CERITA DEWA 1: GELAP

20
0
Deskripsi

"Papa makan duluan aja, sepertinya aku ga bakalan bisa nyampe sebelum jam 8," suaraku sedikit berteriak, mencoba mengalahkan suara ribut stasiun.

"OK, Papa taruh makanan kamu di tempat biasa, ya. Setelah makan Papa langsung berangkat, udah ditunggu pasien, kasihan kalau mereka nunggu kelamaan." 

Perkenalkan, gw Dewa, 24 tahun, tinggi 175cm, berat badan ideal di angka 75-77 kg. Gym dan renang menjadi hobi gw untuk mempertahankan berat badan ideal ini. Gw sudah lulus dari sebuah universitas negeri jurusan...

Gw semakin tertegun. Bayangan pergerakan tadi bukan berasal dari tangan papa, ada bayangan kepala seseorang naik-turun di area selangkangan papa, seorang pria. Posisinya yang membelakangi layar dan lampu ruangan yang mati membuat wajahnya tidak terlihat jelas. Posturnya tidak jauh berbeda dengan papa, namun sedikit lebih kecil dan tidak terlalu berotot. Papa terlihat menikmati oral service dari pria tersebut. Sesekali papa membantu menaik-turunkan kepala pria tersebut dengan tangannya sambil melenguh keenakan.

“Terusin... Dikit lagi. Enak banget…”

“Hmppphh… Slurrppp,” dengan mulut penuh kontol papa, pria itu mencoba untuk mengamini perintahnya.

“Mentokin dong.., iya kayak gitu,” perintah papa dengan sedikit berbisik.

“Hmppphh… Slurrppp,” sekali lagi dia mengamini perintah papa.

Gw berada pada posisi tertegun, kaget, namun juga terangsang. Papa adalah sosok idaman gw. Sebagai seorang pria, papa bertubuh hampir sempurna, bisep dan tricep yang tebal, selalu memenuhi bagian lengan setiap bajunya. Bagian dada membusung dengan pentil sedikit mancung. Bahunya terpahat dengan baik, tidak berlebih ala binaragawan. Perutnya masih terpahat 6 kotak yang walaupun tidak sejelas binaragawan, tetap sexy untuk dilihat. Paha dan betisnya proporsional dengan tinggi dan besar tubuh bagian atasnya.

Kontol gw sudah mendesak dari dalam boxer longgar yang gw pakai untuk tidur. Tangan gw secara tidak sadar sudah masuk ke dalam boxer, mengocok apa yang sudah tegang.

Fuck… arrgghh… terusin…,” perintah itu keluar dari mulut papa diiringi suara hisapan basah. Sangat jelas bahwa si pria sangat menikmati apa yg ada di dalam mulutnya. Tidak ada keraguan dalam menghisap kontol papa.

Tangan papa memegang erat kepala si pria sambil sedikit menahannya agar tetap pada posisinya di bawah sana. Desahan papa terdengar semakin terburu-buru, sedikit tercekat, hampir mencapai puncaknya. Papa menyandarkan penuh lehernya di sandaran sofa, kepalanya agak mendongak menikmati puncak ejakulasinya. Tangannya tetap menjaga agar kepala itu tetap berada di bagian selangkangannya. Tidak terlihat sedikit pun pria itu mencoba untuk berontak atau mencoba mengangkat kepalanya. Produk ejakulasi papa pasti sudah habis dikonsumsinya. Habis. Nafas papa mulai terdengar lebih lembut, dengusan nafasnya mulai mereda. Pria di bawah papa terlihat menjilati kontol papa, memastikan tidak ada satu tetes pun yang terbuang.

Papa terlihat akan beranjak dari sofa sehingga gw memutuskan untuk segera kembali ke kamar diam-diam. Gw belum siap untuk mengkonfrontasi papa mengenai hal ini. Adrenalin gw terpompa kencang, antara kaget, terangsang akan adegan tadi, dan penasaran akan sosok pria tadi. Dari dalam kamar, hanya terdengar langkah orang berjalan, tidak sedikitpun terdengar suara orang berbicara. Gw mencoba menenangkan diri sambil berbaring, mencoba mengingat kembali adegan tadi. Kontol gw masih mengacung dengan keras meminta untuk segera ‘ditangani’ juga. Adrenalin tadi terpacu keluar bersama tetesan peju di perut dan dada.

Gw tertidur dengan beberapa skenario konfrontasi papa tentang kejadian tadi. 

Sejak kapan papa menjadi gay? Siapa pria tadi? Apa hubungan pria itu dengan papa?

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Dewa
Selanjutnya CERITA DEWA 2: PENASARAN
9
0
Untuk sementara gw mencoba mengabaikan kejadian yang gw lihat dua hari lalu, walau rasanya tidak mungkin. Perasaan menegangkan melihat adegan porno secara langsung yang pemainnya adalah orang terdekat gw, bukan hal yang mudah untuk diabaikan. Untungnya kesibukan pekerjaan gw cukup membuat gw sedikit teralihkan.Gw baru saja bertemu rekanan vendor ketika ada tepukan di bahu dari arah belakang gw.“Habis ketemu brondong dari mana lagi, Wa?” suara yang cukup gw kenal.Andika, pria yang pernah mengisi hati gw cukup lama. Kita berpacaran dari awal gw duduk di semester 2. Pertemuan klise tak sengaja di sebuah toko buku yang dilanjutkan ngobrol panjang di sebuah coffee shop di dekat kampus menjadi awal hubungan kami. Hubungan romantis itu diakhiri 2 tahun lalu, beberapa bulan setelah gw lulus kuliah. Andika, secara tidak sengaja, terpergok berselingkuh dengan pria lain. Rupanya memiliki satu pasangan kurang cukup baginya, sehingga dia merasa perlu untuk menambah beberapa pria lain secara bersamaan. I forgave him. I moved on. Jangan menghabiskan emosi di tempat yang tidak seharusnya, itu prinsip gw. Jika memang prinsip monogami gw tidak bisa disatukan dengan prinsip poligaminya, sebaiknya kami tidak usah saling memaksakan. We decided to let each of us go. Kebersamaan selama tiga tahun lebih akhirnya berakhir dengan pertemanan. Kami masih sering kontak, namun sejak pekerjaan menuntut waktu lebih, perlahan kami mulai hilang kontak, well, lebih tepatnya menjadi kurang memberi kabar satu sama lainnya. Gw memilih untuk tetap menjaga pertemanan dengannya. Percintaan boleh gagal, tapi pertemanan jangan sampai rusak, itu prinsip gw.“Anjing, lo! Emangnya gw kaya elu yang ngoleksi brondong?!”“Hahahaha, ya siapa tau, kan,” Andika menimpali.“Lagi sama siapa, lo?” gw mengedarkan mata ke sekeliling, mencoba mencari pria yang duduk seorang diri dan sedang menatap cemburu pacarnya sedang menyapa si mantan terindah.“Tenang, gw lagi sendiri, kok. Kebetulan lagi ga ada yang deket, atau lo mau daftar?”“Maaf, gw ga terima barang bekas,” sinis dan bercanda bersamaan.“Gw baru datang, kok. Ada janji sekitar 1 jam lagi dengan si Betsy, lo inget dia kan?” “Ya mana mungkin gw lupa sama ‘sister’ yang selalu menjadi suporter utama lo itu! Apa kabar dia? Masih suka dibohongin cowok?”“Dia udah mau kawin, dong! Ntar gw ingetin dia untuk ngirim undangan ke lo juga.”Ga usah, males gw datang ke kondangan, ujung-ujungnya cuman untuk liatin brondong baru elo, timpa gw bercanda.  Ya nggak apa-apa, dong, itung-itung istri muda ketemu mantan istri, lanjutnya yang diakhiri dengan tawa lebar.Perhatian gw kemudian teralih kepada gym bag yang dibawa Andika, logo gym yang sama dengan tempat langganan gw. Lo pindah gym? Bukannya dulu di Gym Emas?Iya, udah 3 bulanan ini kok pindahnya. PT (personal trainer) gw pindah, dan gw males ganti PT lagi, jadi gw ngikut dia pindah ke sini. Lagian jaraknya kan lebih deket ke kantor gw yang sekarang.Hah, udah tiga bulan?! Kok gw ga pernah ketemu elo? ada rasa penasaran dan terkejut di nada bertanya gw.Ya mana bisa ketemu kalau lo sibuk dan jarang nge-gym. Kasian si papa nge-gym sendiri terus.Kamu ketemu papa? Kapan? Kok papa ga pernah cerita? sungguh, rasa penasaran gw meningkat tajam berkali lipat.Ssssttttt, ga usah teriak-teriak gitu juga, santai aja lah, Andika mencoba menenangkan lalu mengambil posisi duduk di kursi di samping gw. Ya sempet ketemu beberapa kali di gym, ketemu biasa aja.Dia masih ingat sama elo? tanya gw penuh selidik.Ingat, dong, malah dia yang nyapa duluan.Terus kalian ngobrol apa aja?Ya nyapa aja, tanya-tanya kabar, kerjaan, gitu-gitu aja, ga ada yang penting, kok, Andika menjawab sambil sesekali melihat ke layar HPnya, mencoba untuk mengalihkan.Rasa penasaran gw sebenarnya bukan karena Andika bertemu dengan papa, tapi lebih kepada papa yang tidak pernah menyinggung hal ini dengan gw. Kuantitas bertemu kami memang berkurang, terutama sejak gw mulai sibuk beberapa bulan terakhir ini. Dulu setidaknya 2-3 seminggu kami pasti menyempatkan makan bersama, tradisi yang gw dan papa jaga. Sesibuk-sibuknya gw dengan kerjaan atau papa dengan pasiennya, kami mencoba untuk meluangkan waktu untuk momen makan siang atau malam bersama yang saat ini frekuensinya menurun menjadi 1-2 kali dalam seminggu. Anehnya, topik ini sama sekali tidak pernah dibahas oleh papa. Tidak sekalipun nama Andika muncul dalam percakapan kami.Walau merasa sudah memiliki ketertarikan dengan sesama jenis sejak duduk di bangku SMP dan mulai berpacaran dengan pria di bangku kuliah, gw masih belum pernah membicarakan mengenai orientasi seksual gw ke papa. Seperti layaknya keluarga di Indonesia, pembicaraan mengenai seks dan hubungan dewasa bukan menjadi hal yang lumrah untuk dibincangkan dalam keluarga, setidaknya dalam keluarga gw. Gw masih belum yakin papa akan menerima kondisi gw. Masih ada kecanggungan membicarakan topik ini. Semasa gw berpacaran dengan Andika, papa mengenalnya sebagai teman kuliah, satu universitas, satu fakultas, beda jurusan. Walau Andika lebih tua 2 tahun dari gw, yang papa tau, Andika banyak membantu gw, khususnya waktu gw menyelesaikan skripsi. Tidak terhitung seringnya Andika menginap di rumah, atau terkadang gw di kos Andika, dengan kedok membantu mengerjakan tugas dan skripsi. Papa senang anaknya fokus belajar sekaligus memiliki teman, tidak kuper.Lo jujur deh, ngobrol apa aja, kalian? Ada topik ngebahas tentang gw, ga?Andika terdiam, matanya tetap memandang ke layar HP yang dipegang dengan kedua tangannya. Gw memandangnya, diam, tetap memandang matanya, menantangnya untuk melihat ke mata gw secara langsung.Andika mengangkat matanya dari layar HP, senyum tipis tiba-tiba muncul di bibir tipisnya, Lo mending langsung tanya papa, deh, dia menjawab dan menutup percakapan ini sambil berdiri dan terlihat ingin beranjak pergi.Betsy udah nunggu di depan, kami ga jadi makan di sini. Bye…. ada senyum tipis penuh makna dari kata perpisahan yang diucapkannya. Gw hanya bisa termangu penuh rasa penasaran menatap punggungnya menjauh dari gw ke arah pintu keluar lalu bergegas menaiki city car abu-abu gelap yang dikendarai seorang wanita. Dia masih sempat melihat ke arah gw saat memasuki mobil, sekali lagi dengan senyum penuh ejekan.Papa sedang duduk di sofa ruang keluarga saat gw tiba di rumah. Perhatiannya melekat pada tablet yang dipegangnya. Sapaan gw membutuhkan beberapa detik untuk direspon singkat lalu dia kembali kepada tabletnya. Ada gym bag di sampingnya, sepatu dan pakaian olahraga sudah dikenakan. Gw melangkah gontai ke lantai 2 menuju kamar, pikiran gw masih memikirkan percakapan gw dengan Andika.“Kamu ikut ngegym, ga?” tanya papa dari bawah.Langkah gw terhenti. Bayangan Andika bertemu dengan papa di gym masih menghantui gw. Gw memilih untuk tidak bertemu dengan Andika dulu sebelum berbicara dengan papa tentang pembicaraan kami siang tadi.“Kayanya aku lebih butuh istirahat, Pa. Papa pergi sendiri aja dulu,” jawab gw sambil melanjutkan langkah ke kamar.Gw sedang rebah telungkup tanpa mengganti pakaian waktu tiba-tiba papa masuk ke kamar. Papa meletakkan tangannya di area leher dan dahi. “Enggak demam, kok. Papa pesenin bubur jamur, ya?” tanya papa kuatir sambil sibuk melepaskan gulungan tensimeter dan memasangkan di lengan gw.“Aku ga sedang sakit, pa. Butuh istirahat aja. Papa gym aja, aku di rumah sendirian nggak apa-apa, kok.”Papa diam sambil menjalankan tensimeter dan memeriksa bagian dada gw dengan stetoskop.“Kamu kelelahan saja sepertinya, mandi dulu baru istirahat, ya” papa membereskan alat-alat periksanya, beranjak dari kasur lalu keluar dari kamar gw.Gw terbangun dalam keadaan lapar dan lusuh. Gw memutuskan untuk mandi sebelum turun mencari makanan di dapur. Papa sudah berganti outfit rumah, kaos longgar dengan bawahan sarung.“Papa ga ke klinik malam ini?” kata gw membuka percakapan sambil memanaskan soto dalam panci.“Enggak, tadi pulang gym papa langsung pulang. Kuatir kamu sendirian, tensi kamu agak rendah tadi. Kebetulan tadi yang pasien registrasi baru 1 dan bisa direschedule,” papa masih fokus dengan tabletnya.Gw mengambil duduk di sisi lain meja, 90 derajat dari posisi papa. “Di gym tadi sendirian, pa?”“Enggak, ada si Andika, temen kamu.”“Owh… Papa masih inget sama Andika?”“Ingat kok, wong dulu tiap hari di rumah terus, gimana bisa lupa.”“Papa kok ga bilang sering ketemu Andika di gym?” "Enggak kepikiran aja. Emang kenapa?” papa berpaling sejenak dari tabletnya..“Ngobrol apa aja dengan Andika?” gw menjawab pertanyaan papa dengan pertanyaan lain.Papa tersenyum, “Kamu maunya papa ngobrol apa dengan dia?”Gw tercekat, tidak berharap papa menanyakan ini. Gw berdiri kembali ke arah soto yang sedang dipanaskan. Saat gw kembali ke meja makan lengkap dengan nasi dan soto yang sedang mengepul panas, papa masih pada posisi yang sama, menatap ke arah gw dan tidak menyentuh kembali tabletnya, masih menunggu jawaban dari gw. Gw mengalihkan pertanyaan papa dengan tetap berkonsentrasi kepada soto yang ada di depan gw.Gw mencoba mengalihkan pembicaraan dengan bercerita tentang padatnya pekerjaan gw di kantor. Seperti biasa, papa selalu menanggapi dengan antusias, lalu menanyakan kabar beberapa nama rekan kerja yang sering muncul dalam cerita pekerjaan gw. Gw kembali duduk setelah mencuci piring dan mengambil buah di kulkas. Buah dalam mangkuk gw tawarkan ke papa, papa menolak.Papa mematikan tablet dan meletakkannya di meja makan. Tatapannya berubah serius, “Ada yang mau kamu ceritakan ke papa, ga?”Gw tercekat, diam. Meletakkan garpu ke dalam piring. Gw mencoba menatap papa, tatapannya hangat, menanti jawaban gw.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan