
Sore syahdu selepas kerja keras membereskan tetek bengek laporan dan administrasi tata usaha akhir semester sekolah paling tepat dirayakan dengan makan-makan bersama di tengah lapangan. Mumpung lagi sepi total menyambut liburan. Yogo Keling, Nur Samsina, Rudi Setiawan, dan Jarwo Mawut adalah petugas tata usaha yang rela lembur selagi guru lain pada duluan libur. Mereka ditemani Nyarmini, seorang anak magang yang kenes. Saat semua kerjaan sudah beres dan sajian tinggal eksekusi, sebuah petaka melibatkan...
Di hari itu hanya mereka berlima yang bertahan sampai sore. Ada segelintir guru yang datang untuk membereskan sisa pekerjaan, tapi belum sampai tengah hari sudah pada pulang mengejar keberangkatan bus liburan ke luar kota. Yogo bertugas mengecek komputer di lab sebelum dihibernasikan selama dua pekan. Dia memastikan kondisi terakhir semua komputer masih layak. Yogo ditemani oleh Nur Samsina, lulusan terbaik tahun lalu yang mendedikasikan diri mengabdi untuk sekolah, SMK Pojok. Dia membantu Yogo menginventaris aset lab komputer.
“Kamu tahu virus apa yang tidak bisa diatasi oleh antivirus ini?” Yogo mengangkat sebuah kaset piranti antivirus keluaran terbaru.
Nur Samsina, pemudi berjilbab dengan kulit lebih terang sedikit dari sawo matangnya Yogo, menatap curiga bahwa dia akan kena bom gombalan lagi dari pacar perdananya itu, “Apa?”
“Virus cintamu…” dendang Yogo. Nur Samsina menepuk bahu Yogo dengan papan jalannya.
“Berarti kamu menganggap aku virus, mas?”
“Kamu adalah virus yang aku rela terjangkiti olehmu.”
“Kamu kesurupan Trojan, mas!”
“Aku butuh dokter cinta, dek Nur!”
Sementara itu di ruang guru, duo tata usaha Rudi dan Jarwo sedang merapikan berkas-berkas ke dalam bindernya masing-masing. Anak magangnya, Nyarmini si gadis bersenyum manis berkat gingsul dan lesung pipi, membantu mengelompokkan berkas berdasarkan tanggal. Radio di meja Rudi mengabarkan berita bahwa belum lama ini terjadi tanah longsor di wilayah Kecamatan Ngasem.
“Wis wis, geger tenan, gak semestinya mereka ngebor minyak di situ. Sudah diwanti-wanti lho sama sesepuh desa, masih gak didengarkan,” komentar Jarwo.
“Kuburan keramatnya tertimbun ya, Wo,” kata Rudi.
Nyarmini tertarik nimbrung, dia baru tahu kalau di tempat itu ada kuburan keramat. “Kenapa disebut keramat, Mas Rud?”
“Karena… eh karena, karena gak keramas seperti Jarwo,” Rudi meledek. Nyarmini tertawa, makin manis saja wajahnya.
Jarwo misuh. “Ojo mekso mbanyol ngono tho. Isin lho di depan Nyarmini.”
“Ngapain malu, kan memang sudah malu-maluin,” tambah Rudi. “Lihat, ada cabe di gigi.” Rudi menunjuk.
Jarwo langsung mengecek giginya. Memang benar ada cabe di situ. Bukannya dibuang, malah ditelan oleh Jarwo.
“Dari kemarin sore sepertinya ya?”
“Enak aja, baru tadi pagi. Sarapan pecel aku.”
“Jadi, keramat kenapa mas?” tanya Nyarmini.
Rudi mendekatkan posisi duduknya ke Nyarmini yang kebetulan memang tepat di sebelahnya, sementara Jarwo di ujung meja. Jarwo kelihatan sewot melihat Rudi melancarkan modusnya. Rudi membisik mistis, “Kabarnya, di situ ada makam seorang pendekar sakti.” Rudi melempar lirikan ke arah Jarwo. Nyarmini tidak mengerti maksudnya. “Mbah buyutnya Jarwo.”
