
SATU
Valentine menatap layar ponsel, menanti notifikasi pesan ataupun panggilan dari sang kekasih, sudah lebih dari satu jam ia menunggu di café tempat mereka membuat janji makan siang—nihil.
Vin—Alvin, kekasihnya, tak kunjung datang. Dan tak memberikan kabar apapun pada Valentine.
Vin tak pernah seperti ini sebelumnya, membuat Val menunggu lama. Dan sungguh, Val bukanlah wanita yang sabar menanti.
Sesibuk apapun pekerjaan Vin, ia akan menepati janji dan selalu datang tepat waktu. Tapi entah apa yang terjadi, Val sudah terlanjur kesal dan… marah.
Menghubungi Vin berkali-kali, namun Vin tak mengangkat panggilan Val.
Hubungan mereka sudah berjalan dua tahun, sudah mengenal kebaikan serta keburukan masing-masing. Harusnya Vin tahu jika Val akan marah-marah bila ada kesalahan yang Vin lakukan.
Valentine menarik nafas dalam sekali lagi, saat panggilan telefonnya kepada Alvin berakhir dengan nada sibuk di ujung sambungan.
Di rumah Valentine, Alvin yang sudah sejak sebelum jam makan siang berada disana, tengah menyiapkan kejutan untuk kekasihnya.
"Pasti Val sedang cemberut dan menahan marah saat ini."
Suara calon ibu mertua Vin yang ikut membantu menyiapkan lamaran untuk putrinya, mengatur sajian untuk tamu—dari keluarga besar Vin.
"Sekali-kali Vin mau lihat Val marah besar," ucap Alvin.
"Mana bisa Val marah kalau kamu bikin kejutan begini. Sudah itu angkat telefon Val dulu!"
Pikiran Valentine berlari-lari, banyak praduga dihatinya akibat ulah Alvin yang tak biasa hari ini.
"Apa Alvin selingkuh?" tanya Valentine pada diri sendiri.
"Engga-engga!! Vin ngga bakal gitu!"
Valentine menggelengkan kepalanya, membuat orang disekitarnya memandangi dengan tatapan aneh.
"Apa Vin kenapa-kenapa di jalan? Oh ya ampun!" pekik Valentine saat isi pikirannya ia suarakan. Semakin membuat sekelilingnya menatap Valentine.
Sekali lagi menghubungi nomor Alvin, tak sampai bunyi nada sambung kedua—akhirnya Val mendapat sahutan.
"Kamu dimana! Kamu niat ngga si ngajak aku makan siang... Ini udah jam berapa?"
"Bla... Bla... Blaa" Valentine terus mengoceh.
"Val? Kamu tenang dulu... Oke?" Alvin coba menenangkan kekasihnya.
"Tapi Vin kamu dimana? Aku udah mikir macam-macam—"
"Aku di rumah kamu. Mama kamu…, kamu bisa pulang sekarang?” Alvin sengaja menjeda ucapannya, dan benar saja suara Valentine di seberang sana terdengar bertambah kalut.
“Mama kenapa Vin? Mama baik-baik aja kan?”
“Tenangkan diri kamu, sayang…, cepatlah pulang.”
Jantung Valentine seperti merosot, tangannya dingin dan ketakutan membuat keningnya berkeringat. Keluar dari café, ia melambaikan tangan di pinggir jalan, menghentikan taksi yang lewat.
Plak
Alvin mendapat pukulan di kepalanya—tak terlalu kuat, dari Mama Valentine.
“Kamu ini pakai bawa-bawa Mama ya!”
“He he… cuma Mama kan yang bisa bikin Val pulang, kalau alasan lain, pasti dia bakalan maksa aku datang, bisa gagal dong?”
“Awas kalau Val sampai jantungan di jalan gara-gara keusilan kamu!” Hana, Mama Valentine berlalu meninggalkan Alvin untuk menyambut kedatangan orang tua Alvin.
***
DUA
Valentine terkejut saat halaman rumahnya terlihat ramai, beberapa mobil terparkir di sana. Jantung Val berdetak lebih cepat.
Ada apa?
Keluar dari taksi, Val bergegas masuk ke dalam rumah, matanya terperangah melihat pemandangan aneh di ruang tamu rumahnya yang penuh hiasan. Sementara ia melihat orang-orang yang ia kenali sebagai saudara orang tuanya dan bahkan ada orang tua kekasihnya ikut duduk di ruang tamu yang hanya beralaskan tikar, entah kemana sofa di sana.
“Mama…” Valentine menjerit saat melihat sang Mama berjalan ke arahnya dengan senyuman yang menentramkan. Val langsung berlari memeluk Mamanya.
“Hey… kenapa sayang? Ada tamu lho… malu kan?”
“Tadi Alvin bilang Mama—”
“Mama ngga kenapa-kenapa sayang. Alvin cuma minta kamu pulang kan? Yuk sini kita ke kamar dulu! Kasihan tamunya nanti nunggu lama.”
Valentine masuk ke kamarnya, dan di dalam kamarnya sudah ada seseorang yang siap merias wajahnya.
“Ini ada apa sih Ma?”
“Nanti juga kamu tahu. Mama keluar ya, nemenin tamu.”
Di kamar lain di rumah Valentine, Alvin sudah selesai mengganti kausnya dengan jas.
Sudah lama Alvin merencanakan ini, melamar Valentine dan segera menikahinya. Hanya saja kesibukannya di kantor Ayahnya setelah ia menduduki jabatan tertinggi menggantikan Ayahnya benar-benar menyita waktunya. Kini setelah Alvin bisa mengikuti ritme kerja di posisi pemimpin perusahaan, ia baru bisa mewujudkan rencananya.
Valentine sudah selesai di rias. Kecantikannya semakin terpancar, bahkan keindahan tubuhnya yang mengenakan kebaya serta jarik benar-benar membuat mata Alvin terpana saat Valentine berjalan ke ruang tamu.
Alvin mendekati Valentine, dan langsung mendapatkan pukulan di dadanya.
“Apaan sih kamu! Jahat banget bilang mama kenapa-napa,” rajuk Val.
Alvin langsung mendekap erat tubuh kekasihnya. Mengelus punggung Valentine untuk menenangkannya. Andai ia lupa diri dan tak ada orang lain di sekitar mereka, mungkin saja bibir Alvin sudah bersarang di bibir Valentine.
“Ehem…, Vin!” suara Ayah Alvin membuat pelukan mereka terlepas.
***
TIGA
Valentine tak pernah mengira akan mendapatkan lamaran yang begitu ia impikan seperti saat ini. Ia pikir Alvin tak akan pernah melamarnya setelah setahun lalu Alvin menduduki kursi direktur utama yang sebelumnya dipegang Ayahnya.
Pernah satu kali Valentine bertanya pada kekasihnya itu tentang pernikahan, yang hanya di jawab Alvin dengan kata nanti dan juga nada yang cuek. Membuat Valentine tak lagi menanyakan hal itu. Kebersamaan mereka sudah cukup bagi Val, bahkan kesetiaan Alvin padanya adalah hal yang terpenting—meski yang ia harap lamaran.
Ah, kini ia sudah mendapatkannya bukan?
Mata Valentine berkaca-kaca saat Alvin mengatakan di depan semua orang, meminta persetujuan Valentine untuk menjadi miliknya, selamanya. Alvin berlutut di hadapan Valentine, membuka kotak berbentuk hati dengan lapisan beludru berwarna merah.
“Be my wife, please?”
Anggukan kepala Valentine menjadi jawabannya, lalu Val mengulurkan tangannya saat Alvin hendak memasukan cincin ke jemari Val.
Alvin berdiri berhadapan dengan Valentine.
“Sttt… jangan nangis dong, sayang…”
“Aku nangis bahagia kok. Karena kamu akhirnya mau melamarku, aku pikir kamu ngga serius sama hubungan kit—”
“Mana mungkin aku ngga serius? Di hati ini, cuma ada kamu,” ucap Alvin, seraya membawa telapak tangan Valentine ke dada pria itu.
“Woi…woi… jangan mesra-mesraan di depan orang tua! Ngga sopan! Berasa dunia milik yang muda saja!” canda Mama Valentine, di iringi tawa semua orang yang ada di ruang tamu.
Setelah acara penyematan cincin, Alvin bahkan sudah menyiapkan hantaran untuk Valentine. Semua barang-barang yang Valentine inginkan untuk hantaran pernikahan. Membuat mata Valentine melotot saat rombongan yang tiba-tiba datang dari luar, masuk ke ruang tamu dan menata hantaran tersebut di meja.
“Dari mana kamu tahu apa yang aku inginkan? Ini…ini kita kapan menikah?”
“Kalau hari ini kamu siap, aku bisa panggil penghulunya. Dan soal hantaran itu, em… kan ada Mama kamu… he he.”
“Ih! Mama baca catatan rahasia aku?!”
“Yang penting impian kamu terwujud kan, sayang.”
“Jadi kapan kamu siap menikah? Hari ini? Besok? Atau—”
“Minggu depan!” jawab Valentine memotong pertanyaan Alvin.
“Siap,” balas Alvin dengan suara sok tegas.
***
EMPAT
Valentine bergelung di balik selimutnya, merasakan hawa dingin dari hembusan AC. Tiba-tiba ia merasakan kecupan di bahunya yang telanjang.
Ah—telanjang… ya, Valentine dan Alvin telah resmi menikah kemarin. Dan tentu saja, semalam mereka menghabiskan waktu untuk aktifitas panas di atas ranjang.
Kecupan-kecupan di bahu Val bergeser ke lehernya, membuat tidur Val terganggu.
“Aku masih ngantuk sayang,” ucap Val, namun Alvin tak menghentikan cumbuannya, bahkan jemari Alvin merambat ke payudara Valentine yang berada di balik selimut.
“Aku pengen yang kayak semalem sayang…”
“Tapi aku ngantuk dan capek, sayang… awh…” erang Valentine.
Pada akhirnya Val menyerah pada gairah suaminya, dan gairahnya sendiri yang terbangun akibat ulah Alvin.
Alvin memasuki milik Val yang terasa sangat sempit, membuat pria itu merasakan nikmat luar biasa. Bibir Alvin berada di payudara Valentine, menghisapnya, membuat Val mengerang nikmat.
Milik Alvin terus menumbuk di dalam kewanitaan Valentine, semakin cepat kala Alvin merasa akan meledakkan gairahnya. Valentine-pun bergerak liar mengikuti irama percintaan Alvin, hingga akhirnya dirinya menjerit karena pelepasan menerjangnya, bersamaan dengan geraman Alvin.
“Argh…., terima kasih, sayang,” ucap Alvin, mengecup kening Valentine dan melepas penyatuan mereka.
Alvin menarik istrinya ke dalam pelukannya, menutupi tubuh mereka dengan selimut. Valentine yang masih mengantuk karena memang ini masih jam empat pagi, langsung terlelap di pelukan suaminya.
***
SELESAI
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
