Temukan Sesuatu yang Kau Cintai, dan Biarkan Itu Membunuhmu

1
0
Deskripsi

Orang tolol lebih berbahaya daripada orang jahat, menurut Dietrich Bonhoeffer. Pendeta Lutheran dan pembangkang anti-Nazi itu sepertinya tahu lebih banyak daripada apa yang orang lain ketahui tentang garis batas antara ketololan dan kejahatan.

Aku menemukan artikelnya kemarin di situs web klien lama kami, sebuah media indie yang menerbitkan esai-esai kiri. Mereka menghubungiku karena ada permintaan redesign. Biasanya aku menolak pekerjaan lama ini karena bayarannya kecil. Tapi berhubung aku sedang buntu dengan pekerjaan utama, bolehlah sedikit nostalgia untuk mencari udara segar—dan aku benar-benar mendapatkan udara segar. Saat mengerjakan halaman This Week, aku melihat satu judul yang menggelitik: “Seni Menghadapi Orang Tolol: Problematika Manusia Urban di Kehidupan Modern Berbasis Pasar”. Kutebak penulisnya seorang mahasiswa jurusan filsafat.

Si penulis menceritakan kisah pendek Bonhoeffer. Pria tua itu ditahan di Kamp Konsentrasi Flossenbürg karena terlibat kasus percobaan pembunuhan terhadap Adolf Hitler pada 20 Juli 1944. Dalam surat yang dia tulis saat menanti giliran eksekusi, Bonhoeffer memerinci pemikirannya tentang akar penyebab kemerosotan moral. Kesimpulannya: itu kebodohan, murni kebodohan.

Aku selalu menyukai pemikiran-pemikiran yang eksentrik, jadi pagi ini aku mencetak kata-kata Bonhoeffer seukuran akuarium arwana dewasa dan kutempel di dinding di atas meja kerjaku: “Kebodohan adalah musuh yang lebih berbahaya daripada kejahatan. Kejahatan dapat dibongkar dan, jika perlu, dicegah dengan kekerasan. Melawan kebodohan kita tidak berdaya.”

Mbak Windi tertawa melihat kata-kata itu. “Tapi ini bisnis yang bagus, bukan? Selamat pagi.” Dia menepuk pelan pundakku, lalu berjalan ke arah meja kerjanya. “Citra belum datang?”

“Ceklis satu.”

Sejujurnya, aku juga kagum dengan fakta betapa banyaknya jumlah orang tolol di negara ini, dan barangkali ada lebih banyak orang tolol ketimbang orang jahat. “Mbak, kemarin aku baca artikel, lalu jadi kepikiran, seandainya orang-orang tolol ini punya keluarga yang peduli pada mereka, kupikir dokter bedah otak bakal lebih sibuk daripada polisi.”

“Hmm. Memangnya polisi pernah sibuk?”

“Masih pagi, Mbak.”

Mbak Windi membuka Spotify, memutar lagu favoritnya sepanjang masa, dan mulai bekerja sambil joget-joget kecil seperti panda mabuk. Sungguh gadis yang penuh semangat.

Tiga tahun lalu aku direkrut Mbak Windi untuk bekerja sebagai pengembang web. Dia seorang desainer yang kuakui selera dan keterampilan desainnya sangat bagus, tapi tidak punya keterampilan kode. Tapi dia punya cukup uang dan ambisi dengan kadar di atas rata-rata manusia normal, jadi saat itu dia menemukan portofolioku di GitHub dan aku juga butuh uang. Awalnya aku bekerja secara remot dari rumah, sampai enam bulan kemudian dia menyuruhku pindah ke kotanya karena dia punya ide besar.

Ide besar (atau lebih tepatnya ide gila) itu muncul ketika Mbak Windi sedang mengerjakan desain web untuk klien kami. Laki-laki, seorang selebritas di Instagram, yang membuka layanan curhat. Agak klasik tapi yang menarik adalah dia hanya menerima curhatan perempuan, dan ajaib, mayoritas cerita yang diterimanya kasus pelecehan seksual dan KDRT. Dia menjadi topik obrolan kami ketika akhirnya kami bertemu—waktu itu kami belum punya kantor, jadi aku sempat menginap satu minggu di rumah Mbak Windi, di kamar sopir ayahnya yang sedang pulang kampung.

“Ryan, masih ingat proyek DeepDarkStory klien lama kita?” Mbak Windi berdiri tegak di ambang pintu, mengenakan kaus oblong putih dan celana gemas hitam merah, mirip mbak-mbak pelopor Goyang Pargoy di TikTok.

“Seleb yang terima jasa curhat itu?” Aku sedang duduk di karpet sambil minum Energen, mengenakan kaus partai berbalut sarung butut yang kujadikan selimut, mirip mamang-mamang tukang aduk semen di dekat rumahku.

“Kamu mau pinjam bajuku? Ah, nanti dulu, bukan itu. Menurut kamu, apa cerita-cerita yang dia upload ke Instagram-nya itu nyata?”

“Maksudnya gimana, Mbak?”

“Lihat ini.” Dia masuk, ikut bersila di hadapanku seraya menyodorkan ponselnya. “Dalam seminggu dia menerima lima belas curhatan kasus KDRT dan ceritanya aneh-aneh. Apakah para perempuan ini benar-benar mengalami apa yang mereka ceritakan, atau mereka cuma bikin cerita fiksi supaya imajinasinya di-repost di Instagram si Mekivator ini?”

“Meki—apa?”

“Mekivator. Tidak penting. Asli atau fiksi?”

Aku tidak tahu. Tapi aku mengerti sudut pandangnya. Saat Kim Scott keluar dari penjara dan lagu “Mockingbird” kembali diputar di mana-mana, hampir semua media arus utama membahas Kim hanya sebagai terdakwa atas penggunaan narkotika dan kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukannya. Nyaris tidak ada dari mereka yang mengambil sikap untuk berpihak pada Kim. Padahal Kim kecanduan kokaina karena punya cerita sedih yang mengiris-iris ulu hati, tapi siapalah yang mau membaca kisah sedih jika ada berita “Dulunya Cantik, Sekarang Beginilah Penampilan Mantan Istri Eminem”?

Kubaca beberapa curhatan secara sekilas. “Mbak tahu akun Instagram cerminlelaki? Isi kontennya mirip-mirip.”

Mbak Windi mengangguk pelan sambil mengetuk-ngetuk pahanya. “Well, siapa peduli nyata atau fiksi. Satu hal yang pasti konten seperti ini banyak peminatnya.”

“Lalu?”

“Ini alasan kenapa aku minta kamu ke sini. Aku punya ide bikin platform.”

Dan begitulah. Kami menyewa satu ruangan di sebuah ruko tiga lantai, berbagi kantor dengan pemilik bisnis lainnya. Kami berhenti mengambil pekerjaan desain dan pengembangan web, lalu banting setir ke startup perangkat lunak. Idenya adalah membuat aplikasi tempat semua orang bisa menceritakan pengalaman pahit seputar pelecehan/kekerasan seksual yang pernah mereka alami, lengkap dengan data diri dan foto pelaku. “Seperti Twitter, tapi khusus konten yang isinya trigger warning dan content warning,” terang Mbak Windi ketika menjelaskan garis besarnya.

Di luar bayanganku, hanya butuh lima bulan bagi kami untuk mendapatkan 50 ribu pengguna. Dan lima minggu tambahan untuk mulai mendapatkan pendanaan. Aplikasinya sendiri gratis, jadi kami dapat uang dari bekerja sama dengan beberapa aplikasi kencan lokal dan perusahaan yang peduli isu pelecehan/kekerasan seksual. Bagian pemasaran dan membujuk investor adalah pekerjaan Mbak Windi sebagai CEO, jadi aku tidak bisa banyak bicara terkait ini. Intinya, kami menjual API berbayar untuk mengakses basis data kami, dan aku masih tidak percaya model bisnis ini bisa dijalankan. Rupanya masih banyak yang peduli dengan isu ini, ya? Kutarik pemikiranku: negara ini tidak buruk-buruk amat.

--

“Andini,” ucap gadis di hadapanku. Dia tersenyum manis. Bibirnya tipis, rambut sebahu, dan tingginya kira-kira sama denganku. “Senang bisa bertemu.”

Aku tidak senang, tapi demi profesionalitas aku tetap mengangguk dan menyambut jabat tangannya. Juga menyebutkan nama, tentu saja. “Silakan masuk.”

Dilihat dari penampilannya, sekilas dia tampak seperti gadis kutu buku. Pendiam, agak malu-malu tapi bukan antisosial, akan bicara berbusa-busa saat bertemu orang yang tepat. Kupikir dia juga tipe yang sering kena bentak orang tua pada masa kecilnya. Sering takut salah, sering insomnia karena terlalu banyak memikirkan hal-hal buruk, tapi sekalinya menemukan sesuatu yang menurutnya penting, dia akan rela berkorban mati-matian. Gadis yang tidak akan muncul di klub malam; lebih mungkin terlihat di Indomaret Point, duduk sendiri sambil minum kopi, melamun dan larut dalam pikirannya sendiri. Pasti pendengar Oasis atau pembaca Murakami.