Jarwo melempar penghapus papan tulis ke Rudi, tapi berhasil ditepis dan mencelat masuk ke kantor kepala sekolah, memberi cap hitam pada punggung sofa tempat istirahat Pak Kepsek. Nyarmini geleng-geleng, dia berinisiatif memungut penghapus itu sekaligus membersihkan jejaknya.
“Kamu belum tahu, kan, Min, kalau Jarwo ini pendekar?” tanya Rudi.
“Ohya?”
Menyambut ketertarikan itu Jarwo pun memeragakan jurusnya, tapi berakhir dengan bunyi krak di punggung. “Duh, geger tenan. Umur gak bisa bohong, cuuk!”
“Lagi pitulikur, lho, kok wis jompo ae,” kelakar Rudi.
Nyarmini tertawa renyah. Hal itu menjadi obat penawar bagi Rudi dan Jarwo. Senyum Nyarmini merekah bagai mentari pagi menghangatkan hati, pemberi vitamin jiwa.
Tak lama kemudian Yogo dan Nur Samsina datang bergabung dengan mereka. Jarwo bersuit-suit. “Duh, yang berduaan aja dari tadi.”
“Ehem ehem,” Rudi ikut-ikutan.
“Tenang-tenang, kita kan sudah dewasa, ya melakukan hal-hal dewasa, lah. Contohnya: bekerja keras bagai kuda,” kelakar Yogo.
“Kita jadi makan-makan nanti sore, kan?” Nur Samsina mengalihkan pembicaraan. “Ibuku lagi masak, kayaknya sebentar lagi beres.”
“Oh ya, tentu jadi!” seru Rudi.
Mereka menyelesaikan semua pekerjaan dan melakukan ritual tutup buku bersama-sama, menyatukan tangan di atas binder terakhir. “Sampai jumpa semester depan!” seru mereka.
Selanjutnya mereka beramai-ramai menyiapkan segala makanan dan peralatan, serta tikar untuk lesehan. Terlebih dahulu Nyarmini dan Nur Samsina menyapu lapangan supaya debu-debunya tidak mengontaminasi hidangan. Rudi dan Jarwo mengambil masakan di rumah Nur Samsina. Yogo Keling mengangkut tikar yang ada di gudang olahraga.
Semua sudah siap sebelum maghrib. Mereka baru akan mulai menyantap setelah salat berjamaah, yang juga diadakan di lapangan basket. Ini sebuah momen langka, tak ada rekan guru atau staf TU lain yang melakukan ini. Masing-masing mengambil air wudhu, lalu duduk-duduk santai menunggu azan Maghrib.
“Kalau bulan puasa, lebih cocok sih ini. Kenapa nggak kepikiran waktu itu ya,” kata Jarwo.
“Bener juga. Puasa tahun depan yuk, pas acara pesantren kilat,” usul Rudi.
Suasana tenang dan hikmat. Matahari mulai menggantung rendah bersembunyi di ufuk barat. Yogo duduk berdekatan dengan Nur Samsina, saling menyender. Nyarmini tertawa mendengarkan lelucon Jarwo dan Rudi.
Lantas…
Tahu-tahu seseorang berlari kencang menerjang tikar dan makanan yang sudah mereka tata dengan rapi, lalu melemparkan diri sekencang-kencangnya—kepala dahulu menghantam tiang basket. Dengingnya cukup panjang hingga mendistorsi relung kosong dalam jiwa.
Mereka terlambat histeris, keburu bengong menyaksikan kejadian nahas itu. Alat bakar jagung dan tatakan piring berisi lauk kacau balau buyar berceceran di lantai lapangan. Mereka tercengang. Tak menyangka kalau acara sore itu bakal terganggu oleh petaka mencengangkan mata. Bukannya kenyang menyantap makanan, malah disajikan kepala berdarah. Peristiwa itu jelas bakal membekas di ingatan Yogo dan teman-temannya.
Orang celaka itu dikenali sebagai Mat Kambing, si pemasok kambing sekitaran Purwosari. Nur Samsina tak kuat melihat darah yang mengucur dari jidat penyok Mat Kambing. Hal itu mengingatkannya kepada orang yang pernah kecelakaan di jalan depan rumah. Kepala hancur terhantam mobil losbak. Muka Mat Kambing nyaris seperti itu. Nur Samsina berlari menuju parit dan muntah-muntah di sana. Yogo memilih menemani pacarnya daripada mendekati tubuh terkapar Mat Kambing. Dua kawannya, Rudi dan Jarwo, serta Nyarmini, malah mendekat untuk melihat lebih jelas kondisi Mat Kambing.
Jidat Mat Kambing penyok mengucurkan darah. Beberapa giginya tanggal dan berserakan di tanah.
“Edan, Mat Kambing malah mesam-mesem,” kata Rudi.
Jarwo melihat lebih dekat ke Mat Kambing. Benar, Mat Kambing terkapar sambil tersenyum dan matanya membelalak kosong ke langit. “Nyarmini, kamu panggil orang-orang.”
“Lebih baik kamu saja, Wo. Suaramu, kan, lebih kencang. Nyarmini biar di sini sama aku.”
Jarwo berkacak pinggang, tahu benar jurus modus Rudi. “Bilang saja mau anu. Oke, aku panggil orang-orang. Jangan sentuh Mat Kambing. Geger tenan, Cuk!”
“Apa mungkin santet?” tanya Nyarmini. Cara bertuturnya lembut seperti tukang jamu.
“Waduh, jangan bikin tambah horor dong, Min,” protes Jarwo, baru mau beranjak untuk memanggil warga.
“Ya, siapa tahu, Mas Wo.”
Rudi mengisyaratkan Nyarmini untuk mendekat kepadanya, dan sedikit menyingkir dari Mat Kambing yang tangannya bergerak lemah. “Astaga, masih sadar.”
Yogo bergabung dengan Rudi dan Nyarmini. Mereka berdiri di depan kelas. Kini Yogo dan Rudi yang terus memantau Mat Kambing. Nyarmini menyingkir ke depan kelas, mengusap-usap punggung Nur Samsina. “Jangan dilihat ya Mbak.” Nur Samsina menggeleng sembari menahan dorongan untuk muntah lagi.
Rudi berbisik kepada Yogo. “Kata Nyarmini, ini santet.”
Yogo beristighfar, kemudian berpikir, “Bisa jadi.” Mereka tahu reputasi Mat Kambing dalam urusan perkambingan. Dia paling sering diminta orang-orang untuk mencarikan kambing terbaik untuk dijadikan kurban. Mat Kambing orangnya cukup nyentrik, tapi baik hati, dan suka mengaji. Bahkan ada yang bilang, Mat Kambing mengajikan kambing-kambing yang diternaknya sendiri. Ada juga yang bilang Mat Kambing mengalungkan tasbih ke kambing yang dia dapat dari pemasok terpercaya.
“Bisa jadi ada yang dengki kepada Mat Kambing.” Pemikiran ini membuat Yogo menengok ke sekitar. Di ujung lapangan yang dekat dengan tanah kosong dan kebun, samar-samar dia melihat sesemak bergoyang. Dia amati cukup lama sampai pada akhirnya dia menyimpulkan kalau itu hanya angin belaka.
Tak lama kemudian Jarwo datang bersama puluhan warga Dusun Pojok. Langsung saja mereka mengerumuni Mat Kambing. Rudi dan Yogo segera bergabung. Mereka menyuruh Nyarmini dan Nur Samsina tetap di tempat. Warga yang datang melemparkan pertanyaan sahut menyahut. Rudi, Yogo dan Jarwo bergantian menjelaskan apa yang mereka saksikan tadi.
Jarwo misuh-misuh menyesalkan acara makan-makan mereka gagal karena Mat Kambing. “Kebablasan ngelmu apa sih, Cuk?” Di antara teman-temannya Jarwo yang lebih sering bersinggungan dengan Mat Kambing. Rumah mereka cukup dekat.
Sebagian besar membicarakan tragedi mengenaskan Mat Kambing, sebagian kecil lain mengupayakan sewa mobil atau dokar untuk membawa Mat Kambing segera ke rumah sakit. Bisa-bisa mati kehabisan darah si Mat Kambing kalau tidak segera ditangani. Kepala dusun membebat kepala Mat Kambing pakai perban berlapis-lapis. Setelah Mat Kambing sudah diamankan dan dibawa ke rumah sakit terdekat pakai mobil losbak, warga masih ramai berkutat di lapangan basket. Cerita sudah disampaikan lengkap oleh Yogo dan kawan-kawan, tapi mereka tetap saja mengulang-ulang pertanyaan. Spekulasi tentang santetlah yang paling ramai dibahas. Mereka juga tahu reputasi Mat Kambing. Laki-laki itu suka berlama-lama di musala. Kesuksesannya sebagai pemasok kambing adalah buah kerja keras dan rajin ibadah. Saking sibuk dan serunya pembahasan, mereka semua lupa maghrib sudah lewat.
“Santet tidak pilih-pilih. Santet yang kuat bisa mengenai orang tersaleh pun,” kata salah satu warga.
“Aduh, kok malah bahas santet,” keluh Jarwo. “Cuk, geger tenan.”
Yogo, Rudi dan Jarwo memutuskan untuk melipir dari perdebatan tak berfaedah itu. Mereka berlima memutuskan pergi, meninggalkan peralatan bakar jagung dan bakul nasi serta piring plastik di tengah lapangan. Makanan yang ditinggalkan itu akhirnya malah dihabiskan oleh warga yang baru datang penasaran. Yogo dan kawan-kawan kemudian bermotor menuju kafe ala-ala di Tobo. Di sana mereka duduk-duduk termenung. Yang memesan minuman dan makanan hanya Jarwo. Dia pula yang tadi bermotor sendirian. Nyarmini dibonceng Rudi. Yogo tentu bersama pacarnya yang sedari baru naik motor saja sudah memeluk erat.
Mereka cukup lama nongkrong di kafe sampai kemudian sepakat untuk mencoba makan. Kira-kira hampir dua jam mereka nongkrong. Satu jam pertama untuk berdiam, mencoba menghapus pemandangan mengenaskan Mat Kambing. Setengah jam kemudian mencoba untuk mencari topik lain. Hening lagi sejenak. Lalu memutuskan menuntaskan lapar. Jarwo yang pertama mencetuskan. “Lapar banget aku. Biarlah, makan tanpa selera, yang penting perut terisi. Bisa gelisah aku tidur nanti kalau perut kosong.”
“Jangan lupa nanti salatnya dijamak,” Nur Samsina mengingatkan.
Rudi dan Nyarmini tidak menghabiskan roti bakar mereka. Mereka pulang lebih dulu karena orangtua Nyarmini sudah menelpon menyuruh pulang. Rudi yang inisiatif mengantarkan. Tiga puluh menit berlalu dan tiba waktunya Nur Samsina menunjukkan tanda pengin pulang, Jarwo memberi isyarat kepada Yogo untuk kembali lagi ke kafe setelah mengantarkan Nur Samsina yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari kafe. Ada yang ingin dia bahas.
Kurang dari lima belas menit Yogo sudah kembali ke kafe. Dia menghabiskan jus strawberi yang dipesannya tadi. “Ada apa, Wo?”
“Seandainya ada Tarom Gawat, dia pasti sudah tahu siapa yang mengirim santet itu. Ke mana ya itu bocah, sudah dua tahun gak pernah kelihatan.”
Yogo sama tidak tahunya dengan Jarwo. Dua tahun lalu, terakhir kali melihat Tarom Gawat yaitu waktu Jabil meminjam kunci gembok sekolah. Ingat Tarom Gawat, dia pun teringat Jabil dan pekerjaan sambilannya sebagai detektif partikelir jalur klenik. Kalau temannya itu tahu, sudah pasti akan menyelidiki kasus ini. Hanya saja sudah hampir dua tahun juga Yogo Keling tak berjumpa dengan Jabil. Warnet temannya itu kini dipasrahkan kepada Dukun Gondrong, juru parkir yang suka mengusilinya. “Mungkin juga bukan santet, Wo.”
“Menurutmu apa kalau begitu?”
Yogo terlihat tidak yakin untuk menyampaikan apa yang sedang dipikirkannya. “Gangguan jiwa?” dia mengucapkannya agak mengambang.
“Mat Kambing sakit jiwa? Wah, lebih baik aku menuduh santet daripada mengatai Mat Kambing sakit jiwa.”
“Bukan begitu maksudku. Begini, lebih tepatnya depresi. Kita tidak pernah tahu kondisi jiwa seseorang. Orang yang kita pikir baik-baik saja, tahu-tahu bunuh diri. Itu sudah banyak ceritanya. Siapa tahu, Mat Kambing mengalami itu. Selama ini kita tahu dia belum menikah, kan?”
“Duh, malah ke sana.”
Yogo memberi gestur tahan dulu kepada Jarwo. “Aku hanya membuat kemungkinan lain. Rasa-rasanya santet, kok, terlalu jauh juga. Jaman sekarang masih ada yang mempraktikkan itu, ya?”
“Ya, masihlah, Yog. Santet online saja ada, kok.”
Yogo menepuk jidat. “Itu hoaks. Belum ada kode pemrograman yang bisa melakukan santet.”
“Sudahlah, tidak usah dilanjut perdebatan kita. Aku ada informasi, yang mungkin bisa mendukung teori santet itu. Tadi kudengar dari orang-orang, belum lama ini katanya Mat Kambing habis dapat rejeki nomplok. Dia baru memasok kambing etawa belasan ekor buat Bos Cina. Salah satu kambing itu punya tanduk yang unik.”
“Oh. Aku baru tahu. Memangnya Bos Cina tukang dawet itu mau buat apa kambing-kambingnya? Bulan kurban, kan, sudah lama lewat.”
“Ya, mana tahu. Mungkin mau bikin hajatan?”
“Hajatan apa? Pernikahan? Semua anaknya sudah menikah. Sunatan? Semua anak dan cucu laki-lakinya sudah sunat. Bos Cina sendiri?”
“Makin ngelantur kita ini, pulang ae, ya. Ngantuk.”
“Ngantuk apa mau lanjut chattingan sama Nur Samsina? Cuk cuk dapuranmu!”
Yogo tidak menggubris Jarwo. Dia pulang. Sesampai kamar langsung buka ponsel dan mengirim pesan ke Nur Samsina.
*****
Esok harinya, Yogo dan kawan-kawan memulai hari libur semester. Yogo, Rudi dan Jarwo berkumpul di balai tongkrongan anak muda Tobo dekat pasar, membicarakan kembali tentang Mat Kambing dan rencana-rencana liburan mereka mau dibuat apa. Agak siang mendekati pukul sebelas, pedagang dawet asuhan Bos Cina lewat sambil membagikan selebaran. Isinya tentang berita kehilangan kambing etawa bertanduk unik. Ada fotonya. Melihat wujud kambing itu entah mengapa mengirim sensasi merinding ke sekujur badan Yogo. Kalau bisa dibilang, kambing itu menyerupai apa yang dipuja oleh sekte pemuja setan. Terlalu fokus kepada foto kambing setan itu, Yogo melewatkan informasi sayembara. Tertera, barangsiapa yang menemukan kambing itu akan mendapat imbalan sepuluh juta.
“Wah, sepuluh juta. Lumayan nih,” kata Rudi. “Buat modal ngelamar Nyarmini,” lanjutnya kepada diri sendiri.
Jarwo menepuk dada Yogo pakai selebaran yang sudah digulung. “Apa kubilang.”
“Bisa jadi,” kata Yogo. Dalam hati, waktunya mencoba lagi memanggil Jabil.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
