one~when our eyes meet

5
6
Deskripsi

permulaan yang membawa sebuah rasa penasaran tak terbendung. mereka akhirnya bertemu 

Disclaimer : Cerita ini adalah fiksi dan murni berasal dari fikiran penulis. Seluruh adegan dan pemeran disesuaikan dengan kebutuhan penulis, dan jika ada kesamaan nama atau tokoh yang dipakai, itu adalah sebuah kebetulan. Credits untuk seluruh gambar yang digunakan berasal dari Pinterest. Be wise and don't put a hate into the character.

Don't forget to VoMent
Happy Reading!!!

***

Suara riuh menguar dari arah stadion football, dimana sebuah pertandingan persahabatan antara LFSF dan LSI akan segera diadakan. Hampir semua siswa dan siswi memburu tempat terbaik untuk menonton pertandingan antara dua sekolah private bergengsi di San Fransisco itu. Tak ketinggalan, seorang siswi yang baru 4 bulan menghabiskan masa senior highschool nya di LFSF pun kini ikut tergeret arus ke arah stadion milik sekolahnya.

"Hurry up Lice, or we'll miss the best part."

"Oh ayolah, jangan terburu-buru. Pertandingan bahkan belum dimulai."

"That's the point! Bagian parade dimana semua pemain di perkenalkan adalah yang terbaik. Jika kau masih tidak tertarik, kau bisa pergi setelah sesi itu selesai. Tapi tolong berjalanlah lebih cepat agar kita bisa mendapat sudut yang jelas." Lalisa, gadis Asia dengan poni tebal yang menutupi dahinya itu menggulirkan matanya malas. Langkahnya terus diburu saat teman sekelasnya, Lia, terus menggeret tangannya untuk berjalan lebih cepat ke arah sumber keramaian itu.

Sesampainya disana, mereka masih harus berdesakan untuk mencari tempat terbaik agar Lia dan kameranya bisa mengambil gambar-gambar para pria tampan untuk majalah terbitan LFSF periode bulan depan. Ya, berteman dengan Lia yang menjadi salah satu anggota media sekolah seringkali membuat Lalisa harus ikut sibuk menemani Lia untuk datang ke beberapa event besar seperti saat ini.

"Woahh mereka mulai. Mereka mulai." dengan tangan yang bersedekap di depan tubuh, Lalisa menatap lurus pada setiap pemain yang memasuki lapangan, baik itu dari LFSF ataupun LSI. Tubuh mereka terlihat besar-besar. Dengan perawakan yang tinggi, punggung yang lebar juga betis-betis keras yang tercetak pada celana ketat yang mereka pakai. Lalisa tidak menyangka bahwa ia akan cukup menikmati moment ini.

"Dave!!"

"Oh itu Andrew!!!"

"Aku bersumpah jika LFSF menang, aku akan menari telanjang di pesta perayaan nanti!"

Teriakan demi teriakan terus masuk memenuhi gendang telinga Lalisa. Membuat gadis itu segera kehilangan rasa nyamannya. Ia berdecak lalu melirik pada Lia yang masih sibuk membidik wajah-wajah yang tertutup dengan helm itu.

"Ahhh Kim!!!"

"Kim!!"

"Itu Samuel Kim!!" teriakan para gadis-gadis pirang itu kembali memekakkan telinga. Lalisa jadi ikut terpaku pada sosok bernomor punggung 27 yang kini terlihat baru saja masuk ke lapangan.

Lalisa menatapnya lekat. Ia mengenali sosok Kim yang sedang di elu-elukan oleh hampir semua orang yang duduk di sekitarnya. Ia adalah salah satu orang Asia yang tergabung di dalam komunitas siswa Korea Selatan area San Fransisco, sama seperti dirinya. Hanya kenal karena beberapa kali sempat berpapasan, bukan berarti Lalisa benar-benar mengenalnya.

"Lia, apa kau sudah selesai?"

"Kenapa? Kau sudah tidak betah? Ayolah Lice, ini bahkan belum 15 menit. Aku belum mendapat foto bagus untuk nomor punggu 17 dan 13." Lalisa kembali memilih bungkam. Dekapan tangannya semakin erat saat rasa tidak nyaman terus bertambah seiring waktu yang memanjang.

Ia menyumpah di bawah napas karena pertandingan tidak kunjung mulai. Seolah-olah si penyelenggara pertandingan sengaja mengulur waktu untuk memamerkan para pemain mereka dan mendapat lebih banyak teriakan. Mungkin mereka sadar bahwa mayoritas yang datang hari ini, bukan benar-benar ingin menonton pertandingan, melainkan hanya ingin melihat wajah-wajah pria tampan di lapangan sana.

Tidak, Lalisa bukan seorang introvert parah yang tidak menyukai keramaian. Ia sama sekali tidak terganggu dengan rasa ramai. Masalahnya adalah, Lia memaksanya datang disaat dirinya masih harus melakukan sesuatu hal lain yang lebih penting. Ditambah teriakan-teriakan yang semakin lama terdengar semakin menjijikan di telinganya membuat Lalisa semakin ingin muntah.

"Lia, aku akan pergi lebih dulu. Nanti temui saja aku di perpustakaan atau hubungi aku jika kau sudah selesai."

"Kau serius?" Lalisa menunduk untuk melihat tangannya yang dicekal oleh Lia yang kini tengah menatapnya jengkel. Sebuah senyum ia terbitkan agar Lia tidak lagi banyak protes dan melepaskannya untuk pergi.

"Maaf, tapi tugas ku lebih penting daripada duduk disini dan melihat pertandingan yang sama sekali tidak aku mengerti." tanpa menunggu apapun lagi, Lalisa berdiri dan berlalu. Berusaha untuk memecah kerumunan yang beberapa kali protes padanya karena dirasa menghalangi pemandangan.

Ia menghela napas lega saat berhasil keluar dari ruangan. Dari sudut matanya, ia bisa melihat seseorang yang tengah menatapnya dari sudut kiri. Tepat pada pintu masuk para pemain yang sepertinya langsung menghubungkan ke loker. Tanpa menghiraukan apa yang ia lihat, Lalisa memilih berlalu. Ada banyak tugas yang terbengkalai akibat dirinya yang beberapa kali bolos karena urusan pekerjaan.

***

Kembali lagi, suara riuh ramai langsung menyapa Lalisa setelah gadis itu keluar dari perpustakaan. Tubuhnya berjengit kaget karena ledakan sebuah confetti popper dari jarak yang tidak jauh darinya, lalu disusul dengan teriakan lain yang tak kalah kerasnya. Hampir 3 jam ia mengurung diri di depan laptop dan beberapa tumpukan buku, dan saat ia keluar seluruh siswa sudah berteriak-teriak merayakan sekolah mereka yang memenangkan pertandingan football hari ini.

Sebuah senyum pun tersungging di wajah cantiknya yang semakin bersinar saat tersorot sinar matahari. Ia memeluk laptop di depan dadanya, dengan tangan kanan yang meraih ponsel yang sebelumnya ia simpan baik-baik di saku rok sekolahnya.

Sebuah pesan dari Lia membuatnya terkekeh kecil dan kembali menyimpan ponselnya di tempat semula. Langkah kaki jenjangnya mengarah pada loker pribadi, tempat dimana ia biasa menyimpan semua buku-bukunya agar tasnya tidak selalu berat setiap berada di luar kelas.

"Kau melewatkan banyak hal Lalisa." wajah Lia yang tiba-tiba muncul saat Lalisa menutup pintu lokernya pun membuat gadis cantik itu berjengit. Sebuah senyum jahil terbentuk pada wajah bayi Lia dan membuat Lalisa mencebik kesal.

"Kau menakuti ku, dasar nenek sihir." sebuah tawa yang semakin keras pun terdengar keluar dari bibir Lia. Mata gadis itu sepenuhnya menghilang saat ia tertawa, dan itu membuat Lalisa agak waswas karena takut temannya terjatuh karena tidak melihat apa yang ada di depan mereka.

"Kau masih saja takut. Tenanglah, sekolah ini tidak memiliki satupun jiwa-jiwa perundung."

"Ya ya, tunggu saja sampai ada seseorang yang dengki dan melihat ku memiliki sesuatu yang tidak mereka miliki."

"Seperti?"

"Entah, kau mungkin?"

"Hey Lalisa aku tak semenakjubkan itu. Kau terlalu berlebihan." kata Lia sambil mengulum senyum dan pipi yang merona semu.

"Kau akan mengerti ketakutan ku jika sudah merasakan bagaimana kau harus rela pindah sekolah hanya karena seorang senior yang tak menyukai keberadaan mu." Lia melunturkan senyumnya dan merangkul tubuh kurus Lalisa. Mereka berjalan ke arah luar hall entah untuk kemana.

"Baiklah maafkan aku. Aku tidak pernah berurusan dengan orang yang memiliki trauma perundungan sebelumnya." Lalisa hanya mengangguk asal sebagai jawaban. Sebuah tas pundak yang hanya berisi laptop dan beberapa alat essensial lain sudah tersampir di bahunya.

"Jadi kau akan ikut kan, nanti malam? Acaranya dibuat besar-besaran dan sudah pasti akan ada banyak pria tampan."

"Acara perayaan kemenangan mereka ya? Apa aku harus?"

"Ayolah, ini akan menjadi pesta pertama mu sebagai siswa LFSF. Kau akan sangat menyesal jika tidak ikut."

"Apa akan aman? Maksud ku, pesta-pesta yang aku datangi di San Diego sedikit, liar?" Lia menggulirkan matanya malas. ia menghentikan langkahnya dan membuat Lalisa melakukan hal serupa. Mereka berdiri berhadapan di tengah-tengah siswa lain yang ramai berlalu lalang.

"Aku sudah bilang, tak ada satupun hal berbahaya di sekolah ini. Jadi Lalisa, haruskan aku menjemput mu dengan atau tanpa supir?" wajah Lia terlihat tidak sabar menunggu. Setiap detik yang ia lewati untuk menunggu jawaban Lalisa, matanya pun melebar semakin besar. Sudut-sudut bibir yang perlahan terangkat dengan tujuan membujuk pun membuat pipinya ikut terangkat dan membentuk dua buah gumpalan kenyal yang akhirnya melunturkan rasa waspada yang Lalisa miliki.

"Baiklah aku ikut."

"Ah, kau tak tau kalau sejak tadi aku menahan napas dan aku jamin, jika kau menolak aku akan memukul kening mu sampai bengkak."

"Heii, kau bilang tak ada kekerasan di sekolah ini!"

"Cih, itu tergantung bagaimana kau bersikap." Lalisa berdecih tak percaya. Lia kembali merangkul pundaknya dan mengarahkan langkah mereka menuju jalan keluar dari sekolah.

"Bersiaplah, jam 7 nanti akan aku jemput. Pakai pakaian yang pantas, oke?"

"Baiklah nona Lia. Aku akan mengingatnya." mereka berpisah setelah Lia dan Lalisa masuk ke dalam mobil jemputan mereka masing-masing.

***

"Kau yakin akan memakai itu?"

"Apa ada masalah dengan pakaian ku?"

"Kau yakin tidak mau memakai sesuatu yang lebih--- hmmm berkilau?" Lalisa memandang datar pada Lia yang tengah menatapnya bolak balik dari atas ke bawah dengan pandangan yang---kecewa?

"Kau yakin tidak mau memakai sesuatu yang lebih--- hmmm berkilau?" Lalisa memandang datar pada Lia yang tengah menatapnya bolak balik dari atas ke bawah dengan pandangan yang---kecewa?

"Aku akan memakai ini dan jika kau masih memasang wajah yang seperti itu, aku akan menendang mu keluar dan aku tak akan pernah muncul lagi di pesta apapun yang kau tawarkan." Lia mencebik lalu meraih tas kecilnya dengan kesal.

"Baiklah baiklah gadis tomboy. Aku tak akan mengurusi pakaian mu lagi agar tidak ditendang." katanya malas sambil berjalan keluar dari kamar Lalisa.

"Apa kau yakin kalau kau adalah korban? Setelah mengenal mu selama 4 bulan ini, aku pikir kau lebih cocok sebagai pelakunya." Lia memekik keras saat lehernya dicekal dari belakang. Tawa keduanya kini mengisi rumah dan membuat sang pemilik utamanya keluar.

"Kalian sudah akan berangkat?"

"Bibi lihat, keponakan mu memakai baju jelek saat aku mengajaknya untuk berburu pria tampan! Dan saat aku berniat baik dan berusaha untuk mengingatkannya, dia bilang kalau aku akan ditendang jika tidak tutup mulut!" Park Dami, bibi Lalisa, terkekeh. Ia bersandar di kusen pintu sambil menatap wajah keponakannya yang masih terlihat berusaha untuk meredakan sisa tawanya setelah berperang dengan Lia.

"Biarkan dia Li, karena jika kau mengomentarinya lebih jauh, ia akan menolak pergi dan akan menjadi masalah besar bagi kita di kemudian hari."

"Bibi!"

"Oh jadi sudah sering ya gadis ini mengancam dan membuat masalah." kata Lia meledek.

"Sudahlah pergi. Kalian bisa kehabisan stok pria tampan jika berlama-lama disini." Lia terkekeh sambil memasukkan satu lagi butiran olives pickles ke dalam mulutnya.

"Tenang bibi, pria tampan di San Fransisco bahkan akan semakin bermunculan jika hari semakin malam. Kami jalan ya bibi!" kata Lia sambil membersihkan sudut-sudut bibirnya dengan menggunakan tissue.

"Tak bisa dipercaya. Bahkan bibi mendukung Lia." Lalisa berdecih sambil mencium kedua pipi sang bibi. Mereka berpamitan dan berlalu dari pekarang rumah dengan sebuah Audi berwarna hitam yang Lia kendarai sendiri.

Sesampainya di tujuan, mereka terpaku kagum dengan besarnya acara yang digelar oleh para siswa LFSF. Mereka tak menyangka, jika kediaman Kim, tempat yang kali ini digunakan untuk menggelar pesta perayaan, tak lain adalah sebuah mansion besar dengan bangunan berlantai dua bergaya modern klasik yang kini terlihat terang benderang di setiap sudut.

Mereka tak menyangka, jika kediaman Kim, tempat yang kali ini digunakan untuk menggelar pesta perayaan, tak lain adalah sebuah mansion besar dengan bangunan berlantai dua bergaya modern klasik yang kini terlihat terang benderang di setiap sudut

"Wah ini berlebih untuk sebuah tempat tinggal yang hanya dihuni oleh beberapa orang." bisik Lalisa kepada dirinya sendiri. Namun tak disangka, ucapannya terdengar sampai ke telinga sang sahabat yang masih berdiri tepat di sampingnya.

"Iya kan? Ku dengar mereka hanya tinggal bertiga di rumah sebesar ini. Yah keluarga Kim memang tipikal keluarga Asia kaya yang tinggal di negara ini dan menjadi miliarder."

"Kau yakin acara ini tidak akan berbahaya?" tanya Lisa dengan suara yang hampir termakan habis oleh besarnya musik yang sedang diputar.

"Kau yakin acara ini tidak akan berbahaya?" tanya Lisa dengan suara yang hampir termakan habis oleh besarnya musik yang sedang diputar

"Jika pun acara ini berbahaya, aku yakin kau akan menyukainya. Ayo Lalisa, aku tidak sabar ingin melihat taman belakang mereka!" pekik Lia sambil melangkah bersemangat mendahului Lalisa yang masih sempat menghela napasnya malas.

"Kau akan sangat menyesal karena datang dengan mengenakan baju jelek itu Lice." teriak Lia yang sudah berada jauh di depan sana. Membuat beberapa orang yang Lalisa lewati menatap ke arahnya sambil tersenyum menggoda sekaligus menyetujui.

Sepanjang acara, Lalisa sibuk mengamati Lia yang terus saja berkeliling kesana-kemari entah untuk menari atau hanya untuk menyapa orang-orang yang ia kenal. Lisa awalnya diajak. Tapi gadis itu sudah terlalu lelah karena tak sanggup mengikuti langkah Lia yang seolah tak ada ujungnya.

Kini, Lalisa tengah berdiri di dekat meja minuman sambil mengamati Lia yang tengah tertawa. Gadis itu terlihat tak henti meliukkan tubuhnya bersama segerombolan siswa lain yang tak kalah semangat dengannya. Gadis itu sudah mabuk, pikir Lalisa. Bagaimana tidak, jika Lia terus saja meneguk berbagai minuman yang disediakan oleh sang penyelenggara acara. Sepertinya Lalisa akan menyetir pulang nanti, pikirnya.

Lalisa kemudian mengamati suasana di sekelilingnya. Seperti yang Lia katakan sebelumnya, untuk ukuran sebuah pesta anak-anak populer, pesta ini terlihat tidak seberbahaya itu. Ada beberapa jenis minuman beralkohol, tapi sudah jelas si pemilik rumah sangat berhati-hati dan hanya menyediakan alkohol dengan kadar yang tergolong rendah. Lia hanya menjadi salah satu korban mabuk yang jelas-jelas tidak kuat minum tapi tetap rakus untuk menikmati surga dunia.

Dibanding dengan pesta-pesta lain yang pernah Lalisa datangi, pesta kali ini terlihat tidak terlalu liar. Di area kolam renang tadi, Lalisa menyaksikan bagaimana seorang gadis yang terlihat sudah sangat mabuk dan memaksa untuk menanggalkan seluruh bajunya, ditahan oleh beberapa orang. Setelah mengingat-ingat, Lalisa menyadari bahwa gadis itu adalah gadis yang siang tadi sempat menjanjikan sebuah hadiah kemenangan untuk klub football mereka jika menang.

Lalisa tidak menyangka bahwa perbuatan gadis itu akan dihentikan walaupun tak bohong, ia lega. Karena jika ini adalah pesta yang diadakan oleh anak-anak populer di sekolahnya terdahulu, gadis itu tak akan selamat dan dijadikan tontonan gratis. Belum lagi video yang sudah pasti akan tersebar keesokan harinya. Lalisa tidak bisa untuk tidak bergidik ngeri saat kembali mengingatnya.

Mata Lalisa kemudian terus berputar ke segala sudut terang yang bisa ia lihat. Lalu tanpa sengaja, matanya bertubrukan dengan mata lain yang juga tengah menatapnya. Dari jauh, Lalisa bisa melihat bagaimana mata itu mengantarkan kesan tajam namun teduh disaat yang bersamaan.

Kim Seokjin atau yang lebih dikenal sebagai Samuel Kim, salah satu pemain populer di klub football sekolah mereka sekaligus anggota komunitas pelajar Korea Selatan yang menempuh pendidikan di San Fransisco, seperti Lalisa. Bagaimanapun, sebagai orang Asia yang digembleng habis perihal kesopanan, Lalisa tidak bisa begitu saja mengalihkan pandangannya. Tanpa bermaksud apapun, ia menyunggingkan senyum tipis dan mengangguk basa-basi sebagai sapaan untuk sosok yang masih terus menatapnya itu.

Setelah basa-basinya tersampaikan, Lalisa membuang tatapannya ke arah lain. Kembali mencari Lia yang syukurnya masih berada di tempat yang sama.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya two-little talk
1
0
Blurb :Kemarin si Kim mencari mu. Ia menanyakan keberadaan mu saat aku sedang makan siang di kafetarian bersama Sarah dan yang lainnya.Kim? dahi Lalisa mengeryit bingung. Membuat Lia berdecak tidak suka karena ekspektasinya pada reaksi Lalisa sangat amat berbeda.Samuel Kim. Orang Korea itu! Atlet football sekolah kita!Dia mencari ku? telunjuk rampingnya menunjuk pada dirinya sendiri dengan ekspresi yang terlihat kebingungan. Lia mengangguk semangat sambil tersenyum manis.Untuk apa? kali ini Lia menggeleng.Tidak tau. Ia hanya menanyakan keberadaan mu lalu pergi setelah mendengar jawaban ku.Jawaban macam apa yang kau berikan padanya? Lalisa menatap curiga pada sahabatnya. Membuat Lia berdecak kesal karena dicurigai.Aku bilang kau ijin tidak masuk sekolah karena sedang ada urusan. Lalisa mengangguk-anggukan kepalanya dan kembali menggeser tubuhnya untuk kembali ke posisi semula. Ia kembali membuka buku bacaannya dan membuat Lia protes hingga kerutan di dahinya muncul berlipat-lipat.Hei! Hanya begitu? Lalisa?!Ck jangan berteriak. Aku tidak tuli.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan