelas. Cuma bilang, mau cari ketenangan batin. Wis ngono thok. Sekali lagi kamu nanya, upilku masih banyak, nih.”

Yogo angkat tangan. “Oke oke, Pur. Makasih infonya.” Dia kemudian menekan tombol kirim ke surel Jabil. Semoga Jabil ada sempat waktu untuk buka internet. Masa iya dua tahun sama sekali tidak pegang internet. Padahal dia yang punya warung internet. 

Yogo pernah bertanya ke mbak Luluk, kakak Jabil itu juga kurang menahu. Kalau dari mbak Luluk, Jabil bilang pergi belajar agama. Pernah juga dia ke rumah Ki Gufron untuk  menanyakan Tarom Gawat. Tokoh agama itu juga tidak menjawab secara lengkap dan memuaskan. Malah bilang, “Pada waktunya kita mesti mengikhlaskan kepergian seseorang yang kita cintai.” Buntu sudah. 

Yogo berharap surel terbarunya akan sampai ke Jabil. Semoga besok atau lusa temannya itu akan pulang. Purwosari butuh Jabil. Yogo Keling percaya, ada yang sengaja membuat ini terjadi. Hanya Jabil dan Tarom Gawat yang bisa mengungkap ini. Polisi mana mau menyelidiki perihal klenik. Pemikiran ini membuatnya jadi kasihan kepada Mat Kambing. Bisa jadi Mat Kambing kena gegar otak dan bakal lama dirawat di rumah sakit. Gema benturan kepala menghantam tiang itu begitu kencang. Dengingannya sendiri masih sering muncul di telinga Yogo.

Hari sudah sore, Yogo yang tidak mendapat informasi apa-apa memutuskan untuk beranjak dari warnet Jabil. Dia mau mencari angin di pinggir rel. Biasanya jam-jam sore banyak anak-anak muda yang nongkrong di pinggir rel sambil menikmati matahari terbenam bersama pacar. Kurang dari sepuluh menit, Yogo dan Nur Samsina sudah sampai di pinggir rel. Mereka duduk merasakan angin sejuk. Pemuda-pemuda lain mengambil tempat duduk dengan jarak sepuluh meter dari kumpulan satu ke kumpulan lain. Yogo Keling dan Nur Samsina suka datang ke sini untuk diam termenung melihat langit sore kejinggaan. Tidak saling bicara, tapi saling melengkapi. Dalam keheningan, cinta mereka berbicara lebih keras. 

Mata Yogo agak kesilauan saat melihat matahari terbenam. Dia mengalihkan pandang ke ujung rel. Jantungnya berdegup ganjil. Di sana dia melihat sosok laki-laki tinggi berkulit sawo matang berdiri di tengah rel. Sosoknya tak begitu tampak jelas, terlalu banyak tersiram cahaya dari belakang. Ada yang mencuat dari kepala sosok itu. Seperti tanduk. Apa yang dibawa sosok pria itu membuat Yogo mendelik.

Apakah dia tidak salah lihat? Pria bertanduk itu sedang menyeret orang. Entah laki-laki atau perempuan, dia tak yakin. Yogo mengalihkan pandangan, memastikan apakah orang lain melihat apa yang dilihatnya. Terlebih ke Nur Samsina. Tak ada yang menyadari kemunculan sosok bertanduk itu. Kalau iya, pasti mereka akan menunjuk dan memberitahu teman yang lain. Yogo kembali mengawasi sosok pria itu. Ternyata sudah lenyap. Yogo mengembuskan napas panjang. Pikirannya berkecamuk. Firasatnya tak enak. 

“Pulang, yuk,” ajaknya.

“Salat dulu, yuk. Sudah waktunya,” ajak Nur Samsina. “Di masjid Tobo, seperti biasanya.”

Selepas salat, Nur Samsina memperhatikan pacarnya yang terbengong duduk di emperan masjid, baru satu kakinya yang menyelop sandal. Yogo tatapannya kosong lurus ke tanah kosong depan masjid. Tak mau kekasihnya kenapa-kenapa, Nur Samsina membacakan surat perlindungan, mendekati Yogo Keling, lalu meraup wajahnya. “Mas, ada pikiran?”

Yogo Keling tersadarkan. “Eh, ndak ada, kok.”

“Kok, bengong, aku takut kamu kemasukan,” Nur Samsina menengok ke sekitar. Ada asap putih yang menguar menyelimuti tanah kosong di depan. Baunya sangit.

“Eits, ya ndak, lah. Tak mungkin, lah, aku kemasukan. Kan, imanku kuat.”

Nur Samsina menyentil lembut kuping Yogo. “Jangan sesumbar, mas. Eling.”

Yogo menyeringai lebar. “Eling las waspada. Yawis, yuk, tak antar pulang.”

 

*****

 

Keesokan harinya, ada dua hal yang bikin geger warga Purwosari. Pertama, pagi-pagi diketemukan laki-laki tergeletak di tengah rel dengan kaki kiri buntung seperti habis dilindas kereta. Kedua, Bos Cina mendapatkan kembali kambing etawanya, tapi tanpa kepala.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 003 - WOLULIKUR - KAMBING TENGKORAK
0
0
Rumah Bos Cina ramai digeruduk warga. Kebanyakan dari mereka baru saja beranjak dari sekitaran rel stasiun kecil Tobo, dekat hutan pohon jati milik perhutani, tempat seorang korban tak dikenal kehilangan kakinya akibat terlindas kereta api. Korban itu masih hidup, meraung sengsara mengetahui kehilangan satu kaki. Petugas stasiun berinisiatif memanggilkan mobil ambulans untuk membawa si korban ke rumah sakit Bojonegoro demi penanganan lebih lanjut. Orang-orang menyusuri rel berharap menemukan kaki buntung si korban. Seratus sampai lima ratus radius meter sekitar rel, mereka tak menemukan yang dicari. Ini membuat mereka sangat heran. Setelah pencarian yang sia-sia, mereka berkumpul di sekitaran stasiun membahas mengapa korban bisa berakhir di rel. Kerumunan itu sepakat satu hal, akhir-akhir ini memang lagi banyak—ralat, dari dulu di sepanjang rel ini—memang sering memakan korban. Yang masih membekas di kepala orang-orang adalah gadis muda yang hamil hasil hubungan gelap, berakhir tragis ditabrak kereta. Selain itu, orang-orang yang setiap subuh menyatroni pinggiran rel untuk buang hajat, kerap mendengar suara tangis bayi. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan