Me and Thee: Wake-Up Call #1

0
0
Deskripsi

Di tengah gemerlap dunia mode yang penuh kilau dan skandal tersembunyi, Peach, seorang fotografer jenius dengan reputasi nyaris sempurna, menjalani malam yang tampaknya biasa—hingga sebuah insiden misterius menyeretnya ke dalam ketegangan yang tidak pernah dia bayangkan. Saat berusaha menyelamatkan model muda dari ancaman sekelompok pria asing di sebuah pesta penutupan, Peach tanpa sadar membuka pintu menuju rahasia gelap dan sosok berbahaya yang bisa mengubah hidupnya selamanya. Tapi siapakah pria...

Cahaya lampu kilat berkedip-kedip seirama dengan bunyi jepretan kamera, sementara model di depan latar belakang dengan lancar berganti-ganti pose. Dia adalah seorang pria bertubuh mungil dengan fitur wajah halus yang nyaris feminin—seorang model uniseks ternama yang memancarkan pesona saat berpose dengan sebuah parfum mahal, dengan sempurna merepresentasikan citranya sebagai wewangian untuk segala gender.

“Tunjukkan ekspresi yang sedikit lebih percaya diri… Ya, seperti itu, sempurna,” suara yang dalam dan tenang itu memberikan arahan, sementara matanya tetap tertuju pada kamera. Setelah beberapa jepretan lagi, sosok yang ramping itu akhirnya menurunkan kameranya dan mengumumkan waktu istirahat singkat untuk persiapan adegan berikutnya.

"Hai, Peach, bagaimana penampilanku? Apakah cukup memukau?" sang model bertanya dengan semangat sambil berjalan mendekat, hampir berlari kecil karena antusiasmenya. Sikapnya yang bersemangat berlebihan membuat Peach tersenyum geli sambil dengan santai memperlihatkan layar kamera kepadanya.

"Apakah kau tidak percaya dengan kemampuanku, Ran?" Peach bercanda sambil melepas kamera dari lehernya. Dia kemudian berpindah ke sebuah kursi di dekatnya, duduk dengan santai, dan membiarkan rekan kerjanya yang lebih muda itu melihat-lihat hasil jepretan. Sementara itu, Peach sendiri kembali memeriksa foto-foto tersebut melalui perangkatnya.

Aran tersenyum lebar hingga pipinya tampak mengembang, matanya berbinar-binar saat menatap gambar-gambarnya di layar. "Siapa yang tidak percaya padamu, Peach? Aku sudah tahu pasti hasil jepretanmu akan luar biasa—karena itulah aku tidak sabar untuk melihatnya!"

Dan sungguh, Aran tidak berlebihan. Peach—atau Peachayarat Janekit—merupakan salah satu fotografer terkemuka di negeri ini. Kemampuannya sungguh luar biasa. Bahkan model-model yang tidak memiliki ciri khas menonjol atau ketenaran pun bisa tampak memikat setelah diabadikan melalui lensanya. Banyak aktor dan selebritas yang mengawali kesuksesan besar mereka berkat segelintir foto menakjubkan karya Peach.

Di samping bakatnya yang luar biasa, Peach juga memiliki reputasi bersih di industri ini. Dikenal dengan profesionalme, tutur kata yang sempurna, serta sikap tenangnya, dia sama sekali tidak pernah terlibat dalam skandal atau pemberitaan buruk—tidak sekali pun.

Namun, meski begitu gemilang dalam kariernya, kehidupan asmaranya justru merupakan bencana total, nyaris tragis secara menggelikan. Setelah diputuskan oleh kekasih ketiganya dengan alasan persis sama seperti dia pendahulunya, Peach pun pasrah dengan pemikiran bahwa mungkin cinta memang bukan takdirnya.

"Peach, Peach! Apakah kau akan menghadiri pesta penutupan malam ini?" tanya Aran, yang akhirnya puas dengan hasil foto tersebut dan kembali menghadapnya. Matanya yang lebar dan polos memancarkan pandangan sedikit memohon, membuat Peach tersenyum geli.

Model menawan itu telah dekat dengan Peach sejak awal kariernya di industri ini. Bahkan beberapa orang mungkin mengatakan bahwa Peach-lah yang membantu melambungkan namanya. Meski demikian, hubungan mereka selalu terjaga pada tingkat yang formal—tidak lebih dari sekadar hubungan profesional. Bagi Peach, Aran hanyalah sosok adik yang disayangi.

Satu-satunya masalah? Hubungan ambigu Aran dengan pasangannya terkesan posesif secara mengganggu dan terlalu dramatis—cukup untuk membuat siapapun ingin menghela napas.

"Sudahkah kau memberi tahu Tawan? Kalau kalian berdua mulai bertengkar di pesta nanti, aku akan mengusir kalian berdua," Peach memperingatkan dengan tangan bersilang. Model bertubuh mungil itu langsung terlihat gugup, gelisah sebentar sebelum akhirnya mengaku dengan malu-malu bahwa dia belum memberitahukan hal tersebut. Tanpa sepatah kata lagi, dia segera berlari ke ruang ganti, mungkin untuk menelepon dan melapor ke pasangannya sekaligus bersiap untuk pemotretan berikutnya.

Peach menghela napas panjang sebelum bangkit untuk memeriksa set berikutnya. Dia mengeluarkan ponselnya, memeriksa pesan dan melihat sekilas jadwalnya. Sejenak kemudian, dia membuka aplikasi berlogo burung biru itu untuk melihat berita terkini sembari menunggu.

Jejak jarinya terhenti ketika sebuah headline tertentu menarik perhatiannya. Kabar terbaru tentang seorang pengusaha muda keturunan Thailand-Rusia yang sedang naik daun sebagai bintang baru di industri parfum dan perhiasan. Tidak hanya terkenal karena ketajaman bisnisnya, tetapi juga wajahnya yang menawan dan hubungan asmaranya yang on-off dengan beberapa aktris telah mengantarkan Theerakit Kian Arseny ke puncak ketenaran selebriti.

Peach melirik botol parfum yang terpajang rapi di set, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke ponsel, menggeleng pelan dengan senyum tipis mengembang.

Bosnya memang cerdik.

Pikiran itu sekilas melintas sebelum dia kembali fokus pada pekerjaannya. Meski secara teknis disebut "bos", gelar itu hanya berlaku karena pria itu adalah CEO perusahaan yang sedang ia tangani proyek iklannya. Kemungkinan mereka bertemu langsung hampir tidak ada.

Yang benar-benar perlu dia fokuskan sekarang adalah berharap rekan model mudanya tidak akan menyeretnya ke drama baru malam ini.

Dengan langkah panjang, Peach berjalan menuju mobil kecilnya, memutuskan untuk mampir ke apartemennya terlebih dahulu sebelum bergabung dengan yang lain di sebuah restoran-pub trendi di pusat kota.

Sesampainya di apartemen, dia memarkir mobil di lantai dasar, menguncinya, lalu mengumpulkan barang-barangnya sebelum menuju pintu masuk gedung. Setelah mengetukkan kartu akses di panel keamanan, Peach melangkah masuk ke lift dan menekan tombol lantainya.

Cermin di dalam lift memantulkan sosok pria muda berparas tegas dengan tubuh ramping, tingginya sedikit di atas 175 cm, mungkin mendekati 180 cm. Posturnya langsing namun atletis, dengan lekuk tubuh orang yang merawat diri dengan baik.

Bukan wajah yang tampan memukau, bukan pula cantik menawan, tapi jenis ruupa yang tidak pernah membuatmu bosan memandangnya.

Ding. Lift berbunyi pelan saat tiba di lantainya. Peach berjalan menuju unitnya, mengetuk kartu akses di smart lock, dan mendorong pintu yang terbuka dengan bunyi klik.

Apartemennya berupa studio standar—tidak besar, tapi cukup untuk satu orang. Ruangannya terbagi menjadi ruang tamu dan kamar tidur, dengan dapur kecil di satu sisi dan kamar mandi di sisi lain. Di ujung terjauh terdapat balkon mungil, hanya cukup untuk mesin cuci, rak jemuran, dan beberapa tanaman kecil yang memberi sentuhan hijau pada ruang.

Kamarnya sederhana dan tidak neko-neko, persis seperti dirinya.

Peach merapikan barang-barangnya. Dia bangga bisa dibilang cukup teratur, meski versi kerapiannya seringkali hanya masuk akal bagi dirinya sendiri. Setelah menata segala sesuatu pada tempatnya, menyiram tanaman, dan mengambil camilan dari kulkas untuk mengganjal perut nanti, dia menuju lemari pakaian untuk memilih outfit malam ini.

Saat membuka lemari pakaian, matanya langsung disambut koleksi andalannya, atasan polos berwarna gelap dan beberapa celana jeans yang pas di badan. Dia memutuskan tetap memakai jeans yang sedang dikenakannya, hanya mengganti kaos kasual dengan kemeja lengan pendek. Dua—atau mungkin tiga—kancing teratas sengaja dibiarkan terbuka, cukup untuk memperlihatkan sekilas dadanya yang pucat. Setelah menyemprotkan parfum secepat kilat, dia pun siap berangkat.

Sejujurnya, Peach tidak terlalu terkejut ketika pacar terakhirnya memutuskan hubungan dua bulan lalu. Hidupnya sederhana—mungkin terlalu sederhana, persis seperti kepribadiannya. Bukan tipe yang suka mengumbar romansa atau ungkapan cinta berlebihan. Yang bisa dia tawarkan hanyalah keteguhan, menjadi sosok yang menghargai hal-hal kecil dan mau mengurus keseharian bersama.

Kebanyakan orang menggambarkannya sebagai pendengar yang ideal—seseorang yang memberi nasihat bijak, membuat orang lain nyaman, dan memancarkan kehangatan.

Bisa diandalkan, bisa dipercaya... tapi tidak pernah jadi seseorang untuk dicintai.

Pikiran itu membuatnya terkekeh sendiri, teringat kata-kata persis yang digunakan mantannya saat memutuskan hubungan. Kalimat itu membuatnya hampir tidak kuasa menahan godaan untuk membalas dengan komentar pedas: "Oh, terus kenapakau mau seseorang yang tidak bisa diandalkan? Haruskah aku jadi parasit yang menumpang hidupmu agar bisa jadi 'jodohmu'?!"

Tentu saja, saat itu tidak sepatah kata pun meluncur dari mulutnya. Pada akhirnya, yang bisa dilakukannya hanya tersenyum getir sambil menyaksikan sang mantan pergi berjalan bergandengan tangan dengan pacar barunya.

Ah, kisah tragis kehidupan cinta Peachyarat.

Dia menghela napas panjang, berusaha melenyapkan sisa kegelisahan yang masih membekam, lalu kembali menuruuni tangga menuju mobilnya. Sudah dua bulan berlalu sejak perpisahan itu, dan Peach hampir sepenuhnya pulih. Memang, dia tidak begitu bersemangat untuk bertemu mantan kekasihnya, tetapi setidaknya kini dia bisa mengenangnya tanpa rasa perih menyentak.

Menyusup kembali ke dalam kemacetan lalu lintas kota, Peach teringat betapa malam Jumat selalu menjadi kekacauan total. Seolah seluruh penduduk kota sepakat untuk melepas penat setelah seminggu yang melelahkan.

Jalani dipadati kendaraan, nyaris tidak ada celah antar mobil. Setelah hampir sejam terjebak dalam kemacetan yang menyiksa, Peach akhirnya tiba di restoran. Dia masuk dan bergabung dengan teman-temannya di meja, siap menjalani malam dengan segala kisah yang akan terurai.

Tempatnya adalah sebuah restoran sekaligus pub dengan live music—bukan jenis tempat ramai dan semrawut yang biasa disebut klub malam. Suasananya cukup ramai untuk terasa meriah, sehingga meja tempat teman-temannya berkumpul mudah ditemukan.

Acara malam ini adalah pesta penutupan syuting koleksi Musim Gugur, yang menampilkan serangkaian parfum dan aksesori pendamping—hampir sepuluh gaya berbeda. Proses syutingnya memakan waktu hampir seminggu penuh, menggabungkan pembuatan iklan video dan pemotretan. Memang masih ada pekerjaan editing dan pascaproduksi yang menumpuk, tetapi merayakan apa yang telah mereka capai sejauh ini menjadi penyemangat yang baik.

Peach dipersilakan duduk di dekat ujung meja. Dia menyunggingkan senyum samar yang sopan lalu duduk tanpa banyak bicara. Di seberangnya, Aran—model utama iklan tersebut—sedang melambai-lambaikan tangan antusias seperti anak anjing yang gembira melihat majikannya. Sayangnya, Aran tampak tidak menyadari sorot mata membunuh yang diarahkan tawan, kekasih sang model, yang duduk persis di sampingnya.

"Kalau kau terus memandangiku seperti itu, Tawan, aku bisa hamil," canda Peach sambil menyungging senyum lebar, tangannya meraih bahan-bahan koktail untuk meracik minumannya sendiri. Mustahil baginya mempercayakan hal ini pada kru-nya—mereka selalu berulah dengan mencampuri minumannya sekadar untuk bersenang-senang.

Tawan membalas dengan tatapan tajam yang dilebih-lebihkan, matanya yang runcing menyipit dalam peringatan palsu. Salah satu lengannya terkulai di sandaran kursi Aran dengan gaya yang jelas menyiratkan kepemilikan. Peach terkekeh dalam hati, memilih untuk menyimpan pikirannya kali ini.

Tidak mengherankan memang—Aran sungguh memesona. Kecantikannya memancarkan kelembutan, dengan mata besar bak rusa yang selalu berbinar hangat dan memikat. Namun garis rahangnya yang tegas memberikan kesan maskulin yang tidak terbantahkan. Perpaduan memikat ini menarik perhatian setiap orang di ruangan itu, baik wanita maupun pria.

Peach melirik Tawan, lelaki yang maskulin dalam arti paling tradisional. Fitur wajahnya yang tajam dan bersudut, otot-otot ramping, dan tinggi badan 183 cm yang mengesankan seakan meneriakkan "alpha male". Ada intensitas tertentu dalam sikapnya—sifat pemarah yang pernah beberapa kali membuat Peach harus menegurnya.

Dia benar-benar tokoh utamanya, tidak diragukan lagi.

Peach, yang belakangan ini ketagihan menonton serial baru, menggelangkan kepala pelan. Andai harus menganalogikan, kedua orang itu memang terlahir untuk berdiri di bawah sorotan—tokoh utama dari ujung ke ujung. Sementara dirinya lebih mirip peran pendukung—sang sahabat yang memberi nasihat bijak, menerangi jalan sang tokoh utama, atau sesekali mengaduk-aduk situasi sekadar untuk hiburan.

Dia tidak membenci peran semacam itu, tapi dari waktu ke waktu, terasa agak menyepi.

Setelah perut kenyang dan rasa laparnya terpuaskan, dia masih bertahan sebentar menikmati minumannya. Namun tidak lama kemudian, dia memutuskan untuk mengakhiri malam ini. Dia menyetir sendiri ke sini, dan masih ada pekerjaan yang menunggu nanti. Mabuk sama sekali bukan pilihan.

Peach berdiri dan beranjak ke kamar mandi, berencana menyegarkan wajahnya dengan air sebelum pergi. Namun saat membuka pintu, pemandangan tidak terduga menyambutnya: Aran, si model mungil, terpojok oleh tiga priab berpakaian serba hitam.

Kekacauan apa yang terjadi sekarang?

Peach mengumpat dalam hati, namun segera melangkah masuk, kakinya yang jenjang menutup jarak dalam hitungan detik. Di benaknya, ia melontarkan sumpah serapah pada pacar Aran yang suka cemberut itu—begitu cepat melepar tatapan tajam, tapi entah ke mana ketika situasi genting seperti ini terjadi. Meski begitu, Peach tetap menjaga ketenangannya, memaksakan senyum tipis saat ia berusaha meredakan ketegangan yang memenuhi ruangan.

"Hei, Ran, kenapa lama sekali?" serunya dengan nada santai, meski sebenarnya dia sama sekali tidak tahu kapan Aran meninggalkan meja. Dengan gerakan halus, dia meraih lengan pemuda itu dan mengarahkannya ke belakang tubuhnya sealamiah mungkin. "Kau mabuk? Baik-baik saja, kan? Kau tidak mengganggu para Tuan ini, kan?"

Peach terus berbicara berpura-pura tidak menyadari bahwa Aran hendak membuka mulut. Sebelum pemuda itu sempat mengucapkan sepatah kata, Peach mempererat genggamannya di lengan Aran—sebuah peringatan tanpa suara. Dia tahu persis betapa tajamnya lidah Aran. Kalau dibiarkan bicara, situasi ini pasti akan cepat lepas kendali.

Berbalik menghadap para pria yang mengelilingi mereka, Peach menyunggingkan senyum ramah, berharap bisa meredakan ketegangan. Saat itulah dia akhirnya menyadari sosok seseorang yang tengah bersandar santai di wastafel di ujung ruangan.

Pria itu tampak seperti keturunan campuran, dengan rambut hitam licin tersisir rapi ke belakang, menyingkap dahi yang lebar. Di bawah cahaya neon, rambutnya tampak berkilau dengan semburat cokelat. Matanya—tajam dan penuh wibawa—berwarna kelabu seperti awan badai, dan garis rahangnya yang tegas menambah kesan mengintimidasi. Dia mengenakan kemeja lengan panjang dengan tiga kancing teratas terbuka, lengannya digulung hingga ke siku, memperlihatkan otot-otot yang kokoh dan sedikit tato. Diapit oleh dua pria kekar bersetelan hitam, pria itu memancarkan aura otoritas yang membuat kamar mandi sempit itu terasa semakin menyesakkan.

Adegan itu meneriakkan bahaya—terlalu jelas hingga Peach hampir saja melarikan diri saat itu juga.

"Sepertinya temanku ini sempat merepotkan kalian. Aku sungguh minta maaf. Tolong jangan diambil hati," ucap Peach, menggenggam lengan pria di sampingnya lebih erat sambil menundukkan kepala dengan sopan.

Peach bukanlah tipe orang yang suka memperkeruh keadaan, apalagi ketika pihak lawan memancarkan aura ancaman seperti itu. Jika permintaan maaf singkat bisa meredakan situasi—atau memberinya celah untuk kabur—maka dia akan melakukannya tanpa ragu.

"Kalau begitu, kami permisi dulu," ujarnya dengan senyum yang dipaksakan, memutar tubuh dan langsung melangkah cepat keluar dari kamar mandi tanpa menunggu persetujuan. Dia menarik sang model mungil bersamanya, tidak melepas genggamannya hingga mereka benar-benar berada di jarak yang aman.

Batal sudah niat untuk menyegarkan diri sebelum pulang. Ketegangan barusan telah membuatnya lebih terjaga daripada percikan air dingin mana pun.

Begitu mereka mencapai tempat yang tenang, Peach akhirnya berbalik menghadap pemuda itu, segudang pertanyaan siap meluncur.

"Apa sebenarnya yang terjadi tadi, Ran? Siapa mereka itu?"

"Aku juga tidak tahu! Aku tidak melakukan apa-apa!" sahur Aran dengan nada gusar, pipinya memerah—sebagian karena marah, sebagian lagi akibat alkohol yang masih mengalir dalam tubuhnya. "Orang menyeramkan mirip mafia itu mencoba merabaku! Jadi aku membentaknya. Lalu dia memanggil antek-anteknya untuk menakutiku. Dasar brengsek!"

Peach menahan diri agar tidak menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia tahu anak ini memang menarik secara fisik—cukup menarik untuk memancing perhatian orang-orang bejat yang pikirannya dikendalikan oleh ego dan hasrat semata. Tapi cara Aran menyelesaikan konflik sungguh perlu diperbaiki.

Tubuhnya tidak lebih besar dari kacang, sendirian pula di ruangan penuh pria-pria berbahaya, tapi tetap saja berani membalas? Sungguh keajaiban dia tidak mati atau mengalami hal yang lebih buruk. Anak ini bahkan tidak punya naluri bertahan hidup sedikit pun?

Dia baru saja hendak membuka mulut dan mengatakan sesuatu untuk meredakan situasi ketika tiba-tiba tubuhnya ditarik paksa. Sebuah tangan kuat mencengkeram bahunya dengan keras hingga terasa sakit, lalu mendorongnya ke samping tanpa sedikit pun belas kasihan. Untungnya, dia masih berhasil menjaga keseimbangan, namun tidak sebelum tangannya yang meraih pegangan untuk menopang tubuh tergores, menyisakan luka perih. Lengannya berdenyut dari bagian yang membentur tepiannya.

Peach menoleh, jantungnya langsung berdebar penuh kecemasan, takut kalau pria berbahaya dari sebelumnya telah mengikuti mereka. Namun alangkah terkejutnya dia saat mendapati sosok yang menatapnya tajam, seolah siap merobek-robek dirinya, ternyata bukan orang asing—melainkan sang selebritas berwajah kaku. Tawan berdiri di sana, memeluk erat sang model mungil ke dadanya. Nada bicaranya yang tajam dan menusuk sangat bertolak belakang dengan sikapnya yang melindungi.

"Apa yang terjadi di sini?" Tawan menggertak, suaranya tajam bagai cambuk. Cengkeramannya pada Aran semakin kuat, seolah tidak ingin membiarkannya lolos. "Menghilang begitu lama—ternyata kau main belakang dengan fotografer sialan ini, ya?"

"Tawan, dengarkan aku!" Aran meronta dalam pelukan sekeras besi itu, berusaha sia-sia untuk melepaskan diri. "Ini bukan seperti yang kau pikirkan! Peach hanya membantuku, itu saja!"

Namun, protes Aran hanya menyulut amarah. Frustasi Tawan kian memuncak saat dia membalas dengan nada tajam. Lalu, tanpa berkata sepatah pun, dia menarik pria yang lebih kecil itu pergi bersamanya, satu lengannya melingkari tubuh Aran seperti sebuah pernyataan kepemilikan. Sebelum mereka menghilang dari dari pandangan, Tawan sempat melemparkan tatapan sedemikian tajam ke arah Peach—seolah sebilah belati menghujam perut—sebuah peringatan yang sangat jelas: jangan dekati dia.

Peach terdiam membeku, berusaha mencerna badai kekacauan yang baru saja terjadi di depannya. Pikirannya tertinggal jauh di belakang badai emosi yang mengamuk memenuhi ruangan. Sebagian dari dirinya ingin berteriak, apa yang barusan terjadi, sebenarnya?! Tapi pada akhirnya, yang dia lakukan hanyalah mengembuskan napas panjang, mengusap rambutnya dengan tangan yang terluka dalam frustrasi, lalu berjalan lunglai kembali menuju mobilnya.

Dalam perjalanan, dia mulai bertanya-tanya apakah sebaiknya dia mengurangi pekerjaan yang melibatkan Aran. Dia tidak ingin menjadi penyebab kesalahpahaman atau ketegangan lain di antara keduanya. Lagi pula, dia ingin memperjelas pada Tawan bahwa dirinya sama sekali tidak berniat terlibat dalam drama mereka.

Masalahnya, Aran baru saja menjadi duta merek untuk Arseny. Dengan kontrak penuh untuk keseluruhan koleksi musim gugur, menghindari keduanya nyaris mustahil.

Peach menghela napas lagi, rasa pasrah yang entah apa namanya mulai menetap di dadanya. Dia tahu dirinya tidak melakukan kesalahan, tapi masalah terus saja datang menghampiri. Pada titik ini, yang bisa dia lakukan hanyalah mengangkat bahu dan kembali fokus pada pekerjaannya. Hal-hal lain? Bukan urusannya lagi.

Dia berjalan mendekat dan berhenti di dekat mobil. Tepat saat hendak kembali pergi, rasa perih menusuk di lengannya mengingatkan akan luka yang tadi. Mengubah niatnya, dia mulai mengobrak-abrik bagasi untuk mencari sebotol air, berpikir bahwa membasuh luka itu mungkin ide yang bagus. Dia juga mempertimbangkan untuk mampir ke klinik demi suntikan tetanus. Terlalu gelap untuk melihat apa yang telah melukainya—dan jika itu adalah logam berkarat, bisa jadi masalah serius.

Peach meraih botol air dan dengan canggung mencoba membuka tutupnya tanpa menggunakan tangan yang terluka. Gerakannya yang kikuk membawanya kembali mengingat pria yang sempat dia temui di toilet tadi—pria yang memancarkan aura berbahaya itu.

Dia harus mengakui, pria itu benar-benar tampan—sangat tampan, bahkan. Tapi aura berbahaya yang menyelimutinya sulit diabaikan. Namun yang paling membekas di benak Peach bukanlah rupa sang pria, melainkan sepasang mata abu-abu berasap miliknya.

Maka itu memesona, nyaris hipnotis—jenis tatapan yang bisa membuat siapa pun berhenti melangkah. Dia bahkan sempat berharap membawa kamera saat itu, hanya untuk mengabadikannya. Ada sesuatu yang terasa ganjil sekaligus akrab dalam mata itu, seolah dia pernah melihatnya entah di mana. Keindahannya—seperti pusaran asap yang membeku di tengah gerakan—cukup untuk membangkitkan kembali gairah seorang fotografer dalam dirinya.

"Butuh bantuan dengan itu?"

Suara berat itu membuat Peach terlonjak kecil. Dia menoleh, dan tubuhnya menegang saat tatapan mereka bertemu—mata abu-abu berasap yang baru saja memenuhi pikirannya.

Bagus sekali. Sepertinya di pria baru yang merepotkan itu sedang menyeret serangkaian masalah baru langsung ke arahnya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Me and Thee: Wake-Up Call #2
0
0
Dalam pertemuan tak terduga yang dipenuhi ketegangan, seorang fotografer ceroboh bernama Peach berhadapan dengan sosok berbahaya—seorang pria tinggi bermata abu-abu yang memancarkan aura mafia. Saling sindir dan benturan prinsip membuat suasana panas, namun anehnya justru membangun koneksi yang tak terjelaskan di antara mereka. Si fotografer kecil ini, dengan sikap santainya, tanpa sadar menarik perhatian Theerakit Kian Arseny—seorang pewaris kerajaan bisnis gelap yang menyamar sebagai pengusaha parfum dan perhiasan. Saat pertemuan singkat itu berubah menjadi obsesi diam-diam, pertanyaan pun muncul: akankah Peach berhasil bertahan dari perhatian seorang pria yang tak pernah terbiasa mendengar kata tidak? Atau justru dia akan terjebak dalam dunia gelap yang bahkan tak pernah dia bayangkan?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan