Mengenggam Rasa

1
0
Deskripsi

Prolog

 

“Sepanjang napasku ... aku akan tetap mencintaimu, hingga ajalku tiba.”

***

“Sekar,” sapa Fadhil ketika mendapati Sekar tengah asik melayani pembeli di toko kue yang dikerjai di daerah kota Malang.

“Eh, Mas Fadil,” balas Sekar menoleh sebentar ke arah Fadhil yang berdiri di depan elatase toko kue. Lalu Sekar kembali menghadap pada pembeli dan kembali melayani.

“Sebentar ya, Mas, tunggu dulu di situ. Aku masih melayani pembeli, sebentar lagi selesai dan waktunya aku istrihat,” ucap Sekar tanpa...

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Menggenggam Rasa
1
0
Part 1Cuaca sangat begitu cerah malam hari ini, angin seopai-opai melampaikan ranting daun yang melambai-lambai seolah-olah tengah menari-nari di malam yang begitu cerah. Sebuah mobil penter melaju membelah jalan raya kota Surabaya yang begitu lengah. Para penjual menjajakan makanan di pinggir-pingir jalan raya, menambah keramaian yang begitu menentramkan hati. Bergemerlapan puluhan lampu-lampu dari gedung-gedung yang menjulang tinggi menambah keindahan di kota Surabaya malam itu.Sebuah mobil penter memasuki halaman rumah yang begitu luas, dengan banyak pepohonan di sisi kanan dan kiri serta berjejeran bunga yang menghiasi taman itu mengelilingi sebuah rumah. Rumah mewah meskipun tak terlalu lebar namun terlihat elegan. Seseorang wanita yang ditutup matanya dengan sebuah kain berwarna hitam dengan ditatih oleh seorang pria di belakangnya berjalan menuju rumah yang sangat begitu elegan.Nampak wanita itu tangannya meraba-raba ke udara, waspada takut jika ia akan menabrak sesuatu di depannya. Sedangkan seorang pria di belakangnya tampak tertawa-tawa melihat kelakuan wanita yang ditatihnya ini. Pria berusia dua puluh delapan tahun itu terus menggiring wanita di depannya itu untuk menuju rumah yang terkesan begitu elegan satu persatu anak tangga ia jajaki hingga sampailah ia di teras rumah.“Aduh ... sudah belum sih! Capek ah ..! Sejak tadi disekep mulu!” umpat Sekar yang merasa lelah karena sejak dari rumah mamah mertuanya Fadhil menyikap matanya terus.“Iya, sabar dikit ini udah nyampai,” balas Fadhil sembari tersenyum-senyum.“Sebenarnya kamu ngajak aku ke mana sih, Mas?”Fadhil mulai membuka simpul tali di belakang kepala sekar. Lalu Fadhil menyingkirkan kain hitam yang menutupi Mata Sekar. Sekar tampak terbengong melihat apa yang ia lihat di depannya. Matanya tampak berkeliaran melihat sekeliling tempat yang ada di sekitarnya. Dengan ekspresi bingung, Sekar kembali menoleh pada suaminya yang berdiri tersenyum-senyum di belakangnya.“Kita ke rumah siapa ini, Mas?” tanyanya.“Suka nggak?”Sekar tampak keheranan menatap suaminya ia tampak mengerutkan keningnya bingung.“Suka?” ucapnya keheranan.“Iya, kamu suka dengan rumah ini?” tanya balik Fadhil.“Lha emang ini rumah siapa?”Dengan tersenyum Fadhil merogoh saku celananya lalu mengeluarkan sebuah kunci rumah, lalu ia beranjak menghampiri pintu dan menancapkan kuncinya di sana.Clek!Kunci pintu itu telah terbuka, Fadhil pun membuka lebar-lebar pintu tersebut lalu mempersilahkan Sekar untuk masuk ke rumah itu.“Lhoh ... Mas, kamu kok ngawur! Main buka-buka rumah orang. Kalau kita dikira maling gimana? Kamu kok, juga punya kuncinya?” omel Sekar tidak henti-hentinya.Fadhil tampak tertawa-tawa mendapati reaksi istrinya ini yang terlihat begitu lugu ini. Memang seperti inilah sifat Sekar tampak begitu lugu. Sudah sejak lama Fadhil mengetahui sifat istrinya ini semenjak pertama kali ia kenal di sebuah taman kota Surabaya waktu itu. Pertama saat ia bertemu dengan Sekar saat menolong dirinya yang terkapar luka karena diserang anak punk yang ingin menguasai ponsel yang punya itu.  Hingga sampai saat inilah mereka hidup bersama. Entah mengapa saat pertama kali berjumpa dengan Sekar, begitu menarik perhatiannya hingga membuatnya ingin mengenal Sekar lebih jauh lagi. Hingga ia memberanikan diri untuk bertukar nomor ponsel, dan selalu chatingan setiap malam untuk sekedar iseng tanya kabar. Makin hari, semakin ada rasa nyaman di antara mereka berdua karena saling komunikasi.Karena rasa nyaman yang dirasakan bersama Sekar ini, membuat Fadhil memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya terhadap Sekar yang saat itu Sekar masih jadi karyawan di sebuah rumah makan di Surabaya yang kurang lebih Sekar sudah kerja di tempat itu saat usia sembilan belas tahun seusai tamat SMA sampai usia Sekar dua puluh dua tahun. Baginya, Sekar lah yang selalu menghiasi hari-harinya selalu memberikan semangat untuknya setiap bangun tidur melalui ponsel. Tak jarang juga Sekar selalu membuatkan makanan untuk Fadhil, sudah seperti istri saja saat itu bagi Fadhil. Itulah alasanya yang membuat Fadhil jatuh hati pada Sekar, karena sudah kebiasaan Sekar selalu ada di samping Fadhil selama empat tahun.Namun sayangnya berikutnya, mereka harus LDR selama tiga tahun lantaran Fadhil ditugaskan untuk kerja di sebuah perusahaan yang ada di Malang. Satu tahun kemudian ibunya Sekar meninggal dunia membuatnya harus yatim piatu, karena ia hanya sendirian ia putuskan untuk menyusul Fadhil yang kerja di sana sekitar tiga tahunan, untuk menghilangkan kesepiaannya karena ditinggal ibunya pergi. Dan ikut kerjalah Sekar di kota Malang selama tiga tahun setelah kepergian ibunya.“Kamu kok lugu sekali, Sekar, ini rumah kita,“ jawab Fadhil.Fadhil menuntun Sekar untuk masuk ke dalam, Sekar terngangga setelah melihat penampilan yang ada di dalam rumah itu sungguh ia sangat terkesima dengan rumah baru itu, rumah baru yang begitu menawan. Di dalam rumah itu sudah lengkap berbagai perabotan dan peralatan rumah yang sudah begitu lengkap ia hanya tinggal menempati saja.“Apa tadi kamu bilang, Mas. Ini rumah kita?” tanya Sekar. “Emang, Mas, punya duit bisa beli rumah sebagus ini?” imbuhnya.Fadhil tampak tertawa renyah mendengar pertanyaan istrinya itu, setelah melihat-lihat isi di ruang tamu itu Fadhil beranjak menuntun Sekar untuk memperlihatkan kamar tidur mereka. Fadhil membukakan pintu kamar lalu menggiring Sekar untuk masuk ke dalam kamar itu.“Aku kan kerja, Sayang. Ya jelaslah aku punya uang,” ucap Fadhil.Sekar duduk di tepi ranjang dan menatap lekat-lekat wajah suaminya. “Tapi, Mas, apakah cukup uangnya buat beli rumah sebagus ini? Terus kenapa kamu gak bilang sama aku dulu kalau ingin beli rumah?”“Nyatanya sekarang sudah di tanggan kita kan rumahnya. Jadi ya pastilah cukup untuk beli rumah.” Fadhil beranjak duduk di sebelah Sekar.“Pasti mahal ya, Mas?” Sekar menatap dalam-dalam mata Fadhil yang duduk di sebelahnya itu.“Sayang, bertahun-tahun aku kerja biar apa? Ya ... Biar bisa kebeli rumah ini untuk hadiah calon istriku kelak. Makanya ... kenapa aku belum mengajakmu segera menikah waktu itu, aku ingin kumpulin uang dulu, supaya aku bisa beli rumah untuk kita berteduh berdua. Lagian ini kan pas dengan lima bulan pernikahan kita, sekaligus hari ini adalah hari ulang tahun kamu. Dan aku menghadiahkan rumah ini untuk kamu. Bukan aku tak ingat untuk menikah, maafin aku, ya sudah membuatmu menunggu. Aku beruntung memilikimu, sungguh ... kamu rela menungguku dengan tulus hati hingga sejauh ini.”Sekar tampak tersenyum-senyum mendengar penjelasan suaminya yang sangat begitu terasa romantis baginya.“Kenapa senyum-senyum gitu?” tanya Fadhil begitu melihat istrinya tersenyum-senyum sendiri.“Ah, tidak, Mas. Aku berterima kasih bersuamikan kamu, kupikir ... kamu memang benar-benar gak kepikiran untuk menikah. Kamu romantis,” puji Sekar.“Rumah ini resmi jadi milikmu, sengaja kubelikan agar kita mandiri tidak jadi satu sama mama,” tutur Fadhil.“Milikku? Tidak ah, tapi milik kita berdua.”Fadhil meraih bahu Sekar lalu merangkul sembari mengelus-elus lengan Sekar halus.“Kalau kamu hari ini lelah, boleh sekarang kamu istirahat. Besok pagi kita ke rumah mama untuk ambil baju-baju kita.”Sekar mengangguk mengiyakan ucapan suaminya. Sekar merebahkan tubuhnya di kasur empuk rumah barunya itu.   ***    Dret ... Dret ... Dret!Sebuah ponsel berdering di atas meja kaca ruang tamu. Segera Rosy meraih ponselnya yang sedari tadi bergetar. Sebuah pesan masuk di ponselnya. Segera Rosy membuka isi pesan itu. Yang ternyata pesan itu dari temannya si Willy.Willy    Hei, Ros, jadi gak kita keluar jalan?  19.00Dengan segera Rosy membalas pesan dari Willy jarinya tampak bergerak lincah di layar ponselnya.Rosy  Ya jadilah bebeb, Willy ... Bentar dulu ye! Aku ganti baju dulu.  19.01   Willy  Buruan! Gue sama Tantrin udah nunggu kamu sampai tekor nih.  19.02Rosy     Iya sabar beb! 19.02   Segera Rosy menyudahi chatingannya dengan Willy, ia kembali letakkan ponselnya lagi di atas meja kaca ruang tamu. Dengan segera Rosy beranjak pergi meninggalkan ruang tamu menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua.Hari ini adalah malam minggu, kebiasaan untuk Rosy dan kawan-kawannya untuk keluar malam untuk cuci mata hanya sekedar untuk makan-makan di luar bersama Willy dan Tantrin. Setelah ganti baju, Rosy meraih tas kecil yang ada di dalam alamari. Lalu mencangklongkan di lengannya. Dengan segera Rosy berlari menuruni anak tangga, menuju ruang tamu untuk mengambil ponselnya dimasukkan ke dalam tas mininya.Bersamaan dengan itu muncul Lasmi dari dalam dapur menuju ke ruang tamu sambil menata belasan gelang tangan yang terbuat dari emas yang terjejer berbaris rapi di kedua lengannya. Melihat Rosy terburu-buru dengan pakaian dengan tampilan modis, buru-buru Lasmi menghampiri anak gadisnya itu.“Heh, Rosy, kamu mau ke mana malam-malam begini?” tanyanya.Rosy yang mendengar pertanyaan dari mamanya itu lantas mengalihkan pandangan pada mamanya yang sudah berdiri di sampingnya sambil menata emas-emas yang ada lengan yang terdengar begitu gemercikan memandang heran Rosy.“Aduh, Momy, Momy lupa hari inikan malam minggu, Mom,” jawab Rosy sembari membenarkan tas mininya.“Terus kenapa kalau malam ini malam minggu? Kamu mau ke mana, udah dandan modis kaya gitu?” tanya Lasmi.Rosy tampak memutar bola matannya malas. “Mom, Rosy ini kan anak muda ... Udah jadi rutinitas Rosy setiap malam minggu buat kluyuran! Masa gitu Momy masih tanya Rosy mau ke mana!” “Udah ya, Mom, Rosy mau berangkat. Teman Rosy udah kelamaan menunggu,” imbuh Rosy sambil beranjak pergi.Namun tiba-tiba Lasmi menghadangnya dengan menahan lengan Rosy. Langkah Rosy terhenti begitu mamanya mencegahnya. Ia menoleh ke arah mamanya sembari meringis memperlihatkan deretan rapi gigi putihnya.“Ada apa lagi sih, Momy?”“Kamu juga lupa kalau hari ini Momy juga lagi sibuk? Main pergi-pergi aja!” tegur Lasmi lantang.“Momy sibuk kenapa?” tanya Rosy.“Hari ini kan Momy ada arisan di rumah ini. Bantu Momy buat siapin makanan, makanan dan minumannya belum ditata itu di dapur. Sebantar lagi teman Momy datang.”Rosy mendengus kesal saat mendengar ucapan mamanya. Rosy melihat jam tangannya, hari sudah semakin larut saja. Tetapi mamanya malah melarangnya pergi malam ini. Sedangkan, temannya sudah menunggu di tempat luar sana.“Mbak Sekar kan ada, Mom, suruh bantuin sana sama mbak Sekar!” tolak Rosy.“Sekar sama masmu itu gak ada di rumah entah keluar ke mana Momy gak tau! Makannya Momy minta kamu bantuin, Rosy.”“Ish, telpone aja lah, Mom, suruh balik. Apa susahnya sih! Udah lah Rosy mau berangkat, Bay!”Rosy segera meninggalkan mamanya yang terus-terusan teriak memanggil namannya. Tetapi Rosy terus saja melangkahkan kakinya tanpa memperdulikan mamanya yang berteriak-teriak.“Heoh! Dasar ya anak jaman sekarang dimintai tolong susahnya naudubillah! Mantu sinting pula itu ke mana juga perginya gak balik-balik! Rumah lagi repot, malah semua pada gak ada! Punya menantu kok gak guna banget!” umpat Lasmi.Lasmi berjalan menuju dipet dan mengambil ponsel yang ada di sana. Dengan segera ia meraih ponsel dan mencari nama kontak anak sulungnya dan meneleponenya.   ***    Dret! Dret! Dret!Suara hp bergetar dari saku celana Fadhil, Fadhil lantas duduk dari baringnya setelah bersama Sekar. Sekar tampak menoleh ke arah suaminya yang terbangun karena sebuah panggilan masuk di ponselnya. Fadhil merogoh ponselnya dan melihat siapa yang menelponenya.“Siapa, Mas?” tanya Sekar begitu melihat Fadhil menatap layar ponselnya.“Mamah, Sekar, sebentar Mas angkat dulu telfonnya.”Sekar mengangguk begitu tahu yang menelopone suaminya adalah mertuannya. Fadhil segera menganggkat ponselnya dan mendekatkan ke telingannya.[Ya hallo, Mam?] sapa Fadhil.[Heh, Fadhil, kamu ini ke mana, sih? Kenapa kamu belum balik-balik juga!] terdengar suara kesal dari seberang telepone.[Iya, Mam, ini Fadhil lagi ajak jalan-jalan Sekar. Mumpung malam minggu.] jawab Fadhil.[Jalan-jalan mulu! Kamu gak tahu kalo di rumah lagi sibuk?][Emang di rumah lagi sibuk kenapa, Mam?] tanya Fadhil.[Udalah kamu balik sekarang! Juga istri gilamu itu!][Loh, tadi Mama gak bilang kalau lagi sibuk, sebelum kita pergi tadi? Jangan gitu juga kali, Mam, Sekar sekarang juga sudah jadi anak Mama juga.] Fadhil menasehati.Tut! tut! Tut!Ponsel dimatkan oleh mamanya, Sekar beranjak duduk menyusul Fadhil memastikan ada apa dengan namanya disebut-sebut oleh mama mertuanya sepertinya ada yang tidak disukai.“Kenapa, Mas?” tanya Sekar.“Mama lagi repot ternyata di rumah, Sekar,” jelas Fadhil.“Kok tadi kamu gak bilang, Mas, kalau di rumah lagi repot?” tegur Sekar.“Mas juga gak tahu, Sekar, kalau di rumah lagi repot.”“Ya udah ... ayo kita pulang sekarang,” ajak Sekar.Malam itu juga, mobil penter itu kembali berjalan membelah jalan raya kota Surabaya di malam yang kelam. Tak lama kemudian, sampailah Fadhil dan istrinya di rumah mamanya. Sekar buru-buru turun dari dalam mobil lalu ia bergegas masuk ke dalam rumah dan menuju dapur untuk menghampiri mertuanya.Nampak mama mertuanya tengah fokus berkutat dengan makanan dan minuman di atas meja sambil ngedumel sendiri. Dirasanya ibu mertuanya tengah kesal dan mengumpat, buru-buru Sekar menghampiri mertuanya dan ikut membantunya menyiapkan makanan.  “Malam, Ma,” sapa Sekar.Lasmi menoleh ke arah Sekar yang sudah berdiri di sampingnya dengan tatapan tidak suka. Alih-alih menjawab sapaan lembut Sekar, Lasmi malah mengertak menantunya yang baru saja sampai rumah.“Dari mana saja sih kamu? Gak tau apa, kalau di rumah ini lagi repot! Main kluyuran aja seenak jidat!” umpat Lasmi.“Emang Rosy kemana, Ma, apa juga gak ada?” tanya Sekar.“Kenapa juga pakai cari-cari Rosy segala? Harusnya kamu itu yang tahu diri! Udah tau rumah lagi repot, main pergi-pergi aja bukanya bantuin Mama. Jadi mantu kok gak guna banget kamu ini! gerutu Lasmi sambil meletakkan kue tart di dalam toples kaca bening.Sekar tampak terdiam sambil menundukkan kepalannya, merasa penuh bersalah setelah mendengar umpatan dari mama mertuannya.“Ma— maafin sekar, Ma,” ucap Sekar penuh rasa menyesal. “Adakah yang perlu bisa Sekar bantu?” tanyanya lagi dengan lembut.“Mata kamu ini rabun atau gimana? Ga lihat ni ... perkerjaan banyak! Pakai nanya ... Tuh, bantuin menata makanan taruh di atas piring dan jangan lupa bikin minuman! seru Lasmi.Sekar lantas memungkuti jajan yang ada di dalam kresek yang mama pesan tadi lalu menaruhnya di atas piring.“Jangan kasar-kasar sama Sekar, Mam. Ini bukan salah Sekar, tadi Fadhil yang ajak Sekar keluar jalan-jalan. Lagian tadi Mama juga gak bilang kalau lagi repot. Rosy juga ke mana, kok gak ikut bantuin Mama?” tanya Fadhil yang menyusul ke dalam dapur menghampiri Sekar dan berdiri di belakang istrinya.Sekar tersenyum menoleh ke arah Fadhil sebentar lalu kembali menata jajan di atas piring. Lasmi tampak menoleh ke arah anak sulungnya yang kurang suka membela Sekar menantunya.“Bela terus sana istri tak bergunamu itu!” ketus Lasmi. “Lagi pula kenapa kamu juga ikut-ikutan cari Rosy? Gak tahu apa, Rosy itu kan anak ABG. Biasalah kalau anak ABG itu keluar jalan-jalan sama temannya saat malam minggu kaya gini.”“Kenapa Mama ijinkan pergi kalau Mama lagi ropot? Jangan sering-seringlah manjain Rosy. Biar Rosy tau bantu-bantu di rumah, biar gak cuma tau main saja.” Fadhil menginggatkan.“Alah ... Kamu itu gak perlu sok nasehatin Mama, Fadhil! Kamu kan tahu, adik perempuan kamu itu emang anak manja. Harusnya kamu nasehatin tuh istri kamu, supaya bisa jadi istri berguna!” sungut Lasmi.Sekar hanya tersenyum miring mendengar ocehan dari mama mertuaya yang selalu saja menjelekkan dirinya. Fadhil hanya menghela napas pelan mendengar ocehan jelek yang dilontarkan dari mulut mamanya untuk Sekar. Fadhil berharap semoga Sekar bisa memaklumi sifat mamanya itu. Lasmi kembali menoleh ke arah Fadhil yang berdiri di belakang Sekar.“Lagian, kalian ini kemana aja sih? Main sampai gak ingat pulang?” tanya Lasmi kepada Fadhil.“Tadi Fadhil ajak sekar buat tengokin rumah baru buat Sekar, Mam ....” terang Fadhil jujur.Lasmi terdiam menatap Fadhil, dahinya berkerut, lalu ia beralih menatap Sekar yang tengah asik dengan kegiatanya menata makanan. Sekar mencoba mengintip ekpresi mama mertuanya itu, tampak Lasmi melengos tidak suka, Sekar tahu, pasti mama mertuanya ini tidak suka mendengar penjelasan dari Fadhil suaminya itu yang membelikan rumah baru untuknya.“Jadi uang yang susah payah kamu kumpulin itu, buat kamu beliin rumah baru untuk istri tak bergunamu ini?” tanya Lasmi membuang muka sambil menghela napas kasar. Lalu berhenti bersuara sejenak dan melanjutkan lagi ucapannya, “Hah ... terserahlah ... Mama juga gak berharap Sekar tinggal satu atap sama Mama. Ya bagus deh kalau begitu, biar gak cepat habis beras Mama.”Fadhil menggeleng-menggelengkan kepalanya mendapati ucapan mamanya itu.  Sedangkan Sekar, hanya mendengus pelan. Ia sungguh tak menyangka mertuannya bakal bicara seperti itu, ia takut Sekar akan menghabiskan berasnya. Padahal selama lima bulan ini satu atap bersama mertuanya, sekar selalu beli beras sendiri belanja sendiri meskipun masaknya masih satu dapur dengan mertuanya. Tak jarang mertuanya dan Rosy adik iparnya yang suka mengambil makanan yang Sekar masak. Sampai-sampai ia tak kebagihan jadi untuk suaminya ia akan masak lagi disore hari. Sekar sama sekali tak mempermasalahkan perbuatan mertua dan adik iparnya itu, karena ia sadar rumah yang ia tempati ini adalah rumah mertuanya, dan Sekar hanya numpang sementara saja.“Selamat Malam ... Jeng Lasmi!” teriak seseorang dari luar rumah.Lasmi menghentikan kegiatanya setelah ada seseorang yang memanggil namannya. Lalu ia menghempas serbet yang ia bawannya ke arah Sekar, dengan terkejut Sekar lantas menangkap serbet yang dilempar ke arahnya.“Teman Mama udah datang, Fadhil. Sekar, selesaikan semua perkerjaannya.” Lasmi lantas berjalan keluar dapur.Fadhil dan juga Sekar hanya menatap kepergian mamanya yang keluar dari dalam dapur. Fadhil meraih bahu Sekar dan mengelus-elus bahu Sekar untuk menenangkan Sekar untuk menghadapi sikap ibunya.“Yang sabar ya, Sekar, menghadapi mama. Emang gitu sifat mama. Jangan masukin hati ya ucapan mama. Kalau mama ngomel-omel gak usah kamu tanggapi, ya, diamkan saja,” hibur Fadhil.Sekar tampak tesenyum sembari membalas elusan Fadhil yang mengelus bahunya, dengan mengelus tangan Fadhil.“Gak apa-apa kok, Mas. Sekar udah biasa,” balas Sekar.Sekar mencoba menyakinkan Fadhil jika dirinya baik-baik saja. Lima bulan sudah satu atap berasama mama mertuannya. Dan itu cukup menguji kekuatan batinya, ucapan mama mertuanya yang ecap kali membuat telinga dah hatinya terasa mendidih. Namun ia lebih memilih diam dan memendam sendiri rasa itu sendiri, bagaimana pun mama mertuanya adalah ibu dari suaminya. Ia akan menghormatinya walaupun ia tak pernah disukai oleh mama suaminya.Kuatkan aku tuhan ....Lasmi berjalan ke arah pintu dan menyambut dua temannya yang baru datang ke rumahnya itu. Tampak dua teman Lasmi itu mengunakan pakaian yang terkenal bagus, mewah, modis, dan import dari luar negeri, dan harganya sampai berjuta-juta.“Eh, Jeng Nur, dan Jeng Nining, udah sampai aja di rumahku. Mari ayo masuk, Jeng,” tawar Lasmi.“He iya, Jeng Lasmi, kok tak lihat-lihat wajahmu kok mirip buah kundur. Apa udah gak kuat beli bedak mahal, sampai tepung teligu, Jeng Lasmi, buat bedak. Xixixi,” ucap Nining sembari menoleh ke wajah Lasmi yang penuh tepung teligu di wajahnya.“Ya ginilah, Jeng, namannya juga gak gablek pembantu. Ya maklum apa-apa ya dilakukan sendiri,” balas Lasmi sembari menggiring dua kawannya masuk ke dalam rumahnya.“Lagian kamu ini kan orang kaya to, Jeng. Duitmu banyak kenapa juga gak cari pembantu? Jadi kamu gak bedakan teligu xixixi,” ucap Nining lagi.“Suka sayang, Jeng Nining, kalau cari pembantu. Tar duit saya habis buat bayarin pembantu. Lebih baik kerjain sendiri kan? Jadi kan lebih hemat dan uangku gak cepet ludes. Kalau soal bedak, Jeng Nining, gak perlu khawatir ... bedaku masih banyak stoknya masih satu pabrik. Mari-mari duduk, sofanya ini juga masih baru lo, Jeng, baru datang kemarin import dari Jepang. Dijamin empuk gak bikin pantat bisulan, gak kaya sofa murahan kaya orang-orang lain punya. Pastilah sofa milik orang-orang lain itu sekali diduduki bikin pantat bisulan bisa–bisa gak bisa duduk setahun.” Lasmi mempersilahkan dua temanya untuk duduk di sofa barunya.Nur juga tak kalah memuji Lasmi, mata Nur fokus tertuju pada gelang yang bergemrincing dikedua lengan Lasmi.“Wah, Jeng ... pasti gelang kamu itu juga import dari luar negeri, ya? Besar sekali, sebersar roda truk fuso,” tanya Nur sembari duduk di sofa.“Iya pasti to, Jeng. Semua barang-barang yang aku punya ini, semuanya ... import dari luar negeri,” balas Lasmi.“Kamu emang andalan, Jeng,” puji Nining.Semua teman Lasmi telah duduk, dan benar apa yang dibilang Lasmi sofa yang Lasmi miliki memang empuk tak bikin bantat panas. Mereka berbincang-bincang sembari mengeluarkan uang arisan mereka yang jumlahnya sepuluh jutaan itu, yang dicatat di buku yang Nur bawa.“Oh iya, Jeng, aku kok gak lihat jeng Juwita, ke mana dia, apa dia gak datang ke rumahku?” tanya Lasmi ketika menyadari satu temanya lagi belum ada.“Oh jeng Juwita? Ke sini kok nanti, dia masih beli jajan ondhe-ondhe di luar sana, yang katanya anaknya lagi ngidam ondhe-ondhe,” sahut Nur.“Emang beruntung sekali tuh jeng Juwita, anaknya dapat suami seorang pejabat. Dan sekarang dia lagi bahagia sekali, sebentar lagi akan dapat cucu. Anak jeng Juwita udah bunting tiga bulan lo, Jeng Lasmi,” tutur Nining.Tak berapa lama kemudian datang Juwita dengan menenteng dua kresek hitam besar dikedua tangannya. Semua kresek besar itu berisi penuh kue ondhe-ondhe, Juwita buru-buru masuk menyusul ketiga rekannya.“Malam, Jeng Lasmi, maaf nih aku telat,” tutur Juwita langsung duduk di sofa. “Wah, empuk sekali sofamu, Jeng. Aku titip di sini dulu ya kue ondhe-ondheku,” imbuhnya lagi.Juwita menaruh dua kresek berisi ondhe-ondhe itu di lantai sebelah sofa tempatnya duduk. Mata Nur yang gampang jelalatan itu nampak fokus melihat kresek yang berisi penuh ondhe-ondhe itu.“Sampai sebanyak itu ondhe-ondhe yang kamu beli, Jeng Juwita? Anakmu semua itu nanti yang makan?” tanyanya.“Taulah, Jeng Nur ... Anakku itu ngidamnya aneh-aneh sakali. Sampai pusing kepalaku dibuatnya ... masa ngidam cabe juga sampai habis satu mangkuk.”“Selamat ya, Jeng Juwita, aku dengar tadi dari Jeng Nining kamu bakal dapat cucu. Pasti senang sekali ya, Jeng,” ucap Lasmi.“Ya pasti to, Jeng ... siapa lagi yang gak seneng bakal dapat cucu apalagi dapat mantu seorang pejabat? Semoga Jeng Lasmi juga segera nyusul ya anaknya lekas bunting. Juga buat Jeng Nur dan Jeng Nining moga-moga anaknya cepat lekas nyusul segara nikah, biar jadi seperti saya dan Jeng Lasmi udah jadi mertua,” cerocos Juwita.Lasmi tampak tersenyum, tetapi senyum yang sangat dipaksakan.“Jeng Lasmi,” panggil Nining.“Iya, Jeng Nining, ada apa?”“Ini kamu gak punya suguhan apa? Sekedar air putih kek ... Kok gak ada sama sekali. Dari tadi kita datang lo ... Masa dari tadi meja di biarin kosong kaya gitu? Katanya orang kaya ... Masa sekedar air putih saja gak ada!” sindir Nining.Lasmi tampak mengetuk jidatnya, gak nyangka bisa lupa tak menyuguhkan makanan sama sekali untuk temannya, sangking asik ngobrol dengan tiga temannya. Aduh ... Ini Sekar kemana pula gak keluar-keluar anterin makanannya, gerutu Lasmi, dalam hati. “SEKAR!” teriaknya lantang, sampai suaranya menggema seluruh ruangan. Para temanya pun menutup telinga sangking kerasnya suara Lasmi.Sekar yang lagi sibuk menata minuman yang dibuatnya terkejut kala mama mertuanya berteriak memanggil namannya.“Iya, Ma?” balas Sekar dari dapur, suaranya dikerasin supaya bisa didengar oleh mama mertuanya yang berada di ruang tamu.“Mana makanan yang Mama suruh siapin tadi? Kenapa belum juga kamu antar ke ruang tamu? Bikin malu aja!” bentak Lasmi kesal.Buru-buru Sekar menaruh makanan yang ada di atas piring diletakkan di atas nampan. Lalu ia langsung menuju ruang tamu sambil membawa beraneka jajanan yang ia bawa di atas nampaannya. Dengan pakaian yang amat sederhana yang Sekar kenakan ia menghampiri para teman mama mertuanya.Dengan tersenyum lembut Sekar menghidangkan jajanan di piring itu untuk para teman mama mertuanya. Lasmi tampak menatap Sekar acuh pada Sekar yang menyuguhkan makanan untuk temannya. Nur tampak melihat penampilan menantu Lasmi ini dari ujung kaki sampai ujung kepala.“Jeng Lasmi, ini ... siapa Se— Sekar menantumu yang beberapa bulan lalu nikah sama putra sulungmu, kan?” tanya Nur.Lasmi tampak tersenyum ragu-ragu, sedangkan Sekar tampak tersenyum ramah terhadap Nur yang menatapnya dengan sorot pandangan mata tajam.“Masa ini Sekar menantumu itu, Jeng? Kok ... penampilannya kaya orang gembel gitu. Kaya pantas jadi pembantu saja! Apa dia gak punya baju bagus, Jeng?” sindir Nur.Sekar yang semula tersenyum ramah berubah menjadi sedih tertunduk mendengar hinaan dari teman mama mertuannya ini. Lasmi tampak menyeringai murka menatap Sekar, ia memberi kode pada Sekar untuk segera enyah dari hadapannya. Sialnya, Sekar malah tak peka malah berdiri di sampingnya terdiam seperti patung.Bukankah beberapa bulan yang lalu Fadhil sudah membelikan beberapa pakaian yang bagus-bagus untuk sekar tetapi mengapa Sekar malah pakai baju yang jelek saat menemui para temannya. “Hay, Sekar! Kamu gak punya apa baju yang lebih bagus dari baju yang kamu pakai? Gak lihat apa Mamamu malu melihat penampilan kamu?” umpat Nur.Sekar tampak tersipu mendengarnya. “Ada, Tante. Tetapi baju-baju bagus itu Sekar pakai saat berdua sama mas Fadhil saja.”“Aduh, Jeng, menantumu ini polos sekali,” komentar Nining.Nur hanya memandang sinis anak mantu dari Lasmi teman pleknya itu. Sementara Juwita hanya menatap Sekar dengan senyum canggung. Sementara Lasmi tampak memijit-mijit keningnya merasa pusing mendengar ucapan Sekar.“Ma— maaf, saya mohon permisi dulu mau ambilkan minuman,” tutur Sekar membalikkan badan.Sekar kembali ke dapur mengambil minuman dan kembali membawanya ke ruang tamu untuk kembali disuguhkan untuk teman-teman mama mertuanya. Karena gugup saat ingin menghidangkan minuman itu di atas meja, tak sengaja salah satu gelas berisi sirup itu  tumbah dan mengenai baju Juwita, membuat Juwita menjerit terkejut.“Ah ...!” jerit Juwita terkejut sambari mengusap bajunya yang ketumpahan sirup jeruk.Jeritan Juwita tentu membuat Lasmi dan kedua kawannya terbengong melihat apa yang terjadi. Tak terkecuali Sekar ia juga terperanjat terkejut, kala menyadari salah satu gelas yang berisi sirup itu tumpah dan mengenai baju salah satu teman mama mertuanya. Buru-buru Sekar mendirikan gelas yang terguling isinya habis tumpah masih di atas nampan sebagian mengenai baju Juwita.“Aduh, Jeng Juwita baju bagus kamu kotor ketumpahan sirup?” pekik Nining.“Gimana sih ini, Jeng Lasmi? Punya mantu kok gak becus!” sindir Nur.“Udah ... udah gak apa-apa kok. Ini karena gak sengaja, nanti juga bisa kok saya cuci,” tutur Juwita tak mau memperkeruh suasana.Dasar memalukan!“E—, Tan, ma—”“Hai, Sekar, kamu sengaja mempermalukan saya?” Tiba-tiba Lasmi memotong pembicaraan Sekar. Ia berdiri sambil menarik kasar lengan Sekar.Klontang!Klontang!Pyar!Gelas yang ada di atas nampan semua terguling dan jatuh di lantai sampai semua gelasnya pecah karena mama mertuanya menarik paksa lengan Sekar hingga membuat gelas yang ia bawa jatuh dan pecah di lantai.Mata Sekar melotot mentap gelas yang sudah terpecah belah di lantai, begitu juga dengan Lasmi, matanya membulat lebar sangat sempurna melihat gelas-gelas itu pecah berserakan di lantai serta air sirup yang menggenangi keramik mahal itu membuatnya lengket dan kotor. Teman arisan Lasmi juga terkejut dengan apa yang mereka saksikan malam ini.Plak!Telapak tangan panas Lasmi mendarat bebas di pipi Sekar yang membuatnya jadi merah meradang. Sekar sangat begitu terkejut mendapati mama mertuanya menamparnya dengan begitu keras, sehingga membuatnya merasa kesakitan dan ia pegangi pipinya yang terasa teramat perih. Sungguh baru kali ini Sekar merasa begitu sangat syok merasakan tamparan yang mertuanya berikan. Tak dapat terbendung air matanya pun menerobos keluar hatinya sangat begitu terasa tercabik-cabik oleh ribuan jarum.“Lihat apa yang kamu perbuat, Sekar! Berantakan semua, dasar mantu yang gak becus! Malam ini, kamu sungguh membuat saya merasa malu! Sungguh memalukan!” sergah Lasmi murka sampai matanya berapi-api.Sekar hanya mampu tertunduk pasrah sambil memegangi pipinya yang perih. Suara kekacauan ini dan keributan, teriakan yang Lasmi buat begitu mengagetkan Fadhil yang lagi tengah istirahat di kamarnya yang berada di lantai 2. Fadhil segera bangkit dari ranjangnya dan beranjak menuruni anak tangga dengan sedikit berlari.Fadhil beranjak menuju ruang tamu di mana mereka semua berada. Fadhil tampak melihat ruang tamu yang sangat begitu kacau serta pecahan gelas yang berceceran di mana-mana. Fadhil juga melihat mamanya yang tengah memaki-maki Sekar istrinya yang tertunduk pasrah dengan tatapan matanya yang berapi-api.“Ada apa ini, Mam? Fadhil mendengar sangat kacau sekali dari lantai atas?” tanya Fadhil sambil menghampiri mereka.“Kamu lihat, Fadhil, lihat!” bentak Lasmi sembari menunjukkan ruang tamu yang sangat begitu kacau.Fadhil tampak ternganga melihat ruang tamu yang begitu berantakan, gelas pecah di mana-mana, sirup yang berceceran di lantai. Serta baju Juwita yang kotor karena air sirup jeruk yang tumpah di bajunya. Fadhil mengusap pelan hidungnya yang melihat ruang tamu yang begitu porak poranda.“Dan ini semua gara-gara istrimu yang sangat gak berguna itu!” ucap Lasmi sambil menunjuk ke arah muka Sekar yang tertunduk. “Mama menyesal bermantukan dia!” imbuhnya bengis.Fadhil nampak menatap ke arah Sekar yang tertunduk sambil terisak, matanya sangat terlihat sembab karena air matanya. Serta bekas tamparan di pipi Sekar yang memerah yang sudah jelas begitu terlihat begitu perih.“Ma— maafkan Sekar, Mas. Su— su—ngguh Sekar tidak sengaja, hiks,” ucap Sekar terisak.“Alah ... gak usah munafik kamu!” Dengan kasar Lasmi mendorong Sekar.Sekar sangat begitu syok dengan dorangan yang mertuanya berikan secara tiba-tiba tersebut. Untung Fadhil cepat memegang lengan Sekar, jadi Sekar tak jadi terjengkang kebelakang. Lalu Fadhil menarik Sekar dibawanya kepelukannya.“Mam!” sergah Fadhil.“Apa!” tepis Lasmi.“Mama menampar Sekar?” tudingnya.“Memangnya kenapa kalau Mama menampar Sekar, kamu tak rela?” ketus Lasmi sambil melotot ke arah Fadhil anak sulungnya.“Bukan begitu, Mam, tidak seperti itu juga memperlakukan Sekar. Bagaimana pun, Sekar juga anak Mama sekarang,” Fadhil mencoba menjadi penengah.“Hah! Sekar memang pantas dapat tamparan itu, Fadhil! Kenapa juga kamu harus cari istri sinting macam Sekar? Memang kamu gak bisa cari istri yang lebih waras dari Sekar?” sungutnya.Fadhil menghela nafas kasar mendengar ucapan ibunya yang bikin telinganya seakan meletus itu.“Sudahlah, Mam ... Fadhil ingin bawa Sekar pergi.”“Silahkan bawa sana istrimu itu pergi jauh-jauh. Sekalian kalau perlu bawa keluar dari dalam rumah ini. Ingat ya, Fadhil, mamah gak sudi punya anak macam Sekar yang edan itu!”Fadhil terus berjalan menuntun Sekar menaiki anak tangga menuju kamarnya. Tanpa menghiraukan ucapan mamanya.   ***    “Hay, guys!” pekik Rosy duduk di kursi samping Willy dan Tantrin.“Astaga, Rosy, kamu ke mana aja sih, sampai dongkol kita nunggu,” tukas Tantrin.“Sory, bebz ... Jalan mancet.”“Ini kamu janjikan mau tlaktir kita?” Willy menagih.Rosy menghela napas pelan. Lalu memutar tas mininya ke arah depan diletakkan di atas meja cafe. Rosy membuka tas mininya dan juga mengeluarkan dopet lipat bewarna hitam dari dalam tasnya. Rosy membuka dompet hitam itu dan mengambil sebuah benda berbentuk persegi dan pipih itu dari dalam dompetnya. Lalu menunjukkan pada dua temannya itu.“Kalian tenang aja, Rosy tidak pernah ingkar janji. Rosy selalu tepat janji. ATM Rosy ini masih full isinya ... terserah kalian boleh pesan apa aja! Rosy yang bayar, silahkan ... silahkan,” ucap Rosy sembari tersenyum pada Willy dan Tantrin.“Eummm, makacih, Ocy ...” pekik Willy dan Tantrin memoncongkan bibirnya sembari barengan memeluk tubuh Rosy mencium kanan dan kiri pipi Rosy.Mereka sudah memesan pesanannya, mereka betiga menikmati minuman yang mereka pesan. Mata Tantrin tertuju pada seorang anak laki-laki yang duduk di belakang Rosy, yang sedari tadi mencuri pandang terhadap Rosy. Tantrin menghentikan minumnya lalu memukul halus lengan Rosy.“Eh, Ros,” panggilnya.Rosy menoleh ke arah Tantrin yang matanya tengah asik fokus ke arah lain tempat.“Kenapa?” tanyanya.“Kamu gak sadar? Sedari tadi kamu diperhatiin tuh,” bisik Tantrin.“Sama siapa?” tanyanya lagi.“Tuh!” Mata Tantrin memberi isyarat untuk menengok arah belakang.Sontak Rosy dan Willy menoleh ke arah orang yang dimaksud Tantrin. Laki-laki yang ditatap Rosy dan juga Willy langsung menundukkan kepala, begitu tahu Willy dan Rosy menatapnya. Setelah itu Willy dan Rosy kembali menoleh ke arah Tantrin.“Oh Iyan?” ucapnya.Tantrin mengangguk. “Iya, Ros, dari tadi  tak perhatikan lirikin kamu terus. Kenapa sih tu Iyan sejelalatan itukah memperhatikanmu.”Rosy tersenyum manis. “Sudah sejak dari tadi aku lihat Iyan melirik aku terus. Sejak di jalan tadi, gak yangka ... ngikutin ke sini juga.”“Suka sama kamu kali, Ros.” Willy memberi kesimpulan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan