[BAB 1-5] Falling for Dokter Jeha

6
0
Deskripsi

Apply jadi pengasuh bocil, eh malah kepincut papa gantengnya.

 1. Dewi Fortuna

"Ilra! Katanya kuliah jam tujuh!"

Ilra tersentak mendengar suara papanya dari luar kamar. Tidak hanya berteriak, pria setengah baya itu juga menggedor sambil mencoba mendobrak pintu kamar Ilra secara brutal.

"Papa apaan sih? Orang masih jam lima."

"Jam lima jidatmu? Ini sudah jam tujuh lewat!"

Ilra mengerjap pelan sebelum akhirnya menatap jam di atas nakasnya.

"PAPAAA AKU TELAT!"

♥ ♥ ♥

Ilra menyantap sarapannya santai ditemani tatapan tajam sang papa. Dia mengernyit sebelum berujar dengan nada santai.

"Pa, awas. Matanya mau nyolot tuh."

"Jadi kamu milih nggak berangkat ke kampus sekalian daripada telat?" tanyanya yang Ilra balas anggukan.

"Lagian dosennya galak. Percuma datang ke sana, ujung-ujungnya disuruh keluar juga."

Papanya menghela napas sebelum kembali memakan makanannya. "Jangan malas-malas kamu, Nak."

"Iya, Papa Bulanku yang paling aku sayang," jawabnya. Niatnya sih ingin menghibur beliau, tetapi respons yang papanyaㅡMunandar, alias Papa Bulanㅡberikan masih terlihat sama. Pria paruh baya itu bahkan hampir menangis gara-gara ulah Ilra.

"Papa bingung, Nak. Kuliah kamu masih dua tahun lagi, tapi gaji Papa sebagai satpam mana cukup buat semua kebutuhan itu? Belum lagi porsi makan kita sudah kayak babi."

Ilra hampir tertawa di sela-sela adegan papanya menangis sesenggukan. Papa Bulan—oke, mari kita panggil Munandar mulai detik ini—memang bukan tipikal orang tua yang rela menyembunyikan fakta agar anaknya tidak khawatir. Dia jujur. Terlalu jujur malah.

Ilra meraih selembar tisu lalu memberikannya pada Munandar. "Sudah, jangan nangis. Malu dilihat Mama di atas," hiburnya. Perlahan Munandar mulai meredakan tangisannya walau terkesan sedikit dramatis.

"Andai mama kamu masih ada … setidaknya kita masih punya sumber kekuatan. Tapi ...."

"Pa." Ilra meraih tangan Munandar lalu menggenggamnya erat. "Kita bisa saling menguatkan satu sama lain. Jangan menyesali kepergian Mama. Nanti Tuhan marah."

Munandar membalas tatapan Ira lalu mengangguk pelan. Selain terlalu jujur, papanya orangnya juga terlalu patuh. Ah, satu lagi. Terlalu cengeng.

♥ ♥ ♥

Adegan tadi pagi membuat Ilra sadar kalau kondisi keuangannya dan sang papa harus diselamatkan sesegera mungkin. Caranya? Yah, satu-satunya dengan bekerja. Jangan menyuruh Ilra mendaftar beasiswa. Dia hanyalah mahasiswi biasa, mendekati bodoh malah. Satu-satunya yang ia punya hanya … semangat!

Tapi kerja di mana? Memangnya ada tempat yang sudi mempekerjakan orang yang hanya bermodalkan semangat seperti dirinya?

"Ra!"

Yuki, perempuan berdarah Jepang itu menyapa Ilra dengan senyum manisnya. Ilra refleks menjerit antusias untuk membalasnya.

"Yuki yang manis, lama banget ya nggak ketemu," ujar Ilra sambil mencubit pipi sahabatnya itu gemas. Sang korban hanya merintih kesakitan sambil berusaha melepaskan diri dari Ilra.

"Astaga, baru tadi pagi nggak ketemu. Kok tadi bolos?"

"Kesiangan, biasa."

Yuki menghela napas panjang, memaklumi tingkat sahabatnya. Belum sempat kaki mereka melangkah, ponsel Yuki tiba-tiba saja berbunyi. Dan seperti biasa pula, tingkat kekepoan Ilra meningkat berkali-kali lipat detik itu juga.

"Astaga." Yuki mendesah kasar setelah menatap layar ponselnya. "Sebentar ya, Ra, mau angkat telepon dari Nenek."

"Oh, oke."

Yuki berjalan mendekati mading lalu mengangkat teleponnya. Ilra? Tentu saja, karena tingkat keingintahuannya sangat besar, ia pun berdiri di dekat Yuki sambil sesekali menguping. Sialnya, suara Yuki tidak sampai ke gendang telinganya. Huh.

"Iya, iya."

Hanya itu kalimat yang Ilra dengar sebelum Yuki memutus sambungan teleponnya. Iya iya apa nih?

"Kenapa, Ki?" kepo Ilra saat melihat raut wajah Yuki yang berubah drastis. Perempuan imut itu mengerucutkan bibirnya kesal.

"Ini, nenek aku ngomel."

"Kok gitu?"

Yuki menghela napas pendek. "Aku belum dapat guru privat buat adik sepupuku. Lagian, baru masuk SD sudah sok-sokan pengin punya guru privat. Alay nggak sih?"

"Nggak juga sih, Ki. Jaman sudah berubah, emang kita yang—tunggu! Kamu bilang apa? Guru privat?"

"Iya."

"Buat anak SD?"

"Iya."

"Dan kamu belum dapat?"

"Iya, Ilra anaknya Papa Bulan. Kenapa sih?"

Senyum penuh kemenangan di bibir Ilra membuat Yuki mendadak bingung dan sedikit takut.

"Aku tahu siapa kandidat terkuat untuk memperebutkan posisi itu."

"Siapa?"

Seringai Ilra ukir makin menjadi-jadi. Jadi guru SD nggak perlu pintar-pintar banget, kan? Sepertinya dewi fortuna berpihak padaku. Haha! Dia tertawa dalam hati.

♥ ♥ ♥

 

 

2. Bungkus Satu Paket

"Papa Bulan yang paling ganteng, anaknya yang cantik sudah pulang nih," kata Ilra sambil sedikit menyenandungkan kalimatnya.

"Halo, anak Papa yang paling cantik tak ada duanya. Soalnya anak Papa cuma satu." Munandar membalas dengan nada super random.

"Papa nggak mau gitu jadi penyayi? Suara Papa, kan, enak."

"Ck, kamu ini. Suara enak aja mana bisa? Wajah ganteng dan usia muda itu yang paling penting. Papa mah apa, sudah uzur. Kamu aja yang jadi penyanyi."

Ilra refleks tertawa. Dia jadi penyanyi? Bisa rusak gendang telinga seluruh pendengarnya.

"Pa, Ilra punya kabar baik."

"Apa apa?"

Ilra menatap sang ayah sambil tersenyum lebar. "Ilra dapet kerja! Yey!!"

"Kerja?!" Munandar memekik tak percaya. "Nak, buat apa kamu kerja? Kamu ini harusnya fokus kuliah aja, biar Papa yang cariㅡ"

"Pa." Ilra menyela kalimat ayahnya. "Ilra mau bantu Papa. Lagian kerjanya gampang kok, nggak butuh tenaga ekstra apalagi otak encer. Pokoknya Ilra pasti bisa kerja dengan baik tanpa mengganggu kuliah Ilra. Tanya Yuki deh kalau nggak percaya."

Munandar mengernyit. "Yuki? Kenapa jadi Yuki? Emang kamu mau kerja apa sih?"

Ilra cengengesan, menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Jadi guru privat keponakannya Yuki!"

♥ ♥ ♥

"Pokoknya aku serahkan pekerjaan ini ke kamu ya, Ra. Jangan kecewain aku," kata Yuki sebelum kaki mereka menginjakkan rumah nenek Yuki.

"Astaga, iya, Yuki. Aku memang bodoh, tapi ngajarin anak SD ya pasti bisalah," sesumbar Ilra. Yuki menghela napas lalu menarik Ilra menuju ruang tengah rumah mewah tersebut.

"Nek, aku bawa nih guru privatnya!" seru Yuki sedikit lantang. Maklum, rumahnya besar.

"Iya Ki, ben—eh? Ini gurunya?"

Wanita paruh baya yang baru saja muncul dari dapur menatap Ilra tidak percaya. Ilra mencoba untuk tersenyum penuh percaya diri lalu membungkukkan badan sembilan puluh derajat dengan super sopan.

"Siang, Nek. Saya Ilra anaknya Munandar! Saya satu jurusan dengan Yuki di kampus, Nek! Tapi jangan salah. Saya suka anak kecil, nggak kayak Yuki."

Yuki mencibir kesal melihat sahabatnya menjatuhkan dirinya di depan neneknya. Kalau Yuki tidak kebal dengan sifat Ilra yang satu ini, mungkin perempuan itu akan memilih untuk memecat Ilra tanpa pikir dua kali.

Nenek Yuki menatap Ilra sambil mengerjapkan matanya berkali-kali.

"O-Oh, halo. Senang berkenalan dengan kamu. Saya Victoria," kata beliau agak canggung. Senyum di bibir Ilra melebar. "Kalau begitu ayo Nenek antar ke kamar cucu Nenek."

Ilra mengangguk. Sebelum mengekor di belakang tubuh Victoria, Yuki sudah lebih dulu menahan pergelangan tangan sahabatnya itu.

"Kayaknya mulut kamu perlu diprivatin dulu sebelum kamu ngeprivatin orang lain!" bisiknya gemas yang Ilra balas tawa tertahan. Salahkan mulut Ilra yang kelewat ceplas-ceplos.

Victoria membawa Ilra naik ke lantai dua. Menurut hipotesa Ilra, kamar cucunya berada di atas. Benar saja, setelah membuka salah satu pintu kamar di dekat tangga, seorang perempuan lucu berkuncir dua menyapa Victoria dengan semangat membaranya.

"Nenek!"

"Ella, ini gurunya datang."

Perempuan lucu berkuncir dua itu menatap Ilra sejenak sebelum akhirnya kembali tersenyum super lebar. "Halo, Kak! Aku Ella!"

Ilra terpana untuk beberapa detik. Lucu banget. Jadi pingin bungkus bawa pulang, batinnya.

Baru beberapa detik Ilra menatap bocah perempuan di depannya, seorang bocah laki-laki berumur sedikit lebih muda dari Ella tiba-tiba ikut muncul dari dalam kamar.

"Asik, gulu balu! Elik suka!"

Astaga! Kenapa keponakan Yuki lucu-lucu?!

♥ ♥ ♥

Jika keluarga Yuki mengizinkan, Ilra ingin sekali membawa pulang dua bocah di depannya ini. Ya Tuhan, tangan Ilra gatal ingin meremas muka lucu Eric, adik semata wayang Ella yang masih berumur lima tahun. Keluarga ini memang luar biasa, penuh bibit unggul.

"Eric sama Ella kok bisa lucu sih? Makan apa coba?" tanya Ilra disela-sela kegiatannya mencubiti pelan pipi Eric.

"Papa Elik ganteng, makanya Elik lucu," kata Eric sambil tertawa. Ella yang duduk di sampingnya tertawa pelan.

"Sebenarnya Ella nggak pengin belajar, Kak."

Ilra menatap Ella dengan alis menyatu. Tidak mau belajar tapi menyewa guru privat? Jadi?

"Ella cuma mau main ya sama guru Ella?" tebak Ilra. Benar, Ella pun mengangguk.

"Ella kesepian, Kak. Papa sibuk kerja, Nenek nggak mungkin bisa seharian main sama Ella. Si Eric sibuk sama robot-robotannya.”

Jawaban polos Ella membuat Ilra tersenyum tipis lalu mengusap rambut lembutnya pelan. Ilra mulai penasaran, ke mana gerangan ibu dari anak-anak lucu ini? Kenapa dia tidak ada di saat anak-anaknya kesepian? 

Mulutnya gatal ingin bertanya, tetapi dia sadar, terlalu gila untuk melontarkan pertanyaan tersebut di hari pertama mereka saling mengenal. Terlebih Ella dan Eric masih kecil.

"Sama dong. Kak Ilra juga kesepian, butuh teman. Kayaknya Ella sama Eric bakal cocok deh jadi teman Kakak."

"Kakak mau punya teman anak kecil? Kakak, kan, udah gede," tanya Ella. Eric menatap Ilra sebentar lalu mengangguk.

"Kakak, kan, udah gede, mainnya cama yang gede juga," sahut Eric.

Ilra sontak tertawa terbahak. "Badan Kakak saja yang gede, tapi jiwa Kakak masih kayak kalian kok. Nanti kalau mau mandi bola ajak Kakak deh. Nanti Kakak temani."

"Selius, Kak? Asiiiik mandi cama Kak Illa!"

"Hus! Mandi bola, bukan mandi aja," ralat Ella super lucu. Ugh, Ilra benar-benar ingin mencubit pipi sepasang kakak beradik ini ka—

Klek.

"Ella, Eric Papa pul—"

Ilra, Eric dan Ella sontak menghentikan aktivitas mereka saat mendengar pintu kamar terbuka. Berbanding terbalik dengan Ilra yang hanya bisa mematung, dua bocah di sampingnya justru telah berlari penuh semangat menghampiri seseorang di ambang pintu sana.

Ilra melongo seperti orang bodoh.

"Papaaa, Elik kangen!" teriak Eric sambil memeluk pria yang dia panggil papa itu.

"Ella juga!"

Lalu terjadilah adegan peluk-pelukan di antara tiga orang tersebut. Cukup lama, sampai Ilra benar-benar larut dengan lamunannya.

Nyempil jangan?

"Papa juga kangen," balas si Papa sambil mengusap sekaligus mencium puncak kepala Ella dan Eric.

Iri jangan?

Ilra masih terduduk di atas kasur kecil Ella dan Eric sambil tetap melongo seperti orang idiot. Bukan apa-apa, hanya saja ....

Pria itu melepas pelukannya bersama dua anaknya lalu menatap Ilra dengan tatapan menelisik. Ilra mengerjap bingung. Dirinya terlihat seperti pencuri yang tertangkap basah sedang mencuri. Dia hanya bisa membeku.

"Kamu guru privat Ella dan Eric?" tanyanya sambil berjalan mendekat ke arah Ilra.

"Y-Ya, Om!" jawabnya lalu berdiri dan membungkuk penuh semangat. "Ilra, 21 tahun, mahasiswi semester enam, teman sehidup semati Yuki, suka anak kecil, apalagi—"

"Saya Jeha, orang tua Ella dan Eric."

Dia memotong ucapan Ilra dengan wajah super dingin plus seksinya. Dan sialnya, bukannya kesal, Ilra justru jatuh dalam pesona pria tampan di depannya. Perempuan itu bahkan masih meringis bak orang bodoh.

“Saya suka anak kecil, apalagi kalau bapaknya kayak Om. Duh, jadi pengin bungkus satu paket sekalian. Ella, Eric, sama bapaknya. Ehe.”

Ilra bermonolog dalam hati.

♥ ♥ ♥

 

 

3. Gantengku

"Kamu teman Yuki, kan?"

Jantung Ilra berdetak tidak normal saat matanya bertemu dengan mata Jeha. Tanpa senyuman di bibir saja bisa pria itu sesempurna ini, apalagi kalau seutas senyum terukir di sana? Bisa-bisa ambulans datang untuk membawanya ke rumah sakit. 

Oke, ini berlebihan.

Ilra meminum tehnya seteguk sebelum menjawab. "Iya, Om. Namaku Ilra—"

"Saya tahu, kamu sudah mengatakannya."

Ilra terdiam. Galak. Suka memotong pembicaraan. Terima kasih pada wajah yang telah Tuhan berikan, setidaknya Ilra masih bisa meredam emosinya yang sedikit tersulut.

"Berapa gajimu sehari?"

"Itu … terserah sih."

Kalau perlu gaji aku sebagai istri kamu. Hehe.

"Dua ratus ribu cukup?"

"Ha?!" pekik Ilra tak percaya.

"Kenapa? Kurang?"

"B-Bukan! Kebanyakan malah," jawabnya.

Gila, dua ratus ribu sama dengan jajannya satu minggu. Dan Jeha menawarkan uang sebanyak itu dalam sehari? Hanya dengan menjaga anak-anaknya? Ilra perempuan realistis, jadi hampir tidak mungkin dia menolak tawaran tersebut.

"Oke, dua ratus ribu." Jeha bersuara. "Datanglah ke sini Senin sampai Jumat. Mulai dari jam makan siang sampai menjelang makan malam."

"Sabtu Minggu?"

Jeha mengernyit. "Kamu butuh uang sampai harus bekerja tiap hari?"

Wah, tajam sekali ucapan Anda, Bapak Jeha. Untung Anda tampan. Dan untungnya lagi saya suka. Hm.

"Semua orang butuh uang, kan?"

Jawaban random Ilra berhasil membuat Jeha terdiam sesaat. Memang benar, kan? Mana ada manusia di muka bumi ini hidup tanpa uang? Jangan naif.

"Sabtu Minggu adalah quality time saya bersama Ella dan Eric. Jadi kamu tidak perlu datang."

"Kalau jadiin aku keluarga gimana, Om? Biar bisa quality time bareng?"

"Maksudmu?"

Ilra meringis mendengar kalimatnya sendiri. Sekali lagi, salahkan mulut Ilra yang kelewat bocor sampai—tanpa malu—mengucapkan kalimat tersebut di hari pertama perkenalannya bersama Jeha.


♥ ♥ ♥


"UHUK!!!"

Yuki hampir menyemburkan nasi di mulutnya. Gadis imut itu mendadak jadi garang setelah Ilra menceritakan bagaimana perasaannya terhadap Jeha, om Yuki.

Ilra kira respons Yuki akan menyenangkan. Ternyata … imutnya hilang, digantikan wajah garang yang jarang Ilra temui sebelumnya.

"Nggak, nggak boleh!"

"Maksudmu?"

"Nggak boleh, Ra! Jangan suka om aku!"

