Selanjutnya
CERITA DEWA 2: PENASARAN
Untuk sementara gw mencoba mengabaikan kejadian yang gw lihat dua hari lalu, walau rasanya tidak mungkin. Perasaan menegangkan melihat adegan porno secara langsung yang pemainnya adalah orang terdekat gw, bukan hal yang mudah untuk diabaikan. Untungnya kesibukan pekerjaan gw cukup membuat gw sedikit teralihkan.Gw baru saja bertemu rekanan vendor ketika ada tepukan di bahu dari arah belakang gw.“Habis ketemu brondong dari mana lagi, Wa?” suara yang cukup gw kenal.Andika, pria yang pernah mengisi hati gw cukup lama. Kita berpacaran dari awal gw duduk di semester 2. Pertemuan klise tak sengaja di sebuah toko buku yang dilanjutkan ngobrol panjang di sebuah coffee shop di dekat kampus menjadi awal hubungan kami. Hubungan romantis itu diakhiri 2 tahun lalu, beberapa bulan setelah gw lulus kuliah. Andika, secara tidak sengaja, terpergok berselingkuh dengan pria lain. Rupanya memiliki satu pasangan kurang cukup baginya, sehingga dia merasa perlu untuk menambah beberapa pria lain secara bersamaan.
I forgave him. I moved on. Jangan menghabiskan emosi di tempat yang tidak seharusnya, itu prinsip gw. Jika memang prinsip monogami gw tidak bisa disatukan dengan prinsip poligaminya, sebaiknya kami tidak usah saling memaksakan. We decided to let each of us go. Kebersamaan selama tiga tahun lebih akhirnya berakhir dengan pertemanan. Kami masih sering kontak, namun sejak pekerjaan menuntut waktu lebih, perlahan kami mulai hilang kontak, well, lebih tepatnya menjadi kurang memberi kabar satu sama lainnya. Gw memilih untuk tetap menjaga pertemanan dengannya. Percintaan boleh gagal, tapi pertemanan jangan sampai rusak, itu prinsip gw.“Anjing, lo! Emangnya gw kaya elu yang ngoleksi brondong?!”“Hahahaha, ya siapa tau, kan,” Andika menimpali.“Lagi sama siapa, lo?” gw mengedarkan mata ke sekeliling, mencoba mencari pria yang duduk seorang diri dan sedang menatap cemburu pacarnya sedang menyapa si mantan terindah.“Tenang, gw lagi sendiri, kok. Kebetulan lagi ga ada yang deket, atau lo mau daftar?”“Maaf, gw ga terima barang bekas,” sinis dan bercanda bersamaan.“Gw baru datang, kok. Ada janji sekitar 1 jam lagi dengan si Betsy, lo inget dia kan?”
“Ya mana mungkin gw lupa sama ‘sister’ yang selalu menjadi suporter utama lo itu! Apa kabar dia? Masih suka dibohongin cowok?”“Dia udah mau kawin, dong! Ntar gw ingetin dia untuk ngirim undangan ke lo juga.”Ga usah, males gw datang ke kondangan, ujung-ujungnya cuman untuk liatin brondong baru elo, timpa gw bercanda. Ya nggak apa-apa, dong, itung-itung istri muda ketemu mantan istri, lanjutnya yang diakhiri dengan tawa lebar.Perhatian gw kemudian teralih kepada gym bag yang dibawa Andika, logo gym yang sama dengan tempat langganan gw. Lo pindah gym? Bukannya dulu di Gym Emas?Iya, udah 3 bulanan ini kok pindahnya. PT (personal trainer) gw pindah, dan gw males ganti PT lagi, jadi gw ngikut dia pindah ke sini. Lagian jaraknya kan lebih deket ke kantor gw yang sekarang.Hah, udah tiga bulan?! Kok gw ga pernah ketemu elo? ada rasa penasaran dan terkejut di nada bertanya gw.Ya mana bisa ketemu kalau lo sibuk dan jarang nge-gym. Kasian si papa nge-gym sendiri terus.Kamu ketemu papa? Kapan? Kok papa ga pernah cerita? sungguh, rasa penasaran gw meningkat tajam berkali lipat.Ssssttttt, ga usah teriak-teriak gitu juga, santai aja lah, Andika mencoba menenangkan lalu mengambil posisi duduk di kursi di samping gw. Ya sempet ketemu beberapa kali di gym, ketemu biasa aja.Dia masih ingat sama elo? tanya gw penuh selidik.Ingat, dong, malah dia yang nyapa duluan.Terus kalian ngobrol apa aja?Ya nyapa aja, tanya-tanya kabar, kerjaan, gitu-gitu aja, ga ada yang penting, kok, Andika menjawab sambil sesekali melihat ke layar HPnya, mencoba untuk mengalihkan.Rasa penasaran gw sebenarnya bukan karena Andika bertemu dengan papa, tapi lebih kepada papa yang tidak pernah menyinggung hal ini dengan gw. Kuantitas bertemu kami memang berkurang, terutama sejak gw mulai sibuk beberapa bulan terakhir ini. Dulu setidaknya 2-3 seminggu kami pasti menyempatkan makan bersama, tradisi yang gw dan papa jaga. Sesibuk-sibuknya gw dengan kerjaan atau papa dengan pasiennya, kami mencoba untuk meluangkan waktu untuk momen makan siang atau malam bersama yang saat ini frekuensinya menurun menjadi 1-2 kali dalam seminggu. Anehnya, topik ini sama sekali tidak pernah dibahas oleh papa. Tidak sekalipun nama Andika muncul dalam percakapan kami.Walau merasa sudah memiliki ketertarikan dengan sesama jenis sejak duduk di bangku SMP dan mulai berpacaran dengan pria di bangku kuliah, gw masih belum pernah membicarakan mengenai orientasi seksual gw ke papa. Seperti layaknya keluarga di Indonesia, pembicaraan mengenai seks dan hubungan dewasa bukan menjadi hal yang lumrah untuk dibincangkan dalam keluarga, setidaknya dalam keluarga gw. Gw masih belum yakin papa akan menerima kondisi gw. Masih ada kecanggungan membicarakan topik ini. Semasa gw berpacaran dengan Andika, papa mengenalnya sebagai teman kuliah, satu universitas, satu fakultas, beda jurusan. Walau Andika lebih tua 2 tahun dari gw, yang papa tau, Andika banyak membantu gw, khususnya waktu gw menyelesaikan skripsi. Tidak terhitung seringnya Andika menginap di rumah, atau terkadang gw di kos Andika, dengan kedok membantu mengerjakan tugas dan skripsi. Papa senang anaknya fokus belajar sekaligus memiliki teman, tidak kuper.Lo jujur deh, ngobrol apa aja, kalian? Ada topik ngebahas tentang gw, ga?Andika terdiam, matanya tetap memandang ke layar HP yang dipegang dengan kedua tangannya. Gw memandangnya, diam, tetap memandang matanya, menantangnya untuk melihat ke mata gw secara langsung.Andika mengangkat matanya dari layar HP, senyum tipis tiba-tiba muncul di bibir tipisnya, Lo mending langsung tanya papa, deh, dia menjawab dan menutup percakapan ini sambil berdiri dan terlihat ingin beranjak pergi.Betsy udah nunggu di depan, kami ga jadi makan di sini. Bye…. ada senyum tipis penuh makna dari kata perpisahan yang diucapkannya. Gw hanya bisa termangu penuh rasa penasaran menatap punggungnya menjauh dari gw ke arah pintu keluar lalu bergegas menaiki city car abu-abu gelap yang dikendarai seorang wanita. Dia masih sempat melihat ke arah gw saat memasuki mobil, sekali lagi dengan senyum penuh ejekan.Papa sedang duduk di sofa ruang keluarga saat gw tiba di rumah. Perhatiannya melekat pada tablet yang dipegangnya. Sapaan gw membutuhkan beberapa detik untuk direspon singkat lalu dia kembali kepada tabletnya. Ada gym bag di sampingnya, sepatu dan pakaian olahraga sudah dikenakan. Gw melangkah gontai ke lantai 2 menuju kamar, pikiran gw masih memikirkan percakapan gw dengan Andika.“Kamu ikut ngegym, ga?” tanya papa dari bawah.Langkah gw terhenti. Bayangan Andika bertemu dengan papa di gym masih menghantui gw. Gw memilih untuk tidak bertemu dengan Andika dulu sebelum berbicara dengan papa tentang pembicaraan kami siang tadi.“Kayanya aku lebih butuh istirahat, Pa. Papa pergi sendiri aja dulu,” jawab gw sambil melanjutkan langkah ke kamar.Gw sedang rebah telungkup tanpa mengganti pakaian waktu tiba-tiba papa masuk ke kamar. Papa meletakkan tangannya di area leher dan dahi. “Enggak demam, kok. Papa pesenin bubur jamur, ya?” tanya papa kuatir sambil sibuk melepaskan gulungan tensimeter dan memasangkan di lengan gw.“Aku ga sedang sakit, pa. Butuh istirahat aja. Papa gym aja, aku di rumah sendirian nggak apa-apa, kok.”Papa diam sambil menjalankan tensimeter dan memeriksa bagian dada gw dengan stetoskop.“Kamu kelelahan saja sepertinya, mandi dulu baru istirahat, ya” papa membereskan alat-alat periksanya, beranjak dari kasur lalu keluar dari kamar gw.Gw terbangun dalam keadaan lapar dan lusuh. Gw memutuskan untuk mandi sebelum turun mencari makanan di dapur. Papa sudah berganti outfit rumah, kaos longgar dengan bawahan sarung.“Papa ga ke klinik malam ini?” kata gw membuka percakapan sambil memanaskan soto dalam panci.“Enggak, tadi pulang gym papa langsung pulang. Kuatir kamu sendirian, tensi kamu agak rendah tadi. Kebetulan tadi yang pasien registrasi baru 1 dan bisa direschedule,” papa masih fokus dengan tabletnya.Gw mengambil duduk di sisi lain meja, 90 derajat dari posisi papa. “Di gym tadi sendirian, pa?”“Enggak, ada si Andika, temen kamu.”“Owh… Papa masih inget sama Andika?”“Ingat kok, wong dulu tiap hari di rumah terus, gimana bisa lupa.”“Papa kok ga bilang sering ketemu Andika di gym?”
"Enggak kepikiran aja. Emang kenapa?” papa berpaling sejenak dari tabletnya..“Ngobrol apa aja dengan Andika?” gw menjawab pertanyaan papa dengan pertanyaan lain.Papa tersenyum, “Kamu maunya papa ngobrol apa dengan dia?”Gw tercekat, tidak berharap papa menanyakan ini. Gw berdiri kembali ke arah soto yang sedang dipanaskan. Saat gw kembali ke meja makan lengkap dengan nasi dan soto yang sedang mengepul panas, papa masih pada posisi yang sama, menatap ke arah gw dan tidak menyentuh kembali tabletnya, masih menunggu jawaban dari gw. Gw mengalihkan pertanyaan papa dengan tetap berkonsentrasi kepada soto yang ada di depan gw.Gw mencoba mengalihkan pembicaraan dengan bercerita tentang padatnya pekerjaan gw di kantor. Seperti biasa, papa selalu menanggapi dengan antusias, lalu menanyakan kabar beberapa nama rekan kerja yang sering muncul dalam cerita pekerjaan gw. Gw kembali duduk setelah mencuci piring dan mengambil buah di kulkas. Buah dalam mangkuk gw tawarkan ke papa, papa menolak.Papa mematikan tablet dan meletakkannya di meja makan. Tatapannya berubah serius, “Ada yang mau kamu ceritakan ke papa, ga?”Gw tercekat, diam. Meletakkan garpu ke dalam piring. Gw mencoba menatap papa, tatapannya hangat, menanti jawaban gw.