Dua hari lalu dia mengirimi kami surel, bertanya apakah kami menyediakan jasa konsultasi. Kami tidak—itu di luar kapabilitas kami. Tapi akhirnya kami ambil karena kesembronoan Mbak Windi.

Hai, saya Andini. Saya pengguna baru. Saya sangat ingin cerita di aplikasi, tapi saya mau tanya apakah ada layanan konsultasi atau cerita secara tatap muka? Saya sudah tidak tahu mau cerita ke mana atau ke siapa. Saya bersedia bayar lima juta.

Ini balasan Mbak Windi:

Halo, Andini. Kami selalu senang menyambut orang baru! Silakan cerita di aplikasi dan berbagi dengan ribuan orang lain. Untuk layanan cerita tatap muka, kami belum menyediakannya, kecuali Anda bersedia membayar dua kali lipat untuk dua jam.

“Mbak, bukankah itu berlebihan?”

“Memang. Supaya kita tidak perlu melakukannya.”

Tapi ini balasan Andini:

20 juta untuk lima jam. Itu semua tabunganku. Kupikir aku mau bunuh diri setelah cerita. Aku sudah tidak peduli dengan uang ataupun hidup. Besok lusa, bisa?

Belum sempat aku mengedipkan mata, Mbak Windi sudah berteriak antusias. “Wah, lusa kita kedatangan tamu! Ayo kita bersih-bersih hari ini. Nanti kubelikan boba buatmu.”

“Ta—tapi, Mbak, bukannya lusa Mbak ada rapat?”

“Nah, bobanya mau berapa?”

Anjing.

Aku tidak masalah mendengarkan orang asing curhat selama lima jam. Dulu awal-awal lulus sekolah dan menganggur dua tahun, aku menghabiskan hari-hariku menulis blog sambil belajar pemrograman secara acak. Aku sudah banyak berkenalan dengan orang asing di internet, dan kebanyakan dari mereka menjadi teman cerita. Masalah keluarga, cinta, impian yang tak tercapai, terlilit pinjol, sudah banyak kisah yang kudengar, sampai-sampai aku berpikir tidak akan ada lagi cerita sedih yang membuatku terkejut.

Selain itu, aku juga pernah bekerja di sebuah kafe ala-ala (yang sejujurnya lebih mirip warung remang-remang), di daerah kabupaten yang banyak dikunjungi oleh orang-orang dari dunia malam. Aku bekerja sebagai pelayan. Bukan bagian yang kusukai tapi kafe ini milik teman ayahku, jadi aku hanya mencoba bersikap baik. Dan harus kutambahkan, aku berkawan dengan beberapa PSK yang sering nongkrong di kafe ini (karena banyak juga yang melakukan transaksi di sini), jadi aku punya cukup pengalaman mendengar kisah-kisah dewasa.

Sial aku tidak pernah punya teman yang ingin bunuh diri. Dan lagi, surel itu, dia bilang ingin mengakhiri hidupnya seusai bercerita. Apakah dia akan lompat dari jendela kantor kami? Apakah dia akan lari ke jalan dan menabrakkan dirinya di depan kantor kami? Yang terpenting, apakah si Windi sialan tidak memikirkan ini?

“Mbak? Mau minum apa?” Aku mencoba basa-basi untuk memecah keheningan.

Andini tidak menjawab, dan masih menundukkan kepalanya. Aku tidak tahu dia sedang memikirkan apa. Persetan. Aku juga tidak tahu harus berbuat apa. Kami sama-sama hening untuk beberapa saat. Entah kenapa udara di ruangan terasa menjadi lebih dingin dan suara jarum jam berdetak lebih cepat. Aku tidak bisa berpikir.

Andini menarik napas dalam-dalam, seolah dia sedang memikul beban yang sangat besar. Suasananya seperti sedang berhadapan dengan ibuku setelah aku membuatnya memecahkan piring dan menangis ketika usiaku tiga belas.

Dia masih menunduk. “Kamu, percaya takdir?”

“Hah?” Itu agak mendadak, aku belum siap.

“Seperti, Tuhan mengatur semuanya, termasuk mempertemukan seseorang dalam hidup kita.” Dia bicara dengan nada yang sangat pelan dan sedikit terbata-bata. “Seperti, selalu ada alasan, kenapa seseorang bertemu orang lain. Termasuk kita. Pertemuan ini.”

“Oh. Ya, kurasa. Atau entahlah. Mengamini konsep takdir berarti kita harus mengamini hidup ini adil, kan?” Aku diam sebentar untuk melihat reaksinya. Tapi kelihatannya dia tidak ingin merespons, jadi aku melanjutkan. “Masalahnya, aku tidak berpikir hidup ini adil. Aku tidak percaya omong kosong.”

“Kamu lebih percaya kebetulan?”

“Semacam.”

Sejenak aku tersadar sepertinya mulutku kelewatan. Baru saja aku mau meminta maaf, tapi dia malah tertawa kecil. Lalu dia menaikkan pandangannya secara perlahan sambil tersenyum canggung, menatapku.

“Lucu, ya. Aku tidak tahu kamu kerja di sini. Masih ingat aku?”

--

Makin hari makin banyak orang yang kabarnya tidak ingin lagi aku ikuti. Mereka jadi tampak tidak menarik, atau kehidupan mereka mulai terasa tidak relevan dengan hidupku. Terkadang aku bertanya-tanya, apakah dunia yang bergerak terlalu cepat, atau memang hanya aku yang diam di tempat?

Usiaku sekarang 27 tahun. Katanya, makin kita dewasa, lingkaran pertemanan kita akan makin mengecil. Kurasa milikku sudah lebih dari kecil; itu bahkan sudah bukan lingkaran, itu sudah menjadi titik. Kebanyakan teman-temanku sudah menikah. Kalaupun ada yang belum, mereka punya bisnis atau karier yang sedang naik-naiknya. Dan aku masih di sini. Bekerja sebagai karyawan di kantor kecil dengan upah yang sekadarnya; setiap hari hanya melakukan rutinitas yang itu-itu saja.

Terkadang aku juga bertanya-tanya, untuk apa aku masih mengikuti Mbak Windi? Apa hanya karena aku merasa dibutuhkan? Atau karena murni demi uang? Bertahun-tahun yang lalu, ada hari-hari ketika hidupku terasa datar. Kegiatanku hanya bekerja, pulang, tidur, kerja lagi, menulis di blog, kerja lagi, membaca buku, kerja lagi. Lalu kafe itu bangkrut karena bosku gila wanita. Aku menganggur, kehabisan uang, tidak berani reuni ataupun datang ke tongkrongan, dan teman-teman bloger juga mulai berhenti menulis karena sibuk bekerja di kehidupan nyata. Lambat laun aku mulai jauh dari orang-orang. Lalu kesepian tapi tidak terasa, lalu mulai sadar kesepian tapi aku selalu menyangkal. Terus-menerus menghibur diri sampai aku lelah sendiri. Hingga satu waktu, aku bertemu dengan gadis itu, gadis yang menyelamatkanku dari rasa sepi. Andini.

Kami bertemu di LitPub. Aku bukan pembaca yang rajin, hanya saja saat itu aku tidak tahu mau melakukan apa, jadi aku mengulas semua buku yang pernah kubaca supaya aku tidak mati karena bosan. Dia adalah orang pertama yang mengomentari tulisanku. Foto profilnya pot bunga, username-nya sleepycat. Dari sana kami mulai sering saling bertukar komentar, lalu bertukar buku-buku favorit, dan akhirnya bertukar nomor WhatsApp. Dia tidak pernah mau menunjukkan wajah dan menyebutkan nama aslinya, jadi selama kami berteman aku selalu memanggilnya Tulip—jenis bunga yang paling sering dia gunakan sebagai foto profil.

Tulip selalu menjadi gadis yang penuh misteri. Tapi entah bagaimana, aku selalu merasa senang setiap berbincang dengannya, sekalipun aku tidak pernah tahu wajahnya seperti apa, dan bahkan aku tidak pernah tahu namanya siapa. Tidak sampai akhirnya seorang gadis memanggilku dengan sebuah nama, nama panggilan yang kudapat hanya dari satu orang. Aku langsung mengenalinya.

“Kamu—Tulip?”

Dia tersenyum. Dan seketika matanya berair.

Aku masih berusaha memahami apa yang terjadi. Kupikir aku bermimpi. Tulip? Gadis di depanku ini adalah, Tulip?

“Oh, aku baru tahu bunga itu namanya tulip. Eh, aku jadi kepikiran. Kalau begitu aku panggil kamu Tulip saja. Boleh?”

“Tulip, kamu suka lagu apa? Akhir-akhir ini aku suka lagu baru The Chainsmoker. Musiknya enak buat joget-joget! Kamu harus dengar. Aku kirim tautannya ya!”

“Tulip, aku demam. Mungkin karena keseringan begadang. Atau mungkin kebanyakan pikiran. Tadi siang ibuku bilang mereka jadi pisah. Perempuan yang kuceritakan waktu itu ternyata memang punya anak dari ayahku.”

“Tulip, maaf ya, aku tidak tahu kamu punya pacar. Aku sudah hapus posku di LitPub. Tolong beri tahu pacarmu, itu salah paham, aku tidak ada maksud merusak hubungan kalian. Maaf.”

Melihat dia sekarang ada di hadapanku, tiba-tiba saja potongan-potongan kenangan itu kembali terngiang di kepalaku. Rasanya aneh. Hatiku mendadak penuh dan sesak, seperti ada lubang yang terkelupas di dalam diriku. Tanganku sedikit gemetar. Mungkin aku hanya masih kaget dengan situasi kami.

“Apa kabar, Ryan?”

Kabar? Sejak kamu menghilang, makin hari makin banyak keinginan yang kutinggalkan. Tumbuh dewasa membuatku sadar bahwa realitas tidak seindah angan-angan. Aku sudah lama membunuh mimpi-mimpiku, aku juga berhenti bicara dengan banyak orang. Aku mengganti nomor ponsel dan alamat surel tanpa mengabari teman-teman. Aku menghapus akun dari semua media sosial. Hari ketika aku memutuskan pindah ke kota tempat Mbak Windi tinggal, aku berharap bisa memulai lembaran baru sebagai seseorang yang juga baru. Aku sudah mengubur tahun-tahun lamaku, aku ingin memendam masa laluku.

Kabarku baik. Aku baik.

--

Siang itu Andini menghabiskan delapan jam di kantorku. Sekitar dua jam pertama untuk mengenang masa lalu kami, sisanya dia menceritakan masalah-masalah pribadinya. Darinya aku jadi mengerti kenapa waktu itu dia menghindariku. Dia pindah ke kota ini empat bulan lalu sebagai bentuk healing, yang tampaknya tidak berhasil.

Tiga hari berlalu dan kami kembali bertemu. Awalnya aku sempat ragu, tapi aku sudah janji, dan kupikir ini hal terbaik yang bisa kulakukan. Mengingat aku pernah diselamatkan olehnya, jika ada kesempatan bagiku untuk menyelamatkannya, bukankah aku harus melakukannya? Jadi kami pergi ke pinggiran kota, jalan-jalan sore sepulang aku bekerja.

“Nah, kita ke sana,” katanya, menunjuk sebuah bangunan yang agak jauh. “Biasanya aku menggambar di sana kalau bosan di apartemen temanku.”

Aku memicingkan mata. “Toko oleh-oleh? Kamu menggambar di toko oleh-oleh?”

“Bukan. Ya ampun, masa aku menggambar di toko oleh-oleh?” Dia tertawa. “Pantai, Ryan. Ada jembatan kecil di belakang toko itu, jalan lagi sedikit.”

Andini bekerja secara remot di suatu media di Jakarta. Dia bekerja sebagai penerjemah senior (dia fasih berbahasa Inggris, Belanda, dan Mandarin), dan sejak tinggal di sini, kalau sedang mau, kadang-kadang membantu temannya seorang komikus. Dia bilang, sejak menumpang di apartemen temannya, dia mulai belajar menggambar.

“Biasanya gambar apa?”

“Ya komik? Apa, sih, namanya? Anime? Yang buat di WebToon itu. Tapi minggu lalu aku sempat coba belajar gambar karikatur.”

“Bisa gambar karikatur?”

“Lumayan.”

“Bisa gambar masa depan?”

“Hahaha. Aku bukan tukang ramal.”

Kami duduk di tepi jembatan kecil di dekat tempat para nelayan parkir perahu layar. Suasananya cukup ramai dan udaranya sangat segar. Ada anak-anak yang sedang main bola di arah Tenggara, juga beberapa orang yang lalu-lalang entah ke mana. Sesekali angin bertiup cukup kencang, tapi sejuk, dan aku menyukai suara kicau burung yang disertai gemuruh ombak.

Tahun lalu Andini putus dengan kekasihnya. Mereka ada rencana menikah tapi batal karena satu dan lain hal, lalu tahu-tahu dia mendapat kabar mantan kekasihnya menikah dengan gadis lain. Saat dia mendapat berita itu, dia bilang, hidup tiba-tiba redup dan rasanya dunia nyaris runtuh. Dia sudah mencoba banyak upaya untuk bangkit, termasuk bermeditasi selama enam minggu, tapi nihil. Pikirannya selalu jatuh setiap kali menonton film atau mendengar musik yang mengingatkan dia pada mantan kekasihnya. Dan itulah yang membawa dia ke kota ini. Datang dengan harapan bisa memulai hidup baru, sama persis seperti alasanku.

“Yang bikin aku mau bunuh diri,” ucapnya ketika dia bercerita di kantorku, “kemarin aku dengar istrinya melahirkan. Pikiranku beku. Aku masih sulit menerima kenyataan mereka hidup bahagia.”

Lalu kutanya dia, “Apa yang bisa bikin kamu bahagia?”

“Hmm?”

“Kita tidak bisa menghapus hal-hal buruk. Jadi kita harus menimpanya dengan hal-hal indah. Apa yang bikin kamu bahagia?”

Dia bilang pantai, dan tanpa pikir panjang aku langsung jawab, “Oke. Minggu kita ke pantai. Kamu jangan mati dulu. Jangan layu dulu, Tulip.”

Langit mulai berwarna merah padam, matahari sudah hampir terbenam. Dia memegang punggung tanganku. Aku mencoba untuk tidak bereaksi. Lalu dia menyenderkan kepalanya di bahuku. Aku masih berusaha tetap tenang. Lalu dia berbisik pelan, meracau bayangan akan seperti apa jadinya jika dahulu kami berpacaran. Dia bilang dia mungkin akan lebih bahagia. Aku tidak bisa berkata-kata.

“Ryan, kamu tahu angin sandikala?”

“Apa itu?”

“Angin yang cuma bisa kamu rasakan waktu matahari tenggelam. Rasanya dingin, tapi nanti jadi hangat.”

“Hah? Memangnya ada yang seperti itu?”

“Ada. Aku juga tahu ini dari komik yang kubaca. Mau coba rasanya?”

Kutatap dia sambil sedikit tertawa.

“Aku serius! Ayo, duduk tegak, lihat lurus ke depan, tutup mata.”

Masih mencoba menahan tawa, kuturuti perintahnya. “Begini? Lalu?”

Tiba-tiba dia mengecup pipiku. Aku tersentak. Kulihat dia tersenyum.

“Bibirku dingin, ya?” Dia tertawa kecil. “Terima kasih buat hari ini. Aku bahagia.”

Mungkin dia benar. Seandainya kami berpacaran, aku pun akan lebih bahagia.

--

Satu tahun berlalu sejak hari itu. Startup kami mulai tumbuh lebih cepat, terutama sejak para influencer mengulas aplikasi kami di berbagai media. Kami juga mulai kewalahan mengerjakan banyak hal, jadi kami harus mempekerjakan UI/UX Designer dan iOS Developer (yang benar-benar bekerja dengan Swift, bukan React Native sepertiku) supaya Mbak Windi bisa fokus di manajemen proyek, dan aku bisa fokus belajar bahasa-bahasa baru untuk meningkatkan infrastruktur aplikasi kami.

Sial, mencari pengembang iOS jauh lebih sulit daripada mencari pengembang Android. Aku tidak tahu kenapa, mungkin karena pengembangan iOS tidak terlalu “seksi” di sini. Sementara di sisi lain, mendapatkan desainer sangat mudah, hanya perlu meluangkan waktu berselancar di Dribbble selama tiga hari. Namanya Citra. Usianya masih 21 tahun. Anaknya cukup berisik dan penuh energi, mungkin penggemar Ria Ricis.

“Bang! Mbak! Maaf aku telat!” Dia berdiri di ambang pintu dengan napas yang tergesa-gesa. Rambutnya sedikit acak-acakan, jaketnya lusuh seperti biasa.

“Terlambat satu jam setengah,” timpal Mbak Windi menegaskan. “Lupa alamat kantor?”

“Karaoke.”

Mbak Windi menaikkan sebelah alisnya.

“Semalam aku karaoke. Minum bir sambil nangis. Pulang jam dua.”

Aku selalu menyukai keluguan dan kejujuran anak ini. Aku suka orang-orang jujur. Dia mulai duduk di meja kerjanya—di samping meja kerjaku. Kusuruh dia minum dulu karena penampilannya agak mengerikan, tapi dia mengabaikanku dan langsung menyalakan komputer, lalu mengeluarkan dua Bir Bintang Radler kaleng rasa lemon dan sebungkus Sampoerna Mild dari dalam tasnya. “Sisa kemarin, Bang.”

Kuambil tawarannya. “Habis berapa?”

“Beli satu kerat. Anjing, aku harus irit sampai gajian.”

Kemarin dia bertengkar hebat dengan pacarnya. Laki-laki itu selingkuh, jadi anak ini patah hati. Kubilang masalah klasik, jangan terlalu dipikirkan. Tapi dia bilang, “Si Bangsat itu nge-room sama perek, Bang! Mana bisa aku biasa-biasa?”

Mbak Windi tertawa. “Kalau gitu kamu bikin akun, tulis ceritamu. Bikin dia viral di internet. Nanti Ryan bantu pin di halaman Featured.”

“Mbaaak—” Anak itu merengek. Mbak Windi tertawa sampai sakit perut.

Saat jam makan siang, seperti biasa, Mbak Windi keluar untuk makan di Rumah Makan Padang di depan. Aku lebih suka GoFood dan makan di mejaku. Hari ini Citra tidak berselera makan. Dia hanya makan cokelat batang, juga sisa semalam. Lama-lama aku tak tahan melihat wajahnya yang mulai terlihat seperti ikan buntal, jadi kupikir aku harus sedikit menghiburnya, membiarkan dia cerita lebih banyak. Aku menyimaknya sambil makan ayam geprek. Di akhir kata-katanya, dia bertanya, “Apa pendapat Abang tentang tukang selingkuh?”

Aku menunjuk kata-kata Bonhoeffer di atas meja kerjaku yang baru kutempel tadi pagi. “Tuh. Orang tolol lebih berbahaya daripada orang jahat.” Saking muaknya membaca cerita perselingkuhan di aplikasi kami, aku mulai curiga orang yang hobi selingkuh itu bukan tidak pernah puas atau semacamnya, tapi memang murni tolol saja. “Alasan orang-orang yang selingkuh sering susah dipahami, kan? Sama seperti kelakuan orang tolol.”

Citra menatap lama poster itu, sepertinya sedang memikirkan sesuatu. “Tapi, Bang, bukannya semua orang yang jatuh cinta suka mendadak tolol, ya? Abang pernah tolol karena cinta?”

Spontan aku tertawa. Benar juga. Tolol karena cinta? Ya, aku pernah. Aku pernah susah tidur dan merokok tiga bungkus sehari karena patah hati. “Ada satu perempuan yang aku cintai setengah mati, tapi dia bilang you are too good to be true, dan—”

“Dan?”

Dan dia pergi, meninggalkan aku lagi untuk kedua kalinya.

Sejak pertemuan di pantai itu, kami sempat intens mengobrol dan ketemuan. Ada masanya kami jalan-jalan seperti orang pacaran. Kami pergi ke bioskop, ke alun-alun kota, ke kafe, ke situs-situs yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya. Kami makan pecel lele di angkringan, minum Pop Ice rasa permen karet, membeli gelang, main layang-layang.

Kupikir itu adalah waktu yang tepat bagi kami. Kupikir kami akan bisa bersama. Tapi setelah jalan tiga bulan dan aku merasa yakin hubungan ini bisa dilanjutkan, dia memilih tidak. Kami bertengkar cukup hebat malam itu.

“I can’t! But it doesn’t mean I don’t love you. I just, you know—”

“No I don’t understand! Explain.”

“You—you deserve better.”

“Then be better! Be that person.”

Dia menggelengkan kepalanya. Menangis. “Ryan, kamu tahu kondisiku. Kamu tahu ceritaku. You are too good to be true. I don’t deserve someone like you.”

Aku diam.

“Hanya jika, hanya jika aku bisa mengulang waktu, I’ll take it but look, I can’t. I’m a broken woman. Don’t you understand.”

Aku mengerti. Andini adalah gadis yang rapuh. Dia sudah kehilangan kepercayaan dirinya. Dia pernah mencintai seseorang begitu dalam, sampai dia menyerahkan tubuhnya untuk orang itu. Dia pernah dipandang “rusak” oleh orang-orang di sekelilingnya, yang dia percaya sebagai tempat cerita tapi malah memberi penghakiman. Dia pernah merasa gagal. Dia pernah sangat kecewa. Dia pernah ada di titik ingin mengutuk dunia.

“Ryan, aku sangat berterima kasih karena kamu bikin aku berani hidup sekali lagi. Kamu membuatku ingat betapa indahnya dicintai. My heart is full. Tapi aku tidak berani ke sana.” Dia mengusap kedua pipinya secara bergantian. Napasnya masih terengah-engah. “Minggu depan aku akan pulang ke Bandung. Aku sudah memikirkan ini baik-baik. Kuharap kamu mengerti.”

Aku menarik napas dalam-dalam. Kucoba untuk tersenyum semampu yang aku bisa.

“Ryan, ini mungkin terdengar bodoh tapi, jika reinkarnai benar-benar ada, aku pasti akan menemukanmu entah bagaimana caranya.” Dia menatapku lekat-lekat. “Aku akan menemukanku di tengah hutan, di balik hujan, di belahan bumi yang lain. Akan kucari kamu sampai ketemu. Kita akan hidup sama-sama, dan aku akan membuatkanmu secangkir kopi setiap pagi.”

Right.” Aku menelan ludah. “Sejak hari kita bertemu, sekarang, besok, sampai nanti, you will always be my favorite what-if.”

Dia menatapku. “Boleh aku—”

Aku mengangguk. Kubuka kedua tanganku lebar-lebar. Kupeluk dia sekuat-kuatnya.

--

“Temukan sesuatu yang kau cintai, dan biarkan itu membunuhmu.”

Itu kata-kata pilihan Mbak Windi yang dia tempelkan di atas meja kerjanya. Dia ingin kantor kami terlihat seperti kantor Tumblr, jadi kami memajang banyak poster dan kutipan-kutipan estetik di seluruh dinding. Mbak Windi bilang, kalimat indah itu diambil dari penggalan surat Charles Bukowski yang dia baca di internet. Aku tidak tahu apakah Mbak Windi tahu siapa Bukowski, jadi aku agak ragu dengan sumbernya—Bukowski bukan orang yang seperti itu, dia adalah penyair yang akan menulis “temukan jalang paling seksi yang bikin kau birahi, dan ajak dia tidur sampai kontolmu tak bisa berdiri”.

Aku mencoba menelusuri sumbernya dan kutemukan itu milik Kinky Friedman. Teks aslinya berbunyi “find what you like, and let it kill you”.

Terlepas dari apakah Bukowski benar-benar punya teks yang serupa dengan itu, aku sepakat dengan Mbak Windi bahwa kalimatnya indah. Dan kata-katanya benar. Pernahkah kamu sangat mencintai sesuatu sampai terasa menyakitkan?

Bagi Mbak Windi, sesuatu itu mungkin impian dan gairahnya. Dia selalu ingin membuktikan pada ibunya bahwa dia bisa berdikari dengan caranya sendiri. Dia tidak ingin meneruskan bisnis ayahnya. Dia bahkan menolak diberi uang, karena yakin impiannya bisa menghasilkan. Aku masih ingat awal-awal kami mendirikan startup, dia masih menggunakan laptop Asus yang di layar bagian atasnya ada retak, selalu memakai setelan biasa, makan nasi padang paket ceban. Dan selama kami belum punya pendapatan, dia membiayai semua kebutuhan kami dengan tabungannya sendiri.

Citra pasti punya versi yang berbeda untuk sesuatu itu, pun demikian dengan Andini. Dan kurasa semua orang juga begitu. Dan sesuatu itu bisa jadi impian, kegiatan, benda, atau juga seseorang. Apa pun itu, kita memperjuangkannya karena rasa sakitnya sepadan, bukan? Beberapa rasa sakit layak digenggam, karena beberapa rasa sakit memiliki harga yang tak ternilai.

Minggu lalu Citra merekomendasikan novel digital di sebuah platform. Dia bilang novelnya terasa sangat relevan dengan kisah hidupnya, jadi dia menyuruhku untuk ikut baca. Yang membuatku terkejut, aku kenal penulisnya. Nur Halipah. Dia teman lamaku ketika dulu kami sama-sama belajar menulis di RuangKata. Aku jadi menghubunginya dan kami berbincang di telepon cukup lama. Setelah mengobrol panjang lebar, dia cerita tentang kondisi percintaannya sekarang, dan bertanya, “Semisal, nanti kamu menikah, lalu katakanlah kamu mulai kehilangan alasan untuk mencintai pasanganmu, apa yang bakal kamu lakukan?”

Aku diam sejenak, mencoba memikirkan jawaban yang tepat. “Mungkin, mencari alasan baru. Atau entahlah. Kamu bikin aku stres, Bung. Haha.”

“Mencari alasan baru?”

“Ya. Atau begini, seandainya aku kehilangan alasan untuk mencintai pasanganku, aku akan bertahan sampai rasa sakit atau bosan atau pedih itu membunuhku.”

Nur Halipah terdiam cukup lama. “Kenapa? Karena ada kenangan di belakang, atau karena ada harapan di depan?”

“Bukan. Karena pada akhirnya kita semua akan mati.”

Ya, kita semua akan mati. Kita tidak bisa menghindarinya tapi bisa memilih bagaimana caranya. Dan menurutku, dari sekian banyak cara untuk mati, yang terbaik adalah mati di tangan orang yang paling kita cintai.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Saya Menulis Cerpen karena Kangen Mengejek Orang
20
5
Beberapa hari yang lalu saya menerbitkan Anjing Paling Mungil Menyalak Paling Bising, sebuah ebook kumpulan cerita pendek, di KaryaKarsa. Proses penulisannya memakan waktu empat bulan dari awal Januari hingga akhir April 2022. Rasanya? Melelahkan, tetapi juga menyenangkan.Ini adalah pengalaman baru buat saya, dan dengan begitu ada banyak tekanan dan kecemasan dan pelajaran yang juga baru saya dapatkan. Catatan ini akan membahas hal-hal tersebut.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan