
“Kenapa ya, waktu berjalan begitu lambat di sini? Padahal, jam 10 malam serasa baru sore hari di sana (kupang)!”
Natal, sedikit lagi tiba. Rasanya waktu berjalan begitu cepat ya. Bukan, bukan “waktu” seperti ini yang saya maksudkan.
Februari 2022.
Wisuda dilaksanakan online, saya pakai waktu itu untuk pulang kampung. Sempat terpintas kalau 2 minggu akan berlalu begitu saja di sana. Hari-hari saya lalui bersama keluarga, bersama teman-teman lama dan semua kenangan manis dengan benda-benda yang pernah saya anggap berharga di masanya : tas, lemari, seragam SMA, dasi SD, hingga buku paket “detik-detik ujian nasional” SMP. Kembali pada rutinitas menyiram tanaman, menyapu halaman, dan memberi makan babi, eh (ternyata tidak 1 ekorpun yang tersisa setelah serangan virus babi melanda).
Menjelang malam, ada suasana aneh, kondisi yang tidak biasa, perasaan yang heran. Ketika matahari tidak lagi mengirimkan percikan cahaya senjanya, lampu-lampu setiap rumah mulai dihidupkan, dan sunyi mulai menyapa, entah mengapa saya, mengantuk!?
Menimbulkan pertanyaan yang paling sulit dicerna,
“Kenapa ya, waktu berjalan begitu lambat di sini? Padahal, jam 10 malam serasa baru sore hari di sana (kupang)!”
Ini yang saya maksudkan, dilatasi waktu.
Bercanda bersama orang lain, menemukan dan melakukan aktivitas-aktivitas di luar rutinitas, dan pergi ke lingkungan baru bisa jadi menjadi pemicu perlambatan waktu dalam dilatasi waktu ini terjadi. Melakukan hal-hal di luar kebiasaan kita sehari-hari membuat waktu penuh dengan memori. Hal ini yang mungkin tidak saya dapat di kos.
Bangun pagi-pagi hanya untuk mematikan alarm, dan kembali tidur. Setelah puas bermimpi saya bangun dengan motivasi mengisi perut. Setelah perut terisi, seharian hanya dipakai dengan bermain hp sambil mengharapkan adanya sinar terang dalam kosa kata “mood” untuk mulai belajar. Saat semuanya mulai terlihat membosankan, “overthinking” adalah solusi dalam mengisi kekosongan malam ini (pukul 01.00 WITA).
Tidak, saya tidak sedang menghimbau kita untuk lari dari dunia membosankan ini. Tentu saja itu tidak menyelesaikan masalah. Besok, kita masih perlu bergegas ke sekolah, dan 1 hari tentu saja tidak cukup untuk mencuri waktu pergi berlibur. Jadi bagaimana solusinya?
Saya teringat momen ketika SMA dulu, kemanapun saya pergi selalu menggunakan sepeda. Melalui sepeda saya belajar arti menikmati momen yang sesungguhnya. Dengan kendaraan beroda paling lambat saat itu, saya merasa hidup. Di jalan saya melihat kehidupan orang-orang yang bercanda gurau, menyiram tanaman hiasnya, membeli pentolan kesukaannya, berjalan bergandengan (sialan), sampai menolong beberapa orang yang motornya mogok (hal yang tidak mungkin saya lakukan kalau naik motor soalnya pasti kelewatan dan malas putar balik).
Ini poinnya! Menikmati momen.
Saya mulai merasakan sekeliling saya, ternyata ada bunyi tetesan air dari keran yang tidak tertutup rapat, bunyi “tit tit” dari meteran listrik tetangga (hehehe), tembok kos yang berwarna kuning, nasi yang terselip di gigi, keringat yang bercucuran (sudah tau panas tidak buka pintu dan jendela). Hal- hal kecil ini ternyata setelah saya sadari, mampu membuat dilatasi waktu dalam skala yang kecil. Bagaimana kalau hal ini saya lakukan 1 minggu, 1 bulan, 1 tahun, 10 tahun?
Mari kita cari tau jawabannya!
Sama-sama.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