Yuki 100% serius dengan ucapannya. Perempuan itu bahkan meletakkan sendoknya asal sambil menatap Ilra intens.

"Kasih aku tiga alasan kenapa aku nggak boleh suka sama Om Jeha," tuntut Ilra. Yuki sontak menghela napas kasar.

"Jangankan tiga, aku bisa kasih kamu ratusan alasan. Pokoknya jangan, Ra. Masa lalu om aku itu nggak segampang yang kamu lihat. Intinya ...."

"Intinya?"

Yuki menggeleng. "Intinya jangan. Aku nggak mau lihat sahabat aku sakit hati."

Ilra mengernyit. Emang sekelam apa sih masa lalu Jeha sampai Yuki melarangku habis-habisan seperti ini? Kenapa juga aku harus sakit hati? batin Ilra penasaran.

"Kamu takut aku ditolak?"

"Bukan cuma itu, Ra. Om aku itu kalau ngomong nggak pernah difilter. Dia mana peduli orang yang dia ajak omong sakit hati atau nggak? Pokoknyaㅡ"

"Duh, Ki. Kamu tau sendiri, kan, aku bukan tipe orang baper yang bakal sakit hati meskipun dihujat? Kamu lupa aku anaknya siapa? Anaknya Papa Bulan!"

"Tapi, Raㅡ"

"Minta nomor WhatsApp om kamu dong."

"Ha?! Gila kamu!"

Ilra refleks terkekeh geli melihat reaksi Yuki. "Kamu malu ya kalau nanti aku jadi tante kamu?"

"Astaga, Ilra!"

Kali ini Ilra tidak bisa menahan tawanya. Dia tertawa lebih keras. Bodo amat dibilang gatel, nggak tau diri atau bahkan pelakor sekalipun. Walaupun nggak tau di mana, tapi Ilra yakin mamanya Eric dan Ella udah pergi jauh.

Entah ke ujung dunia ataupun ke dunia lain, alias meninggal.

"Makanya Ki, bagiin WhatsApp Om Jeha. Janji nggak bakal sakit hati, apa pun yang om kamu bilang nantinya," pinta Ilra.

Yuki mengacak rambutnya frustrasi, sedangkan Ilra hanya bisa nyengir tanpa dosa. Ilra sudah bilang belum, kan, kalau dia kuat, tahan banting, dan nggak gampang marah apalagi sampai nangis?

Pokoknya Ilra mau deketin Om Jeha. Titik!

♥ ♥ ♥

[Halo, Om! Anaknya lagi asik main salon-salonan nih sama aku! 
Semangat kerja yaa, jangan lupa makan!]

"Kak Ilra kok senyum-senyum sendiri?" tanya Ella di sela-sela kegiatannya mewarnai kuku tangan Ilra. Yang ditanya langsung tertawa, salah tingkah.

"Ini, Kak Ilra habis kirim pesan ke masa depan Kakak."

"Ciapa, Kak?" Kini giliran Eric yang bertanya. Ilra hanya tersenyum penuh arti.

Bicara soal Jeha, pria mapan tersebut tergolong manusia gaptek di era modern seperti sekarang. Bagaimana tidak, di saat semua orang menggunakan Whatsapp dan media sosial lainnya, Jeha hanya mengandalkan ponsel dan pulsa untuk berkomunikasi. Maka dari itu, Ilra harus rela mengisi pulsa yang sudah lama ia abaikan. Tujuannya hanya satu. Untuk membangun komunikasi yang baik dengan  Jeha.

Atau untuk mendekatinya?

Ilra meloncat kegirangan saat ponselnya bergetar. Jeha membalas pesannya. Yeah, walau setelah dua puluh menit ia menunggu pesan tersebut sih.

Perempuan itu mengambil napas lalu membuangnya. Hatinya berdoa, semoga balasan yang dia terima sesuai dengan ekspektasinya. Setelah siap, Ilra pun membuka pesan tersebut, lalu ...

[Siapa ini?]

sialan. Ilra mengumpat dalam hati. 

♥ ♥ ♥

 

 

4. Ongkos

Kedua tangan Ilra hampir pegal karena harus mengusap kepala Ella dan Eric yang tertidur di samping kanan kirinya. Yah, namanya juga bocah, hanya ada dua cara agar mereka bisa terlelap seperti ini. Kalau bukan dengan mengelus, tentu saja dengan membacakan dongeng. Sayangnya, Ilra tidak suka membaca dongeng.

Lebih tepatnya, dia benci membaca, apa pun jenis bacaannya.

Klek.

Pintu di depannya terbuka. Ilra pikir Victoria yang akan muncul beberapa detik kemudian. Sayangnya, dugaannya meleset. 

"Mereka ketiduran?" tanya si pembuka pintu kamar Ella dan Eric dengan suara lirih dan beratnya, membuat Ilra sedikit kaget sekaligus senang.

"Iya, Om, barusan," jawab Ilra masih sambil mengusap kepala Ella dan Eric. Jeha mendekati ranjang tersebut lalu mengelus rambut Ella dan Eric bergantian.

Ini yang di tengah nggak mau dielus sekalian? batin Ilra, mupeng.

"Kalau begitu biar saya menggendong Eric dulu, baru nanti saua kembali lagi untukㅡ"

"Astaga." Ilra hampir tertawa melihat wajah serius Jeha. "Apa gunanya Ilra ada di sini?"

"Maksudmu?"

Ilra menggeleng heran sambil berusaha bangkit dari posisinya. Untung suka, jadi mudah bagi Ilra untuk memahami kepolosan bapak dua anak tersebut.

"Biar aku yang gendong Eric. Om gendong Ella. Jadi enak, kan, nggak perlu bolak-balik?"

♥ ♥ ♥

Sumpah demi rumput yang bergoyang, niat awal Ilra hanya  membantu Jeha memindahkan Eric ke mobil sebelum ia pulang. Namun gilanya, bocah itu malah mengeratkan pelukannya di leher Ilra sambil terus mengigau manja.

"Mama jangan pelgi, Elik kangen,” ujar Eric dengan polosnya. Kalau sudah begini, Ilra mana tega melepas bocah tersebut dari gendongannya?

"Tidak biasanya Eric manja seperti ini," ujar Jeha masih sambil fokus menyetir. Ilra? Tentu saja fokus menatapwajah Jeha yang terpahat sempurna dari tempat duduknya. Jangan lupakan kalau Jeha menggulung lengan kemejanya sampai siku sehingga tangannya yang kekar itu … astaga! Mata Ilra memang liar.

"Bapaknya kalau mau manja sekalian juga boleh kok."

"Apa?"

"Hehe, nggak nggak."

Jeha melirik Ilra sedetik lalu kembali fokus menatap jalanan. Ella yang ada di jok belakang masih betah tidur. Suasana jadi agak canggung. Kalau berteriak, takut membangunkan bocah-bocah di mobil ini. Kalau menggoda Jeha, takut pria itu sport jantung karena tidak terbiasa. Ilra bisa menebak, Jeha bukan tipikal lelaki yang mudah mendapatkan pujian dari lawan jenis walau dia sangat tampan dan menggairahkan.

Simpelnya, Jeha dingin—terkesan kejam—pada perempuan. Huft.

"Sudah sampai. Bisa minta tolongㅡ"

"Sstt, Om buruan bawa Ella deh. Kasian nanti kebangun," potong Ilra sebelum Jeha kembali bersuara. Jeha hanya mengangguk polos sebelum akhirnya keluar dari mobilnya untuk menggendong Ella.

Mereka berdua memasuki apartemen mewah tersebut dengan langkah santai. Jeha menekan tombol sepuluh di lift sebelum lift itu mengantar mengantar mereka ke tempat tujuan. Apa ini gambaran keluarga bahagia yang sesungguhnya?

Ilra harap iya.

Lift pun berhenti di lantai sepuluh beberapa detik kemudian. Setelah berdiri di depan flat bernomor 15, Jeha segera menekan beberapa angka di sana. Untuk yang satu ini, Ilra tahu batasannya. Dia bukan penguntit, jadi untuk apa melihat password flat Jeha?

“Masuk,” ujar Jeha setelah pintu terbuka. "Kamar mereka di sini," katanya sambil membuka pintu sebuah kamar. Ilra mengikuti langkah Jeha lalu menidurkan Eric di atas ranjangnya.

Setelah memakaikan selimut, mereka pun meninggalkan kamar Ella dan Eric yang terlihat cukup classy untuk usia mereka. Pada titik ini Ilra sadar kalau Jeha adalah pria mapan dengan kekayaan luar biasa, sedangkan dia hanya seorang Ilra, mahasiswi super biasa yang untuk membantu Papa Bulan saja harus jadi guru privat.

"Ini.” Jeha memberikan selembar amplop pada Ilra begitu mereka ada di ruang tengah. Ilra lantas mengernyit.

"Apa ini?"

"Gajimu dua hari ini. Sisanya gunakan untuk taksi."

"Ha?"

Jeha menatap Ilra datar sebelum kembali bersuara. "Saya tidak bisa mengantarmu pulang. Saya lelah dan anak-anak saya sendirian di apartemen. Harap maklum."

Ilra tidak sedang tuli, kan? Sialan? Semudah itu dia menyuruhnya pulang? Sendirian? Di malam yang gelap seperti ini?

"Tapi ini sudah malam, Om. Gimana kalau aku diculik? Gimana kalau aku dirampok? Gimana—“

"Itulah sebabnya saya memberimu uang taksi.”

Sebal dan bingung, itulah yang Ilra rasakan setelah Jeha memotong ucapannya. Kalau saja dia tidak menaruh hati pada majikannya, mungkin segala sumpah serapah telah Ilra lontarkan sejak tadi.

"Oh ya, satu lagi."Jeha mendekati Ilra diiringi tatapan tajamnya. "Hak kamu untuk menyukai saya atau tidak. Yang jelas saya tidak punya perasaan yang sama seperti kamu.”

Ilra terenyak. Sepertinya mulut Bapak perlu les privat juga, cerocosnya dalam hati.

♥ ♥ ♥

 

 

5. Lagi dan Lagi

"Anak Papa yang paling cantik kok ditekuk saja sih mukanya?"

Pertanyaan Munandar berhasil membuat Ilra sontak menghela napas kasar sebelum akhirnya ia menjatuhkan kepalanya di atas meja.

"Malas mau kerja."

"Eh? Tumben? Biasanya paling semangat kalau mau berangkat ke rumah … siapa namanya? Je … Jenal?"

"Ih! Jeha!" protes Ilra, kali ini sambil menatap Munandar agak kesal. Sang papa langsung tertawa puas.

"Nah, itu maksud Papa. Kata kamu papanya Ella sama Eric ganteng? Katanya kamu suka? Kok malah sedih gini? Kenapa? Jangan-jangan kamu ketemu istrinya, ya? Mampusin jangan?"

Ilra tersenyum horor. Kalau Munandar bukan papaku, sudah kutendang dia ke Kutub Utara biar dimakan beruang. Sayangnya, cuma dia  satu-satunya keluarga yang aku punya, batinnya setengah mencerocos.

"Aku belum ketemu istrinya. Dan semoga saja nggak bakal pernah ketemu istrinya.”

"Terus yang bikin kamu sedih?"

Ilra menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Dia nggak suka aku, Pa. Dia nolak anak Papa yang cantik nggak ada duanya ini,” curhatnya sambil mengerucutkan bibir.

Di seberang sana, Munandar tertawa penuh penghayatan."Hahaha, makanya sih kamu aneh. Jeha lebih cocok jadi adik Papa tahu!"

"Enak di Papa, lah, punya adik sesempurna  Jeha. Emang Papa siapa?"

Perdebatan kecil mereka diakhiri dengan tawa yang cukup menggelegar. Baik Munandar maupun Ilra, keduanya memang suka mengejek satu sama lain. Terdengar aneh memang, tetapi itulah salah satu cara mereka untuk menunjukkan rasa sayangnya. Memang pasangan ayah dan anak extraordinary.

"Dengerin Papa ya, Nak." Munandar mulai serius menatap sang buah hati. Bahkan tangannya tanpa canggung mengusap puncak kepala Ilra dengan lembut. "Jangan menyerah kalau kamu memang yakin dia jodoh kamu. Selama dia benar-benar duda dan nggak punya ikatan dengan siapa pun, nggak masalah! Kamu masih ingat, kan, cerita Papa bisa menaklukkan hati mamamu?"

Ilra mengangguk semangat. “Masih!”

"Papa yakin, masih ada kok orang yang mau menerima kita apa adanya. Tuh, mama kamu contohnya."

"Benar juga," gumam Ilra. Padahal, menurut cerita dari versi sang papa, ada dua orang kaya dan mapan yang menjadi saingannya untuk mendapatkan mendiang istrinya—mama Ilra. Namun, lihat, siapa yang jadi juaranya? Munandar yang bahkan tidak punya apa-apa selain pekerjaannya sebagai satpam.

Jadi, kesempatan terbuka lebar, bukan?

"Hati Jeha pasti masih terbekukan oleh masa lalunya, sehingga dia nggak bisa melihat bidadari secantik anak Papa ini.”

Senyum di bibir Ilra langsung merekah begitu mendengar pernyataan papanya. Beruntung, dia memiliki papa seorang Munandar. Si cengeng yang mampu menenangkan hati. 

♥ ♥ ♥

Setelah memikirkan kalimat papanya matang-matang, semangat Ilra untuk mendapatkan sang pujaan hati pun kian berkobar. Pokoknya AGGC. Anti Galau-Galau Club. Ditolak? Hajar terus, jangan kasih kendor.

Semangat itu pulalah yang membuat langkah kaki Ilra terasa begitu ringan saat memasuki rumah Victoria, calon ibu mertuanya, alias nenek Ella dan Eric. Haha.

"Loh Ilra?"

"Eh? Tante Krystal!"

Ilra refleks memeluk Krystal—mamanya Yuki—erat-erat. Perempuan berbadan ramping itu membalas pelukan Ilra tak kalah eratnya juga.

"Gimana kerja di sini? Betah, kan?"

Ilra mengangguk. "Ya betahlah, apalagi ...."

Ada  Jeha.

"Apalagi apa?"

"Apalagi ada Tante Krystal di sini!" serunya sambil memeluk Krystal untuk yang kedua kalinya. Yang dipeluk hanya bisa tertawa. "Tante tumben di sini? Yuki mana?"

"Nggak ada acara apa-apa sih, mumpung free aja. Yuki masih keluar sama papanya. Katanya sih cari makanan."

"Wah, Om Yuta di sini juga? Nggak di Jepang?"

"Iya, mumpung ada libur seminggu, jadi ya gitu deh,” terang Krystal. Di saat seperti ini Ilra masih sempat berpikir, kenapa baru sekarang dia tahu kalau Jeha adalah adik dari  Krystal? Padahal sudah dua tahun dia mengenal keluarga Yuki. Sangat disayangkan.

"Tante, aku ke kamar Ella Eric dulu ya."

"Iya, Sayang, nanti agak sorean turun ya, Tante masak banyak soalnya."

"Wah, siap, Tan!" ujar Ilra sambil hormat ala artis-artis Korea yang baru saja menyelesaikan wamil.

Ilra pun segera menaiki tangga dengan riang. Entah mengapa melihat Krystal membuatnya selalu dalam mood yang bagus.Mungkin akan sangat menyenangkan jika memiliki bunda seperti beliau. Masalahnya, memangnya Yuki mau berbagi bunda dengan Ilra?

"Ella, Eric, Kak Ilra da—"

Damn! Ingin Ilra menjerit melihat pemandangan di depannya. Tapi, kenapa dia hanya bisa diam mematung layaknya orang bodoh?

"Kenapa diam? Masuk saja," ujar tersangka yang berhasil membuat jantung Ilra jedag-jedug dengan santainya. 

Siapa pun, tolong panggilkan ambulans! Saraf Ilra mati sesaat setelah melihat roti sobek Jeha yang tercetak dengan sempurna, tepat di depan matanya. Apa cuma dirinya yang hampir mimisan melihat perut kotak-kotak Jeha?

Kepala Ilra terasa makin pening saat  Jeha berjalan menghampirinya yang masih terdiam di depan pintu. Matanya menatap Ilra datar.

"Om. Lagi."

"Apa?"

"Itu.” 

Telunjuk Ilra menunjuk perut Jeha tanpa canggung. Pria di depannya tersentak kaget sebelum kembali berusaha menguasai dirinya lagi.

"Ella dan Eric sedang keluar dengan Yuki dan Kak Yuta. Tunggu saja."

"Om nggak ke kantor?"

"Cuti sehari. Ada acara di rumah ini."

Ilra mengangguk paham. Mungkinkah tahun depan dirinya sudah menjadi bagian dari acara keluarga di rumah ini? Kita lihat saja.

"Om, bilang amin dong."

Jeha menautkan kedua alisnya. "Maksudmu?"

"Pokoknya bilang amin!" paksa Ilra. "Doa pertama, semoga di masa depan, Ella dan Eric makin cantik dan ganteng."

Jeha menatap Ilra bingung. Mendengar nama anaknya disebut, dia pun mengucapkan, "Amin," tanpa berpikir dua kali.

"Semoga keluarga Om selalu diberi kesehatan."

"Amin."

"Semoga aku bisa lulus 3,5 tahun."

"Amin."

"Biar cepet-cepet jadi mamanya Ella sama Eric."

Krik.  

Jeha terdiam sambil menatap Ilra datar, sedangkan si pelaku terus mengucapkan kata amin ribuan kali di dalam hati.

"Mana aminnya, Om?"

Helaan panjang meluncur begitu saja dari bibir Jeha. "Saya, kan, sudah bilang kalau saya tidak punya perasaan yang sama seperti kamu."

"Tapi Om juga pernah bilang perasaanku adalah hakku. Hayo?"

Merasa kalah, Jeha pun hanya mampu menggeleng pasrah. "Terserah kamu saja."

♥ ♥ ♥

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya [Bab 6-10] Falling for Dokter Jeha
5
0
Ngejar kamu ugal-ugalan? Siapa takut!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan