
Sebuah pertemuan yang tidak terduga telah terjadi antara Eric dan Lycon Enosa. Di luar dugaan, sang monster memberikan sebuah tawaran kepada Eric... yang mana sang anak harus menerimanya.
Keempat Genoforce yang lain harus berpacu dengan waktu demi hidup Eric!
“Jangan pernah lengah. Akan selalu ada pemburu yang menunggumu untuk mengendurkan pertahananmu.”
“Sang pemburu menjadi yang diburu!”
BABAK 1: PERTEMUAN
BGM: Light Your Heart Up
Empat hari telah berlalu semenjak Petra menjadi Pterablau, sang Genoforce biru bersayap yang menambah kekuatan Genoforce. Sejak itu juga kota Natales terasa damai karena tidak ada serangan RMO atau insiden lain yang mengakibatkan turun tangan. Ini artinya, pada akhirnya untuk sejenak mereka bisa bernapas dan memproses segala yang telah terjadi.
Apakah ini sebuah kebetulan? Sepertinya tidak. Melihat kekuatan baru Genoforce pasti telah membuat para RMO cukup terguncang. Mereka sepertinya juga berhenti sejenak demi mengumpulkan kekuatan baru dan membuat perencanaan yang lebih matang. Apapun itu, bagi Eric sendiri sebagai anggota Genoforce, ini adalah kesempatan untuk lebih bisa memproses semuanya dan kembali ke kesibukannnya di sekolah.
Angin yang lebih hangat berhembus menandakan masa peralihan dari musim semi ke musim panas telah tiba. Ini artinya dalam tiga bulan lagi di awal bulan September, festival pentas seni akbar yang akan didanai oleh GenTech akan segera tiba.
Jelas dengan ini pekerjaan Eric akan semakin menumpuk. Malam-malam panjang tanpa tidur yang cukup menjadi keseharian barunya belakangan ini demi mengejar laporan, proposal, dan urusan-urusan internal lainnya. Belum lagi aktivitas di sekolah dimana dalam beberapa hari sekali ia harus pulang terlambat karena rapat yang tidak jarang berjalan hingga lebih dari dua jam. Seperti yang terjadi pada hari ini di ruangan OSIS. Meskipun ia sudah mulai lemas, tetapi ia harus tetap semangat menjalani ini semua demi keberhasilan event ini.
“Proposal untuk GenTech sudah diserahkan ya,” kata Eric melapor ke Mike.
“Kerja bagus. Selanjutnya untuk ke vendor-vendor dan EO? Juga bintang tamunya The Cometfall?” Tanya Mike lagi.
“Tengah dikerjakan. Seharusnya jika tidak ada hambatan dalam minggu ini sudah bisa dikirimkan,” jawab Eric lagi.
“Oke. Seperti biasa MOM rapat dikirimkan yah. Selanjutnya dari bendahara, apakah ada menerima budgeting tambahan?” Tanya Mike sambil mengarahkan pandangannya ke Xing Yun sang Bendahara OSIS.
Setiap pembicaraan dan pembahasan yang terjadi di ruangan itu tercatat dengan baik oleh Eric. Akan lebih banyak surat menyurat yang ia buat demi event ini. Mulai dari mendekati para vendor, EO, MC, izin pemakaian ruangan di sekolah, dan berbagai perizinan lain yang ditujukan baik ke pihak eksternal maupun eksternal.
Setelah dua setengah jam lamanya berada di ruangan, rapat akhirnya selesai. Seluruh pengurus OSIS meninggalkan ruangan, kecuali Eric dan Monica yang setia menemani seniornya itu.
Dalam event kali ini, Monica adalah sekretaris kedua yang membantunya. Ini adalah pekerjaan pertamanya sebagai pengurus inti bagi sebuah event besar, dan dia bisa dibilang sangat beruntung. Orang yang ia sukai adalah atasannya langsung di divisinya, dan dia sangat membantu.
Pekerjaannya sebagai sekretaris biasanya baru ia komunikasikan dan kerjakan di malam hari, dimana ia sudah selesai membantu kedua orang tuanya dalam mengelola kedai kari yang mereka miliki. Ia tidak punya begitu banyak waktu untuk berlama-lama di sekolah demi menjalankan pekerjaannya itu. Karena itulah tidak biasanya Monica berbuat seperti ini, seperti yang Eric sadari.
“Tumben kamu gak pulang duluan atau nungguin aku di luar Mon?” Tanya Eric sementara matanya masih berfokus pada layar laptopnya.
“Kak Eric… Lagi ada masalah ya?” Tanya Monica penasaran.
Pertanyaan Monica memecah keheningan Eric. Ia seketika memalingkan wajahnya ke Junior di sebelahnya dengan tertawa kecil.
“Haha sebenernya iya sih Mon. Tapi ini bukan masalah yang besar kok. Kenapa kamu berpikir begitu?”
“Kak Eric, gak biasanya loh laporan ke kak Mike dengan kata-kata “mungkin” atau “diusahakan”,” terang Monica.
“Ahahaha…. Iya juga sih. Aku lagi gak in mood sebenernya. Tapi ya karena ini kan juga demi event kita bersama. Aku ya harus pinggirkan masalah pribadiku dong,” jelas Eric.
“Tapi ada baiknya di saat seperti ini kak Eric istirahat dulu sih. Kerja di cafe pasti juga melelahkan, kan?” tanya Monica lagi, “Belum lagi, ada masalah kah di cafe itu sampai itu merusak mood Kak Eric?”
“Apa yang terjadi di cafe biarkan di cafe saja. Apa yang terjadi di sekolah biarlah terjadi di sekolah. Itu namanya profesionalitas,” kata Eric tenang lalu terdiam sejenak. “Tapi sepertinya kamu ada benarnya. Belakangan ini aku juga lagi kurang istirahat sih.”
Tanpa diduga oleh Monica, Eric menutup laptopnya dan memasukannya ke dalam tas, padahal laporannya belum selesai. Di depan matanya kini sudah berdiri Eric yang menenteng tas di punggungnya.
“Ayo, kita cari angin yuk. Nanti kita bicarakan lagi pekerjaannya setelah pulang,” kata Eric sambil tersenyum.
“Kalau kak Eric gak keberatan, aku boleh mengusulkan tempatnya?” Tanya Monica.
“Dimana?”
“Di Cafe tempat biasa Kak Eric kerja.”
Dheg.
Eric terdiam sejenak. Seperti biasa juniornya ini selalu penasaran dengan pekerjaannya. Ia takut jika nanti rekan-rekanya di Genoforce tanpa disangka muncul di hadapannya dan membicarakan soal “pekerjaan sampingan”-nya itu di depan dirinya dan juga Monica.
“Sebentar ya, aku mau izin ke teman-temanku dulu,” kata Eric sambil mengangkat Saurierphone-nya.
“Oke kak,” balas Monica tannpa ada rasa curiga selagi Eric mengetik pesan ke rekan-rekannya di grup.
“Eric H
Aku hari ini bakal kerja kelompok di cafe yah.
Maaf nanti bakal terlambat ngurus cafenya!
16:49”
Setelah pesan itu terkirim, Eric mengantongi kembali Saurierphonenya.
“Ayo, kita berangkat,” kata Eric.
Mata Monica berbinar-binar atas permintaannya yang diluluskan oleh sang senior. Merekapun segera meninggalkan ruangan itu. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore saat mereka melangkahkan kaki keluar ruangan itu menuju ke gerbang sekolah, dimana jalanan di sana sudah mulai penuh oleh orang-orang yang pulang kerja, baik itu yang mengenakan kendaraan, ataupun yang berjalan kaki.
Jarak dari sekolah mereka ke Herzen Cafe tidak begitu jauh, hanya sekitar 2 kilometer. Ini artinya mereka butuh sekitar 30 menit berjalan kaki. Meskipun singkat, suasana perjalanan mereka hari itu sangat cair lewat obrolan antara dua pelajar itu. Lewat obrolan itu jugalah perlahan tapi pasti Eric mulai bisa lebih membuka dirinya tentang kehidupannya di Cafe. Bahkan ia mulai bisa bercerita tentang rekan-rekannya di sana secara lebih jauh.
“Jadi begitulah. Empat hari yang lalu aku baru aja kehilangan seniorku di tempat kerjaku. Dia orangnya baik banget, tapi dia sayang meninggal karena sakit,” jelas Eric.
“Kak Ignis pasti orang yang baik ya,” balas Monica.
“Begitulah. Baru aja aku sebulanan kenal dia…” Kata Eric mulai sendu.
“Begitu ya…” kata Monica sambil merendahkan nada bicaranya.
“Begitulah. Makanya beberapa hari kemarin cafe sempat tutup dan pas hari Sabtu yang lalu aku gak bisa dateng ke acara makan-makan OSIS kan?”
“Iya sih kak. Pasti berat itu buat kak Eric,” kata Monica.
Mereka berdua larut dalam pembicaraan sore itu. Saking cairnya, mereka sampai tidak sadar bahwa di belakang mereka ada seseorang yang tengah mengikuti mereka, tepat dari pertigaan jalanan yang baru saja mereka lalui sejak 10 menit yang lalu. Sesosok pria tinggi tegap, berkumis tebal dan berjaket jeans berjalan mengikuti mereka dari sisi trotoar jalan. Ia beberapa kali mencuri pandang pada dua murid SMA itu dibalik kacamata hitam yang ia kenakan.
******
Sebuah lantunan musik Jazz menyambut kedatangan kedua pemuda itu memasuki cafe dengan interior kayu itu. Kedatangan Eric yang tidak disangka-sangka itu mengejutkan Grace yang tengah berjaga seperti biasanya di meja kasir. Ia tidak bisa berkata-kata melihat juniornya di tim kali ini datang membawa seorang perempuan bersamanya.
“Hai kak Grace. Aku pesan dua americano ya,” kata Eric begitu menghampiri meja kasir. Ia berujar begitu saja bahkan sebelum Grace menyapanya. Akrab sekali.
“O… ke…” kata Grace keheranan sembari Eric berlalu, “Teman kerja kelompok kah? Tapi suasananya berbeda sekali.”
Grace hanya membatin karena kaget melihat Eric yang muncul seperti itu. Kedatangannya emmang diluar dugaannya bisa secepat ini. Anak itu, bisa-bisanya dia mengajak temannya datang ke cafe untuk belajar tanpa pemberitahuan lebih awal.
Tidak ada yang salah dengan agenda kerja kelompok dadakan ini. Tetapi ketika temannya adalah seorang wanita manis, dan hanya dia seorang saja yang datang dengan aura se-akrab itu, jelas perkaranya berbeda! Matanya hanya mengikuti Eric dan Monica yang berlalu menuju ke bangku di bagian paling ujung belakang cafe, tepat di sebelah timur meja Barista.
“Kamu akrab sekali dengan perempuan tadi?” Tanya Monica dengan berbisik kala mereka sudah duduk di bangku cafe.
“Iya. Dia kak Grace. Seniorku di tim cafe ini,” kata Eric santai.
Monica hanya mendengarkan. Ada kejujuran yang ditegaskan dari perkataan yang senior, tetapi tetap saja ada sedikit rasa tidak nyaman yang timbul kala ia tahu Eric punya teman perempuan di cafe ini. Demi menepis pikiran negatifnya itu, Mata Monica melirik-lirik ke sekitar cafe itu. Dari berbagai buku yang tertata di rak kayu, miniatur hewan-hewan purba di rak kasir, dan papan menu yang terpampang di atas meja kasir. Inilah tempat dimana Eric melakukan kerja part time sepeninggal ibunya.
“Kak Eric… disini kerja jadi apa?” tanya Monica lagi.
“Jadi pelayan sih… Sekaligus bantu-bantu di dapur belakang,” jawab Eric tersenyum, sambil membuka buku catatannya.
Terpampang di hadapan mereka kini satu catatan penuh to-do-list mereka untuk event itu. Sebagai sekretaris, sudah tugas Eric berkoordinasi dengan sekretaris keduanya, Monica.
“Jadi ini daftar dokumen yang aku dan kamu akan kerjakan. Aku akan kerjakan untuk mengurus eksternal, kamu yang mengurus internal yah,” terang Eric.
“Jadi aku urusin apa aja disini?” Tanya Monica sambil memperhatikan buku catatan itu.
“EO, Vendor audio, tenant-tenant makanan dan penjual, sponsorship, dan perizinan ke walikota semua adalah urusanku,” terang Eric sambil menunjuk dengan penanya, “Lalu perizinan penggunaan ruangan sekolah untuk latihan pentas seni dan rapat, dan koordinasi dengan yayasan semua adalah urusanmu.”
Monica hanya manggut-manggut saja mendengarkan penjelasan ramah dari sang senior itu, sementara Eric masih menjelaskan mengenai pembagian pekerjaan mereka.
“Aku ada contoh surat untuk pembuatan perizinan yah. Kalau kamu butuh, aku bisa kirimkan via LIME yah,” jelas Eric, “ada yang kamu mau tanyakan?”
“Ini perizinannya butuh berapa lembar kak? Mengikuti tahun lalu saja 2 untuk setiap klub?” Tanya Monica.
“Tergantung. Biasanya Marching Band dan Modern Dance adalah yang paling banyak membutuhkan venue sekolah untuk latihan di akhir minggu. Untuk ini kamu koordinasikan saja dengan kak Tasha aja yah. Dia kan ketua klub Modern Dance juga,” jelas Eric.
Monica hanya mengangguk. Semuanya terasa semakin jelas baginya. Perlahan perasaan tidak nyaman itu mulai hilang, tergantikan dengan perasaan yang tidak ingin waktu yang ia habiskan ini berlalu begitu saja. Tiba-tiba saja fokusnya terpecah kala wangi kopi hitam pahit yang lebih pekat dari bau kopi di sekitar mereka menghampiri mereka bersama dengan suara langkah kaki.
BGM: Rock-Paper-Scissors!
“Kopinya…. Ric…”
Tampak di hadapan mereka sesosok perempuan cantik berambut coklat dan berkemeja pink datang dengan membawa sebuah nampan yang berisi dua gelas kopi americano. Perempuan itu sama terkejutnya dengan Grace, melihat Eric datang membawa seorang perempuan bersamanya. Saking kagetnya, hampir saja ia menumpahkan kopinya karena tangannya terguncang.
“Hati-hati kak Winnie!” kata Eric sambil dengan sigap berdiri untuk menahan nampannya. Dengan santai kemudian ia mengambil kedua kopi itu dan memberikan yang satunya pada Monica.
“Aduh… Maaf Ric. Ini siapa?” Tanya Winnie.
“Ah ini… temen sekolahku. Namanya Monica, dia kebetulan sesama anak OSIS sama sepertiku. Kali ini kita bekerja di event yang sama dan kebetulan satu divisi juga,” kata Eric memperkenalkan Monica pada Winnie sebelum melakukan yang sebaliknya, “dan ini namanya kak Winnie Mon. Dia pelayan disini.”
“Ah… hai kak… Monica,” kata Monica agak canggung berhadapan dengan Winnie.
Monica tidak mau ambil pusing dengan semua itu. Ia meyakinkan pada dirinya bahwa kak Eric adalah orang yang setia dan bisa dipercaya. Selama ini meskipun Eric sudah banyak berurusan dengan lawan jenis di OSIS, tetap Monica kan yang jadi prioritasnya?
“Oh ya… Selamat bertugas ya,” kata Winnie tersenyum sambil berlalu meninggalkan mereka di mejanya.
Diiringi oleh dua kopi americano membuat suasana bekerja diantara mereka semakin cair. Beberapa kali mereka bertukar pikiran dan berdiskusi mengenai pekerjaan yang tengah mereka lakukan itu sembari diselingi canda dan tawa sesekali. Waktu mengalir begitu saja saking asyiknya mereka menghabiskan waktu berdua, hingga tanpa sadar HP Monica bergetar yang menandakan mereka sudah terlalu larut berada di cafe itu.
“Panggilan Masuk
Papa
20:36
Terima/Tolak”
“Halo papa?” Tanya Monica.
“Mon, kamu dimana sekarang?” Tanya ayahnya dengan hangat.
“Ini sebentar lagi mau pulang yah. Aku di cafe dekat rumah bareng kak Eric kok,” jawab Monica.
“Begitu ya? Mau pulang jam berapa? Ini sudah cukup larut dan Papa mama masih sibuk. Lagi banyak pelanggan nih jadinya gak bisa jemput kamu,” balas ayahnya lagi di dapur sementara ibunya berkeliling dapur membantu para tukang masak yang kewalahan akibat pesanan yang membludak di jam makan malam itu.
“Iya yah gak papa. Ada kak Eric kok,” balas Monica lagi sambil tersenyum.
“Oke. Kamu jaga diri ya. Hati-hati,” kata ayahnya.
“Oke yah,” kata Monica sambil menutup teleponnya sebelum berpaling ke Eric, “Kak Eric bisa temani aku pulang? Papa mulai waswas nih.”
“Mau diantar sampai mana? Mau ke halte bus aja, atau sampai rumahmu?” Tanya Eric.
“Ke rumahku sih. Dari sini gak jauh kan?” Tanya Monica lagi.
“Boleh,” Eric menerima permintaan itu.
Jarak antara Herzen Cafe tempatnya bekerja dan GM Curry House tempat Monica tinggal tidaklah jauh. Jaraknya hanya sekitar 1,5 kilometer saja. Terlebih lagi jalannya hanya lurus dengan sedikit belok kanan dan kiri melewati stasiun kereta.
“Eric H
Aku anterin temenku pulang dulu ya
20:37”
Begitu chat Eric ke rekan-rekannya di Genoforce. Ia meminta izin untuk datang lebih terlambat di shift malam ini.
“Alvin M
Iye. Jangan lama-lama lu dah. Udah mau tutup nih
20:37”
“Petra W
Anterin yang bener yah Ric. Kalo bisa kasih hadiah juga biar kalian makin langgeng. Hahaha.
20:38”
“Grace T
Bisa gak sih biasa aja Pet? Oh iya lu tau dari mana dah Eric bawa pacar?
20:38”
Teman-temannya mulai bersenda gurau perihal Eric yang membawa teman perempuannya ke cafe untuk pertama kali. Ia tertawa melihat chat yang masuk dari teman-temannya yang terkejut baru mengetahui fakta itu. Saking asiknya ia tersenyum, ia tidak sadar mata Monica juga memperhatikan dirinya.
“Kenapa kak?” Tanya Monica.
“Ah gak papa. Biasa temen-temen di grup kerja mulai ribut lagi,” kata Eric sebelum mengantongi HPnya kembali, “Ayo kita pulang.”
Monica mengangguk. Mereka merapikan tas mereka, dan berjalan keluar dari cafe.
“Oh ya kak Eric, itu kopinya udah dibayar belum?” Tanya Monica.
“Santai itu mah. Aku sudah bilang untuk dipotong saja dari gaji bulananku,” Jawab Eric.
“Beneran gapapa nih kak?” Tanya Monica yang merogoh dompetnya mendengar jawaban Eric.
“Tidak usah. Gaji di tempatku bekerja sudah cukup kok. Americano juga tidak seberapa harganya,” kata Eric santai.
Monica tidak menjawab. Seperti biasa, kakak seniornya ini terlalu baik baginya sampai-sampai mau-mau saja dia dikurangi gajinya untuk traktiran hari ini. Ya memang tidak seberapa sih, tapi tetap saja ada perasaan tidak enak yang muncul di hatinya.
BGM: Memory Lane Vln ver.
Mereka berdua berjalan keluar dari cafe menuju ke arah stasiun Atlan. Mereka berjalan melintasi kerumunan orang yang baru pulang kerja dan keluar dari stasiun. Di antara kerumunan orang-orang yang melintasi jalan malam itu, tanpa mereka sadari juga ada seorang pengintai berjaket hitam yang dari tadi terus mengikuti mereka. Matanya yang tertutup kacamata hitam masih mengawasi mereka dari jauh.
“Jadi kerjamu di Herzen Cafe yah nak?” Gumamnya sambil menyeringai diantara kerumunan orang yang tidak waspada akan siapa dirinya sebenarnya.
Setelah melewati stasiun Atlan, kedua orang itu berbelok sedikit. Mereka lalu berjalan lurus sekitar 600 meter ke depan, menuju sebuah kios bergaya Jepang modern. Terpampang di pintu masuk sebuah plang listrik berwarna kuning yang menyala. GM Curry House. Inilah tujuan mereka.
“Terima kasih ya Kak Eric,” kata Monica begitu mereka tiba di depan pintu GM Curry House.
“Sama-sama,” balas Eric sambil tersenyum.
“Oh ya Kak Eric, mau mampir dulu? Kali-kali makan dulu?”
“Wah makasih yah! Tidak usah repot-repot deh…”
Ada sedikit kecewa di hati Monica mendengar penolakan dari Eric. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa mengingat seniornya itu pasti juga sudah kelelahan. Ia hanya bisa tersenyum manis mengucapkan salam perpisahannya untuk hari itu kepada Eric.
“Hati-hati di jalan yah kak!”
“Iya! Sampai bertemu besok di sekolah ya!” Kata Eric sambil melambaikan tangan sebelum memalingkan wajahnya dari juniornya itu.
Eric tersenyum puas. Tubuhnya sudah sangat lelah, tetapi ia sangat lega tugasnya bisa lebih ringan, sekaligus mengajari Monica untuk menjadi seorang sekretaris. Sekarang yang tinggal ia lakukan adalah berjalan kembali ke markas untuk bantu-bantu membereskan cafe.
BGM: MAN-Child
Ia lewati sepanjang jalan yang barusan ia lewati. Orang yang melintas sepanjang jalan sudah lebih sedikit mengingat malam yang sudah semakin larut. Tapi tidak apa-apa bagi Eric, karena tinggal 300 meter lagi toh ia akan tiba di Herzen Cafe. Tetapi yang tidak ia sadari adalah… ia ternyata tidak sendirian yang menapaki jalan itu…
“Kamu… Tyrannorot ya?”
Sebuah suara lelaki berat mengejutkan Eric dari belakang. Ia menoleh dan mendapati seorang pria tinggi tegap berkumis dan berkacamata hitam berdiri di belakangnya.
“Maaf, paman siapa ya?” Eric membalikkan tubuhnya.
Siapa orang ini? Bagaimana bisa seorang random yang bahkan dirinya tidak kenal bisa mendapati diriku sebagai Tyrannorot? Padahal bertemu dengannya saja dia belum pernah. Sesuatu pasti tidak beres disini…
“Kamu Tyrannorot ya?” Tanya pria itu lagi dengan wajahnya yang semakin mendekati wajah Eric.
Aura pria ini begitu mengintimidasi dengan postur tubuh yang begitu tinggi besar. Melihat pantulan wajahnya di kacamata hitam si pria berkumis itu membuat Eric tidak nyaman sampai-sampai tubuh dan pikirannya membeku di tempat.
“Paman… ini siapa ya?” Tanya Eric untuk yang kedua kalinya, kali ini dengan nada yang agak terbata-bata.
“Siapa aku bukan urusanmu. Jawab dulu pertanyaanku, “Kamu Tyrannorot ya?”” tanyanya dengan nada yang semakin meninggi.
Nada ini. Ia merasa agak familiar dengan nada bicara sang pria di hadapannya. Mirip sekali dengan nada amarah Lycon Enosa, sang monster serigala yang kemarin merenggut nyawa Ignis, sosok yang baru saja ia anggap “kakak”.
Eric semakin waspada. Rasa takut yang awalnya ia rasakan kini bercampur dengan amarah yang menggebu-gebu. Kebetulan sekali ia ada disini, dimana Eric bisa langsung membalaskan dendamnya. Tetapi melihat situasi dimana ini masih di pinggir jalan dimana masih ada orang yang berlalu lalang sesekali, pertarungan langsung akan berbahaya.
“Apa mau paman disini?” Tanya Eric dengan nada yang berubah menjadi ketus.
“Nampaknya kamu sudah menyadarinya yah?” Tanya pria itu semakin dalam, “Akan bahaya jika kita melanjutkan pembicaraan kita disini. Ayo kita pergi.”
Lycon Enosa sudah ditemukan. Tidak salah lagi. Dengan penuh amarah Eric rogoh Saurierphone dari sakunya dan ingin ia beritahu perjumpaannya itu kepada rekan-rekannya di markas. Tentu, melihat gelagat sang anak, Lycon Enosa tidak semudah itu membiarkan Eric memanggil bala bantuan.
“Ya ampun… Sepertinya tidak ada cara lain ya…”
Ia segera meninju perut Eric. Seketika Eric tersungkur berlutut di pinggir jalan memegangi perutnya yang nyeri sesak. Saurierphonenya pun terjatuh dari genggamannya.
“Goahk!”
Lycon Enosa tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan melihat Eric yang tidak bisa lagi memberikan perlawanan. Dengan cepat ia memukul bagian tengkuk anak itu dan membuat ia tak sadarkan diri. Ia kemudian mengangkat tubuh Eric yang tak sadarkan diri di pundaknya dan berjalan menghilang menuju ke kegelapan malam….
******
BABAK 2: PENCARIAN
Pukul 11 malam.
Dua jam telah berlalu sejak Eric meninggalkan cafe, dan setengah jam lagi Herzen Cafe akan tutup. Masih ada beberapa orang yang duduk di cafe itu, entah untuk ngobrol-ngobrol santai, mengerjakan pekerjaan, atau berpacaran. Asap rokok mulai memenuhi bagian smoking area di lantai dua cafe itu. Sialnya bagi Alvin, malam itu ia ditugaskan untuk membereskan piring dan gelas para pelanggan yang sudah kosong… dan seharusnya ia menjalankan tugas ini bersama Eric yang batang hidungnya belum muncul sampai sekarang.
“Uhuk… Uhuk… Sial, itu si Eric kemana sih? Bukannya sekarang waktunya beberes?” Gerutunya sambil terbatuk-batuk. “Orang-orang ini… kapan sih kebiasaan merokok bisa hilang dari bumi?”
“Terima kasih yah mas!” Sahut seorang pelanggan dari dalam smoking area, yang sayangnya tidak digubris oleh Alvin yang berlalu begitu saja meninggalkan ruangan dengan wajah sebal.
Bagi orang yang melihat Alvin saat itu mungkin akan merasa dia ini sombong dan tidak suka basa-basi. Tetapi bagi Alvin, dia tidak mau berlama-lama disana karena yang ada baginya malah mengganggu kenyamanan pelanggan lain karena batuk-batuknya.
Raut wajah Alvin tidak berubah bahkan ketika ia memasuki ruangan mendapati Sir Owen yang tengah mencuci piring dan Petra yang tengah memasak.
“Masih aja bete Vin?” Tanya Petra dengan nada jahil sambil memasak sepiring cheese hamburg steak untuk pesanan terakhir mereka malam itu.
“Itu bocah kemana dah? Udah tau cafe mau tutup malah ngilang dia,” Kata Alvin dengan kesal sambil meletakkan piring-piring kotor dari lantai atas di tray pencucian itu.
“Dari tadi dikontak juga tidak bisa sayangnya. Sementara pelanggan terus berdatangan, kita tidak punya pilihan lain,” kata Sir Owen sambil mencuci piring-piring kotor itu.
“Iya. Aku coba chat, call si Eric gabisa. Gak biasanya dia kayak begini loh,” kata Petra lagi.
“Tch. Kelupaan kali dia. Mungkin gasih dia mau lari begitu aja karena pengen pacaran?” Tanya Alvin kesal.
Tak lama usai Alvin menyelesaikan gerutunya, tiba-tiba saja pintu markas mereka terbuka. Nampak disana sosok Winnie yang terengah-engah dengan menggenggam sebuah Saurierphone. Perempuan itu bermandikan keringat dan napasnya terbata-bata. Pemandangan itu sontak mengejutkan baik Alvin, Sir Owen, dan juga Petra.
“Eric…” Kata Winnie sambil terengah-engah.
“Kenapa?” Tanya Sir Owen sambil menengok ke arah Winnie.
“Ini… Saurierphone dia kan? Tadi… aku… nemu di pinggiran jalan. Untung aja belom diambil orang… Hampir sih… sebenernya….”
“Hampir gimana?” Tanya Alvin.
“Aku tadi jalan keluar mau cari Eric, tapi aku malah nemu Saurierphone yang tergeletak di jalanan. Nah tadi tuh pas aku mau ambil, ternyata ada orang yang mau ngemaling juga. Kita akhirnya rebutan… Untung aja aku tinju dia sampe mental,” balas Winnie lagi sambil terengah-engah dengan mengepalkan tangannya.
“Eh lu… Udah tau tenaga kek gorila masih aja main kekerasan… Mau dikata maling juga, nanti kita yang kena masalah juga ujung-ujungnya…” Alvin menghela nafas atas kebodohan Genoforce tertua itu sebelum melemparkan sindiran… atau lebih tepatnya makian padanya.
Alvin paham, selain status dan umurnya yang merupakan Genoforce tertua, menyamakan kekuatan fisiknya apalagi dengan hewan-hewan besar adalah cara terbaik untuk memercikkan api emosi dalam hati Winnie. Dan ia tidak peduli soal itu, selama ada harapan bagi Winnie untuk sadar akan kebodohannya.
“COBA LU BILANG SEKALI LAGI WOI!” Seru Winnie sambil menghempaskan Saurierphone itu ke lantai untuk menerjang Alvin.
Beruntung Saurierphone itu tidak menyentuh lantai karena Petra dengan sigap meraih HP itu. Jika HP itu rusak, habis sudah satu-satunya petunjuk bagi mereka untuk menemukan Eric yang hilang. Tetapi bagi Alvin, ia tidak beruntung karena kerah kaos putihnya dicengkram oleh Winnie yang menatap marah ke arahnya.
“Kenapa lu tiba-tiba sewot sama gue dah?” Tanya Alvin dalam cengkraman Winnie.
“Bisa gak sih lu gausah nyebut nama hewan?!” Tanya Winnie tajam.
Manik cokelat perempuan berambut dengan warna senada itu menatap tajam ke arah Alvin. Meskipun tatapannya mengancam, tapi Alvin, dengan harga diri sekeras baja, tidak gentar sedikitpun di mata Winnie.
“Lu sadar gasih dengan berbuat kek gitu lu udah bikin masalah?! Gimana kalo kita dicariin orangnya karena perbuatan lu barusan?!” Sahut Alvin tidak mau mengalah.
Tidak ada yang mau mengalah antara Alvin dan Winnie. Untuk beberapa saat mereka beradu pandangan dengan sengit, memanaskan kembali ruangan yang sudah lama tidak ada kehangatan itu… setidaknya sampai Grace yang baru saja datang dari kasir depan dan menunjukkan layar HPnya yang menunjukkan suatu berita.
“Err… teman-teman…”
Semua mata tertuju pada Grace yang menunjukkan layar HPnya. Terpampang di layar yang digenggam oleh perempuan kecil itu sebuah video dengan tajuk berita:
“Seorang Buronan Pencuri Tertangkap di Sekitar Stasiun Atlan.”
“Ini kan orang yang kalian maksud?” Tanya Grace datar.
Alvin dan Winnie berpandangan. Mereka melihat lebih jelas ke layar berita di HP Grace, dan betapa terkejutnya Winnie melihat bahwa si pencuri yang tertangkap adalah orang yang tidak asing baginya. Meskipun mukanya disamarkan, tetapi ia ingat betul pakaian yang dikenakan: sebuah hoodie hitam, celana jeans panjang, dan sepatu sandal hitam. Ya, dialah orang yang baru saja ia tinju barusan. Untuk sesaat baik Alvin dan Winnie merasakan lega atas perkara itu.
Winnie segera mengendorkan cengkramannya atas Alvin. Alvin seketika sadar akan kesalahannya yang terlalu cepat mengambil kesimpulan, tetapi ia masih terlalu gengsi untuk mengakui kesalahannya itu.
“Tuh kan?” Tanya Winnie dengan nada sinis menghadap Alvin.
“Ehm… Lain kali jangan diulang,” kata Alvin sambil menghela nafas, yang dibalas oleh tunduk diamnya Winnie.
“Ngomong-ngomong, barusan kalian nyariin Eric kan yah?” Tanya Grace sambil melipat tangannya.
Alvin dan Winnie berpandangan. Mereka lupa ada prioritas lain yang harus diutamakan duluan. Saat itu juga Sir Owen dan Petra ikut berkumpul menyusul ketiga orang itu dan mereka mulai duduk untuk membicarakan rencana menyelamatkan Eric.
Saurierphone Eric kini dipegang oleh Petra, yang sekarang tengah membuka kunci keamanannya guna menemukan petunjuk. Bukan masalah besar bagi Petra untuk membobol keamanan HP orang lain mengingat perihal teknologi, dialah yang paling bisa diandalkan. Betapa terkejutnya pria berkacamata itu menemukan apa yang terpampang di layar HP Eric sampai ia dibuat terdiam sesaat. Spontan reaksi Petra memancing penasaran dari Sir Owen dan yang lainnya.
“Ya ampun….” kata Petra pelan.
“Kenapa?” Tanya Sir Owen.
“Kalian liat deh,” kata Petra sambil menunjukkan layar HP Eric.
Grace, Alvin, Winnie, dan Sir Owen menatap ke layar itu. Terpampang disana layar grup chat LIME mereka yang disana terdapat pesan yang belum dikirimkan.
“Aku bertemu Lyco-”
Keempat mata yang menatap itu terkejut bukan main. Mereka semua paham betul apa yang Eric maksud. Lycon Enosa. Bagaimana bisa Eric berjumpa lagi dengan sang RMO Alpha itu?
“Berarti Eric saat ini jangan-jangan diculik sama Lycon Enosa?” Tanya Grace heran.
“Seharusnya begitu. Mengingat dia adalah RMO Alpha, kita tidak punya banyak waktu kalau mau dia kembali dalam keadaan selamat.” jawab Petra.
“Tapi pertanyaannya, dimana dia sekarang?” Tanya Alvin.
“Dia bawa DNA Key tidak?” Tanya Petra balik.
“Memang kenapa? Kita bisa lacak dia pake DNA Key kah?” tanya Winnie heran.
“Bisa. Tetapi akan lebih sulit dibanding jika HP ini ada bersamanya,” tegas Sir Owen, “sejak power system kita dibantu oleh Petra, kita jadi bisa melacak setiap Genoforce lewat jejak energi DNA Key mereka. Akurasinya 95%.”
“Jadi begitu ya… Kalau begitu gimana caranya kita deteksi?” Tanya Alvin tidak sabar.
“Ikutin jejak energinya. Di HPnya pasti ketahuan kok,” terang Petra sambil membuka aplikasi perubahan, “Tapi ya begitu. Jejak energi semakin lama akan semakin memudar jika terlalu jauh dari DNA Keynya. Sisa residu energi DNA Key hanya bertahan 30 detik saja setelah pemiliknya berpindah. Jadi….” Jelas Petra sambil membuka layar laptopnya yang menunjukkan spektrum warna DNA Key.
Terlihat disana jejak warna mereka mengikuti jejak warna Genoforce mereka: Merah untuk T-Rex milik mendiang Ignis, Hitam untuk Triceratops milik Alvin, Kuning untuk Velociraptor milik Grace, Biru untuk Pteranodon milik Petra, dan Pink untuk Plesiosaurus milik Winnie. Yang tersisa adalah Ungu untuk Parasaurolophus milik Eric.
“Perlu dicatat sejak pertempuran kita yang terakhir, DNA Key Tyrannosaurus milik Ignis belum sekalipun ia sentuh. Aku akan bawa ini untuk berjaga-jaga,” kata Petra sambil mengacungkan DNA Key merah itu.
“Kita harus cari jejak energi warna ungu. Kemungkinan besar Eric ada disana,” jelas Sir Owen.
Ketiga Genoforce yang tersisa hanya bisa menelan fakta menyebalkan bahwa sudah berlelah-lelah hari ini mereka bekerja, mereka diberikan sebuah beban pekerjaan lagi yang kali ini tidak boleh gagal.
“Ngerepotin aja dah itu si Eric,” gerutu Alvin pelan sambil membuang muka dari hadapan teman-temannya, berharap gerutunya tidak didengar.
“Jadi sekarang tugas kita semua adalah berpencar. Lacak energi Eric dengan mengikuti jejak DNA Key miliknya. Jika kalian menemukan sesuatu, cepat kabari di grup,” kata Sir Owen.
“Baik sir!” Seru keempat Genoforce itu sebelum mereka semua berubah dan keluar dari markas.
Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 11:30 malam dimana banyak pertokoan mulai tutup dan orang-orang yang berlalu lalang semakin sedikit. Waktu yang cocok bagi keempat Genoforce itu untuk beraksi. Meski begitu, mereka masih harus tetap waspada untuk tidak memancing perhatian orang banyak.
Grace berlari kencang dari satu rumah ke rumah lain dibalik tembok untuk melacak keberadaan Eric. Sementara itu Winnie berenang menyusuri sungai mencari keberadaan energi Eric. Petra terbang di angkasa mencari petunjuk keberadaanya, dan terakhir Alvin, dia tidak berubah dan malah mengendarai motornya sambil menatap layar HP Saurierphone miliknya.
******
BABAK 3: KONTRAK
BGM: Conflict ᐸPrologueᐳ
Di saat yang sama, akhirnya Eric mulai siuman. Ia perlahan membuka matanya dengan kepala yang masih berat dengan mata yang berkunang-kunang.
“Dimana aku….” gumamnya.
Lensa matanya yang masih kabur menangkap cahaya bulan yang masuk melalui lubang atap seng yang termakan usia, yang ditopang oleh tiang-tiang kayu yang terlihat mulai lapuk. Di saat itu jugalah ia menyadari tubuhnya tidak bisa digerakkan, seperti ada sesuatu yang menahannya.
“A… apa ini?!”
Eric terkejut. Kesadaran Eric pulih dengan cepat. Ia mendapati dirinya terikat pada sebuah tiang… di tengah gudang tua yang tidak terpakai. Gudang itu begitu gelap, bau, dan kumuh. Ia melihat ke sekelilingnya. Banyak drum bekas yang tidak terpakai dan genangan air dimana-mana.
“HMPHHHH!”
Ingin sekali Eric meminta pertolongan, tetapi mulutnya tersumpal oleh sebuah kain lusuh yang sepertinya diambil begitu saja dari tumpukan barang-barang kotor di pojok gudang sana. Tubuhnya meronta dengan hebat tetapi tidak sedikitpun bisa ia gerakkan tubuhnya.
“HMPPHHH! HMPHHH!”
Eric semakin meronta. Ia dalam bahaya. Di sebuah tempat asing yang tidak ia kenal, dan sepertinya hanya bersama musuhnya, Lycon Enosa. Apa maunya dia menculik Eric saat ini?
Drap.
Drap.
Suara langkah kaki terdengar dari pojok ruangan yang gelap. Ada yang datang menghampirinya. Mata Eric yang ketakutan pun terfokus pada arah asal datangnya suara itu.
“Wah… wah… Kamu sudah sadar?” Tanya suara itu.
Ya. Suara yang Eric kenal. Suara paman aneh yang dari tadi mengikutinya ketika ia mengantar Monica pulang, sampai kemudian menculik dan menyekapnya. Emosi Eric kembali membara kala suara itu masuk ke telinganya.
“Bisakah kamu tenang sedikit dan jadi anak yang baik?”
Dari pojok ruangan muncullah sosok Lycon Enosa dalam wujud monsternya, ksatria berzirah dengan motif serigala. Zirah dan cakarnya yang mengkilap menampakkan wujudnya yang kontras dengan gelap daerah di sekitarnya. Melihat Eric yang tidak bergerak dan hanya menatapnya dengan tatapan benci membuat Lycon Enosa berjalan semakin dekat.
“Jadilah anak yang baik dan aku akan membiarkanmu tetap hidup. Aku membawamu kesini untuk bicara baik-baik kok,” terang Lycon Enosa dengan nada yang ia lembutkan.
Eric tidak bisa lagi berpikir jernih. Ia sudah terhanyut dalam amarah dan ketakutan. Bicara baik-baik apanya jika ia dibawa dengan cara seperti ini?
Monster serigala yang berjalan semakin dekat ke arahnya itu membuat Eric semakin tidak nyaman saja. Tetapi sayang, saat ini mulutnya masih tersumpal dan tubuhnya masih terikat kencang. Tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali menggeram untuk melampiaskan kekesalannya.
“HNGGGHHHH”
“Aku kenal kamu siapa, bahkan sebelum kamu menjadi seorang Genoforce. Kamu punya kekuatan spesial yang tidak dimiliki bahkan oleh si merah sebelum dirimu. Kekuatanmu terlalu besar, maka itu aku ingin mengajakmu bekerjasama,” kata Lycon Enosa lagi sebelum melepas kain yang menyumpal mulut Eric dengan tebasan cakarnya… yang berakibat pipi kiri Eric mengalami luka gores yang perih.
“Tenang saja. Goresan ini tidak akan membuatmu menggila seperti si merah kemarin. Bisa kupastikan racunku tidak ada yang mengenaimu.”
Mulut Eric akhirnya terbebas dari sumpalan memuakkan itu. Ia batuk-batuk sesaat, membuang segala liur dan udara yang dari tadi tertahan di dalam mulutnya. Sambil menahan perih pada pipinya, Eric menatap tajam monster serigala itu dengan penuh kebencian. Tidak biasanya ia rasakan amarah dan benci sehebat ini.
“Mau kerjasama apa kamu?”
“Aku ingin kamu bergabung denganku. Kalau bisa, ajak juga teman-temanmu di Genoforce,” jawab Lycon Enosa sambil berjalan mengelilingi Eric yang masih terikat. “Aku ingin membuat sebuah pemberontakan.”
Pemberontakan? Apa yang sebenarnya dia bicarakan? Memberontak pada siapa? Kenapa dia ingin melibatkan Genoforce juga?
“Sebelum itu…. ini dimana?” Tanya Eric lagi dengan geram.
“Tempat yang jauh dari keramaian,” kata Lycon Enosa, diiringi suara langkah kakinya yang berputar di sekitar tubuh Eric yang masih tertambat pada tiang kayu itu, “hanya ada aku dan kamu saja. Tidak akan ada pengganggu yang akan mengacaukan kontrak kita.”
Memang benar. Tidak ada suara selain suara jangkrik yang menemani, dan tidak ada juga cahaya selain cahaya bulan yang terhalang atap seng tua di atas kepalanya. Ini bukanlah tempat yang familiar baginya, apalagi nyaman. Terlebih lagi tubuh sang monster yang mengelilingi dirinya ini sangat mengganggu Eric.
“Kembali ke topik. Menurutmu ya, kenapa selama ini Genoforce kesehariannya hanya melawan monster?”
“Karena para monster itu jahat dan mengganggu warga Natales,” Eric menjawab dengan penuh bara dalam dirinya, “dan jika aku bergabung dengan kalian, aku sama saja adalah pengkhianat bagi mereka.”
“Pemikiran yang naif,” Lycon Enosa menghentikan langkahnya. Jari-jari tajamnya mulai menyentuh dagu dan pipi Eric, mengangkat kepala sang anak hingga matanya bertemu dengan mata mengerikan sang monster, “Kita bisa menyatukan tujuan.”
“Tu… tujuan apa?”
“Aku bisa membantu menghabisi seluruh RMO, bahkan RMO Alpha yang lain. Kalian sebagai pembela kebenaran menginginkan hal itu kan?”
“Lalu?”
“Kita akan berkuasa bersama. Kalian akan dipuja sebagai pahlawan, dan aku akan ikut bersama dalam kebahagiaan kalian. Kalian akan dapat ketenaran, pengakuan, dan juga uang,” terang sang monster dengan semangat yang menggebu-gebu.
Benar dugaan Eric. Kupingnya semakin panas terbakar mendengar ocehan menggebu-gebu sang monster. Menjual rekan-rekannya sendiri demi kepentingan diri sendiri? Ini jauh lebih menjijikkan daripada yang Eric pikirkan.
“Lalu kamu pikir aku akan menjawab “ya” dengan tawaranmu yang seperti itu hah?” Seru Eric dengan nada suara yang ia tinggikan.
BUAGH.
Kepalan tinju Lycon Enosa menghantam pipi kanan Eric. Saking kerasnya, salah satu gigi Eric sampai meluncur ke tanah.
“Aku sudah memberikanmu penawaran baik-baik, tetapi malah seperti itu balasmu. Apakah mendiang kedua orangtuamu tidak mengajarkanmu sopan santun?” balas Lycon Enosa dingin, “kupikir kau anak yang baik yang ingin membantu orang dengan kekuatanmu. Kau sudah menyia-nyiakan sebuah kesempatan dimana kau bisa membantu lebih banyak orang dalam satu kesempatan ini, bocah.”
Perkataan yang membuat kuping Eric semakin panas lagi. Ingin sekali rasanya ia membalas langsung si monster dengan bogem mentahnya. Tetapi apa daya, saat ini tubuhnya masih terikat begitu kencang pada tiang yang berdiri tegak. Segera ia palingkan wajahnya menatap sang monster dengan penuh kebencian. Dengan mulutnya yang berdarah-darah ia meledakkan lagi emosinya.
“Kau berharap aku berdiri sejajar dengan seseorang yang telah membunuh rekanku sendiri sebagai sesama pahlawan?!”
Seruan nyaring Eric itu ikut membakar telinga Lycon Enosa. Dia yang tersulut emosinya mendaratkan satu lagi tinjuan, kali ini di pipi kirinya. Sekali lagi, gigi Eric untuk kedua kalinya melayang dari mulutnya.
“Apa sih masalahmu? Aku sudah bicara baik-baik, dan sekarang yang kau bicarakan adalah si mayat itu lagi yang nyatanya malah menjadi batu sandunganmu sendiri,” balas Lycon Enosa sambil mellayangkan kakinya pada tubuh lemas Eric.
Untuk kedua kalinya ia ayunkan kaki itu dengan brutal sambil melampiaskan seluruh isi hatinya yang kecewa. Bahkan kali ini saking kuatnya sampai mematahkan tiang penyangga dimana tubuh Eric diikat.
“Pantas saja selama ini kalian hanya berakhir menjadi tumpukan mayat. Kalian terlalu mementingkan isi hati sendiri dan orang lain yang jelas-jelas tidak akan peduli kalian. Jika saja kalian mau persetan dengan semua itu, sudah lama kalian akan ada di puncak!”
Terus. Terus saja Lycon Enosa menginjak-injak dan menyepak tubuh Eric yang sudah lunglai. Ia tak peduli jika tubuh Eric semakin membiru, atau tulang-tulangnya remuk. Nampaknya setiap emosi yang ia luapkan dalam setiap injakan akan terus tergantikan lagi ketika ia melihat ke wajah anak berambut pink itu.
Tatapan mata Lycon Enosa bertemu dengan mata sayu Eric yang masih tajam melihat ke arahnya. Dari bagaimana monster ini bertindak, ia bisa tahu tidak ada sedikitpun kebaikan dalam hati Lycon Enosa. Orang ini adalah orang yang busuk luar dalam.
“Nak, kau tahu? Dunia ini adalah tempat dimana untuk mencapai puncak kau tidak bisa hanya mengandalkan kebaikan saja?” Kata Lycon sambil tetap menginjaki Eric.
“Siapa… yang… ingin… ke… puncak?” Balas Eric dengan lirih. Ia tetap tegar meskipun harus menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
“Anak bodoh”
Tendangan Lycon Enosa semakin keras menghantam dagu Eric. Begitu hebatnya tendangan itu sampai-sampai Eric memuntahkan darah yang membasahi gusinya barusan. Jawaban Eric memantik amarah yang semakin besar dalam diri sang monster.
“GOAHK!”
“Aku mengerti….” Kata Eric dengan lirih.
“Yaampun, kau masih mau menyangkal lagi?” Lycon Enosa memalingkan wajahnya ke anak itu yang tertunduk lemas.
“Kau… sebegitunya ingin mencapai kekuasaan kan?” kata Eric dengan lirih. Ia berusaha tegar, tetapi tubuh dan nada bicaranya tidak bisa berbohong.
“Kalau memang iya kenapa?!” Seru Lycon Enosa sambil menendang Eric dengan lebih keras. Anak ini terlalu cerewet baginya.
“Kamu cuma anak kecil yang tidak tahu apa-apa soal dunia ini, tapi sudah berisik merasa paling tahu soal dunia,” lanjut Lycon Enosa sambil menendang Eric secara lebih keras lagi.
Tidak ada balasan dari Eric. Lirih kesakitan lemahnya menyatu dengan sunyi dan gelapnya malam. Berharap pada pertolongan di tempat seperti ini juga sudah hampir mustahil.Di bawah kaki baja sang monster serigala perlahan pandangannya mulai mengabur.
Seketika semuanya hitam.
Lycon Enosa menyingkirkan kakinya dari wajah Eric yang terbaring di tanah, dengan tangan dan kaki yang masih terikat. Ia berlutut di hadapannya, menatap ke wajah anak berambut merah muda itu yang sudah tidak sadarkan diri.
“Bersyukur aku belum membunuhmu, nak. Kamu terlalu berharga jika harus mati secepat ini. Kuharap ketika kau sadar nanti, kau akan berubah pikiran,” kata Lycon Enosa lebih tenang sambil tersenyum puas dari balik topeng besinya.
Ia sudah yakin setelah apa yang ia lakukan ini akan membuat Eric berubah pikiran. Satu jam lamanya dia dihujani oleh pukulan dan tendangan yang sukses membuat sekujur wajahnya lebam membiru dan berdarah-darah… bahkan sampai ia kehilangan kesadaran. Ini lebih dari cukup untuk membuka mata sang anak naif ini.
“Oh, mungkin kau tidak mendengarkanku saat ini. Tapi baiklah aku menceritakan sesuatu padamu,” kata Lycon Enosa santai sambil merendahkan lagi tubuhnya.
Perlahan-lahan cahaya bulan yang membuat zirahnya semakin bersinar semakin redup, dan dalam gelap ia membagikan ceritanya yang teramat kelam. Ia menatap tajam wajah lemas Eric yang tidak sadarkan diri dan mulai bercerita.
“Nak, jika kau tidak punya kuasa, maka kau tidak akan pernah bisa bertahan hidup sampai kapanpun. Aku beruntung menjadi seorang RMO seperti ini karena ini menyelamatkanku dari ambang kematian.”
Suaranya hanya menggema di dalam ruangan sepi itu, dengan suara jangkrik yang sayup-sayup di luar ruangan yang menyatu dengan heningnya malam menjadi tanggapan atas pembukaan ceritanya. Tetapi ia tidak peduli. Ia curahkan isi hatinya pada raga sang anak, tidak peduli didengar atau tidak.
“Kalau saja saat itu dia tidak membuatku menjadi seorang monster seperti ini sehari sebelum hukuman matiku, sudah bisa kupastikan nyawaku habis hari itu. Hukum disini benar-benar aneh, masak hanya untuk seseorang yang ingin mencari uang saja ia harus mendapatkan hukuman mati? Aku hanya merebut harta dari mereka yang sudah terlalu berkecukupan, loh,” sambung Lycon Enosa lagi.
******
BABAK 4: PETUNJUK
Sementara Lycon Enosa terus mengoceh di depan tubuh Eric yang hanya bisa terkulai lemas membisu, keempat Genoforce lain melakukan pergerakan mereka.
Sudah satu jam lamanya sejak mereka keluar, tetapi Eric belum ditemukan juga. Seiring dengan semakin terkurasnya tenaga, kesabaran mereka ikut terkuras pula, terutama Alvin. Ia sudah berkeliling ke seluruh penjuru kota dengan motornya, tetapi tidak satupun jejak Eric ia temukan.
Ditambah lagi dengan meteran bensinnya yang jarumnya sudah mendekati E, yang jelas menambah kesal pria berambut hitam itu. Bagaimana tidak? Terpampang juga di layar Saurierphone miliknya bawah pom bensin terdekat berada sekitar 7 kilometer lagi. Jauh dari tempat ia sekarang berada. Jika itu belum cukup baginya, ia sudah berada kurang lebih 9 kilometer jauhnya dari markas. Mau kembali pun sudah terlalu jauh, begitu pula untuk ke pom bensin terdekat.
Dengan hati yang dongkol ia pinggirkan motornya ke trotoar, tepat di depan sebuah kedai Sushi yang sudah tutup dan membuka HPnya untuk bertanya ke yang lain.
“Alvin M
Woi, lu pada gimana? Udah ketemu?
Capek gue anjir keliling kota gak nemu-nemu ini sampe daerah deket Stasiun Akahara
00:02”
Satu menit… dua menit… lima menit… sepuluh menit… tidak ada balasan yang masuk. Ini membuat Alvin semakin kesal lagi. Ia mengerti bahwa teman-temannya yang lain juga sama sepertinya, masih sibuk mencari sehingga tidak terpikirkan oleh mereka untuk membalas pesan yang baru saja masuk dari Alvin. Tapi di lain sisi ia juga ingin perasaannya diperdulikan.
“Tch, mereka ngapain aja sih anjir sampe gak bales-bales? Lagian itu anak kemana sih nyusahin aja?” Gerutu Alvin sambil duduk di motornya, memandangi daerah Akahara yang mulai sepi dengan semakin sedikitnya orang yang berlalu lalang disana. Cahaya remang-remang di depan pertokoan yang sudah tutup semakin menambah suram tempat itu.
Tiga puluh menit lamanya Alvin terdiam di daerah pinggiran pertokoan yang sepi itu. Ia mematung dengan ekspresi kesal, tanpa bensin dan tanpa minum. Selama itu juga tidak ada yang menjawab chatnya. Terlalu lama diam di tempat itu membuat mata Alvin semakin berat. Ingin sekali ia pulang dengan tidak diperdulikannya misi itu.
“Nyari itu anak masih bisa besok kan?” batinnya malas, “lagian itu anak baru ngapain dah ngerepotin aja anjir.”
“Maaf tuan, tolong jangan parkir sembarangan disini ya.”
Sebuah suara mengejutkan Alvin, membuatnya kembali terjaga. Ia memalingkan wajahnya dan bertemu seorang pria dengan seragam biru tua ala petugas keamanan di sebelah kanannya.
“Iya pak. Nanti aku pergi deh. Ini lagi nungguin temen belom dateng nih,” balas Alvin dengan ogah-ogahan.
“O… oh. Tapi tuan mohon jangan parkir disini ya. Tuan bisa pindah ke tempat lain,” balas sang petugas keamanan dengan sopan.
“Mau pindah kemana pak? Ini bensin juga udah mau habis,” kata Alvin sambil meninggikan nadanya, menunjuk pada meteran bensin yang semakin mendekati E, “Kalau bisa sekalian yang ada tempat makannya juga lah. Laper aku nungguin terus temen belom dateng.”
Petugas itu berusaha bersabar. Ia tidak menyangka ucapannya yang ia tuturkan dengan sopan sebelumnya dibalas sekasar ini. Mungkin anak ini sudah lelah, pikirnya. Untuk itu, ia berusaha membalas dengan sopan.
“Sebaiknya bapak bisa ke WcDolan di daerah Kamisato, sekitar 1 kilometer sebelah timur stasiun Akahara. Disana buka 24 jam. Terima kasih, saya izin permisi ya,” kata petugas itu sebelum berlalu.
“Sama-sama,” balas Alvin ogah-ogahan setelah sang petugas keamanan pergi dari pandangannya.
“WcDolan… Makanan sampah lagi…” Batin Alvin sambil merenggut kesal. Ia paling tidak sukaketika ia harus makan-makanan junk food seperti itu. Tumbuh di kehidupan jalanan yang keras dan minim sekali makanan yang layak membuat Alvin sangat memperhatikan apa yang masuk ke mulutnya. Ia sangat menghargai makanan sehat seperti buah dan sayuran, dan paling susah ketika harus diajak makan makanan cepat saji seperti itu.
Tetapi melihat keadaan sekitar yang semakin sepi dan bagaimana jam malam diberlakukan di daerah Akahara, nampaknya ia sudah tidak punya pilihan lain. Ia melirik sekali lagi ke meteran bensin di motornya dan merasa bahwa sisa bensin di tangkinya masih cukup. Terlebih lagi, menunggu dengan emosi negatif yang menumpuk juga perlahan-lahan menguras habis energinya hingga perutnya kembali memberontak.
“Tch. Masih bisa lah ya,” bisik Alvin pada dirinya sendiri.
Dengan malas ia segera menggeber motornya kembali menuju ke daerah Kamisato, menuju WcDolan persis seperti yang dikatakan oleh si petugas keamanan. Suara menderu dari motor Alvin seketika mengisi suram dan heningnya daerah Akahara di malam hari itu.
******
Hanya lima menit bagi Alvin untuk mencapai WcDolan Kamisato. Nampak di antara bangunan-bangunan lain yang telah redup mengelilingi daerah itu, hanya plang kuning dan merah restoran cepat saji itulah yang masih menyala terang benderang.
Alvin melajukan motornya menuju tempat itu, lalu merapatkan motornya di area parkir yang luas itu. Ada hanya sekitar 10 motor dan 4 mobil lain yang terparkir disana, menyisakan banyak ruangan bagi Alvin. Ia beruntung, setidaknya pada malam ini ia bisa mendapat sedikit kemudahan dalam memarkirkan motornya.
Usai mengunci stang motornya yang terparkir disana, Alvin berjalan memasuki restoran itu. Berbeda dari daerah Akahara yang sebelumnya suram dan sepi, WcDolan Kamisato malam ini suasananya jauh lebih hidup meskipun tidak banyak orang di dalamnya.
Lampu putih dengan interior bernuansa merah, putih, kuning, dan coklat yang cerah menyambut kehadirannya malam itu. Ia juga mendengar beberapa orang bersenda gurau entah membicarakan pekerjaan, keluarga, atau urusan lain sambil makan burger dan kentang goreng yang disediakan oleh restoran cepat saji itu. Ia juga menjumpai dua atau tiga anak muda yang masih sibuk berurusan dengan laptop mereka di restoran malam itu. Wajar saja, hanya restoran ini yang menyediakan Wi-Fi gratis yang tidak terbatas selama 24 jam penuh, membuatnya menjadi tempat yang cocok bagi para pelajar dan mahasiswa, dan juga beberapa pekerja kantoran yang masih ingin melanjutkan tugas dan pekerjaan mereka seusai jam kantor berakhir… atau ketika mereka sudah bosan mengerjakan tugas mereka di rumah.
“Selamat malam kak, bisa kita bantu pesanannya?”
Sapaan ramah dan hangat dari perempuan pelayan berseragam merah dan kuning itu menyapa Alvin di meja kasir. Alvin mengarahkan pandangannya pada papan menu yang terpampang di bagian atas belakang meja kasir itu.
“Aku ingin chicken burger dan kentang saja. Minumannya air putih ya. Oh, aku juga minta perbanyak seladanya,” balas Alvin setelah beberapa saat memandangi papan menu itu.
“Baik kak. Pesanan sudah kami terima. Semuanya jadi 6 USD. Silahkan ke meja kasir ya untuk pembayaran. Terima kasih,” balas si perempuan pelayan dengan hangat, yang dibalas oleh diamnya Alvin yang begitu saja memalingkan mukanya dan berjalan menuju meja kasir.
Ia keluarkan uang 10 USD, dan menerima kembalian 2 lembar uang 2 USD. Butuh sekitar 3 menit tambahan baginya untuk bisa menerima pesanan makan malamnya.
Pada akhirnya setelah Alvin menerima pesanannya, ia segera mengambil duduk di di dekat jendela kaca guna memantau keadaan sekitar. Dengan ekspresi datar yang sudah bosan, ia segera menyantap burger ayam dan kentang yang ia pesan. Setidaknya baginya, dibanding menu-menu lain yang tertera, ini adalah pilihan yang lebih sehat baginya.
Sambil memandangi area Kamisato yang benar-benar sepi dan redup, Alvin mengunyah makanannya malam itu. Nampak dari layar kaca jam digital di pinggir jalan yang menunjukkan pukul 00:39. Ini artinya sudah sekitar satu setengah jam lamanya mereka mencari Eric, dan sampai sekarang masih tidak ada tanda-tanda akan keberadaannya yang jelas.
“Yaelah itu anak ngerepotin aja pake ngilang segala,” batin Alvin sambil mengunyah burger di dalam mulutnya, masih memandangi jam digital itu.
“DRRRT”
Tiba-tiba saja Saurierphone Alvin bergetar. Ia segera menyalakan layar HP dan mendapati sebuah pesan notifikasi masuk ke aplikasi pesan LIME miliknya. Tanpa pikir panjang ia usap layar smartphone miliknya itu.
“Grace T
Belom nih.
Ngomong-ngomong jauh amat nyarinya sampe daerah Akahara.
00:42”
Wajah Alvin yang sebelumnya sudah sedikit lebih lega karena ia bisa makan malam dan beristirahat sejenak berubah menekuk lagi. Tidak ada kata-kata yang lebih baik kah yang bisa ia dapatkan? Mana mereka semua baru membalas hampir satu jam setelahnya pula.
“Alvin M
Di sekitar Atlan dan Herzen Cafe udah gue puter-puterin itu gaada goblok.
Capek gue anjing muterin jauh-jauh. Mana bensin gue mau abis lagi sialan.
00:44”
Balas Alvin menumpahkan kekesalannya pada pesan malam itu. Tak ia pedulikan perkataan kasar yang baru saja ia tumpahkan di grup itu. Setidaknya dengan ini rekan-rekannya yang lain bisa tahu apa yang ia tengah rasakan.
“Grace T
Ketikannya tolong dijaga.
00:45”
Alvin tidak paham dengan Grace, dan ini membuatnya semakin panas. Bagaimana dia bisa tetap tenang di situasi yang seperti ini? Tidak ada orang lain kah di grup chat malam ini? Kenapa hanya ada dia dan Grace, anggota yang paling tidak ia sukai yang malah tersisa di grup ini? Dengan kesal Alvin mencomot dengan lebih agresif burger di tangannya.
“Alvin M
Sini lah lu ke Akahara coba. Kalo nemu bilang ke gue.
00:46”
Grace tidak menjawab. Dibalik topeng kuningnya ia mengernyitkan dahi. Untuk sekali lagi ia dibuat karena ketidaksabaran sang prajurit hitam. Untuk menghindari konflik lebih lanjut ia simpan lagi Saurierphonenya dan segera bergegas melanjutkan misinya mencari Eric dengan berlari dari satu gang ke gang lain lewat kekuatan supernya.
Sayangnya ia tidak lebih beruntung dari Alvin. Dari setiap gang yang tidak ia lalui tak sedikitpun ia dapatkan jejak energi dari Eric. Ia pasti juga merasakan hal yang sama seperti Alvin, tetapi pikirannya lebih terfokus ke apa jadinya Eric dan Genoforce jika ia terlambat menyelamatkannya. Sudah terlalu banyak kepahitan ia rasakan karena kehilangan seorang teman, dan tidak mau ia ulangi tragedi itu untuk yang kedua kalinya. Apapun yang terjadi, ia redam emosi dan rasa lelahnya, dengan pandangan yang tetap fokus ke depan.
******
Tidak jauh berbeda dari Grace yang tetap mencari Eric, perlahan-lahan Petra di udara juga mulai merasakan lelah. Tidak ia hiraukan beberapa kali Saurierphone miliknya bergetar ketika ia di udara sebelumnya karena terfokus pada pencarian Eric.
Tetapi sebagai Genoforce dengan keterbatasan berupa fisiknya yang tengah sakit-sakitan, lama kelamaan tubuhnya tidak bisa berbohong lagi. Di depan sebuah kantor pos di distrik Amilalt ia mendarat untuk beristirahat. Kebetulan di depan kantor pos yang tutup itu ada halte bus dengan pencahayaan yang remang-remang, sehingga ia memutuskan untuk duduk disana. Ia segera berubah ke wujud manusianya dan membuka Saurierphone. Terpampang di depan matanya notifikasi LIME yang masuk ke grup, dan semuanya dari Alvin.
Petra menghela nafas sambil berusaha tenang melihat chat yang masuk dari Alvin. Sudah ia duga Alvin pasti bakal begini. Sambil tersenyum santai ia mencoba membalas.
“Petra W
Waduh maaf Vin, aku udah di Amilalt nih. Eric masih belom ketemu juga uy.
00:49”
Pesan yang masuk dari Petra itu membuat Alvin semakin kesal sekaligus heran. Di meja WcDolan ia tetap duduk merenggut berpikir. Mereka sudah mencari sampai sejauh itu tapi tetap tidak ada petunjuk yang jelas mengenai keberadaan Eric. Untuk melampiaskan emosinya ia membalas chat yang masuk dari Alvin barusan.
“Alvin M
YANG BENER AJA LU MATA EMPAT?! KITA NYARI CAPEK-CAPEK BELOM KETEMU JUGA!
00:50”
Petra tersenyum kecut membaca chat yang masuk itu. Percakapan mereka malam itu nampaknya bisa menjadi sedikit hiburan baginya yang sudah lelah jiwa dan raga. Dalam kegelapan malam itu, pria pirang berkacamata itu dengan cengengesan mengirimkan stiker LIME berupa gambar ekspresi pasrah seorang pria berotot dengan caption “Mau gimana lagi?”. Untuk beberapa saat usai balasan itu terkirim Petra masih saja cekikikan di halte remang-remang itu.
“Anjing lah Petra,” gerutu Alvin pelan membaca balasan yang masuk itu.
Sudah biasa bagi si pria berkacamata itu melawak di situasi yang genting seperti ini. Ia bisa memahami bahwa ini adalah coping mechanism-nya atas segala masalahnya. Tetapi ia tidak menyukainya jika itu dibawa ke ranah umum sampai melibatkan orang lain. Tanpa basa-basi ia hapus chat yang masuk itu di grup, lalu mengeluarkan Petra dari sana. Setidaknya bentuk pelampiasannya ini tidak akan membuat Petra kebakaran jenggot.
Alvin M mengeluarkan Petra W dari grup
Notifikasi LIME yang masuk itu memecah keseruan Petra yang dari tadi cengengesan sendirian di halte remang-remang itu menyaksikan meme-meme lucu di layar aplikasi Photogram miliknya. Raut wajahnya seketika berubah menjadi datar. Ia terkejut, tapi tidak yang sampai shock, karena yang seperti ini nampak sudah biasa baginya.
“Owalah… dikeluarin yah aku…” batin Petra, “Ya sudahlah, toh nanti bisa minta Grace atau Winnie masukin lagi. Kalo gabisa ya… tinggal minta Eric aja.”
Petra yang merasakan keseruannya telah berakhir segera mengantongi lagi Saurierphone miliknya. Ia berjalan menuju gang sempit tepat di seberang jalan dan berjalan lurus sekitar 50 meter ke depan, sebelum berbelok ke sisi buntu jalan itu. Ia berharap tidak ada siapapun yang melihatnya mengingat malam sudah sangat larut. Begitu situasi ia rasa sudah aman, barulah ia mengaktifkan DNA Keynya dan berubah lagi.
“PTERABLAU!”
Dengan cepat ia rentangkan sayap di punggungnya dan melesat terbang menuju ke gelapnya langit malam dan melanjutkan pencariannya.
******
BABAK 5: JEBAKAN
Hari sudah mulai berganti. Tetapi Eric masih juga belum sadarkan diri. Cahaya remang-remang dari bulan menampakkan wajah lesunya dengan mulut yang terbuka kecil dengan air liur dan sedikit darah yang mengalir dari aksi brutal sebelumnya. Di hadapan anak yang tak sadarkan diri ini nampaknya Lycon Enosa masih asik bercerita.
“Aku selalu punya prinsip bahwa yang terkuat harus mendapatkan lebih. Karena dimanapun selalu berlaku “yang kuat adalah yang benar”, atau “yang kuat akan jadi pemenangnya.” Itulah kenapa aku ikut dengan rencana temanku untuk membakar panti asuhan tempatku berada dulu. Anak-anak disana semuanya egois, padahal mereka sekuat diriku juga tidak. Ya wajar dong jika aku selalu meminta untuk makan lebih banyak dan istirahat lebih lama dibanding mereka? Tapi nampaknya mereka tidak mau mengerti itu.”
Lagi-lagi ceritanya hanya ditanggapi oleh bisunya Eric di hadapannya. Tapi ia tetap tidak peduli. Menceritakan soal dirinya sendiri dan “pencapaiannya” adalah hal yang membanggakan bagi Lycon Enosa. Saking asyiknya, tanpa ia sadari, perlahan tapi pasti kedua kelopak mata Eric mulai bergerak menanggapi cahaya redup yang masuk di ruangan itu.
“Terlebih lagi dengan membakar mereka, aku mendapat satu keuntungan. Kenapa aku harus berbagi dunia dengan mereka yang jelas-jelas tidak menyukaiku? Mereka mati semua ya bagus, aku gaperlu ada saingan lagi dalam rebutan makanan…”
“Ehh…”
Seketika cerita sang monster serigala itu terhenti oleh erangan lemah Eric. Nampak di hadapannya anak itu perlahan-lahan mulai menggerakkan tubuhnya yang lemah dan masih terikat.
“Kamu sudah sadar ya?” tanya Lycon Enosa menatap ke tubuh Eric.
“I… Ini… di… ma…. na?” Tanya Eric dengan suara yang lemah.
“Masih tempat yang tadi,” kata Lycon Enosa sambil bangkit dari duduknya, “Nampaknya tadi aku sudah memberimu pelajaran ya? Bagaimana?”
“Pelajaran apa?” Tanya Eric yang kesadarannya masih belum pulih sepenuhnya.
Matanya yang dari tadi kabur pandangannya seketika cerah kembali. Ia menyaksikan bahwa ia belum berpindah dari tempatnya berada sebelumnya, di sebuah gudang. Yang lebih buruknya lagi, tubuhnya masih terikat tali. Seketika ingatannya kembali. Ia sudah satu jam lebih pingsan karena hajaran tanpa ampun Lycon Enosa.
“Barusan kamu ngomong kamu senang membunuh orang lain, kan?!” tanya Eric dengan kesadaran yang sudah pulih.
“Kalau iya, memang kenapa?” Tantang balik Lycon Enosa dengan angkuh sebelum menendang anak itu lagi sekuat tenaga hingga tubuh kecil Eric menggelinding di lantai tanah yang kotor.
Lycon Enosa segera menyusul Eric. Tanpa banyak perlawanan dengan mudahnya ia injak dengan kasar tubuh Eric yang masih terikat itu di punggungnya. Ia langsung menatap tajam ke Eric dan menunjukkan ketiga cakar hitam tajamnya yang mengkilap.
“Kamu belum belajar juga yah ternyata, nak?” kata Lycon Enosa dengan penuh intimidasi, yang dibalas dengan tatapan Eric yang seketika berubah menjadi raut wajah ketakutan, “Padahal aku sudah berbaik hati tidak membiarkanmu mati, tetapi inikah balasmu?!”
Eric tidak berkutik lagi. Di hadapan matanya kini terpampang cakar-cakar tajam mengkilap yang sebelumnya merenggut nyawa Ignis. Batas antara hidup dan mati baginya sekarang sudah sangat tipis, terlebih dengan tidak adanya teman yang bisa membantunya di tempat yang terpencil seperti ini. Mungkin inilah waktunya bagi dia untuk bertindak “diluar kewajaran”.
“Baik. Aku akan bekerjasama,” Kata Eric setelah sekian lama berpikir.
Berkat kata-kata itu, perlahan cakar-cakar tajam Lycon Enosa minggir dari pandangannya. Begitu juga dengan injakan berat monster itu di kakinya perlahan mulai melonggar. Monster itu sepertinya tidak percaya dengan apa yang barusan masuk ke telinganya.
“Nampaknya kamu sudah mengerti apa mauku, nak,” kata Lycon Enosa perlahan sambil mundur langkah demi langkah dari Eric.
Monster itu kemudian tanpa pikir panjang dengan cakarnya membuka ikatan yang sedari tadi melilit tubuh Eric. Dengan tubuh yang lemah, Eric pun bangkit dan membersihkan noda-noda tanah yang mengotori warna putih kemeja sekolahnya.
“Jadi, selanjutnya apa yang akan kau lakukan?” Tanya Lycon Enosa.
“Aku akan berubah, dan kita habisi para Genoforce tadi,” jawab Eric sambil meyakinkan dirinya sendiri.
Lycon Enosa puas menatap Eric yang kini jatuh ke dalam pengaruhnya. Ia kemudian melipat tangannya seakan-akan kemenangan sudah berpihak padanya. Dengan percaya diri ia menatap Eric dan memberikan perintah pertamanya.
“Bagus. Sekarang berubahlah menjadi Tyrannorot seperti saat itu,” titahnya.
“Baik! Tapi sebelumnya tolong temani aku mencari Saurierphonenya,” kata Eric mantap.
Dheg. Jawaban yang keluar dari mulut Eric mengecewakan Lycon Enosa.
“Jangan bilang kau kesini tidak membawa alat perubahannya….” nada Lycon Enosa yang tadinya puas seketika berubah menjadi mengintimidasi lagi.
“Tadi aku ingat, ketika kamu membawaku paksa, Saurierphoneku terjatuh. Tapi itu dimana ya? Ah iya, di sekitar Stasiun Atlan! Semoga saja sekarang Saurierphone itu masih ada, karena bisa-bisa saja itu dicuri oleh or….”
BGM: Unknown Destroyers
Belum sempat Eric menyelesaikan kata-katanya, sebuah bogem mentah dari Lycon Enosa menghantam perutnya. Seketika Eric terjerembab di tanah dengan menahan sakit yang luar biasa pada perutnya.
“JANGAN BERCANDA KAMU ANAK SIALAN!”
Eric tidak menjawab. Ia kuatkan dirinya dan mengumpulkan segenap tenaga untuk berlari menjauh dari tempat itu. Tanpa memperdulikan Lycon Enosa yang mengejarnya di belakang dan rasa sakitnya, ia berlari dengan tertatih menuju ke arah pintu gudang tua itu.
“Ah ini dia!” Batin Eric.
Harapan yang Eric rasakan seketika berubah kembali ke keputus asaan kala ia melihat gembok yang mengunci pintu kayu tua itu. Ia menoleh ke belakang, menyaksikan Lycon Enosa yang melompat hendak menerjangnya layaknya seekor serigala yang menerjang seekor rusa yang terpojok.
“JANGAN COBA-COBA KABUR KAU!”
Dalam rasa takut yang kembali menderanya, Eric berlari menyingkir dari hadapan pintu tua itu. Ia membiarkan Lycon Enosa terjatuh terjerembab menabrak pintu itu.
GUBRAK.
Lycon Enosa terjatuh terjerembab bersamaan dengan pintu tua yang ambruk. Pada akhirnya pintu keluar untuk kabur bagi Eric terbuka. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Eric berlari keluar dari bangunan tua itu dan berlari menuju ke dalam hutan. Tidak ada pencahayaan kecuali cahaya remang-remang dari bulan yang sudah mengangkasa tinggi sekali di atas kepalanya, menandakan mungkin saat ini hari sudah berganti.
Perjalanan ini adalah sebuah perjalanan yang mengerikan. Ia tidak tahu dimana ia sekarang berada, di sebuah hutan yang gelap dengan pencahayaan yang minim, dan ia tidak tahu siapa saja yang berada di dalam hutan itu kecuali dirinya dan Lycon Enosa. Mau ada orang lain atau hewan lain di hutan itu, semua jawabannya akan sama-sama mengerikan. Tetapi demi bertahan hidup ia abaikan semua rasa takut yang ia rasakan, sekalipun dinginnya udara malam saat itu membuat bulu kuduk Eric berdiri semakin tegak lagi. Ia hanya mengikuti instingnya, terus berlari mengikuti aliran sungai yang suaranya menemani pelariannya malam itu.
Sementara itu di gudang tua yang sudah ambruk itu Lycon Enosa perlahan bangkit. Perasaan kesal akibat rasa sakit, kaget, dan dipermalukan oleh Eric semua berkecamuk ke dalam hatinya bersatu membentuk sebuah niatan ingin membunuh Eric. Ia segera meluapkan emosinya dengan menghempaskan debu-debu dan serpihan kayu yang menodai moncong bajanya.
“TUNGGU KAU!” Geramnya sambil berlari mencari Eric.
******
“Hah… Hah…”
Eric terus berlari menyusuri hutan itu. Kaki-kakinya terus ia paksa bergerak sekalipun tenaganya sudah semakin terkuras demi bertahan hidup. Matanya terus ia fokuskan untuk mencari adanya cahaya atau bantuan diantara rimbunnya pohon-pohon dalam kegelapan malam itu.
Jantungnya berdebar dengan keras bersamaan dengan keringat yang mengucur seiring dengan langkah larinya. Ia merasakan nafasnya mulai habis. Di saat itu sangat ingin ia beristirahat sejenak dibalik sebuah pohon cemara, tetapi niat itu segera ia urungkan kala telinganya menangkap sebuah bunyi sayup-sayup yang membuat jantungnya berdebar semakin kencang.
“JANGAN LARI KAU!”
“KEMBALI KESINI!”
Dari kejauhan sayup-sayup ia mendengar bunyi berat seorang pria yang tengah marah, dan itu tidak asing baginya. Ya, Lycon Enosa semakin dekat dengannya tanpa disangka-sangka.
Eric tidak punya pilihan lain. Ia harus menggerakkan kakinya semakin cepat meskipun tubuhnya sudah tidak bisa lagi diajak berkompromi. Di saat kelelahan itulah ia melihat setitik cahaya dari arah depan. Karena itulah ia berlari semakin cepat lagi menuju ke sumber cahaya itu…
“BRRRKKKK”
Bukan cahaya lampu orang lain yang ia temui. Tetapi pantulan cahaya dari armor badan sekelompok monster humanoid yang berbentuk seperti tikus dengan bulu kecoklatan. Jumlah mereka ada banyak dengan bentukan yang mirip satu dengan yang lain, dan kini mereka mengepung Eric dari segala penjuru dengan memegang tombak kayu.
Seketika perasaan Eric yang penuh harapan berubah menjadi ketakutan dan keputusasaan. Ia telah terkepung. Dalam rasa takutnya yang seketika muncul kembali, Eric bergerak mundur perlahan ke belakang kala monster itu berjalan menekan Eric. Ini adalah kali pertama Eric bertemu dengan mereka, setelah selama ini mendengar soal mereka dari penjelasan Petra saja selama sesi latihan.
RMO Tipe Gamma. Mereka adalah jenis monster RMO yang terlemah tanpa pikiran atau kebebasannya sendiri layaknya RMO tipe Beta, apalagi Alpha. Mereka menutupi kelemahan fisik mereka dengan jumlah mereka yang sangat banyak. Sekalipun menurut Petra kemampuan kapak Parashakti Eric mampu memusnahkan mereka dalam sekali tebasan, tetapi di posisinya saat ini yang tidak memegang Saurierphone, semuanya sama saja bohong.
Monster itu mendesak Eric masuk semakin dalam ke dalam hutan dimana suara yang dari tadi mengincarnya kini semakin mendekatinya, lengkap dengan suara deru langkah kakinya.
“JANGAN KABUR KAU!”
Eric terpojok. Ia melihat ke kanan, kiri, depan, belakang… semuanya terkunci. Ia hanya berdiri terdiam kala suara Lycon Enosa yang mengincarnya semakin dekat dengan dirinya.
Benar saja, tidak butuh waktu lama, monster serigala berzirah itu segera muncul kembali ke hadapan Eric dari rimbunnya pepohonan. Eric yang kebingungan menoleh ke depan dan belakang. Sekelompok RMO Gamma berikut juga Lycon Enosa berjalan menghimpitnya, membuat Eric semakin tenggelam dalam ketakutan dan kebingungan. Tanpa Saurierphone, tanpa teman yang menolong…
“Sepertinya terpaksa kita selesaikan disini…” kata Lycon Enosa tajam menatap Eric yang menatapnya dengan penuh ketakutan.
“BUAGH!”
Tubuh Eric sekali lagi terjerembab di tanah. Monster serigala itu tanpa ampun menginjak-injak tubuh lemasnya. Eric sendiri yang sudah kehabisan tenaga hanya bisa pasrah saat rasa sakit dari tekanan kaki sang monster menghantam tubuhnya.
Seakan tak cukup sampai disitu, sekali lagi wajah Eric menjadi bulan-bulanan sekelompok monster lemah yang mengepungnya itu. Kaki mereka bergantian menendang wajah anak yang malang itu hingga terhuyung kesana kemari. Satu. Dua. Tiga. Lima. Sepuluh. Dua puluh. Tidak terhitung berapa kali Lycon Enosa dan juga para RMO Gamma menghajar Eric habis-habisan. Hanya mengerang dan mengaduh dengan lemah lah yang Eric bisa lakukan di saat itu. Dengan pandangan yang mulai melemah, ia hanya bisa berharap saat ia terbangun kelak penderitaannya ini akan berakhir….
******
DRTT… DRRT….
Saurierphone di saku HP Winnie sang Plesiorosa terus bergetar sedari tadi. Bagi seseorang dengan rentang atensi setara seekor ikan mas, jelas saja ini sangat mengusiknya. Sayang baginya ia samasekali tidak bisa mengangkatnya karena ia masih terus berada di dalam sungai Natales guna menyusuri keberadaan Eric.
Hanya cahaya bulan dari langit berikut cahaya remang-remang lampu pinggir jalan yang menemani pencariannya. Jernihnya sungai Natales berikut dengan tidak adanya hewan sejenis buaya atau ular di dalamnya jelas merupakan tempat terbaik bagi Winnie untuk melakukan misinya… tetapi tidak di malam hari yang minim pencahayaan. Salah-salah ia malah mengambil jalan yang salah, atau tersesat karena derasnya arus sungai yang seringkali tidak bisa diduga.
Untuk saat ini ia tidak bisa berhenti. Kakinya terus mengayuh sementara tubuhnya yang lentur meliuk-liuk di dalam air dengan pandangan yang terus fokus ke depan. Butuh usaha lebih baginya untuk tetap bisa fokus dalam situasi dimana ia tidak boleh berhenti, sementara Saurierphone miliknya terus menerus bergetar. Bisa jadi ia melewatkan sesuatu yang penting…
WHUUSH!
Tiba-tiba saja ia merasakan ada pergerakan besar di sebelahnya. Sepertinya sesuatu yang besar telah mendahuluinya. Winnie yang penasaran mendayung kakinya ke arah makhluk besar itu berlari, karena baginya itu hanya bermakna satu hal: ia sudah cukup jauh dari kota. Di sungai yang mengalir di sekitar kota Natales, tidak ada hewan sebesar itu.
10 tahun bertarung sebagai seorang Genoforce telah mengasah intuisi sang prajurit wanita ini. Ia merasa Eric telah dibawa ke tempat yang benar-benar jauh dari kota oleh Lycon Enosa agar ia bisa dihabisi disana tanpa teman-temannya bisa menjangkaunya.
“PING!”
Suara menggema dari HP Winnie menggetarkan air di sekitarnya. Seketika Genoforce pink itu terdiam dan mengubah arah haluan renangnya menuju ke permukaan. Ini pasti adalah notifikasi jejak DNA Key Parasaurolophus milik Eric. Dengan cepat ia berenang menuju ke permukaan dan melihat ke sekelilingnya. Sepanjang mata memandang hanyalah kegelapan bayangan pohon-pohon cemara rindang yang menghiasi pinggiran sungai itu… dan daratan yang tidak begitu jauh untuknya beristirahat sejenak.
Segera ia berenang menuju ke tepian dan duduk di bawah sebuah pohon cemara yang tinggi. Dalam kegelapan hutan itu ia membuka Saurierphone miliknya. Dugaannya benar, DNA Key milik Eric sudah tidak jauh lagi darinya, sekitar 50 meter dari tempatnya berdiri sekarang.
“Eric… tidak jauh dari sini?!” Batinnya.
Ia langsung mengusap layar Saurierphone miliknya dan beralih ke notifikasi LIME yang dari tadi mengusiknya. Ia baca chat-chat yang sedari tadi ramai oleh keributan antara Alvin yang kesal yang ditanggapi hanya oleh Grace dan Petra. Sayangnya, tidak ada informasi penting yang bisa ia dapat kecuali Alvin yang harus beristirahat di daerah Kamisato tidak tahu sampai kapan. Tetapi sebelum itu, ia memasukkan kembali Petra ke dalam grup itu.
Winnie B memasukkan Petra W ke dalam grup
“Winnie B
Aku nemu jejak DNA Key Eric. Dia di dalam hutan Baumfeld.
01:12”
Seusai pesan itu terkirim, Winnie melanjutkan perjalanannya menyusuri lautan pepohonan yang gelap itu mengikuti arah dimana DNA Key Eric berada menurut Saurierphone miliknya. Dengan perlahan ia melangkahkan kakinya sambil menoleh ke sekitarnya. Ia harus siaga. Bisa-bisa saja ada musuh atau ancaman lain yang bersembunyi dibalik rindangnya pepohonan besar itu.
Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya Winnie sampai di tempat dimana energi DNA Key milik Eric terdeteksi. Di depan matanya kini terpampang sebuah gudang tua yang sudah reyot. Dengan harapan bahwa Eric ada disana, Winnie berjalan perlahan memasuki gudang tua itu.
“HALOO!” Seru Winnie. Suaranya menggema di dalam gudang itu tanpa ada yang membalas.
Ini aneh. Kenapa DNA Key Eric terdeteksi di tempat ini tetapi tidak ada orang di sini? Ia berjalan lagi mengikuti arah energi DNA Key milik Eric di dalam gudang itu. Ternyata Energi itu mengarah pada tas Eric yang tergeletak begitu saja di lantai. Ia merasa senang bisa mendapatkan satu petunjuk, tetapi di lain sisi ia juga merasa tidak enak.\
Ia tolehkan pandangannya ke arah kiri, dimana ia lihat ada sebuah tiang kayu yang sudah kehilangan bagian tengahnya. Bekas potongan yang kasar menandakan bahwa mungkin Lycon Enosa telah berbuat kasar kepada Eric di sekitar sini. Dalam kecemasan itu tiba-tiba sebuah chat baru masuk lagi ke aplikasi LIME grup.
“Alvin M
EH SERIUS ANJIR? DI HUTAN BAUMFELD?!
01:14”
“Grace T
Sekarang Eric gimana? Udah ketemu?
01:14”
Pertanyaan mereka dijawab dengan lugas oleh Winnie.
“Winnie B
Gak ketemu. Cuma ada tasnya doang ternyata. Eric nyimpen DNA Key di tasnya selama ini, tapi orangnya gak ketemu.
Dia dimana yah?
01:15”
Winnie B mengirimkan foto
Winnie B mengirimkan foto
Alvin dan Grace tidak percaya dengan apa yang mereka baru saksikan. Ada sebuah foto dimana tas Eric tergeletak di dalam gudang yang gelap dan tua itu, dan gambar selanjutnya menampakkan sebuah tiang kayu yang sudah hilang bagian tengahnya oleh sebuah tumbukan benda yang keras dan berat. Dengan cepat kedua foto itu mendapatkan reaksi dari Alvin, Grace, dan Petra.
“Alvin M
OI… JANGAN BILANG ERIC UDAH GAK SELAMAT!
01:16”
“Petra W
Mungkin juga masih selamat. Gaada bekas darah kan disana?
01:17”
“Grace T
Bisa jadi dia udah menemukan cara buat melarikan diri?
01:17”
Winnie melihat ke sekitarnya mengikuti arahan Petra dan Grace. Sedikit sekali noda darah yang ia temukan disana. Mungkinkah Eric bisa bertahan dan melarikan diri? Winnie segera berlari menuju pintu depan yang sudah dijebol itu.
Insting Winnie berkata bahwa Eric mencari jalan keluar sambil dikejar oleh Lycon Enosa yang menculiknya. Ia berlari mengikuti arah keluar dari hutan ini sambil berharap Eric masih bisa ia temukan hidup-hidup. Sambil menenteng senapan Plesiolock miliknya, ia singkirkan sementara sosok Winnie yang hanya bisa meringkuk dibalik punggung Petra setiap kali bermain ke rumah hantu di taman ria, dan mengganti dengan sosok Winnie yang tak ingin kehilangan rekan lagi setelah terlalu banyak kehilangan dalam 10 tahun karirnya.
“Eric, semoga kamu baik-baik saja…” doa Winnie sepanjang perjalanan di dalam hutan itu.
Tiba-tiba langkahnya terhenti. Sayup-sayup ia melihat bayangan sekelompok orang dalam jumlah besar dari kejauhan disertai suara erangan yang lemah. Ia perlambat langkahnya mendekati bayangan kerumunan itu.
Semakin dekat ia berjalan, semakin jelas pula suara erangan yang ia dengar berikut suara-suara lain yang menyertainya dari sana. Dugaannya benar. Ini adalah suara yang sangat familiar baginya, dan itu memantik emosi yang bergejolak di dalam hatinya.
“Anak bodoh. Nampaknya kamu masih belum mengerti juga yah bagaimana caranya membalas budi?!”
Suara amarah Lycon Enosa terdengar olehnya, yang diikuti dengan suara Eric yang tubuh lemasnya ditendang oleh sang monster. Bayangan mereka terlihat jelas dibalik kerumunan monster-monster yang mengerumuninya.
Dengan penuh amarah Winnie merogoh Saurierphonenya dan membagikan lokasi dimana Eric ditemukan.
“Winnie B
Membagikan Lokasi
BENER ANJIR LYCON ENOSA! KALIAN CEPETAN KESINI DAH!
ERIC DALAM BAHAYA!
01:20”
Winnie tidak mau menunggu lama. Usai pesan itu terkirim ia segera mengarahkan senjatanya ke salah seekor RMO Gamma. Dalam diam dan gelapnya malam, Winnie terus membidik. Semuanya dipertaruhkan dalam satu tembakan ini.
DOR.
Sebuah tembakan melesat memecah sepi malam itu. Burung-burung yang bertengger di pohon-pohon terdekat segera terbang menjauh dari sana. Seekor RMO Gamma jatuh terkapar tepat di hadapan Lycon Enosa dan juga rekan-rekannya sesama RMO Gamma yang mengelilinginya. Spontan mata mereka semua tertuju ke arah barat, dimana tembakan itu berasal.
“SIAPA DISANA?! KELUAR!” Seru Lycon Enosa menantang kerasnya suara tembakan tadi.
Untuk beberapa saat tidak ada jawaban dari heningnya arah barat dimana tembakan itu berasal.
“JANGAN JADI PENGECUT! HADAPI AKU SATU LAWAN SATU DISINI!” seru Lycon Enosa lagi dengan amarah yang membara.
Suaranya bergema dalam keheningan hutan. Diluar dugaannya, jawaban atas seruannya itu hadir dalam bentuk nyaringnya suara tembakan sekali lagi dari arah yang berlawanan.
DOR!
Seekor RMO Gamma di arah timur tumbang lagi. Seketika itu pula Lycon Enosa yang kakinya masih menindih Eric, beserta para RMO Gamma lagi-lagi menoleh ke arah yang berseberangan dengan seirama.
“AYO SINI KALAU KAMU MEMANG SEORANG PEMBERANI! LAWAN AKU SATU LAWAN SATU!”
Tidak ada jawaban. Mereka semua mematung dalam kebingungan dan ketakutan. Mereka menjadi semakin waspada akan keadaan sekitar.
“BRWKR! BRRR!”
Tiba-tiba saja seekor RMO Gamma menghampiri Lycon Enosa di tengah-tengah lingkaran.
BGM: Splinter Wolf
“Apa?” Tanya Lycon Enosa dengan tatapan tajam menatap RMO Gamma itu.
Sang RMO Gamma hanya menunjuk-nunjuk sambil menggeram merancau ke arah kegelapan sambil gemetaran. Ketakutan akan serangan dadakan itu nampaknya telah menenggelamkannya, sehingga ia tidak mampu mengkomunikasikan pesannya dengan tidak begitu baik… dan itu membuat Lycon Enosa semakin kehilangan kesabarannya.
“APA YANG KAMU MAU BICARAKAN HAH?!” Tanya Lycon Enosa dengan suara nyaring. Anak buahnya ini hanya membuat suasana semakin runyam saja.
DOR! DOR!
Tumbang lagi dua… tiga… lima ekor RMO Gamma di hadapannya dari arah barat tadi tepat di depan mata Lycon Enosa. Tak perlu waktu lama bagi sang RMO Gamma yang tadi memberikan kabar kepada Lycon Enosa untuk menjadi korban yang jatuh selanjutnya.
“SIAPA KAU?! AYO SINI KALAU BERANI!”
Amarah dan kepanikan yang mendera si monster serigala itu menaikkan kadar adrenalin dalam dirinya secara drastis. Tanpa ia duga, jawaban yang keluar dari kegelapan itu juga tidak kalah lantangnya dibanding dirinya. Bersamaan dengan suara itu, muncullah tembakan-tembakan beruntun yang memberondong para RMO Gamma yang lainnya, bahkan sampai salah satunya melenting mengenai zirah Lycon Enosa. Dari kegelapan itu muncullah sesosok prajurit Genoforce pink yang tengah berlari sambil menenteng senapannya.
“SATU LAWAN SATU APANYA WOI?!”
Kedatangan Plesiorosa yang tak terduga itu mengejutkan Eric. Dalam padangannya yang semakin lemah dan sayu, ia menyaksikan kaki sang prajurit pink itu menghampirinya… hendak menyelamatkannya.
“Kak… Winnie….”
OMAKE:
Eric: Takut… Peran Lycon Enosa kali ini bener-bener ngeri! Saking ngerinya dia kayaknya agak terlalu bersemangat deh nginjeknya… Sakit punggungku beneran.
Alvin: Artinya aktornya menjiwai peranannya, bocah. Yah sama sih buat gue… gak di dalem cerita gak diluar cerita tau aja gue emang gatahan asap rokok. Kapan ya mereka belajar?
Grace: Setuju sama Alvin. Penjiwaan aktornya Lycon Enosa mantep banget. Tapi… oh ya author, kenapa peranku beberapa chapter ini makin sedikit ya?
Petra: Siapa dulu dong MVP disini? Aku kah karena upgrade power system Genoforce?
Winnie: Gak dong! Aku yang nemuin Eric pertama gak sih?!
******
Written by: Ivan
Illustration by @geraldigiovanni
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
