Kepulangan Ayah

1
0
Deskripsi

Hidup Habibie berubah di penghujung liburan sekolahnya. Bersama Bunda dan Papa, juga Hanum, adik bayinya, Habibie mengunjungi seseorang yang ternyata merupakan… ayah kandungnya.

 

Liburan sekolah akan segera berakhir. Pekan depan sudah semester baru. Meski liburan kali ini Habibie cukup banyak bermain dengan teman-temannya di lingkungan rumah, tapi tetap saja dia selalu terganggu oleh tugas Bahasa Indonesia yang belum juga disentuh. Pak Mario meminta semua murid kelas 5 untuk menulis karangan tentang aktivitas bersama keluarga.

Hmm… Aktivitas seperti apa yang harus Habibie tulis? Liburan kali ini tidak seperti yang sebelumnya. Pasalnya, Papa sedang ada proyek penting, sehingga tak bisa membawa mereka liburan lebih dari sehari. Sementara, Habibie melihat Bunda semakin sibuk dengan bisnis kue keringnya. Jadilah kali ini Habibie tak ke mana-mana. Sesekali bermain dengan Hanum, adik balitanya. Lebih sering Habibie berkumpul bersama teman-temannya untuk mengejar layangan atau memanjat pohon setelah bosan bermain bola.

Pagi ini, Papa meminta Habibie untuk tidak kemana-mana. “Kita akan mengunjungi kerabat kita, Bi,” kata Papa sambil menyuapkan alpukat yang dilumatkan ke mulut Hanum.

“Apa Habi harus ikut juga, Pa?” tanya Habibie sedikit gusar. Hari ini ada kompetisi kelereng yang penting sekali. Kalau menang, koleksinya bisa bertambah banyak.

“Tentu, Bi,” sambung Bunda. “Sekarang ayo mandi dan habiskan sarapannya ya,” Bunda mulai menuang susu kambing hangat kesukaan Habibie.

* * *

Habibie terbangun karena mobil mereka berguncang. Ia tertidur setelah bosan baca komik. Berapa lama ia tidur, ia tak tahu. Perjalanan mereka pun belum berakhir. Papa masih menyetir dengan kecepatan sedang. Sepertinya mereka sudah keluar dari kota mereka.

“Kita mau ke mana sih, Nda?” tanya Habibie sambil menggosok-gosok mata.

Bunda hanya tersenyum sambil mengelus kepala Habibie tanpa menjawab pertanyaan anaknya. Habibie merasa Bunda dan Papa menyembunyikan sesuatu. Tapi Habibie tak ingin menebak-nebak, bisa jadi tebakannya salah. Lebih baik lanjut baca komik saja.

Belum sempat Habibie menghabiskan komiknya, mobil Papa melambat dan tampak sebuah rumah berhalaman luas di depan mereka. Rumah bergaya tradisional seperti yang Habibie lihat di buku RPUL. Nampaknya mereka sudah sampai di tujuan.

Bunda segera turun dari mobil dengan hati-hati karena Hanum masih nyenyak dalam gendongan. Papa pun ikut turun tanpa berkata-kata. Hari ini Papa dan Bunda aneh sekali.

* * *

Mereka masih menunggu di depan pintu masuk, padahal Bunda dan Papa sudah mengetuk berkali-kali. Habibie memandang ke lingkungan sekitar. Rumah-rumah bergaya senada berjejer rapi. Pepohonan dan aneka tanaman tumbuh rindang menyejukkan suasana. Unggas-unggas berlarian ciap miap mencari makan. Jelas ini bukan di kota, melainkan di desa.

Tiba-tiba pintu dibuka oleh seorang pria yang usianya tak terpaut jauh dengan Papa.

“Ya Tuhan… Kalian…?” pria itu terbata kaget. Terlebih ketika melihat Bunda.

“Assalammu’alaykuum, Mas,” sapa Bunda dengan suara yang mulai bergetar.

“Wa’alaykumsalam…” balasnya. Ia memandangi Papa, Bunda, Hanum, dan terakhir Habibie. Tak kuasa menahan haru, ia pun terduduk berlutut di hadapan mereka. “Ini beneran kamu, Arni? Dan itu…,” pria itu menunjuk Habibie, “apa itu Habibie?”

“Iya, Mas,” Bunda mulai terisak lirih. “Itu Habibie.”

Habibie sangat asing dengan drama dadakan macam ini. Ia hanya pernah melihat orang dewasa menangis di layar kaca, tapi sekarang ada dua orang dewasa yang berusaha keras menahan tangis. Ditambah, dirinya pun disebut-sebut.

“Bunda, memangnya Om itu siapa?”

Bunda menoleh sambil mengusap air mata. “Habibie, dia ayah kandungmu, Nak…”

* * *

Papa memutuskan untuk mengajak Hanum berjalan-jalan di lingkungan sekitar desa, kini hanya tinggal mereka bertiga. Habibie didera perasaan kaget bercampur pilu setelah mendengar semua kisah dari Bunda dan pria yang kemudian ia ketahui bernama Luqman itu.

Setelah mendengarkan semuanya, Habibie memastikan, “Jadi, Bunda dan… Om Luqman, eh, Ayah,” Habibie tergagap, “merahasiakan semuanya agar Habi…”

“Tidak malu memiliki seorang ayah narapidana, Nak,” pria itu melanjutkan kata-kata Habibie. “Ayah tidak ingin kamu malu karena sesuatu yang bukan kesalahanmu.”

“Jadi, Om ini beneran ayah Habi, Bunda?”

“Iya, Nak,” Bunda menyeka mata sambil berusaha tidak terisak lagi. “Apa Habi bersedia memeluk Ayah?”

Hari ini, Habibie merasa hidupnya berubah. Mengetahui siapa ayah kandungnya dan alasan di balik ketiadaannya selama ini, membuatnya ikut merasakan kepedihan pria itu. Maka, meski sedikit takut, Habibie melangkah mendekati Ayah dan memeluknya.

Habibie bisa merasakan tangan ayahnya bergetar saat mengusap-usap punggungnya. Isak tangis Ayah pecah. Pria itu menyerukan terima kasih pada Habibie karena sudah bersedia memeluknya. Kemudian Ayah meminta maaf karena selama ini tak bisa hadir untuk Habibie. Ayah pun berkata bahwa ia selalu berdoa agar bisa bertemu dengan Habibie suatu hari nanti. Doa dan harapan itu membuat Ayah mampu bertahan dalam kerasnya penjara.

Mendengar isakan Ayah dan kisah yang tadi dituturkan, membuat Habibie ikut terharu. Ia balas menepuk-nepuk punggung Ayah. Di kepalanya terbayang sosok Ayah yang saat itu masih semangat bekerja sebagai karyawan pabrik sepatu dipanggil salah satu bosnya untuk dimintai tolong mengantarkan paket yang tak diketahui isinya. Meski menaruh curiga, tapi ayahnya tetap menerima permintaan tolong itu karena diimingi imbalan lumayan besar, hampir senilai gajinya sebulan. Teringat di rumah istrinya tengah mengandung dan imbalan itu bisa meringankan beban mereka, ayahnya menerima pekerjaan itu dengan semangat.

Sial, di perjalanan, Ayah harus terjebak razia kendaraan. Ia pun lupa bahwa Surat Ijin Mengemudinya sudah kedaluwarsa. Maka Ayah terpaksa berurusan dengan polisi. Sialnya lagi, ia tak dapat menjawab saat Pak Polisi menanyai isi paket yang dibawa. Ayah hanya sekadar menjalankan tugas. Karena Pak Polisi curiga, jadilah urusan Ayah makin berlarut-larut. Betapa kaget Ayah saat akhirnya tahu bahwa yang diantarnya adalah sekotak besar obat-obatan terlarang atau narkoba. Guru-guru Habibie mengajarkan bahwa narkoba haram untuk didekati. Barangsiapa tertangkap memiliki, apalagi menggunakannya, bisa dipenjara.

Singkat cerita, Ayah menjadi tersangka pelaku pengedaran narkoba walaupun Ayah tidak terlibat sama sekali. Ayah merasa dijebak oleh bosnya. Meski ia sudah mengungkapkan semua yang ia tahu dengan jujur, tapi ia tetap dihukum penjara. Betapa kecewa dan hancur hati Ayah saat itu. Ayah teringat Bunda yang sebentar lagi akan melahirkan. Ayah sangat sedih membayangkan bila Bunda harus melahirkan tanpa pendampingannya di klinik bersalin. Ayah makin sedih membayangkan ia baru bisa menemui anaknya bertahun-tahun kemudian.

Meski sudah membela diri sekuat tenaga, Ayah tetap dikurung untuk waktu yang sangat lama. Bunda, yang saat itu baru pulih dari proses persalinan, baru bisa menjenguk Ayah saat bayi mereka berusia empat bulan. Pertemuan itu Ayah gunakan untuk menyampaikan perceraian secara baik-baik demi menjaga kehormatan anak mereka kelak. Ayah pun menyarankan Bunda menikah lagi agar si bayi tetap memiliki figur ayah yang mencari nafkah untuk mereka. Walau Bunda tak terima, tapi keputusan Ayah sudah bulat.

Saat memeluk Ayah, Habibie menatap Bunda yang kesekian kalinya menghapus air mata sambil tersenyum. Bunda sudah memenuhi janji pada Ayah untuk tidak mengganti nomor ponselnya agar Ayah bisa mengirim kabar, begitu Ayah dibebaskan. Tentunya agar Ayah bisa bertemu dengan Habibie. Ia memahami, kedua orang tuanya sudah mengorbankan banyak hal agar ia tak diejek sebagai anak narapidana. Habibie pun belajar bahwa kepedihan yang ditanggung bertahun-tahun akan terbayar oleh kesabaran, doa, dan harapan yang dipanjatkan terus-menerus. Meski kisah yang dituturkan Ayah dan Bunda penuh kekalutan, tetapi pelukan Ayah membuat Habibie yakin bahwa kehidupan mereka akan membaik.

* * *

Ayah, yang bebas sejak sebulan lalu, pulang ke rumah orang tuanya di desa ini. Rumah tradisional milik kakek dan nenek yang belum sempat Habibie kenal karena mereka wafat lima tahun silam. Beruntung, keluarga besar Ayah bersedia merawat rumah ini meski kosong.

Sebagai anak tunggal, Ayah adalah kebanggaan keluarga. Namun, sejak Ayah dipenjara, kakek dan nenek sering sakit-sakitan dan perlahan jarang menengok Ayah. Hanya beberapa keluarga dan kerabat di desa yang rajin mengunjungi Ayah setiap Lebaran.

Kini, kesibukan Ayah adalah mengolah kebun dan beternak ikan lele. Ayah pun dengan bangga memamerkan kolam ikan lele yang selesai dibangunnya dua minggu lalu.

“Ayah, apa Ayah bakal tinggal bersama kami?” tanya Habibie sembari memberi makan ikan lele peliharaan Ayah.

Ayah terlihat berpikir dan tak kunjung menjawab. “Ayah belum tahu, Bi… Tapi, sepertinya tidak. Ayah di sini saja.”

“Ayah kan bapak kandung Habi. Habi boleh kan sering bertemu?” protes Habibie.

Ayah tersenyum. “Kamu pintar ya, seperti B.J. Habibie, itulah kenapa Ayah dan Bunda menamaimu Habibie.” Ayah malah mengalihkan pembicaraan.

“Jadi, bagaimana, Ayah?”

“Ayah akan memikirkannya ya…”

Jawaban Ayah tak memuaskan. Bila ayahnya tak ingin mengganggu atau merepotkan Bunda dan Papa, beliau bisa kan tinggal dekat mereka di satu komplek yang sama? Saat hal itu Habibie utarakan pada Bunda dan Papa di mobil saat pulang, Bunda hanya menjawab, “Bunda belum tahu, Habi…” dengan nada lelah.

Papa pun belum bersedia berpendapat. Biasanya Papa gemar membicarakan banyak hal. Namun seharian ini, Papa tak banyak bicara. Lagi-lagi Habibie curiga Bunda dan Papa menyembunyikan sesuatu yang lain. Habibie heran, mengapa orang dewasa kadang merumitkan hal yang sederhana? Ia kembali menekuri komiknya dengan agak kesal.

Sambil berusaha meredam kekesalannya, ia kembali teringat tugas Bahasa Indonesia dari Pak Mario. Meski semuanya belum jelas, setidaknya ia tahu akan menulis kisah seperti apa untuk tugas Bahasa Indonesianya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Tanah Warna-Warni
1
0
Untunglah, Arina segera memiliki teman baru begitu pindah ke apartemen baru bersama Mama. Teman baru Arina sangat menyenangkan, mereka sangat asyik berkreasi menggunakan “tanah warna-warni” sampai-sampai Mama mencari mereka karena tak pulang-pulang.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan